Mr. Kalend Osin, Sang Pejuang; Berjuang Lewat Bahasa


Pare adalah sebuah kota kecamatan di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, terletak kira-kira 30 Km ke arah selatan Tebuireng. Kecamatan ini bagaikan mentari yang menyinari alam. Para pencari ilmu bahasa, terutama Bahasa Inggris, setiap tahun terus berdatangan tiada henti. Mereka berasal dari kalangan pelajar tingkat SMP, SMA, mahasiswa S1 atau S2, serta para calon TKI/TKW. Tujuan mereka beraneka ragam; ada yang ingin mencari pekerjaan, ingin mendapat beasiswa ke luar negeri, sekedar mengisi waktu, dan banyak lagi.
Kini, Desa Tulungrejo—yang merupakan ”desa bahasa” di Kecamatan Pare telah ramai dipenuhi tempat-tempat kursus, baik kursus Bahasa Inggris, Arab, Jepang, hingga Bahasa Jerman. Tempat kursus tertua dan terbesar adalah B.E.C (Basic English Course). Hampir semua tempat kursus di Pare, memiliki hubungan ”genealogis” dengan B.E.C.
Secara ekonomis, keberadaan tempat-tempat kursus tersebut sangat membantu mingkatkan taraf ekonomi masyarakat sekitar. Keberhasilan semacam ini tidak lepas dari peran seorang pejuang keras bernama Mr Kalend’O.
Untuk mengenal lebih jauh sosok beliau, maka M. Mahmud dari Majalah Tebuireng, menemui laki-laki berperawakan sedang tersebut di kediamannya (Senin, 24/10). Berikut hasil wawancaranya:

Bagaimana metode belajar bapak ketika masa-masa belajar?
Ketika saya masih mondok di Gontor, orang yang bisa bicara Bahasa Inggris tidak lebih dari 25%. Padahal jumlah santri saat itu mencapai 1800 orang. Nah, melihat jadwal yang begitu padat dengan kondisi yang ada, rasanya sangat tidak mungkin saya bisa berbahasa Inggris. Makanya (setelah itu) banyak teman yang heran (dan bertanya), kenapa Anda bisa bahasa inggris?
Beruntunglah saya mempunyai rasa tanggung jawab tentang hal yang akan datang (masa depan). Saya khawatir, begitu pulang ke Kalimantan (beliau kelahiran Kalimantan Timur, Red.), ada tamu asing datang. Lalu orang bilang, tuh tanya sama alumni dari Gontor, dia pandai Bahasa Inggris. Pikiran-pikiran seperti itu saya utarakan kepada 3 orang teman yang berasal dari Kalimantan.
Akhirnya kami berempat menemukan waktu yang bisa di pakai belajar bersama. Pertama, waktu setelah salat maghrib, ditambah ngaji al-Qur’an setengah jam. Waktu tersebut kami gunakan semaksimal mungkin untuk latihan dan menganalisa Bahasa Inggris, di saat orang lain pergi makan ke dapur Jabo. Tapi resikonya, kami sering kehabisan makan. Apalagi lauk-pauknya, kami harus berkorban uang untuk beli supermi sebagai gantinya.
Kedua, waktu libur hari Jum’at. Yaitu pagi dan sore harinya kami gunakan untuk latihan, di saat teman-teman lagi sibuk berolah-raga, atau pergi ke kota Ponorogo untuk jalan-jalan. Jadi kami mempunyai banyak waktu luang asal mau mencarinya. Eman banget kalau waktu terbuang percuma oleh hal-hal yang tidak perlu. Banyak teman bertanya, ”Kamu kok nggak kelihatan mencuci? Apa dicuci ke penatu?” Jawab kami, ”Oh, kami nyuci sendiri. Tiap kali mandi, kami bawa pakaian kotor, kan itu lebih hemat waktu.”
Waktu terus berputar seiring peredaran matahari. Lama-kelamaan banyak diantara teman kami yang tertarik dan ikut bergabung dengan kami. Saat itu ada sekitar 200 orang yang ikut bergabung. Kelompok kami diberi nama Borneo Club, sesuai dengan daerah asal kami berempat, yaitu Kalimantan. Meskipun demikian, banyak di antara anggota kami yang tidak berasal dari Kalimantan. Kami menerapkan aturan peraturan tidak boleh membawa nama kelas atau nama daerah di Borneo Club. Untuk keperluan belajar, kami memakai gedung Kompleks Sholihin atas izin ketua pengelola. Kadang-kadang kami juga memakai Gedung Satelit, sebuah masjid milik orang kampung.
Dalam proses belajar, kami tidak memakai guru pembimbing karena memang tidak ada guru yang bersedia meluangkan waktu istirahatnya untuk kami. Yang menjadi pembimbing kami adalah buku yang dipelajari bersama.

Sejak kapan Bapak tinggal di Pare dan apa penyebabnya?
Pada waktu saya duduk di kelas lima, adik saya yang membiayai keperluan mondok saya terkena PHK, karena perusahaan pengeboran yang mengerjakannya tutup dan pindah ke daerah lain. Saat itu saya mendengar kabar bahwa di Pare ada seorang tokoh bernama K.H. Ahmad Yazid yang menguasai 9 bahasa asing dengan sempurna. Saya sangat tertarik untuk belajar kepadanya. Saya datang ke beliau untuk menjadi muridnya, dan alhamdulillah saya diterima. Dari beliau, saya mendapatkan banyak hal tentang Bahasa Inggris. Hal yang tadinya tidak saya ketahui, melalui beliau bisa saya ketahui.
Di saat saya belajar, ada dua orang mahasiswa dari IAIN Surabaya bertamu ke mbah Yazid, dengan tujuan ingin belajar Bahasa Inggris. Berhubung mbah Yazid sedang berada di Majalengka, Jawa Barat, di rumah mertuanya, maka ibu Yazid menunjuk saya (untuk mengajari mereka). Bu Yazid berkata kepada dua orang mahasiswa itu, ”Kalau ingin balajar Bahasa Inggris, tuh sama orang Gontor,” sambil menunjuk pada saya. ”Dia bisa mengajari kamu.”
Akhirnya kami bertiga sepakat untuk belajar bersama. Saya bertanya kepada dua orang mahasiswa tersebut, bahan apa yang Anda siapkan untuk belajar Bahasa Inggris? (Mereka menjawab), ”Oh, kami nggak bawa buku pedoman. Yang kami bawa cuma 350 soal yang diberikan oleh dosen kami,” kata mereka sambil menyodorkan (soal-soal tersebut). Mereka berkata, ”Kata dosen kami, 'jika kalian ingin lulus ujian negara, kalian harus bisa mengerjakan soal-soal ini dengan benar. Nggak usah betul semua. Cukup 70% kalian kerjakan dengan benar, kalian sudah lulus.'”
Maka kami bahas soal-soal itu, dan alhamdulillah 60% terjawab tanpa buku, dan sisanya kami kerjakan dengan membuka sekitar 12 buku Bahasa Inggris. Akhirnya semua soal terjawab 100%.
Waktu terus berjalan dan ujianpun telah tiba. Ketika pengumuman hasil ujian, alhamdulillah dua mahasiswa tersebut lulus dengan sempurna. Mereka kemudian datang lagi ke Pare menemui saya. Saat itu sedang banyak anak SMA berkumpul di serambi masjid. Lalu mahasiswa tersebut menceritakan kepada anak-anak SMA itu tentang keberhasilannya dalam ujian. Mereka memberikan semangat sambil berkata, ”Kalian semua sangat beruntung sekali bisa dekat dengan orang pandai Bahasa Inggris. Sangat sayang sekali bila kalian tidak memanfaatkan waktu untuk belajar kepada orang Gontor ini.”
(Setelah peristiwa itu), maka ramailah anak-anak SMA ingin belajar Bahasa Inggris. Tidak lama setelah itu, datang pula orang-orang dari luar Pare; mereka saling memberi tahu satu sama lain.
Pada tanggal 15 Juni 1977, mereka mengajukan usul kepada saya, gimana kalau kelompok belajar ini diberi nama, agar ketika kami datang ke sini (Pare, Red) merasa senang dan berkesan. Setelah saya pikirkan, akhirnya saya menemukan nama yang mudah di hafal, yaitu B.E.C. (Basic English Course); sebuah nama yang sangat sederhana dan mudah untuk dipertanggungjawabkan, baik untuk gurunya atau muridnya. Karena arti B.E.C. itu adalah sebuah program dasar untuk yang mau belajar Bahasa Inggris. Kalau banyak kesalahan, itu hal yang wajar. Namanya pemula. Dalam sistem sekolah diniyah, program ini setingkat dengan ibtida'iyyah.
Setelah satu tahun saya memberi kursus, saya mendapatkan jodoh orang Pare asli. Tempat belajar kami pun pindah dari serambi masjid ke kelas yang sangat sederhana dan kurang kondusif untuk belajar. Tempatnya di dekat rumah saya.
Pada tahun 1966, mertua saya memberikan seluruh tanah (seperti yang ada sekarang ini) kepada istri saya. Maka saya yang bertanggung jawab membangun tempat ini, agar ada manfaatnya untuk beliau.

Bagaimana tanggapan masyarakat sekitar atas keberadaan tempat kursusan ini?
Pada tahap awal memang terasa sangat sulit. Tidak semua orang senang dengan hal ini. Banyak ucapan yang melecehkan diungkapkan kepada saya, baik secara langsung atau dari orang lain. Mereka bilang, ”Aneh, di kampung kok ngajar Bahasa Inggris?”
Tapi mereka tidak bisa berkutik karena almarhum mbah Yazid sering datang ke sini (B.E.C.). Kadang-kadang ada kiai yang datang ngomong, ”Katanya Anda alumni Gontor? Kenapa nggak bikin pondok aja? Kan, lebih pantas?”
Jawab saya dengan bahasa yang sedikit diplomatis, ”Oh, kemampuan ilmu agama saya belum cukup untuk memimpin sebuah pondok. Jadi mungkin bagian saya di Bahasa Inggris. Sebagaimana bapak ketahui, orang mau mondok itu biasanya dasar agamanya sudah ada, walaupun sedikit. Nah, dengan kursus ini saya akan menghadapi orang-orang yang tidak punya ketertarikan terhadap agama, yang biasanya lebih senang dengan hal-hal yang bersifat umum.

Apa rancangan Bapak untuk pengembangan ke depan?
Rancangan saya adalah Istiqomah, berkarya, dan membangun. Itu enak sekali. Namun kita perlu sadar, bahwa beban terberat dari hasil karya kita adalah mensyukurinya. Banyak orang bisa membangun dengan sangat mudah, tetapi setelah itu mereka lupa mensyukurinya. Akhirnya perjuangan membangun terasa kurang bermanfaat.

Apa pesan bapak terhadap para pelajar sekarang?
Tiada waktu tanpa belajar. Utamakan beli buku dari pada beli pakaian. Kita jangan hiraukan tanggapan orang, ”Buat apa beli buku banyak-banyak, kalau nggak sempat membaca?” Kelihatannya ucapan tersebut benar. Tapi perlu kita ketahui bahwa kita hidup tidak sedirian. Banyak orang-orang setelah kita mati, yang membutuhkan buku untuk dibaca. Apakah kita tidak ingin beramal dengan hal yang mulia ini (memberi/mewariskan buku)? Dan perlu diingat pula, dengat membeli buku, secara tidak langsung kita telah dekat dengan pengarang buku tersebut.

Biodata:
Nama              : Mr kalend
Lahir               : 20 Pebruari 1945, Kutai Kalimantan Timur
Istri                 : Siti Fathimah
Anak               : Syamsul Rijal
  Nur Halimah
  M. Fuad Al Muttaqin
Pendidikan    : SR Kutai
  PGA Kalimantan Timur
  Gontor 1 Ponorogo
Pekerjaan       : Direktur BEC 

0 comments: