Mahabbah : Sarana Menuju yang Kuasa (Studi Sufi Rabi’ah al-Adawiyah)

Dalam perkembanganya sebagai suatu aliran, mistitisme dalam Islam digunakan istilah “tasawuf”. Oleh para orientalis secara khusus diberikan nama “sufisme”. Nama tersebut hanya digunakan untuk mistitisme dalam agama Islam[1].
Ada beberapa teori tentang etimologi kata sufi, yaitu[2]:
1.      Ahl al-S{uffah, yaitu orang-orang yang ikut pindah dengan Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah, dan karena kehilangan harta, berada dalam keadaan miskin dan tak mempunyai apa-apa. Mereka tinggal di Masjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai pelana sebagai bantal. Pelana disebut s}uffah. Inggrisnya disebut saddle cushion dan kata sofa dalam bahasa Eropa berasal dari kata s}uffah. Sungguhpun miskin ahl al-s}uffah berhati baik dan mulia. Sifat tidak mementingkan keduniaan, miskin tetapi berhati baik dan mulia itulah sifat-sifat kaum sufi.
2.      S{aff pertama, sebagaimana dengan orang yang salat di s}aff pertama mendapat kemulyaan dan pahala, demikian pula kaum sufi dimulyakan Allah dan diberi pahala.
3.      S{u>fi> dari kata s}afa> dan s}afa yaitu suci. Seorang sufi adalah orang yang disucikan dan kaum sufi adalah orang-orang yang telah menyucikan dirinya melalui latihan yang berat dan lama.
4.      S}uf, kain yang dibuat dari bulu yaitu wol. Hanya kain wol yang dipakai kaum sufi adalah wol kasar dan bukan wol halus seperti sekarang. Memakai kain wol kasar pada waktu itu adalah simbol kesederhanaan dan kemiskinan. Lawannya adalah memakai sutra, oleh orang-orang yang mewah hidupnya di kalangan pemerintah. Kaum sufi sebagai golongan yang hidup sederhana dan dalam keadaan miskin, tetapi berhati suci dan mulia, menjauhi pemakaian sutra dan sebagai gantinya memakai wol kasar.
Nicholson menambah, bahwa beberapa sarjana Barat menyatakan kata sufi berasal dari kata Yunani sophos yang berarti hikmah (theosophist).[3] Menurut Harun Nasution, orang sufi betul ada hubungannya dengan hikmah, hanya huruf s dalam sophos ditransliterasikan ke dalam bahasa arab menjadi huruf sin bukan s}at, sebagaimana kelihatan dalam kata falsafah dari kata philosophia. Dengan demikian seharusnya kata s}u>fi> ditulis dengan sufi (dengan huruf sin) dan bukan s>ufi (dengan huruf s}at).[4] Kata sufisme apapun akar katanya, digunakan untuk menyebut orang-orang yang berminat mendalami pengetahuan batin. Sufi adalah orang yang menemukan jalan atau praktek menuju kesadaran dan pencerahan batin.  Namun jika memperhatikan beberapa pendapat diatas, nampaknya sufi itu hanyalah sekedar sebutan tanpa qiya>s. Kata sufi merupakan laqab atau panggilan kehormatan yang diberikan pada orang yang menjalankan ajaran sufi sebagaimana sebutan s}aha>bat yang diberikan  kepada orang yang beriman kepada Nabi dan pernah melihat beliau.[5]
Meski banyak definisi tasawuf yang telah diberikan dalam buku-buku berbahasa Arab ataupun Persi, yang terpenting bahwa tasawuf atau sufism itu tidak bisa ditegaskan dengan satu definisi saja. Jala>l al-Di>n Ru>mi>[6] dalam Masnawi-nya menceritakan  sebuah cerita tentang seekor gajah yang dipamerkan oleh beberapa orang Hindu dalam ruangan yang gelap. Mereka ingin melihat gajah tersebut, tapi karena tempat itu gelap mereka tidak bisa melihatnya. Lantas masing-masing mereka mengulurkan tangannya untuk mengetahui bentuk gajah itu seperti apa. Salah  seorang diantara mereka memegang belalainya dan menyatakan bahwa hewan itu seperti pipa air, yang lain ada yang memegang telinganya dan mengatakan bahwa itu adalah kipas yang besar dan yang lain memegang kakinya dan mengatakan hewan itu seperti pilar dan begitu seterusnya. Jadi siapapun yang mendefinisikan sufisme itu hanya bisa ia berikan untuk mengekspresikan pengalaman pribadi yang ia alami dan tidak ada teori yang dapat tersusun  dari tiap watak pribadi seorang dan memadukan rasa keagamaannya.[7] 
Ibrahim Basyuni mengatakan bahwa dirinya telah memiliki sebanyak 40 definisi yang diambil dari para pembahas ahli tasawuf yang hidup pada abad ke-3 Hijriyah, tepatnya antara tahun 200-334 H. namun menurutnya tidak didapati satu definisipun yang mencakup pengertian tasawuf secara universal. Hal tersebut dipengaruhi oleh definisi-definisi yang dikemukakan berdasarkan pengalaman batin masing-masing ahli dan bukan berdasarkan rasio (ilmiah) sebagaimana definisi yang dikemukakan oleh orang ahli filsafat.[8]
Selanjutnya dari beberapa definisi yang banyak itu ia kelompokan menjadi tiga katagori, yaitu : al-bida>yah, al-muja>hadah, dan al-maz}a<qah. Dia maksudkan dengan al-bida>yah, bahwa prinsip awal tumbuhnya tasawuf adalah sebagai manifestasi dari kesadaran spiritual manusia tentang dirinya sebagai makhluq Tuhan. Kesadaran itu mendorong para manusia – para sufi – untuk memusatkan perhatian untuk beribadah kepada Allah yang dibarengi dengan kehidupan askitesme atau zuhud, dengan tujuan untuk pembinaan moral. Kecenderungan kepada moralitas itu, mendorong mereka untuk mempercakapkan pengetahuan intuitif berikut sarana dan metodenya. Tindak lanjut dari perbincangan itu mengarahakan meeka kepada aspek-aspek yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan. Dari aspek ini tasawuf di definisikan sebagai upaya memahami hakikat Allah seraya melupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan kesenangan duniawi. Definisi lain mengatakan, bahwa tasawuf adalah usaha mengisi hati dengan hanya mengingat kepada Allah, yang merupakan landasan lahirnya ajaran hubb atau cinta ilahi.[9]      
Kalau dalam pencarian akar kata tasawuf sebagai upaya awal untuk pendefinisian tasawuf, ternyata sulit untuk menarik suatu kesimpulan yang tepat, kesulitan itu nampaknya berpangkal pada esensi tasawuf sebagai pengalaman rohaniyah yang hampir tidak mungkin dijelasakan secara tepat melalui bahasa lisan. Masing-masing orang yang mengalaminya mempunyai penghayatan yang berbeda dari orang lain, sehingga pengungkapanya juga melalui cara yang berbeda. Maka munculah definisi tasawuf sebanyak orang yang mencoba menginformasikanya. Ditambah lagi ciri tasawuf yang bersifat subjektif dan intuitif.
Terma tasawuf dikenal secara luas di kawasan Islam sejak penghujung abad ke-2 H, sebagai perkembangan dari keshalehan asketis (para za>hid) yang mengelompok di serambi masjid Madinah. Pola hidup kelompok ini, yang mengkhususkan diri untuk beribadah dan pengembangan kerohanian yang mengabaikan kenikmatan duniawi, merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang dengan pesat. Pola hidup asketisme ini paling tidak sampai abad ke-2 H dan memasuki abad ke-3 H sudah terlihat adanya peralihan konkrit dari asketisme ke sufisme yang ditandai antara lain oleh peralihan sebutan za>hid menjadi s}u>fi>.[10] Pengkajian dan percakapan para zahid pada waktu itu sudah sampai pada persoalan apa jiwa yang bersih itu, apa moral dan bagaimana metode pembinaannya serta perbincangan tentang teori lainnya. Perbincangan ini terus berlangsung hingga muncullah teori tentang jenjang-jenjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi (al-maqa>ma>t) serta ciri-ciri yang dimiliki seorang sufi pada tingkat tertentu (al-ha>l).[11]
Untuk dekat dengan tuhan seorang sufi harus menempuh jalan panjang yang di dalamnya terdapat stasiun (stage) atau dalam istilah arab disebut sebagai مقامات yaitu disiplin kerohanian yang ditujukan oleh seorang calon sufi dalam bentuk berbagai pengalaman yang diarasakan dan diperoleh dengan usaha-usaha tertntu.[12] Maqam-maqam tersebut berbeda susunanya antara sufi yang satu dengan yang lain bahkan menjadi sangat beragam dalam menentukan maqam-maqam dan susunanaya. Hal tersebut disebabakan oleh kecenderungan rohani (rasa) yang lebih dominan dalam tasawuf.
Abu Bakar Muhammad al-Kalabaz}i, menyebut sepuluh al-maqa>ma>t yaitu taubat, zuhu>d, sabar, faqr, tawaddu’, taqwa, tawakal, rida, mahabbah, ma’rifat.[13] Sedangkan Abu Nas}r al-Sarraj al-T}usi mengemukakan ada tujuh yaitu taubat, wara’, zuhu>d, faqr, sabar, tawakkal, Rida.[14] Abu hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali dalam kitabnya yang terkenal Ihya>’ Ulu>m al-Di>n, susunan maqa>ma>t sebagai berikut : taubat, sabar, fakir, zuhu>d, tawakkal, mahabbah, ma’rifah, dan rida. Dan menurut Abu> al-Qa>sim Abd al- Kari>m al-Qushairi menyebut maqa>ma>t itu tersusun sebagai berikut: tobat, wara’, zuhu>d, tawakkal, sabar, dan rida.[15] Abu> Said Ibn al-Khair mengemukakan jumlah al-maqa>ma>t lebih banyak lagi. Bagi dia seorang sufi baru dapat dia anggap sah kesufianya apabila apabila telah mencapai 40 al-maqa>ma>t, mulai niat yang ikhlas sampai kepada tasawuf sebagai maqam terakhir.[16]
Tetapi yang biasa disebut ialah taubat, zuhu>d, sabar, tawakal, dan rida.
Di samping al-maqa>ma>t yang telah dikemukakan di atas, masih ada lagi beberapa maqam, masih ada lagi maqamat-maqamat yang lain, yang biasa dijalani oleh kaum sufi seperti mahabbah, ma’rifah, fana>’, baqa>’, dan ittiha>d.[17]
Disamping maqam, dalam tasawuf dikenal pula adanya istilah ha>l, yakni suatu keadaan mental seorang sufi, seperti perasaan senang, takut, sedih dan sebagainya. Dan ha>l yang biasa disebut didalam tasawuf adalah : khauf (takut), tawaddu’ (rendah hati), taqwa, ikhlas, uns (rasa berteman atau bercengkrama), wujd (gembira), dan syukur.
Ha>l, berbeda dengan maqa>m, jika maqa>m adalah di peroleh atas usaha manusia, sehingga merupakan tingkatan atau tahapan batin.  Sementara Ha>l bukan diperoleh atas usaha manusia, melaikan anugerah dan rahmat dari Allah SWT.[18]
Selain itu Ha>l bersifat sementara. Ia datang dan pergi. Kadang-kadang ia muncul dan sementara lagi tenggelam dalam hati seorang sufi ditengah perjalanan panjangnya seraih kedekatan sedekat mungkin dihadirat Allah SWT. Sedangkan maqa>m relatif bersifat tetap, dimana satu maqa>m telah diraih, maka sang sufi tinggal meraih maqam berikutnya yang lebih tinggi dan seterusnya sampai merasa sadar berada di hadirat Allah[19].
Tetapnya maqa>m dari maqa>ma>t yang harus ditempuh oleh seorang sufi, menunjukkan tidak mudahnya perjalanan meraih kedekatan dengan Tuhan. Jalan itu tidaklah licin dan mudah ditempuh, melainkan banyak rintangan dan serat cobaan. Karenanya, untuk meningkat ke maqa>m berikutnya, menuntut ikhtiar yang berat dan sangat panjang. Bahkan kadang-kadang seorang calon sufi harus bertahun-tahun tak beranjak dalam satu maqa>m.

Konsep Mahabbah

Mahabbah (cinta) berarti kecintaan, kelembutan, perasaan sayang, dan kecenderungan. Ketika cinta mempengaruhi dan meresapi semua perasaan manusia, ia disebut nafsu (passion) dan ketika ia menjadi sangat dalam dan tak dapat ditahan dan ingin menyatu, maka dinamakan gairah atau antusiasme. Cinta oleh banyak sufi didefinisikan sebagai hubungan hati dengan Kekasih Sejati atau keinginan tak tertahankan akan Diri-Nya, atau berusaha untuk menuruti keinginan dan perintahnya dalam pikiran dan perbuatan, atau terserap dan mabuk (sakar) tanpa “ketenangan” sampai masa penyatuan. Semua definisi itu dapat diringkas sebagai “berdiri” di kehadiran ilahi dan bebas dari segala hubungan dan kekhawatiran yang fana[20].
Hal senada juga diungkapkan oleh Harun Nasution, al-mahabbah yang dimaksud adalah :
1.      Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya
2.      Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi (Allah SWT)
3.      Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihinya (Allah SWT)[21]
Oleh karena itu ada dua pilar penting dalam mahabbah yaitu :
1.      Pilar yang dimanifestasikan oleh amal pecinta, seorang pecinta berusaha memenuhi keinginan kekasihnya.
2.      Berhubungan dengan dunia batin dari si pecinta, yang seharusnya secara batin tertutup terhadap segala sesuatu yang tidak berhubungan dengan-Nya[22].
Cinta adalah gejolak yang mendorong untuk menjumpai yang dicintai. Dari kacamata manusia, orang yang sedang di asyikan perasan cinta dimabuk cinta (sakar)[23] dan akan bangkit rasa rindu (syauq) yang tak tertahankan. Dengan perasaan yang membara di dadanya, ia berusaha sekuat tenaga agar dapat berjumpa (liqa>’) dengan yang dicintaianya. Perasaan cinta seperti itu ada di dalam lubuk hati manusia. Ditumpahakan kepada sesama manusia, demikian juga kepada Allah. Perbedaanya hanya satu yaitu syahwat dan Ikhlas.[24]
Cinta kepada Allah semata-mata karena mengharapakan karunia dan ridha Allah yang dilaksanakan dalam keihlasan amal dan ibadah, sedangakan cinta kepada manusia bercampur dengan kehendak syahwat ingin memiliki, dalam arti memberi dan menerima.
Unsur cinta inilah yang yang akan membuat manusia mempunayai loyalitas dan sikap ikhlas dalam merealisasikan ubudiyah kepada Tuhan dengan tanpa pamrih dan tidak karena termotivasi apa-apa selain cinta.
Perasaan cinta dalam bahasa arab disebut dengan hubb, sedangkan yang dicintai disebut sebagai mahbu>b. Sudah tentu perasaan cinta itu tidak boleh terbagi. Ia adalah milik khusus bagi orang yang bercinta. Demikian juga dengan cinta kepada Allah, adalah khusus dari a>bid kepada makbu>d-Nya. Tidak boleh bercampur dengan kecintaan terbatas dan terbagi dengan makhluqnya, atau dengan benda-benda duniawi lainya.
Allah berfirman :
قل ان كان اباؤكم وابناؤكم واخوانكم وازواجكم وعشيرتكم واموال افترفتموها وتجارة تخشون كسادها ومساكن ترضونها احب اليكم من الله ورسوله وجهاد في سبيله فتربصوا حتى يأتي الله بأمره والله لا يهدى القوم الفاسقين (التوبة : 24)

Artinya : Katakanlah: "jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan NYA, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.

Berdasarkan ayat Al-Quran di atas para sufi memberi arti akan mahabbah mereka kepada Allah melebihi segala-galanya. Karena cinta kepada Allah barulah bermakna jika tidak bercampur dengan lainya. Adapun orang yang beriman mereka sangat mencintai allah, sebagaimana firman Allah
ومن الناس من يتخد من دون الله اندادا يحبونهم كحب الله والذين امنوا اشد حبا لله (البقرة : 165)

Artinya : Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. (al-Baqarah : 165)

Dengan demikian “Allah mencintai mereka, merekapun mencintai-Nya” sebagaimana firman Allah dalam al-Quran
فسوف يأتي الله بقوم يحبهم ويحبونه (المائدة : 54)

Artinya : Allah akan mendatangkan sutau umat yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya (QS. Al-Maidah : 54)

Dalam ayat lain, difirmankan pula tentang turunnya cinta Allah yang dialamatkan kepada hamba yang benar-benar mencinta-Nya seraya dibuktikan dengan mentaati ajaran Muhammad SAW. Dalam Al-Quran disebutkan :
قل ان كتم تحبون الله فاتبعون يحببكم الله ويغفرلكم ذنوبكم (ال عمران : 31 )

Artinya : Jika kamu cinta pada tuhan, maka turutlah aku dan Allah akan mencintai kamu. (QS. Ali imran : 31)

Disamping dasar al-Quran terdapat juga hadis Nabi :
لا يؤمن احدكم حتى يكون الله ورسوله أحب اليه من اهله وماله والناس اجمعين (رواه بخاري مسلم)

Artinya : “tidaklah salah seorang dari kamu disebut sebagai orang beriman, sehingga kalian lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya daripada keluarga dan hartanya serta semua manusia (HR. Bukhari Muslim)

Rasulullah juga berdoa kepada Allah :
   اللهم ارزقني حبك وحب من ينفعني حبه عندك ... (رواه الترمذي)


Artinya : ya Allah berilah aku cinta-Mu dan cinta orang yang bermanfaat kepadaku di sisi-Mu….(HR. Turmudzi)     
Di samping itu paham mahabbah, juga disebutkan dalam sebuah hadis qudsi, bahwasanya Allah berfirman :

ولا يزال عبدي يتقرب الي بالنوافل حتي احبه ومن احببته كنت له سمعا وبصرا ويدا

Artinya : “Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan perbuatan-perbutan sehingga aku mencintainya. Orang yang Kucintai menjadi telinga, mata, dan tangan-Ku.
                 
Menurut al-Sarra>j, cinta kepada Allah (Mahabbah) itu memiliki tiga tingkatan yang berbeda satu sama lain yakni[25] :
1.      Tingkatan cinta biasa
Yakni senantiasa mengingat Tuhan yang dicintainya itu dengan zikir menyebut asma-asma-Nya dan merasakan kesenangan dalam bermunajat (berdialog) dengan-Nya. Maka akan senantiasa senang untuk menyebut dan memuji-Nya
2.      Tingkatan cinta orang s}iddiq
Pada tingkatan ini, rasa cinta dapat menghilangkan tabir yang memisahkan antara seorang hamba dengan Tuhan. Ia dirasakan oleh orang-orang yanmg benar (s}iddiq) dalam menegnal Allah, mengenali kebesara-Nya, kekuasaan-Nya, Ilmi-Nya, dan segala yang ada pada-Nya. Mereka dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada-Nya. Berdialog dengan-Nya dan meraih kepuasan dari dialognya itu. 
Cinta pada tingkatan ini, membuat sang sufi sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri. Hatinya hanya dipenuhi oleh rasa cinta murni kepada Allah dan rindu akan kehadiran-Nya
3.      Tingkatan cinta  orang a>rif
Yakni cintanya orang yang tahu betul akan Allah. Apa yang dilihatnya dan dirasakan bukan lagi cinta itu sendiri, melainkan hanya Allah yang dicintainya semata. Maka pada giliranya, sifat-sifat yang dicintai itu merasuk ke dalam diri sufi yang dicintai.

Kehidupan Sufi Rabi’ah al-Adawiyah

Rabiah al-Adawiyah adalah orang yang pertama kali memperkenalkan Paham al-hubb atau mahabbah.[26] Nama lengkapnya adalah Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah al-Qisiyah al-Basyiriyah, juga digelari Ummu al-Khair, disebut Rabi’ah karena ia putri keempat dari anak-anak ismail. Sedangkan Adawiyah dialakobkan karena ia berasal dari bani Adawiyah. Informasi tentang. Informasi tentang riwayat hidupnya sangat sedikit, dan sebagian bercorak mitos.[27] Dia dilahirkan di Bashrah pada tahun 97 H./714 M.[28] Dia hidup sebagai hamba sahaya dari keluarga Atik. Dia berasal dari keluarga miskin. Sejak kecil dia tinggal di kota kelahiranya. Di kota itu namanya sangat harum sebagai manusia suci dan sangat dihormati oleh orang-orang saleh di masanya. Dia meninggal pada tahun 185 H/801 M., dikuburkan di dekat kota Jerussalem.[29]
Rabi’ah al-Adawiyah seumur hidupnya tidak pernah menikah, dia dipandang memiliki andil yang besar dalam memperkenalkan konsep cinta (al-Hubb) khas sufi ke dalam tasawuf Islam. Sebagai seorang wanita za>hidah, dia selalu menolak setiap lamaran beberapa pria dengan mengatakan :
“Akad nikah adalah hak pemilik alam semesta. Sedangkan bagi diriku, hal itu telah sirna, karena aku telah berhenti maujud (ada) dan telah melepasakan keakuan diriku. Aku mauju>d (berada) dalam Tuhan dan diriku sepenuhnya milik-Nya. Aku hidup dalam naungan firman-Nya. Akad nikah mesti diminta dari-Nya, bukan dariku”.[30]

Rabi’ah al-Adawiyah semula seorang hamba kemudian dibebasakan oleh tuanya. Dalam kehidupan selanjutnya ia bisa memusatkan perhatianya untuk beribadah, bertaubat, dan menjauhi kehidupan duniawi. Dia menyenangi hidup dalam kemiskinan, dan menolek bantuan materi yang diberikan orang kepadanya. Bahkan dalam doanya dia tidak pernah meminta hal-hal yang bersifat materi kepada Tuhanya. Rabi’ah betul-betul hidup dalam keadaan zuhu>d  dan mendambakan berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Di antara ungkapan yang pernah diucapkanya yang melukiskan kehidupan zuhu>dnya ialah sebagaimana diriwayatkan oleh Hujwiri dalam kitabnya Kashf al-Mahju>b sebagai berikut :
“Suatu ketika aku membaca cerita, bahwa seorang bahwa seorang hartawan kepada Rabi’ah : mintalah kepadaku segala keperluanmu ! Rabi’ah menjawab ! aku ini sangat malu meminta hal-hal yang bersifat duniawi kepada pemiliknya. Maka bagaimana aku meminta hal itu kepada orang yang bukan pemiliknya?”[31]

Sebagaimana halnya para za>hid sebelum dan semasanaya, perjalanan hidupnya pun selalu diliputi tangis dan rasa sedih. Al-Sha’rani, misalnya di dalam kitabnya Tabaqa>t al-Kubra menceritakan bahwa “dia sering menangis dan bersedih hati. Jika dia diingatkan dengan neraka, maka berapa lama jatuh pingsan;[32] sementara tempat sujudnya selalu basah oleh air matanya.” Dan diriwayatkan bahwa Rabi’ah terus menerus salat sepanjang malam setiap harinya. Kalau fajar tiba, dia tidur hanya beberapa saat sampai fajar lewat. Diriwayatkan pula ketika bangun tidur dia selalu berkata : “Aduhai jiwa ! berapa lama kamu tertidur dan samapai mana kamu tertidur, sehingga hampir saja kamu tertidur tanpa bangkit lagi kecuali oleh terompet kebangkitan.”[33]
Dalam diri Rabi’ah tidak ada motivasi lain kecuali hanya kasih Allah, sebagaimana yang disenandungkan oleh Rabia’ah dalam syairnya :
الهي- لو كنت أعبدك خوفا من نارك فأخرقني بنار حهنم, واذا كنت اعبدك طمعا في جنتك فأحرمنيها وإما ان كنت ان كنت اعبدك من اجل محبتك فلاتحرمني من مشاهد وجهك

“Tuhanku, bila aki mengabdi-Mu, karena takut neraka-Mu, campakanlah aku ke sana. Andaikan aku mengabdi-Mu karena mengejar surga-Mu, jangan beri aku surga. Tapi wahai Tuhanku, tetapi bila aku menyembah-Mu hanya karena kasihku kepada-Mu , jangan tutup wajah-Mu dari pandangan-Ku”.

Isi pokok ajaran tasawuf Rabi’ah al-Adawiyah adalah tentang cinta. Karena itu, dia mengabdi dan melakukan amal saleh bukan karena takut masuk neraka atau mengharap masuk surga, tetapi karena cintanya kepada Allah. Cintalah yang mendorongnya ingin selalu dekat dengan Allah; dan cinta pulalah yang membuat dia bersedih dan menangis karena takut berpisah dari yang dicintainya, bukan sesuatu yang harus ditakuti.
Kondisi cinta yang tanpa pamrih inilah yang akan tercapai dengan melalui proses perjalanan panjang dan berat (riya>dah dan muja>hadah) sehingga pengenalanya kepada Allah menjadi sangat jelasa dan pasti. Yang dihayati bukan lagi yang di cinta tetapi diri yang dicintai. Dalam Syairnya :
    الهى, اغرقنى في حبك حتى لا يشتغلنى شيئ عنك الهي * انارة النجوم ونامت العيون وغلقت الملوك ابوابها وخلا كل حبيب بحبيبه وهذا مقامي بين يديك الهي * هذا الليل قد ادبر وهذا النهار قد اسقر فليت شعري اقبلت مني وليلتي فأهناء ام رددتها علي فاعزي فو عزتك, هذا دأبي ما احييتني واعنتني وعزتك, لو طردتني عن بابك,ما برحت عنه لما وقع في قلبي من محبتك

“Ya Allah, Kekasihku, Tenggelamkanlah aku dalam mencintai-Mu sehingga tiada sesuatupun yang merintangiku dalam mencintaimu Ya allah kekasihku ! telah gemerlap sinar bintang-gemintang di langit, dan mata-mata manusiapun telah terpejam pintu-pintu istana telah terkunci dan setiap pecinta telah menyendiri dengan yang dicintainya maka inilah cintaku hadir lekat di hadiratmu ! Ya Allah kekasihku ! Malam telah berlalu Dan siang kan datang Aku gelisah Kuterimakan amalanku malamku, hingga membuatku suka Atau kau tolakan sehingga sehingga membuatku duka ? Demi kemaha agungan-Mu Inilah yang akan kuperbuat selama kau beri hayat, Kiranya kau usir cintaiku dari pintu rahmat-Mu Maka akupun tak mau pergi, Cintaku kepada-Mu telah terpatri dalam hatiku.”

Demikianlah ungkapan cinta Rabi’ah kepada Allah yang telah merasuk sukma sehingga segala aktivitasnya tetuju hanya kepada-Nya, selanjutnya ia bersenandung :
يا حبيب القلب مالي سواكا * فارحم اليوم مذنبا قد اتاكا
يا رجائي وراحتى وسرورى * قد أبى القلب ان يحب سواكا

“Buah hatiku hanya engakualah yang kukasihi  berilah ampun pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu”
“Engkau harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku * hatiku telah enggan mencintai selain dari engkau”

Bagi Rabi’ah, rasa cinta kepada Allah menjadi satu-satunya motivasi dalam setiap perilakunya dan sekaligus merupakan tujuan pengabdianya kepada Allah. Nampaknya bagi Rabi’ah ada dua macam cinta seperti yang ia katakan :

احبك حبين حب الهوى * وحبا لأنك اهل لذاكا
فأم الذى هو حب الهوى * فشغلي بذكرك عمن سواكا
فام الذى انت اهل له * فكشفك لي الحجب حتى اراكا
فلاالحمد فى ذا وذاك لى * ولكن لك الحمد فى ذا وذا كا

Aku mencintaimu dengan dua cinta * Cinta karena diriku dan karena diri-Mu
 Cinta karena diriku adalah * keadaan senantiasa mengingat-Mu
Dan cinta karena dirimu adalah * keadaanmu menyingkap tabir dan kulihat-Mu
Pujian ini, itu, bulkanlah untuku
Melainkan semua pujian tersanjung untuk-Mu”

Dengan demikian, menurut Rabi’ah tujuan satu-satunya yang wajar dan sewajarnya dicintai adalah Allah. Agar dapat sampai kepadanya, seorang sufi harus lebih dahulu mendidik dirinya supaya mencintai segala keindahan alam ini, merenungkan dan meresapkanya secara mendalam. Sebab, keindahan dan kecantikan itu adalah ciri-ciri dari zat yang dicintai, sehingga Ma’ruf Karkhi berpendapat, bahwa cinta tidak bisa dipelajari dari manusia. Cinta adalah anugrah dan rahmat Allah. Cinta kepada keindahan adalah disukai Allah, karena ia sendiri adalah sumber asasi dari segala keindahan.

 

Penutup

Kemashuran yang diperoleh oleh Rabi’ah ialah karena dia membawa dan mengungkapkan konsep baru dalam kehidupan kesufian. Kaonsep zuhud yang di bawa oleh Hasan Basri berupa khauf (takut) dan raja>’ (harap) dikembangkan oleh Rabia’h al-Adawiyah menjadi konsep zuhud berupa cinta. Menurut beberapa orientalis yang mengkaji tasawuf, misalnya R.A. Nicholson, pentingnya kedudukan Rabi’ah al-Adawiyah dalam kosep tasawuf ialah dikarnakan dia menandai konsep zuhud dari konsep yang lain dari konsep zuhud Hasan al-Basri yang ditandai dengan corak rasa takut dan harapan. Rabi’ah al-Adawiyah melengkapinya dengan corak yang baru, yaitu cinta, yang menjadi sarana manusia dalam merenungkan keindahan Allah yang abadi.
            Dengan konsepnya yang demikian itu, maka Rabi’ah al-Adawiyah pun rela tidak menikah lagi setelah ditinggalkan suaminya yang mati dalam usia muda. Ia kemudian hanya tenggelam dalam dzikir, wirid, memuji dan mengingat Allah yang ia cintai. Ia terus berbuat Ihsa>n sehingga kehidupanya merupakan gambaran nyata dari hubungan cinta antara seorang hamba dengan Tuhanya dan kemudian Tuhan pun mencintainya. Sebagaimana yang dilukiskan al-Quran surat Ali Imran ayat 134 yang berbunyi :
ان الله يحب المحسنين (ال عمران : 134)

Artinya : Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan (QS. Ali Imran : 134)

Dengan konsep al-mahabbah yang demikian itu, maka menurut al-Ghazali, seseorang hamba akan mencapai apa yang disebut al-Ma’rifat. Ini berarti mahabbah merupaka satu maqa>m (station) menuju ma’rifat kepada Allah. Dan terbukti dengan konsep al-Mahabbahnya dapat mencapai derajat ma’rifat atau derajat yang amat tinggi di sisi Tuhanya. Meluaplah rasa cinta yang mendalam kepada Allah SWT, dan Dia pun mencintai hanba-Nya yang mencintai-Nya seperti Rabi’ah al-Adawiyah.
            Konsep inilah yang tercermin dalam al-Quran surat al-Maidah ayat 54 yang berbunyi :
....فسوف يأتي الله بقوم يحبهم ويحيونه....(المائدة : 54)
Artinya : “Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintaiNya dan yang mencintaiNya.” (QS. Al-Maidah : 54)

            Mahabbah adalah ciri khusus dari kehidupan sufi. Ia berakar di kedalaman hati lubuk manusia. Hubb (rasa cinta) kepada yang Maha Pencipta tersimpan dalam qalb (hati) semua insan. Bobotnya tergantung kepada keimanan yang dimiliki, makin tinggi kualitas iman, makin mendalam pula mahabbah itu menghiasi qalb.
            Al-Mahabbah merupakan puncak tasawuf Rabi’ah al-Adawiyah. Sungguh banyak syair-syair sufistik gubahanya yang berisi ungkapan cinta yang tulus kepada Allah SWT. Bahkan gubahan syairnya itu, kemudian dalam kehidupan sufi lainya, seperti Ibnu al-Farid, al-Hallaj, Jalaluddin al-Rumi dan lain-lainya, digunakan kembali dalam hidup sufistik mereka.
            Wa alla>hu a’lam bi al-s}awa>b.


Daftar Pustaka

Amstrong, Amatullah, Sufi Terminologi, (Kuala Lumpur : A.S Noordeen, 1995)
al-Barsany, Noer Iskandar, Tasawuf Tarekat dan Para Sufi (Jakarta : PT Raja Grafindo, 2001)
Al-Buny, Djamaluddin Ahmad, Menelusuri Taman-Taman Mahabbah Shufiyah (Mitra Pustaka : Yogyakarta, 2002)
Basuni, Ibrahim, Nas’ah al-T}asawuf al-Isla>m (Kairo : Da>r al-Ma’a>rif, 1969)
Chittick, William C., The Sufi Path of Love; The Spiritual Teaching of Rumi (New York : State University of New York Press, 1983)
Gulen, Fathullah, terj. Tri Wibowo Santoso, Kunci-kunci Rahsia Sufi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001)
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurnianya (PT. Pustaka Panji Mas : Jakarta, 1984)
Isa, Ahmadi, Tokoh-Tokoh Sufi, Tauladan Kehidupan yang Saleh, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000)
al-Kala>baz}I, Abu> Bakr Muhamad bin Isha>q >, al-Ta’arruf li Madha>hib Ahl al-Tas}awwuf  (Beirut; Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 380 H)
Nasr, Sayyed Hussein, Sufi Essay (Goerge Allen & Unwin Ltd. : London, 1971)
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1998)
-----------, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid III (UI Press : Jakarta, 1979)
Nata, Abuddin, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf (Raja Grafindo : Jakarta, 2001)
Nicholson, Reynold A, The Mystics of Islam (Indiana : World Wisdom, 2002)
al-Qushairi, Abu> al-Qa>sim Abd al-Kari>m bin Hawa>zin >, al-Risa>lah al-Qushairiyah fi ‘Ilm al-Tas}awwuf (Kairo; Da>r al-Khair, 1996)
Siregar, H.A. Rivay, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta ; Raja Grafindo, 2000)
al-T>}u>si, Abu> Nas}r al-Sarra>j, Luma’ (Da>r Kutub al-Hadi>sah : Mesir, Kairo, 1970)


[1]Noer Iskandar al-Barsany, Tasawuf Tarekat dan Para Sufi (Jakarta : PT Raja Grafindo, 2001), 1. lihat juga Amatullah Amstrong, Sufi Terminologi, (Kuala Lumpur : A.S Noordeen, 1995), 239.  
[2]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1998), 54-55, lebih lanjut lihat Abu> Bakr Muhamad bin Isha>q al-Kala>baz}i>, al-Ta’arruf li Madha>hib Ahl al-Tas}awwuf  (Beirut; Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 380 H), 9-12.
[3] Reynold A. Nicholson, The Mystics of Islam (Indiana : World Wisdom, 2002), 2.
[4] Nasution, Falsafat dan Mistisisme, 55.
[5]Abu> al-Qa>sim Abd al-Kari>m bin Hawa>zin al-Qushairi>, al-Risa>lah al-Qushairiyah fi ‘Ilm al-Tas}awwuf (Kairo; Da>r al-Khair, 1996), 7-8.
[6] Jala>l al-Di>n Ru>mi> lahir di Balkh (sekarang Afganistan) pada tahun 604 H / 1207 M. Ayahnya, Baha>’ Walad, adalah seorang dai, ahli fiqh dan sufi terkenal yang menempuh jalan rohani sebagaimana Ahmad al-Ghaza>li> (saudara Imam al-Ghaza>li>) dan Ayn al-Qudha>t al-Hamada>ni>. Sejak muda Rumi telah disejajarkan namanya dalam deretan nama-nama ahli fiqh yang dijadikan rujukan dari madhab H{anafi. Karena keilmuannya tersebut, tidak mengherankan jika pada umur 24 tahun ia sudah menggantikan tugas-tugas ayahnya setelah ayahnya meninggal dunia. Namun kehidupan Rumi berubah setelah bertemu dengan Shams al-Di>n dari Tabriz. Shams al-Tabrizi> begitu besar pengaruhnya terhadap Rumi. Dialah yang menyebabkan Rumi berubah dari seorang ahli Fiqh yang tenang menjadi seorang pecinta yang mabuk. Ketika memasuki usia senja Rumi mulai menghentikan kegiatan dakwahnya dan mencurahkan perhatian pada jalan hidup sufi. Sejak saat itu hingga menjelang akhir hayatnya pada tahun 672/1273, dia terus melahirkan syair-syairnya.William C. Chittick, The Sufi Path of Love; The Spiritual Teaching of Rumi (New York : State University of New York Press, 1983), 1-3.
[7] Nicholson, The Mystics of Islam., 17.
[8] Ibrahim Basuni, Nas’ah al-T}asawuf al-Isla>m (Kairo : Da>r al-Ma’a>rif, 1969), 17-25
[9] Basuni, Nas’ah al-T}asawuf al-Isla>m, 17-25
[10] H.A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta ; Raja Grafindo, 2000), 37-38.
[11] Siregar, Tasawuf dari Sufisme.., 38.
[12] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf (Raja Grafindo : Jakarta, 2001), 153
[13] Al-Kalabaz}i, al-Ta’aruf li Maz}hab ahl al-Tas}awuf, 28
[14] Abu> Nas}r al-Sarra>j al-T>}u>si, Luma’ (Da>r Kutub al-Hadi>sah : Mesir, Kairo, 1970), 295
[15] Nasution, Falsafat dan Mistisisme, 60
[16] Sayyed Hussein Nasr, Sufi Essay (Goerge Allen & Unwin Ltd. : London, 1971), 78
[17] Jika dilihat orientasi dan tujuan akhir seorang sufi kepada Tuhan, dijumpai dua pandangan mengenai hal itu. Pertama Union-Mistik yaitu mazhab mistik yang menempatkan manusia bersumber dari Tuhan untuk kemudian mencapai penghayatan dan kebersatu-paduan kembali dengan Tuhan., Tuhan diformulasikan sebagai inti sari yang memiliki atribut mutlak, transenden dan sempurna. Paham ini mencerminkan bahwa manusia dipandang sebagai percikan dari yang serba ilahi. Paham ini membuat penekanan penedekatan voluentaris yaitu suatu bentuk upaya yang mengambil sikap membebaskan diri dan untuk kemudian melarutkan dirinya dengan Tuhan. Kedua, Transendentalis-Mistik yaitu ajaran tasawuf yang tetap mempertahankan adanya dikhotomi yang esensial antara manusia dan Tuhan. Paham ini, hubungan manusia dan Tuhan dilukiskan sebagai hubungan antara Kawula (makhlu>q) dan Gusti (kha>liq) menggunakan pendekatan gnostis, yakni berusaha mendapatkan pengetahuan yang sedalam-dalamnya terhadap Tuhan. Selengkapnya lihat Siregar, Tasawuf dari Sufisme.., 14 
[18] Nasution, Falsafat dan Mistisisme, 61
[19] Nasution, Falsafat dan Mistisisme, 61
[20] Fathullah Gulen, terj. Tri Wibowo Santoso, Kunci-kunci Rahsia Sufi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), 231-23
[21] Harun Nasution, Falsafat dan mistitisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan bintang, 1999), h. 68
[22] Gulen, Kunci-kunci Rahsia Sufi, 231-23,
[23] Siregar, Tasawuf dari Sufisme, 15
[24] Djamaluddin Ahmad Al-Buny, Menelusuri Taman-Taman Mahabbah Shufiyah (Mitra Pustaka : Yogyakarta, 2002), 47
[25] al-Barsany, Tasawuf Tarekat dan Para Sufi, 28
[26] Siregar, Tasawuf dari Sufisme, 64
[27] Siregar, Tasawuf dari Sufisme, 76
[28] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid III (UI Press : Jakarta, 1979), 76
[29] Ahmadi Isa, Tokoh-Tokoh Sufi, Tauladan Kehidupan yang Saleh, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000), 117
[30] Isa, Tokoh-Tokoh Sufi, 117
[31] Isa, Tokoh-Tokoh Sufi, 117
[32] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurnianya (PT. Pustaka Panji Mas : Jakarta, 1984), 76
[33] Isa, Tokoh-Tokoh Sufi, 117

0 comments: