WALI ALLAH MENYAMAR MENJADI SATPAM
Pada abad ke-2 H / ke-8 M, ada dua orang yang
telah mencapai derajat “kewalian”. Tetapi keduanya sama-sama ingin
menyembunyikan derajat yang mereka nikmati itu, agar mereka terhindar dari
godaan popularitas (sum‘ah), pemujaan dan pengkultusan (riya>’
wa taqdi>s). Sebab, menurut mereka, jenis-jenis penyakit tersebut
akan menggerogoti derajat “wali Allah” yang tengah mereka nikmati.
Salah satu cara untuk menghindari
terbongkarnya “rahasia” itu adalah pengembaraan. Sebab, jika mereka menetap
dalam satu tempat, cepat atau lambat, masyarakat akan mengetahuinya. Jika
masyarakat sampai mengetahui, keduanya akan dipuja-puja dan dikultuskan. Jika itu yang terjadi dan
mereka menikmati serta menerima pemujaan itu, maka derajat kewalian mereka akan
tercabut. Dalam arti tiada arti apa-apa di sisi Allah. Mereka akan menjadi
“wali formalitas” yang hanya diakui oleh masyarakat. Tetapi “kosong melompong” di sisi Allah.
Kedua orang tersebut bernama Ibra>hi>m bin Adham
(w.161 H) dan Syaqi>q Al-Balkhi> (w.194 H). Kedua orang ini belum saling mengenal,
walaupun berasal dari satu kota. Marilah kita ikuti dialog dan perjalanan hidup
mereka yang penulis kemas dalam bentuk dialog dalam seni drama, dengan
tokoh-tokoh pelaku :
1.
Ibra>hi>m
bin Adham (IA)
2.
Syaqi>q
Al-Balkhi> (SB)
3.
Ma’t}u>q
(MT)
4.
Abu>
Isma>‘i>l, nama samaran Ibra>hi>m
bin Adham (AI)
5.
Tuan Putri (TP)
6.
Perempuan Miskin (PM).
Ibra>hi>m
bin Adham (IA) : Assalamu’alaykum.
Syaqi>q Al-Balkhi> (SB) : Wa ‘alaykum salam,
perasaan saya berkata Anda berasal dari Khura>sa>n.
IA : Ya. Betul , saya dari Khura>sa>n.
SB : Saya juga dari Khurasan, tepatnya dari Desa Balakh. Anda
tahu Desa Balakh?
IA : Saya dari Balakh.
SB : (Serta merta keduanya berpelukan)
Betapa gembira hati saya bertemu dengan orang sebangsa dan sekampung. Anda
mengembara di bumi Allah ?
IA : Yah... Saya ini faqi>r, untuk mencari sesuap nasi.
SB : Kenapa Anda tidak tinggal di kota Thort{u>s saja ?
IA : Di kota ini saya tidak mendapatkan
pekerjaan. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk menjadi pengembara.
SB : Jika Anda tidak mendapatkan pekerjaan
di kota T{artu>s,
maka Anda tidak akan menemukan pekerjaan di tempat lain.
IA : Anda bermukim di kota Thort{u>s ?
SB : Tidak, tetapi saya punya banyak teman
dan kenalan di kota itu. Jika Anda suka, Anda bisa kembali ke sana. Insya
Allah, saya akan memberi petunjuk agar Anda mendapatkan pekerjaan sesuai dengan
yang Anda inginkan.
IA : Terima kasih ...Apakah Anda juga
meninggalkan kota Khura>sa>n
demi mencari sesuap nasi ?
SB : Saudaraku ... Rizki itu ada di semua
tempat, termasuk di Balakh.
IA : (Ibra>hi>m
tersenyum, sebagai ekspresi kepercayaan diri, setelah mendengar ungkapan Syaqi>q yang terakhir,
seraya berkata): Untuk apa Anda mengembara ?
SB : Saya mencari jalan.
IA : Jalan menuju Allah ?
SB : Ya ... Itulah yang saya cari.
IA : Anda ini bagaimana ? Allah itu kan ada
di semua tempat, termasuk di Balakh.
SB : Anda benar, tetapi untuk mencapai-Nya
memerlukan perjuangan (muja>hadah)
dan pengembaraan (siya>h}ah)
dari orang yang menginginkannya (at}-t}a>lib).
IA : Ohh ... Berarti Anda termasuk golongan
para pejuang yang mengembara.
SB : Aku berharap Allah dapat mengabulkan
dan dapat memberi kekuatan untuk melakukan ibadah kepada-Nya (tawfi>q-Nya).
II
IA : Saya pernah mendengar petuah orang-orang s}a>lih} yang menyatakan
bahwa seseorang yang beramal dengan penuh keikhlasan, pasti Allah menerimanya,
sekaligus memberi tawfi>q
kepadanya.
SB : Petuah itu benar. Kami memohon kepada
Allah, mudah-mudahan Dia menganugerahkan ikhla>s}
pada kami.
IA : Saudaraku.…Aku juga pernah mendengar
bahwa Allah tidak akan menganugerahkan ke-
ikhla>s}-an, kecuali kita ini sudah benar-benar ikhla>s}.
SB : Ini mutiara kata yang bagus dan sangat
berharga. Sekarang aku yakin Anda ini termasuk golongan orang yang menjauhi
dunia (az-za}hidi>n).
Anda seperti saya, pengembara untuk mencari jalan.
IA : Saya sedang berjalan di atas “jalan”
itu.
SB : Jika Anda berkenan, saya menasehati
Anda untuk menjauhi “penipuan”.
IA : Kadang-kadang penipuan itu menuduh
orang lain melakukan penipuan.
SB : Mulai kapan Anda berjalan di atas
“jalan” itu ?
IA : Sejak tujuh tahun yang lalu.
SB : Oh ... Berarti “perjalanan” Anda itu
terkontaminasi (terkotori).
IA : Dan Anda sendiri, sejak kapan ?
SB : Sejak dua puluh tahun yang lalu. Sampai
saat ini saya masih saja berada di awal “perjalanan”.
IA : Allah berfirman : وان يوما عند ربك كألف سنة مما
تعدون
“Satu hari di sisi Tuhanmu seperti seribu
tahun dalam hitungan Anda”.
SB : Apakah Anda berkenan aku bertanya terus
terang pada Anda ?
IA : Anda ingin menguji diriku ?
SB : Jika Anda berkenan dan memberi izin.
IA : Lakukan, tidak apa-apa !
SB : Apa yang Anda ketahui tentang syukur
dan sabar ?
IA : Apakah Anda berkenan jika aku ingin
mendengarkan pendapat Anda terlebih dahulu ?
SB : Jika kebutuhan kita terpenuhi, kita harus
bersyukur. Jika tidak, kita harus bersabar.
IA : Saudaraku ... Itu tidak ubahnya seperti
etika anjing di kampung Balakh. Jika anjing itu menemukan makanan, ia
bersyukur. Tapi jika tidak, ia bersabar.
SB : Lah ... Bagaimana pengertiannya menurut
Anda ?
IA : Jika kita menemukan kenikmatan, kita
sisihkan sebagian besarnya pada orang lain. Tapi jika kita tidak menemukan
kenikmatan itu, kita selayaknya bersyukur.
SB : (Ketika mendengar jawaban terakhir ini,
wajah Syaqi>q
tampak bersinar menampakkan kegembiraan, seraya berteriak) Allah ... Allah ...
Allah ... Andalah yang selama ini saya cari ke sana kemari. Alhamdulillah,
Allah telah memberi petunjuk padaku untuk bertemu dengan Anda. Anda pasti Ibra>hi>m bin Adham.
IA : (Secara mendadak wajah Ibra>hi>m berubah
seraya berkata) Pasti Anda ini Syaqi>q
Al-Balkhi>.
SB : Mengherankan, bagaimana Anda dapat
mengenal diriku ?
IA : Yah ... seperti Anda dapat mengenal
diriku.
SB : Jangan ngomong begitu ! Ibra>hi>m, aku ini
tidak seperti Anda. Anda orang populer.
IA : Mudah-mudahan Allah menghancurkan
lisan. Manusia itu dapat rusak karena ulah lisannya.
SB : Lisan adalah sarana untuk bertasbih dan
bersyukur pada Allah.
IA : Apa guna dan manfaat lisan yang
bertasbih, jika hati tidak ikut bertasbih.
SB : Allah ... Allah ... Allah ..., Tuanku !
Izinkanlah diriku untuk menemani dan selalu bersama Anda.
IA : Sebaliknya ... Izinkanlah diriku untuk
dapat pamit dan meninggalkan diri Anda.
SB : Tuanku, kenapa Anda bersikap begitu ?
Apakah karena aku mengenal tuan ?
IA : Ya .... begitu.
SB : Jangan khawatir, tuan. Ia berjanji
untuk menyimpan rapat-rapat rahasiamu itu. Insya Allah tak seorang pun dapat
mengenal kondisi derajat Anda.
IA : Apakah Anda ingin selalu bersamaku ?
SB : Tidak ... saya tidak akan selalu
bersama Anda. Aku sudah merasa berbahagia jika sewaktu-waktu kita dapat bertemu
dan berkumpul. Aku tahu Anda selalu berpindah-pindah dari suatu tempat ke
tempat yang lain, agar tak sorang pun yang mengetahui kondisi derajat Anda.
IA : Ya ... betul demikian.
SB : Saya akan membantu Anda untuk
bersembunyi dan menyamar, Insya Allah ... tak seorang pun dapat mengenal Anda.
Mari kita berangkat ke kota T{artu>s.
Di kota ini saya akan mencarikan pekerjaan yang layak untuk Anda.
IA : Sebaliknya, Anda tidak memanggil diriku
dengan nama asliku.
SB : Kalau begitu, saya harus memanggil nama
siapa ?
IA : panggillah diriku Abu> Isma>‘i>l
Al-Khura>sa>ni>.
SB : Abu>
Isma>‘i>l, jenis pekerjaan apa yang Anda senangi ?
IA : Yah ... pekerjaan apa saja boleh yang
penting pekerjaan itu tak terlalu banyak berkumpul dengan banyak orang dan
tidak menggangu diriku untuk berzikir pada Allah.
SB : Aku punya kenalan pemilik sebuah kebun
di suatu daerah. Bagaimana jika Anda bekerja sebagai satpam di kebun itu ?
IA : Itu pekerjaan bagus. Mari kita pergi ke
sana !
III
Akhirnya dua
orang hamba Allah ini sampai ke kebun yang di tuju, kebun luas yang dipenuhi
dengan pohon-pohon pilihan seperi kurma, t}i>n,
zaytu>n, delima
dan lain-lain. Di tengah kebun tampak sebuah bangunan dengan arsitektur Romawi,
yang sangat indah dan kokoh. Itulah istana pemilik kebun. Di dekat pintu kebun
berdiri sebuah bangunan kecil tempat satpam penjaga kebun ini.
Setelah dapat
menikmati keindahan kebun dan istana megah ini, mereka terlibat dalam
pembicaraan sebagai berikut :
SB : Abu>
Isma>‘i>l, bagaimana kondisi dan suasana tempat ini menurut Anda ?
AI : Sungguh bagus tempat pilihan Anda ini.
Mudah-mudahan Allah membalas budi baik Anda.
SB : Kalau begitu, izinkan diriku untuk
pergi.
AI : Duduklah sebentar!. Kemudian Ibra>hi>m menyuguhi
sepotong roti. Ayo temani diriku untuk menyantap roti ini. Mari. Mari silahkan
makan !
SB : Ya ... terima kasih Abu> Isma>‘i>l
(kemudian Syaqi>q
pergi).
AI : Al-Hamdulillah, saya sekarang dapat
tinggal di sini selama dikehendaki Allah. (Kemudian ia mulai makan roti).
(Tiba-tiba
muncul seorang wanita tua di depan pintu kebun).
Wanita :
Tuan, aku ini musafir. Bekalku sudah habis. Aku haus dan lapar. Berilah aku
makanan seperti makanan yang telah Allah berikan pada Anda.
AI :
Ambillah Bu ... ini rizkimu. (Ibra>hi>m
memberikan sepotong roti pada wanita tua itu).
Wanita :
Tambah lagi setengah potong ! Agar jiwa Anda menjadi tentram.
AI : Maaf, dan ampunilah diriku Bu. Aku
tak punya lagi. Hanya roti itu milikku.
Wanita : Berilah aku buah-buahan !
AI : Maaf Bu, aku tak punya buah !
Wanita : Lah ... kebun ini milik siapa ?
AI : Ini milik majikanku. Disini,
kedudukanku tak lebih dari seorang satpam.
Wanita : Apakah Anda takut pada majikanmu, jika Anda
memetik satu buah atau satu tangkai anggur saja untukku ?
AI : Yah ... bagaimana ya ... oh.
Sebaiknya ibu kembali lagi kemari besok. Akan kuberi Anda buah-buahan tentu
setelah minta izin pada pemiliknya.
Wanita : Besok ? Andaikan saya dapat menunggu sampai
besok, tentu aku tak akan menengadahkan tangan untuk mengemis. Anak-anakku di
rumah sangat menderita; karena kelaparan
AI : Tunggu sebentar (kemudian Ibra>hi>m pergi
menghilang. Tiba-tiba ia kembali dengan membawa dua buah apel dan satu tangkai
anggur. Lantas ia memberikannya pada wanita tua itu.
Wanita : Terima kasih, Anda pasti akan mendapatkan
pembalasan yang lebih baik.
AI : (Ia berkata dalam hati, “harga dua
buah apel dan satu tangkai anggur itu, kukira tak lebih dari satu dirham. Yah
... nanti akan kubayar harganya satu dirham setengah, sebagai realisasi
kehati-hatian saya).
IV
AI : Tuanku ! Ambillah uang satu setengah
dirham ini.
Ma’t}u>q: Untuk apa
ini Ab>u
Isma>‘i>l.
AI : Harga dua buah apel dan kurma yang
terlanjur saya ambil kemarin.
MT : Anda mengambil buah di kebun ini tiap
hari, kemudian membayar nilai harganya padaku. Demi Allah aku tak mngerti,
apakah status Anda ini satpam, penyewa atau pedagang ?
AI : Tuanku ! Statusku di sini sebagai
satpam..
MT : Dengar, Isma>‘i>l
! Jika Anda ingin buah yang ada, ambil dan makanlah ! Jangan berfikir
macam-macam !
AI : Jangan begitu, tuan ! Sebab, cara
demikian, saya anggap tidak halal.
MT : Sudah ... sudah kuizinkan itu untuk
Anda.
AI : Saya belum tahu, apakah tuan besar
putri pemilik kebun ini akan marah, ketika mengetahui tingkah dan aksi kita ini
?
MT : Apa urusanmu dengan tuan besar putri ?
Otoritas urusan kebun sudah diserahkan sepenuhnya kepada saya.
AI : Yah ... bagaimana pun, saya harus
mengucapkan terima kasih. Tapi ... maaf, seribu maaf, biarkan diriku punya
sikap yang mandiri.
MT : Yah ... tidak apa-apa, silahkan Anda
bersikap sesuai hati nurani Anda. Oh .... ya, sebelum saya lupa. Dengar ! Tuan
putri bersama beberapa teman dekatnya hari ini akan mengunjungi kebun ini.
Mereka itu adalah tokoh masyarakat dan orang terhormat. Oleh karena itu,
siapkan penghormatan pada mereka dengan mengumpulkan beberapa buah apel,
anggur, delima dan lain-lain .............. Cari dan pilihlah buah yang terbaik
di kebun ini !
AI : Siap ........ Tuan ! (Ibra>hi>m langsung
masuk ke dalam kebun mencari buah yang terbaik).
MT : (Ia bergumam dan berbicara dalam hati)
Ia pasti mengira bahwa diriku akan menyerahkan uang dirham ini kepada Tuan
putri. Betapa tololnya dia ! Tetapi,
siapa tahu, ia sebetulnya sudah mengambil buah yang lebih banyak dibanding
dengan nilai uang dirham ini ? Kemudian ia menunjukkan sikap dan gaya orang
bersih untuk menipu dan mengelabui saya............... Tapi bagaimana
............. ya ia taat beribadah, tekun shalat dan selalu berdzikir. Ah
....... bisa-bisa itu hanya tipu daya. Dasar syetan.
V
Tamu
I : Buah-buahan ini produksi
kebunmu ?
Tuan
Putri : Ya ... Buah produksi kebun ini
adalah yang paling baik dan paling berkwalitas dari sekian kebun yang ada di
kota T{artu>s.
Tamu
II : (Makan buah, tiba-tiba berhenti)
dan berkata : “Rasa buah ini kecut sekali.”
TP : Kecut !?
Tamu
I : Anda tidak percaya ? Coba
cicipi sendiri !
Tamu
II : Ayo cicipi buah ini !
TP : (Mencicipi apel dan anggur,
lalu dengan muka marah ia bangkit) dan berkata : “Kurang ajar betul asistenku
ini. Ia menyuguhkan diriku dan tamuku buah-buahan yang belum matang. (Kemudian)
berteriak , ...Ma’t}u>q,
...Ma’t}u>q, kemari
kau !
MT : (Ia masuk mendekati tuan putri)
dengan sigap ia berkata : “Menunggu perintah!”
TP : Buah macam apa yang Anda
suguhkan pada tamu-tamuku. Anda memang tolol, tak masuk akal, apel dan anggur
kecut yang disuguhkan. Yang manis dan yang baik telah Anda makan sendiri dan yang kecut Anda suguhkan pada tamu ?
Sungguh keterlaluan !
MT : Maaf ..... maaf tuan putri.
Sebetulnya satpam yang memetik buah itu.
TP : Celaka dan tolol kau !
Bagaimana urusan penting kayak ini, Anda percayakan pada satpam. Mengapa tak
Anda lakukan sendiri ?
MT : Sungguh aku tak mengira, bahwa
dia tak bisa memilih buah yang baik.
TP : Anda yang ikut
bertanggung-jawab terhadap perbuatan dan perilaku satpam itu. Bukankah Anda
sendiri yang mengusulkan, dan menentukan pekerjaan ini untuk satpam itu ?
MT : Betul tuan, sebab menurut
informasi yang kuterima dan penilaianku ia orang baik dan jujur.
TP : Panggil dia sekarang !
MT : Baik tuan putri. (Ma’t}u>q segera
keluar).
TP : (Ia memilih buah yang baik dari
sekian buah yang ada dalam piring). Kemudian berkata : “Fat}i>mah, makan yang ini, dan Kha>dijah, makanlah
anggur dari tangkai ini !
VI
TP : Anda yang menyiapkan buah-buahan untuk para tamu ?
AI : (........ gemetar karena takut dan
malu, ia tak mau menatap lawan bicaranya) Ya .... tuan putri.
TP : Apakah Anda sengaja ingin mempermalukan diriku di depan para
tamu, dengan cara menyuguhkan apel dan anggur yang kecut ?
AI : ........ ma‘a>dzalla>h
(mohon perlindungan Allah) tuan putri, jika saya punya niatan dan maksud
sejelek itu !
MT : Apakah Anda tak meneliti ulang agar dapat diketahui secara
meyakinkan, bahwa buah pilihan Anda itu adalah buah yang terbaik ?
AI : Saya kira, itu sudah saya lakukan.
Tapi, mungkin pilihanku salah.
TP : Kurang ajar ....! Berarti Anda mengangkat satpam yang tak
bisa membedakan antara buah yang manis dan yang kecut.
MT : Tua putri ... sangat tidak masuk akal,
satpam ini tak bisa membedakan antara yang manis dan yang kecut. Sebab, ia
sudah satu setengah tahun ia bekerja di kebun ini. Anak kecil saja, jika punya
penngalaman kerja satu tahun setengah pasti dapat membedakan.
AI : .......Saya ....Saya .......
TP : Anda ini mau ngomong apa ? Bicaralah !
AI : Saya sama sekali tak pernah mencicipi
satupun buah yang ada di kebun ini.
TP : Selama satu tahun setengah, anda tak pernah mencicipi
(serentak tuan putri dan para tamu tertawa). Mereka kagum terhadap satpam nyleneh
ini.
MT : Abu>
Isma>‘i>l kukira Anda seorang yang saleh. Apa yang mendorong Anda
untuk berbohong ?
TP : Sungguh ini pembohong besar, penipu lagi. Satpam macam apa
ini ?
AI : Demi Allah, saya tidak berbohong.
MT : Jawaban Anda ini menambah kebohongan lagi. Tuan putri ia
sering minta agar saya mau memotong 1-3 dirham dari gaji bulanannya untuk
membayar harga buah yang ia ambil di kebun ini beberapa hari yang lalu.
Bagaimana mungkin sekarang ia mengaku tak pernah mencicipi (apalagi makan)
sedikitpun dari buah di kebun ini ?
TP : Hai satpam yang baik apa jawaban Anda terhadap kenyataan ini
?
Para tamu yang
seluruhnya perempuan itu tertawa terbahak-bahak, selanjutnya berkata, kasihan
satpam ini ! jika ia tak layak untuk jadi satpam, maka pekerjaan apa yang layak
untuknya.
AI : Tuan putri, maafkan aku ! Segala
kealpaan dan kesalahan yang pernah kuperbuat itu terjadi tanpa disengaja.
TP : Ma’t}u>q
! Pergilah dan lunasi gajinya.
MT : Abu>
Isma>‘i>l, kemari ! Kemudian keduanya keluar dari arena
“pengadilan” terbuka itu.
VII
Akhirnya Syaqi>q
Al-Balkhi> menjumpai Ma’t}u>q,
setelah ada kabar bahwa Ibra>hi>m
bin Adham yang mengunakan nama samaran Abu>
Isma>‘i>l dipecat dari pekerjaannya sebagai satpam.
MT : Saya bersumpah, kami tidak memecatnya.
Tetapi dia sendiri yang minta untuk meninggalkan pekerjaannya.
SB : Pasti Anda “bertingkah” atau Anda menyakitinya, sehingga dia
tidak betah bekerja di sini.
MT : Oh ... tidak ! Bahkan sebaliknya dialah
yang mempermalukan tuan putri pemilik kebun ini, di hadapan para tamu
terhormatnya. Demi Allah ...... Andaikan bukan Anda yang memberi rekomendasi,
niscaya ada perhitungan lain yang harus saya perbuat terhadapnya.
SB : Anda mengira bahwa dia berbohong, ketika dia berkata, bahwa
dirinya sedikitpun tak pernah “mencicipi” rasa buah yang ada dikebun ini ?
MT : Saya tidak hanya mengira, tapi sangat
yakin bahwa ia berbohong
SB : Ma’t}u>q,
Anda belum mengenal “orang itu”. Andaikan semua orang di bumi ini sepakat untuk
berbohong, pasi orang ini tak akan mau untuk ikut berbohong.
Di
dekat pintu kebun tampak seorang wanita miskin yang memandang sekaligus
mendengarkan percakapan MT dan SB.
MT : Hai perempuan, Anda perlu apa ?
PM : Saya akan menunggu, sampai dia datang.
MT : Siapa ia itu ?
PM : Yah ..... siapa lagi, ya satpam itu !
MT : Perlu apa Anda padanya ?
PM : (Ia gemetar) tidak apa-apa ...... hanya sampai dia datang.
SB : Ibu, ungkapkan perasaanmu ! Jangan takut. Saya ini teman
akrab satpam itu.
MT : Apakah satpam itu pernah memberikan buah
dari kebun ini pada Anda ?
PM : Betul ..... tuan, mudah-mudahan Allah
yang membalasnya. Di mana satpam itu tuan ?
MT : Tunggu sebentar ! (Ma’t}u>q menghilang
sebentar)
PM : Berkata kepada Syaq>iq, tuan, kemana satpam yang baik
itu ?
MT : Ma’t}u>q
datang dengan membawa beberapa buah dan langsung memberikan kepada PM, dengan
berkata : Ambillah !
PM : Apakah satpam itu menyuruh Anda untuk
memberikan buah ini ?
MT : Ya .... betul.
PM : Mudah-mudahan Allah yang membalas jasa
baik satpam itu, juga pada Anda berdua. Sebab, anak-anakku yang ditinggal mati
ayahnya itu akan sangat gembira melihat dan memakan buah ini ! (Kemudian PM itu
pergi).
SB : Kawan, bagaimana pendapatmu sekarang ?
Sungguh banyak berkah dan kebaikan lewat begitu saja ! Karena Anda membiarkan
satpam itu pergi meninggalkan Anda. Tahukan Anda, siapa sebetulnya satpam itu ?
MT : Siapa ?
SB : Dialah .... Ibra>hi>m bin Adham, waliyullah
yang kesohor itu ?
MT : Ibra>hi>m
bin Adham ?
SB : Ya ...... betul Ibra>hi>m bin Adham.
MT : Sungguh akan saya cari dia, dan akan
saya ajak untuk kembali bersama kami.
SB : Percuma, Anda akan capek ! Anda tak
akan menemukannya. Ia pasti sudah meninggalkan kota ini dan pergi ke kota lain.
MT : Tuanku mengapa Anda tak memberi tahu
saya, sejak ia datang kemari.
SB : Andaikan ia tahu bahwa Anda telah
mengenalnya, tentu dia tak akan “senang” untuk tinggal bersama Anda. Walaupun
itu hanya satu jam.
MT : Menyesal dan sayang sekali aku baru tahu
ada “permata indah dan simpanan berharga”, setelah permata dan simpanan itu
hilang.*
Komentar terhadap Dialog
Penampilan dialog antara Ibra>hi>m
bin Adham dan Syaqi>q Al-Balkhi>, sebagai pemeran utama di atas,
adalah kisah nyata yang dikemas dalam bentuk drama. Kisah ini mengandung
pesan-pesan moral sebagai berikut :
1.
Esensi ajaran tas}awwuf
adalah pembersihan hati dari sifat-sifat tercela, agar seseorang dapat
“berkomunikasi” dengan Allah SWT Sang Pencipta alam semesta.
2.
Seorang yang sampai pada suatu maqa>m (tingkatan)
dalam ber-taqarrub pada Allah akan merasakan suatu kenikmatan yang
mendorong dirinya untuk meningkatkan maqa>m-nya
itu.
3.
Agar maqa>m
yang telah dicapai itu dapat meningkatkan, atau minimal dapat bertahan, maka ia
harus menghadapi beberapa godaan. Di antara godaan yang paling berat untuk
dihindari adalah riya>’
(rasa ingin dipuji manusia), uju>b
(bangga pada maqa>m
yang telah diraih),dan sum‘ah
(popularitas sebagai seorang waliyullah).
4.
Untuk menghadapi godaan di atas, maka seseorang
yang telah meraih maqa>m
tertentu dalam tas}awwuf,
akan selalu merahasiakannya. Ia ingin “kenikmatannya” itu hanya diketahui oleh
Allah dan para kekasih Allah yang lain. Dan ia tidak sudi rahasianya terbongkar
dan diketahui oleh orang-orang awam.
5.
Peraih maqa>m
dalam tas}awwuf
itu tidak terkait dengan suatu profesi. Ia dapat berprofesi sebagai buruh,
pedagang kaki lima, guru, kyai, pejabat dan lain lain.
6.
Peraih maqa>m
tertentu dalam tas}awwuf
oleh Allah dapat dianugerahi ah}wa>l
(kondisi psychologis, sebagai ekspresi kecintaannya pada Allah) dan kara>mah (kejadian
luar biasa yang tak dapat dilakukan oleh orang lain). Tapi ah}wa>l dan kara>mah itu sama
sekali tak menjadi tujuan. Karena itu ada juga para peraih maqa>m yang tak
dianugerahi ah}wa>l
dan kara>mah.
Anugerah “keridhaan dan kecintaan Allah”, baginya sudah cukup untuk memuaskan
dirinya.
7.
Seseorang yang berupaya, baik langsung atau tidak
langsung, agar dirinya dikenal sebagai wali Allah, maka jika ia betul-betul
mencapai maqa>m
tertentu, maka maqa>m
yang dicapai itu akan dicabut dan turun pada maqa>m di bawahnya, atau bahkan akan
dicabut oleh Allah SWT.
8.
Peraih maqa>m
dalam tas}awwuf itu
harus berlandaskan i>man
atau ‘aqi>dah
yang kuat berlandaskan i>ma>n
atau ‘aqi>dah
yang kuat serta konsisten dalam menjalankan syari>‘ah.
Jika ia melanggar ketentuan ini maka maqa>m
yang dicapai itu akan berbalik menjadi pangkat (maqa>m) untuk mendekatkan diri pada
kecintaan dan keridhaan syetan (waliyussyayt}a>n)
9.
Peraih maqa>m
dalam tas}awwuf
akan selalu hidup jujur, baik pada dirinya sendiri pada Allah dan Rasul-Nya,
pada manusia serta pada alam semesta. Jika ia hidup dengan kebohongan, maka maqa>m yang
dicapai itu akan dicabut turun pada maqa>m
di bawahnya, atau bahkan seluruh maqa>m
yang pernah dicapai akan dicabut jika ingin ber-taqarrub pada Allah,
ia harus memulai dari maqa>m
pertama lagi, yaitu tawbat.
* Sebagian besar teks dialog di atas adalah saduran dari Ali> Ah}mad Bakatsir, Min Fawq
Sab‘i Sama>wa>t.
0 comments: