MUNCULNYA SEKTE-SEKTE TEOLOGIS DALAM ISLAM
Tidak
Ada Aqidah Dalam al-Qur'an
De
Boer, dalam buku yang berjudul "Geschichte der Philosophie in
Islam" menyatakan: al-Qur'an membawa misi ajaran agama bagi kaum
muslimin dan tidak membawa teori-teori. Dalam al-Qur'an itu ada
ketentuan-ketentuan hukum, tetapi tidak membawa ajaran aqidah dan teologi (De
Boer, 1960: 46). Apa yang dimaksud dengan ungkapan di atas? Apakah ia bermaksud
bahwa dalam al-Qur'an tidak ada teori dan sistem teologi yang diungkapkan
secara tematik dan sistematis, menurut kaidah ilmu atau kaidah yang memang bermaksud
untuk menafsirkan teori, aqidah dan teologi dalam al-Qur'an?
Jika
yang dimaksud dalam pertanyaan pertama, maka itu dapat diterima. Sebab itu akan
mengurangi nilai dan bobot al-Qur'an. Fakta sejarah menyatakan bahwa aneka
macam aliran filsafat dan etika yang berusaha menanamkan "nilai-nilai baik
dan terpuji" dalam jiwa manusia, berdasarkan metodologi ilmiah rasional,
ternyata gagal total secara keseluruhan. Ini berbeda dengan konsep etika yang
ditawarkan oleh ajaran agama. Yang terakhir ini menawarkan alternatif,
menggabungkan antara rasio (al-Aql) dan rasa (al-Wujdan).
Ternyata konsep ini berhasil mengarahkan manusia untuk mendapatkan petunjuk (al-Hidayah)
dan mencapai kebahagiaan yang optimal, baik dalam kehidupan individual, maupun
dalam kehidupan komunal.
Jika
uraian ini bukan yang dimaksud De Boer, tetapi ia bermaksud menyatakan bahwa
al-Qur'an memang sama sekali tidak membawa teori aqidah dan teologi, maka
sebetulnya ia hanya berpraduga saja, yang akan terbantah sendiri oleh
al-Qur'an.
Dalam
hal aqidah dan teologi, al-Qur'an melarang bahkan ingin memberantas taqlid dan
kepercayaan-kepercayaan lain yang berdasarkan taqlid, seperti bertahan dan
fanatik untuk mengikuti perilaku dan kepercayaan nenek moyang. Firman Allah:
كاَنُوْا لاَ يَعْقِلُوْنَ
شَيْئًا وَلاَ يَهْتَدُوْنَ (البقرة: 41)
"Mereka itu tidak mengerti apa-apa dan tidak mendapat
petunjuk (al-hidayah)" (Q.S. al-Baqarah:
41)
Al-Qur'an
memerintahkan manusia untuk meneliti kebenaran dalam penciptaan alam semesta.
Allah berfirman:
قُلِ انْظُرُوْا مَا
فِى السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ
"Katakanlah, pikirkan apa yang
di langit dan di bumi"
وَفِيْ أَنْفُسِكُمْ
أَفَلاَ تُبْصِرُوْنَ
"Dan
kejadian yang ada dalam diri anda sendiri, apakah anda tidak melihat". (Q.S.
al-Qashash: 72)
Al-Qur'an
juga memberi peluang untuk melakukan "tanya jawab" dan diskusi untuk
mencapai suatu kebenaran. Allah berfirman:
أَمْ خُلِقُوْا مِنْ
غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الخْاَلِقُوْنَ (الطور: 35)
Apakah
mereka
diciptakan tanpa sebab, atau apakah mereka sendiri yang menjadi pencipta". (Q.S. al-Thur: 35)
Al-Qur'an juga memalingkan perhatian
manusia untuk sudi memikirkan materi kejadian alam dan tata surya yang sangat
mengagumkan itu dan yang mengaturnya. Misteri alam semesta itulah, yang menjadi
dalil dan argumentasi adanya Sang Pencipta dan ke Maha Esaan-Nya. Sebab, jika
Tuhan itu berbilang.
لَذَهَبَ كُلُّ إِلهٍ
بِمَا خَلَقَ وَلَعَلَ بَعْضَهُمْ عَلىَ بَعْضٍ
(ألمؤمنون: 93)
"Niscaya setiap Tuhan akan
sirna pergi bersama dengan segala yang ia ciptakan. Dan sungguh antara satu
Tuhan dengan Tuhan yang lain akan salaing menindas".
Jika demikian yang terjadi, maka
keadaan di langit dan di bumi akan menjadi tegang dan kacau.
لَوْ كَانَ فِيْهِمَا
ألِهَةٌ إِلاَّ اللهُ لَفَسَدَتَا (ألأنبياء: 22)
"Andaikan di langit dan di bumi
ada Tuhan selain Allah, niscaya langit dan bumi itu akan rusak
berantakan". (Q.S. al-Anbiya': 22)
Di
samping itu Sang Pencipta pasti mempunyai sifat-sifat yang sesuai dengan
kedudukannya sebagai Pencipta. Seperti: kuasa (Qudrah), kehendak (Iradah),
hidup (Hayah), pengetahuan (Ilmu), menyeluruh terhadap segala
sesuatu, "termasuk tingkah tipuan mata dan suara hati". Firman Allah:
يَعْلَمُ خَائِنَةَ
اْلأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِى الصُّدُوْرِ (المؤمن: 19)
"Dia mengetahui tipu daya dan
suara hati yang di dada" (Q.S.
al-Mukmin: 19)
Bersamaan dengan itu, Sang Pencipta
terus memperhatikan dan memelihara ciptaan-Nya.
إِنَّ اللهَ يُمْسِكُ
السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ أَنْ تَزُوْلاَ (فاطر: 41)
"Sesungguhnya Allah-lah yang
mempertahankan langit dan bumi agar tidak sirna". (Q.S. Fathir: 41)
Dia berjanji untuk memberi
prlindungan dan rizki pada setiap benda hidup.
وَمَا مِنْ دَآبَّةٍ
فِى اْلأَرْضِ إِلاَّ عَلىَ اللهِ رِزْقُهَا (الرعد: 6)
"Segala sesuatu yang dapat
berjalan di atas bumi pasti kan mendapatkan rizki dari Allah". (Q.S. al-Ra'd: 6)
Manusia
adalah makhluk pilihan Allah dengan keistimewaan "hidayah".
Dengan hidayah ini manusia dapat menangkap dan menerima kebenaran dan budi
pekerti yang luhur.
قَدْ جَآءَكُمْ مِنَ
اللهِ نُوْرٌ وَكِتَابٌ مُبِيْنٌ (المائدة: 17)
"Sungguh cahaya (Nur) dan kitab
yang jelas dari Allah telah datang pada anda sekalian". (Q.S. al-Maidah: 17)
إِنَّا لَنَنْصُرُ رُسُلَنَا
وَالَّذِيْنَ آمَنُوْا فِى الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُوْمُ اْلأَشْهَادُ
(المؤمن: 51)
"Sesungguhnya Kami (Allah) akan
menolong para Rasul dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada
masa para saksi melaksanakan tugasnya (kiamat akhirat)". (Q.S. al-Mukmin: 51)
- Allah akan segera menolong seorang
hamba yang berjuang untuk menegakkan agama-Nya, dan mempertahankan serta
membela nilai kebaikan dalam agama. Firman Allah:
إِنَّمَا التَّوْبَةُ
عَلَى اللهِ لِلَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ السُّوْءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوْبُوْنَ مِنْ
قَرِيْبٍ (النساء: 17)
"Sesungguhnya Kami (Allah) akan
menolong para Rasul dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada
masa para saksi melaksanakan tugsnya (kiamat akirat)". (Q.S. al-Mukmin: 51)
- Dan Allah telah menetapkan pada diri-Nya sendiri untuk
dapt mengampuni hamba yang bertobat.
إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلىَ اللهِ
لِلَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ السُّوْءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوْبُوْنَ مِنْ قَرِيْبٍ
(النساء: 17)
"Sesungguhnya tobat itu mnjadi
hak otoritas Allah untuk mengampuni orang-orang yang melakukan kesalahan
(kejahatan) karena kebodohan yng segera bertobat (di dunia)". (Q.S. an-Nisa': 17)
- Pengampunan Allah ini berlaku umum, termasuk orang yang
bisa melakukan dosa besar. Seperti dalam Firman-Nya:
قُلْ يَا عِبَادِيَ
الَّذِيْنَ أَسْرَفُوْا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لاَ تَقْنَطُوْا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ
(الزمر: 53)
"Katakanlah (wahai Muhammad)
wahai hamba-hamba-Ku yang berlebih-lebihan (menganiaya) diri mereka sendiri.
Janganlah kalian (merasa) terputus dari rahmat Allah". (Q.S. al-Zumar: 53)
- Walaupun demikian, Allah masih berkenan memberi rahmat
kepada para tiranis yang sombong dan congkak.
Di
samping itu al-Qur'an menetapkan adanya konsep kebangkitan dan kekekalan.
Firman Allah:
يَوْمَ تُبَدَّلُ اْلأَرْضُ
غَيْرَ اْلأَرْضِ وَالسَّمَوَاتِ. وَنُفِخَ فِى
الصُّوْرِ فَإِذَا هُمْ مِنَ اْلأَجْدَاثِ إِلَى رَبِّهِمْ يَنْسِلُوْنَ
(يس: 51)
- Setelah itu
manusia akan diintrogasi (dihisab) secara ketat dan teliti. Firman
Allah:
وَنَضَعُ الْمَوَازِيْنَ
الْقِسْطِ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ (الأنبياء: 47)
"Kami pasang "timbangan
keadilan" pada hari Kiamat".
(Q.S. al-anbiya': 47)
Introgasi
dan hisab ini menyeleksi seseorang untuk dikelompokkan menjadi kriteria orang
baik atau orang jelek. Firman Allah:
فَرِيْقٌ فِى الْجَنَّةِ
وَفَرِيْقٌ فِى السَّعِيْرِ (الشورى: 7)
"Satu kelompok masuk ke dalam
surga sedangkan satu kelompok masuk ke dalam neraka". (Q.S. al-Syura: 7)
Kejadian-kejadian
di atas bagi Allah Yang Maha Pencipta, tidak mustahil. Firman Allah:
فَسَيَقُوْلُوْنَ مَنْ
يُعِيْدُنَا, قُلِ الَّذِيْ فَطَرَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ (الأسراء: 51)
أَوَلَيْسَ الَّذِيْ
خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ بِقَادِرٍ عَلىَ أَنْ يَخْلُقَ مِثْلَهُمْ (يس:
81)
"Maka mereka akan berkata:
Siapa yang mengembalikan kami (hidup kembali sekarang ini?). Katakanlah: ialah
Tuhanku yang menciptakan anda pertama kali". (Q.S. al-Isra': 51)
"Bukankah
Tuhan yang menciptakan langit dan bumi itu Maha Kuasa untuk menciptakan manusia
yang seperti mereka?". (Q.S.
Yasin: 81)
Ungkapan
kejadian di atas adalah teori hubungan antara alam semesta (cosmos)
dengan penciptanya yang kemudian akidah yang menjadi missi para Nabi yang
diperintahkan untuk menyampaikan kepada seluruh umat manusia secara
keseluruhan.
Kontradiksi Dalam al-Qur'an
De Boer dalam buku di atas, selanjutnya
menyatakan: "Kaum muslimin pada periode pertama menerima kenyataan bahwa
dalam al-Qur'an itu terdapat penjelasan dan ajaran yang kontradiktif" (De
Boer, Ibid, h. 49). Sebetulnya statemen di atas bukan hanya pendapat De
Boer. Orientalis lain seperti Greem Goldzine juga berpendapat begitu.
Mereka menyatakan: Kontradiksi dalam al-Qur'an itu adalah suatu kenyataan. Hal
ini terjadi –menurut mereka- terkait dengan kondisi psychologis Muhammad yang
sering berubah sikap dan tidak konsis, sesuai dengan tantangan dan peran yang
dimainkannya dalam menghadapi tantangan dakwahnya. Kenyataan di atas telah
diterima oleh kaum muslimin tanpa harus disertai pertanyaan kritis: Mengapa dan
bagaimana hal itu dapat terjadi?
Dalam hal ini para orientalis pada
umumnya sangat memperhatikan kontradiksi dalam al-Qur'an itu: dengan menekankan
fokus bahasan "ide deterministis" (al-Jabr), upaya dan
usaha (al-Ikhtiyar) manusia, penyerupaan (al-Tasybih), pensucian
(al-Tanzih) Tuhan. Tujuan utama mereka mengungkap beberapa sub bahasan
di atas adalah mencari data dan analisa "ilmiah" untuk menyatakan
bahwa al-Qur'an itu bukan diturunkan dari Allah. Sebab jika memang betul
terjadi kontradiksi, tentu sangat mustahil Allah memberi hidayah kepada manusia
dengan pedoman sebuah kitab yang berisi kenyataan-kenyataan yang kontradiktif,
lebih mustahil lagi jika Allah tidak konsisten dan bersikap kontradiktif dengan
sifat-sifat otoritasNya sendiri.
Tetapi, menurut orientalis, karena
al-Qur'an itu hanya karangan dan rekayasa Muhammad yang tak lebih dari seorang
manusia, tentu terikat dan terpengaruh dengan realitas sosial. Oleh karena itu
kondisi psikologis, pendapat dan sikapnya sangat mudah berubah seperti layaknya
seorang manusia. Realita kontradiksi pemikiran yang ada dalam al-Qur'an tidak
terlepas dari kondisi, perubahan dan dinamika sosial yang dihadapi Muhammad.
Sebagai contoh, pada awal Muhammad menyampaikan dakwah dan missinya, ia ingin
menghapus sikap menerima kenyataan (determinis, al-Jabr) yang sudah
menjadi teologi bangsa Arab pada masa jahiliyah. Teologi "jumud" ini
perlu dihapus, agar tidak dijadikan argumentasi untuk menjauhi dan tidak
mengikuti agama yang ia dakwahkan. Oleh sebab itu, dapat dipahami, mengapa
Muhammad –pada awal dakwahnya- itu mengajukan kebebasan individu (al-Hurriyah
al-Fardiyah/personal free will).
Setelah Muhammad hijrah dan menetap
di Madinah, dengan mendapatkan pengikut yang cukup banyak, bahkan lebih dari
yang ia duga, maka –menurut Muhammad- orng-orang itu mendapatkan hidayah masuk
Islam, semata-mata karena anugerah Allah. Betulkah realitas dalam al-Qur'an itu
kontradiktif, berdasarkan argumen di atas? Betulkah "kesucian" dan
kesakralan" al-Qur'an itu akan tercabut dan turun derajatnya menjadi tidak berbeda dengan sebuah kitab karangan
manusia biasa?
Sebetulnya, secara substansional isi
al-Qur'an itu tidak ada yang kontradiktif apalagi saling berlawanan
(antagonistik). Sebab, dalam satu ayat, al-Qur'an menyatakan: Manusia itu tidak
dipaksa (deterministik) menerima nasib (mujbar), dan pada ayat lain, menyatakan
dipaksa menerima nasib. Al-Qur'an juga tidak menentukan bahwa Allah itu
hanyalah esensi yang abstrak (Jauhar mujarrad), sedang di ayat lain
menyatakan: Allah itu bukan "esensi yang abstrak", yang dpat diambil
kesimpulan, dalam waktu yang sama ada positif dan negatif (tsubul alsya'iwa
tsabutuh). Kesimpulan ini adalah syarat yang harus dipenuhi bagi adanya
kontradiksi (tanaqud) dan antogonistik (ta'arudh).
Substansi yang ada dalam al-Qur'an
hanya terjadi pada problem determinis (al-jabr) dan usaha (al-ikhtiyar).
Hal ini seperti pengertian ayat-ayat yang menjelaskan bahwa "Allah SWT.
itu pncipta segala sesuatu". Sedang pada ayat yang lain menjelaskan bahwa
"kebebasan berkreasi dan berencana menjadi otoritas manusia. Apakah dua
pernyataan di atas harus dipahami bahwa manusia pada waktu yang bersamaan dapat
bersikap determinis (mujbar) sekaligus bebas bersikap (muhayyar)
atau persoalan ini sebetulnya tidak dapat dikatakan kontradiktif. Sebab dua
pengertian di atas mengandung "kebenaran" menurut profesi yang
berbeda. Allah harus ditempatkan sebagai pencipta jagat raya ini, sebagai
sumber sebab, dengan realitas, Dialah yang menganugerahi manusia untuk dapat
berbuat dan berkehendak. Dia pulalah yang mengatur proses perjalanan dan
tantangan dan memberi pertolongan agar manusia dapat menyelesaikan dan
menuntaskan anugerah yang bermula dari Allah itu.
Jadi, jika al-qur'an kemudian
menegaskan bahwa "Allah Pencipta Segala Sesuatu", itu menggambarkan
hakekat, atau minimal satu sisi dari hakekat itu. Seperti halnya, manusia itu
mempunyai kehendak (al-Iradah) dan program untuk pelakukan suatu
perbuatan. Dari dalam dirinya ia merasakan kehendak kuat di atas (al-Iradah
wa al-'Azm). Ia juga merasakan kehendak kuat tersebut merupakan prasyarat
bagi aktualisasi ikhtiayar dirinya. Oleh karena itu jika al-Qur'an mengaitkan
aktualisasi perbuatan itu pada seseorang, itu berarti penjabaran
"kebenaran" atau –minimal bagian terkecil dari "kebenaran"
itu. Jadi "Islam" harus
dianggap sebagai agama yang sempurna yang meliputi dua kerangka "kebenaran" di atas. Sebab, bisa
terjadi, ada seseorang yang menyatakan bahwa segala sesuatu itu semuanya sudah
ditentukan oleh Allah. Oleh karena itu tidak akan ada jalan lain, kecuali yang
sudah ditentukan-Nya. Ungkapan ini berdasarkan ayat-ayat al-Qur'an yang secara
gamblang menyatakan adanya "kebebasan kehendak individu". Dengan
demikian, seseorang yang dengan upaya dan perjuangan maksimalnya dapat meraih
"sukses", masih mengembalikan kesuksesannya itu pada anugerah Allah,
sebagai pengakuan atas hak otoritas Allah dalam memberikan taufiq, hidayah,
perputaran hukun kausalitas, dan penyingkiran beberapa rintangan, berarti ia
telah mencapai kesempurnaan dalam kesyahduan dan kenikmatan beragama.
Jika benar Muhammad ketika di Makkah
memuji dan menganjurkan "kbebasan kehendak individu": Kemudian ketika
beliau ada di Madinah, mngembalikan segala sesuatu pada Allah: itu bukan
berarti beliau mengubah sikap, karena kondisinya berubah, berdasarkan adanya
dua nash yang kontradiktif. Tetapi hal itu berpangkal pada mantapnya dua
sisi kebenaran (al-Haqiqah) dalam keadaan tertentu. Jadi pertentangan
antar nash itu sama sekali tidak ada.
Sedang problem penyerupaan (al-Tasybih)
dan penyucian (al-Tanzih) itu lebih mudah menjelaskannya. Sebab, dalam
al-Qur'an tidak ada nash qath'i yang menyatakan bahwa Allah itu benda atau
jisim, yang bertentangan dengan nash lain, yang dalam al-Qur'an adalah
beberapa ayat yang dalam bahasa dan rasa orang-orang Arab dapat dipalingkan
dari arti hakiki ke arti majazi. Seperti firman Allah:
وَالسَّمَوَاتِ مُطْوِيَّاتٌ
بِيَمِيْنِهِ (الزمر: 67)
"Tujuh lapis langit itu
terlipat pada sebelah kanan Allah" (Q.S.
al-Zumar: 67)
وَيَدُ اللهِ فَوْقَ
أَيْدِيْهِمْ (الفتح: )
"Tangan Allah (kekuasaan)
berada di atas tangan (kekuasaan) mereka". (Q.S. al-Fath:
)
Arti
gamblang (terlipat pada sebelah kanan Allah dan tangan Allah) di atas dalam
rasa dan bahasa Arab berarti keperkasaan dan keagungan al-qur'an memilih
ungkapan di atas, yang kemudian "dikira" bahwa Allah serupa dengan
benda; itu karena agama harus mampu memperhatikan strata sosial dan
intelektual. Masyarakat, secara menyeluruh, kiranya lapisan terbesar masyarakat
tidak mampu menangkap maksud "keagungan Allah", kecuali dengan
menggunakan ungkapan gamblang tersebut di atas. Sebab kemampuan berfikir mereka
masih sangat sederhana, yang tidak memungkinkan memahami hakekat dzat Allah
dengan ungkapan abstrak. Oleh karena itu, pendapat orientalis yang menyatakan
bahwa dalam al-Qur'an itu terdapat ayat-ayat yang kontradiktif yang juga bisa
terjadi pada karya manusia, itu sebetulnya bukan kontradiktif. Tetapi itulah
gambaran fenomena kebenaran dari berbagai sisi. Sebagai aktualisasi dari
kondisi pelapisan masyarakat yang berbeda tingkat kemampuan ilmu dan budayanya.
Dalam
hal ini Erpree, seorang orientalis Inggris secara jujur mengakui bahwa
al-Qur'an itu mengandung bobot ilmiah yang sangat tinggi, ia juga mengakui
bahwa al-Qur'an itu dapat berfungsi sebagai mu'jizat yang luar biasa.
Menurutnya, al-Qur'an mampu mengungkap ayat-ayat yang terkait, dalam satu tema,
teologi Islam dijelaskan dalam satu judul. Jadi menurutnya dalam al-Qur'an itu
tidak ada ayat-ayat yang kontradiktif, dan tidak kosong dari teori dan obyek
teologis seperti yang dikemukakan oleh De Boer dkk. Tetapi, walaupun Erpree
sangat hormat dan memuji agama Islam melalui kesimpulannya tentang kandungan
al-Qur'an, ia –sayang sekali- tidak mengakui sumber kebenaran al-Qur'an.
-Al-Qur'an Untuk Bangsa Arab
Weinsinck,
seorang orientalis Belanda "memilih jalan tengah" dengan menyatakan
bahwa “Muhammad sedikitpun tidak pernah berupaya menarik kaum Yahudi dan
Nasrani agar Masuk Islam. Ia hanya menganggap diri salah satu dari Nabi,
sekaligus Nabi yang terakhir". Dengan pengertian, ia seorang Rasul yang
diutus oleh Allah untuk bangsa Arab yang masih “buta huruf”, dengan menegaskan bahwa kitab sucinya al-Qur'an,
berbahasa Arab" (قُرْأَنًا عَرَبِيًّا) hukumnya, ”hukum Arab” (حُكْمًا
عَرَبِيًّا) dan membatasi lapangan kegiatan dan obyek dakwahnya seperti
dalam al-Qur'an:
وَكَذلِكَ أَوْحَيْنَا
إِلَيْكَ قُرْأَنًا عَرَبِيًّا لِتُنْذِرَ أُمَّ الْقُرَى وَمَنْ حَوْلهَاَ
(السورى: 7)
“Demikian
juga, Kami wahyukan pada anda (Muhammad) al-Qur'an yang berbahasa Arab, agar
anda dapat memberi peringatan pada penduduk Ummul Qura (Makkah) dan sekitarnya”
(Q.S. asy-Syuro: 7)
Oleh
karena itu menurut Weinsinck kita bisa –dan ini benar- menyatakan bahwa
Muhammad itu seorang Nabi. Tetapi karena obyek dakwah Muhammad itu diutus ke
seluruh manusia di dunia ini, kami tidak mengingkari adanya beberapa ayat yang
kira-kira digunakan sebagai argumen keluasan obyek dakwah Muhammad ke seluruh
dunia, seperti firman Allah:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ
إِلاَّ كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا (السبأ: 28)
“Saya utus anda, hanya untuk memberi
kabar gembira dan memberi peringatan pada manusiaseluruh dunia”. (Q.S. Saba’:
28)
Tetapi ayat ini harus dipahami
berdasarkan ayat-ayat lain yang terkait, seperti yang tersebut sebelumnya.
Jika
seseorang memahami firman Allah:
قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ
إِنِّيْ رَسُوْلُ اللهِ إِلَيْكُمْ جَمِيْعًا
“Katakanlah, wahai manusia saya ini
seorang Rasul untuk anda semua”. (Q.S. )
Sebagai misi global yang mencakup
seluruh lapisan masyarakat dan aneka ragam bangsa, berarti secara tegas ia
menyatakan bahwa kandungan al-Qur'an itu kontradiktif.
Kami
juga mengakui, bahwa “misi kerasulan global” ini pasti menggunakan argumen
hadits/sunnah. Dalam hal ini argumen yang paling kuat untuk menyatakan luasnya
cakupan obyek dakwah Muhammad adalah kisah surat-surat yang pernah beliau kirim
kepada para raja dan penguasa politik di luar jazirah Arabia. Tetapi, kisah di
atas berdasarkan sumber yang sebenarnya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Mungkin –seperti dikemukakan oleh sebagian pakar- kisah surat-surat itu
hanyalah legenda yang diciptakan oleh para khalifah dan panglima perang untuk
mencari legitimasi agama bagi ekspansi militer yang sedang mereka lakukan.
Sesungguhnya,
baik al-Qur'an maupun as-Sunnah tidak memberikan kontribusi yang “istimewa”
bagi Islam. Yakni suatu kontribusi yang membedakan secara substansi dengan
agama-agama lain; atau dengan aliran-aliran teologis yang muncul setelah itu.
Jika ajaran Islam itu mencakup dua prinsiputama: monoteisme (al-Tauhid)
dan hari kebangkitan (al-Ba’ts), maka harus diingat bahwa agama Yahudi
dan Nasrani pun menegaskan kedua prinsip ajaran tersebut.
Dibalik
ungkapan Weinsinck di atas, -menurut saya- ia bertujuan mengingkari kerasulan
Muhammad ke seluruh umat manusia di seluruh dunia. Atau, jika memang betul
Muhammad itu seorang Rasul, risalahnya hanya khusus bagi satu jenis bangsa yang
mempunyai prinsip-prinsip ajaran yang “berbeda” dengan Yahudi dan Nasrani.
Dengan demikian, jika memang betul Muhammad itu seorang Nabi, maka kenabiannya
hanya khusus untuk bangsa Arab yang terbelakang kehidupan intelektualnaya (al-Ummiyyin).
Atau dengan kata lain, missinya tidak jauh berbeda dengan pemikiran dan
kepercayaan yang biasa dianggap oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani. Tetapi
benarkah dalam al-Qur'an tidak ada ayat yang menyatakan universalitas ajaran Islam?
Bahkan, ajarannya hanya dikhususkan untuk bangsa Arab saja? Benarkah, secara
substansial ajaran Islam tidak punya keistimewaan prinsipil yang berbeda dengan
Yahudi dan Nasrani?
Untuk
menjawab beberapa pertanyaan di atas, saya segera menyatakan bahwa, kisah
surat-surat yang pernah dikirim oleh Muhammad, kepada para Raja dan Kaisar pada
masa itu adalah kisah yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena
itu –kisah surat- dapat dijadikan argumen; bahwa sejak awal, Muhammad mengaku
dirinya sebagai seorang Rasul bagi seluruh umat manusia. Tetapi –secara
tergesa-gesa pula- Saya “mundur” dari argumen di atas, sehingga Allah
menganugerahkan kesempatan bagi saya untuk dapat membantah benih “keraguan”
ayang ditanamkan oleh sebagian besar orientalis, terhadap hadits dan sunnah
Nabi; seperti Weinsinck, Ignas Goldziner, Wiegiuom, dan lain-lain.
Walaupun
demikian, saya masih menaruh hormat kepada Weinsinck, karena ia masih jujur
dengan menyatakan bahwa tidak mustahil, bahwa Muhammad itu seorang Nabi dengan
mendapatkan wahyu berupa kitab suci al-Qur'an, konsekwensinya mustahil ia
berbohong dalam pengakuannya. Tetapi, misi kenabiannya –menurut Weinsinck- hanya
terbatas pada bangsa Arab. Padahal dalam al-Qur'an secara gamblang dijelaskan
bahwa missi dakwah Muhammad untuk seluruh umat manusia. Dan dalam al-Qur'an
sama sekali tidak ada penjelasan yang menyatakan “missi dakwah Muhammad” hanya
khusus untuk bangsa Arab. Al-Qur'an yang menggunakan bahasa Arab tidak
menafsirkan missi universalitas ajaran Islam. Penggunaan bahasa Arab bukan
menjadi sifat ajarannya, tetapi menjadi sifat bahasa yang digunakan untuk
mengekspresikan ajaran suci tersebut. Sebab pembawa missi dan penyebar pertama
missi suci itu ke seluruh dunia adalah bangsa Arab. Al-Qur'an diturunkan tidak
menggunakan bahasa selain Arab. Karena tidak logis, jika naskah mushaf al-Qur'an
akan terdiri dari beberapa naskah dengan menggunakan beberapa bahasa. Pada
gilirannya al-Qur'an harus diturunkan sesuai dengan bahasa setiap bangsa di
dunia yang jumlahnya sulit dihitung dan akan selalu berkembang.
Tentang
ayat yang secara selintas –seolah-olah- lapangan kegiatan dakwah Muhammad SAW.
itu terbatas, seperti Firman Allah:
وَلِتُنْذِرَ أُمَّ
الْقُرَى وَمَنْ حَوْلهَاَ (الشورى: 7)
“Dan agar anda mengingatkan penduduk
Ummul Qura dan sekitarnya”. (Q.S.
al-Syura: 7)
Andaikan ayat ini dianggap betul
seperti pemahaman di atas, mestinya Weinsinck konsisten dalam anak kalimat “dan
penduduk sekitar Ummul Qura”. Menurut kebiasaan orang Arab, itu tidak mungkin
mencakup penduduk Yaman. Jika pemahaman itu diperluas dan dipahami ke seluruh
bangsaa Arab, dari mana Weinsinck mendapatkan argumen ini? Mengapa ayat ini
hanya dipahami untuk seluruh bangsa Arab saja? Dan mengapa ia tidak menyatakan
bahwa Muhammad hanya diutus untuk sanak familinya? Karena Allah membatasi
kegiatan dakwah Nabi pada keluarganya? Seperti dalam Firman Allah:
وَأَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ
اْلأَقْرَبِيْنَ (الشورى: 214)
“Dan ingatkanlah keluarga terdekat
anda (muhammad)” (Q.S. al-Syu’ara: 214)
Jika
dalam al-Qur'an juga terdapat ayat yang menyatakan keuniversalannya, mengapa Weinsinck
tidak mau memadukan ayat-ayat yang secara selintas missi Muhammad menyatakan
“hanya untuk bangsa dan komunitas tertentu? Jika Weinsinck mau memahami
al-Qur'an secara komprehensif dan integral, tentu ia akan dapat menarik suatu
kesimpulan bahwa “keterbatasan dan keuniversalan ajaran Islam yang termaktub
dalam al-Qur'an bertujuan untuk menggambarkan tahapan dakwah yang dilakukan
Muhammad sesuai perintah Allah. Pertama,
Missi dakwah itu diperintahkan untuk disampaikan pada keluarga
terdekatnya. Kedua, agar disampaikan kepada masyarakat Makkah. Ketiga,
agar disampaikan kepada masyarakat di daerah-daerah yang berdekatan dengan
Makkah. Keempat, agar disampaikan pada seluruh bangsa Arab. Kelima, missi
dakwah itu harus disampaikan ke seluruh masyarakat dan aneka ragam bangsa di
seluruh dunia.
Dalil
dan ayat-ayat yang menyatakan keuniversalan agama Islam itu adalah sebagai
berikut:
1. Firman Allah:
تَبَارَكَ الَّذِيْ نَزَّلَ
الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُوْنَ لِلْعَالمَِيْنَ نَذِيْرَا (الفرقان: )
“Maha
suci Allah yang telah menurunkan al-Furqan (al-Qur'an) pada hamba-Nya, agar ia
menjadi pemberi peringatan kepada semesta alam (jin dan manusia)”. (Q.S.
al-Furqan)
2. Ayat yang cukup tegas:
وَأَوْحَى إِلَيَّ هَذَا
الْقُرْأَنَ ِلأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ (الأنعام: 19)
“
Al-Qur'an ini diwahyukan kepada saya sebagai pegangan dan dasar peringatan yang
saya lakukan pada anda dan bagi orang-orang yang sempat menerima dakwah ini”. (Q.S. al-An’am: 19)
3. Jika Weinsinck berkenan, marilah kita membaca suatu
ayat yang menyatakan bahwa Rasul juga menyampaikan dakwah pada orang-orang
Yahudi dan Nasrani.
Yaitu
Firman Allah:
يَاأَهْلَ الْكِتَابِ
قَدْ جَآءَكُمْ رَسُوْلُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ كَثِيْرًا مِمَّا كُنْتُمْ تَخْتَلِفُوْنَ
مِنَ الْكِتَابِ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍ (المائدة: 16)
يَاأَهْلَ الْكِتَابِ
قَدْ جَآءَكُمْ رَسُوْلُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ عَلَى فَتْرَةٍ مِنَ الرُّسُلِ أَنْ
تَقُوْلُوْا مَا جَاءَ نَا مِنْ بَشِيْرٍ وَلاَ نَذِيْرٍ فَقَدْ جَآءَكُمْ بَشِيْرٍ
وَنَذِيْرٍ (المائدة: 19)
“Wahai ahli kitab (Yahudi dan
Nasrani) sesungguhnya Rasul kami telah datang pada anda untuk menjelaskan dan
membiarkan beberapa hal dari kandungan (Taurat dan Injil) yang anda sembunyikan”.
(Q.S. al-Ma’idah: 16)
“Wahai
ahli kitab sesungguhnya rasul akami telah datang pada anda untuk menjelaskan
(Syari’at kami) setelah terputusnya pengiriman rasul-rasul , agar anda tidak
berkilah..”tak seorangpun pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan datang
kepada kami”. (Sekarang) sungguh pembawa berita gembira dan pemberi peringatan
itu telah datang pada anda”. (Q.S.
al-Ma’idah: 19)
Dari
empat ayat di atas, tampak jelas dan tegas, bahwa missi dakwah Muhammad berlaku
universal bagi umat manusia seluruh dunia. Dan tidak satu ayat pun dalam
al-Qur'an atau hadits yang mempersempit (takhsis) missi dakwah tersebut
pada satu suku atau bangsa tertentu. Jika alur pikir ini dapat ditangkap oleh Weinsinck,
tentu ia tidak akan melontarkan pendapat bahwa Muhammad itu hanya Nabi yang
diutus pada bangsa Arab. Dan ia tidak akan berpendapat bahwa substansi
kandungan al-Qur'an itu banyak yang kontradiktif.
Selanjutnya,
perkenankanlah kami menanggapi pendapat Weinsinck yang menyatakan, “bahwa Islam
sebagai suatu agama tidak mempunyai ajaran yang spesifik, istimewa dan mandiri
yang berbeda dengan agama Yahudi dan Nasrani, atau dengan aliran-aliran aneh
yang muncul dari internal umat Islam itu sendiri.
Tentang
sikap dan pandangan Islam terhadap agama Yahudi dan Nasrani itu sudah jelas.
Sebab, dalam hal pokok-pokok ajaran (Ushul al-Syaraii), antara Islam,
dan agama-agama samawi yang lain, itu tidak ada perbedaan.
Allah berfirman:
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ
الدِّيْنِ مَا وَصَّى بِهِ نُوْحًا وَالَّذِيْ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا
وَصَيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَى وَعِيْسَى أَنْ أَقِيْمُوا الدِّيْنَ
وَلاَ تَتَفَرَّقُوْا فِيْهِ (الشورى: 13)
“Dia telah mensyari’atkan agama pada
anda seperti agama yang diperintahkan kepada Nuh. Dan ajaran yang Kami wahyukan
pada anda seperti yang Kami perintahkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu:
“Tegakkanlah (ajaran) agama dan janganlah anda berselisih tentang agama itu”. (Q.S. asy-Syura: 13)
Walaupun
demikian dari pokok-pokok ajaran itu, Islam secara teologis masih mempunyai
keistimewaan yang berbeda dengan teologi Yahudi dan Nasrani. Misalnya, teologi
“Uzair itu putra Allah” bagi Yahudi; dan Isa putra Allah” bagi Nasrani. Hal ini
ditegaskan dalam beberapa ayat dalam al-Qur'an, di antaranya:
1. Firman Allah:
وَقَالَتِ
الْيَهُوْدُ عُزَيْرُ ابْنُ اللهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيْحُ ابْنُ اللهِ
ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُوْنَ قَوْلَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا
مِنْ قَبْل قَاتَلَهُمُ اللهُ أَنَّى يُؤْفَكُوْنَ (التوبة: 30)
“Orang-orang Yahudi berkata, Uzair
itu putra Allah sedang orang-orang Nasrani berkata, Isa al-masih itu putra
Allah. Demikian itulah ucapan yang keluar dari mulut mereka, mereka meniru
ucapan-ucapan orang-orang kafir sebelumnya. Mereka mendapatkan laknat Allah,
bagaimana mereka dapat dipalingkan”?
(Q.S. at-Taubah: 30)
2. Firman Allah:
يَاأَهْلَ الْكِتَابِ
لاَ تَغْلُوْا فِيْ دِيْنِكُمْ وَلاَ تَقُوْلُوْا عَلَى اللهِ إِلاَّ الْحَقَّ, إِنَّمَا
الْمَسِيْحُ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُوْلُ اللهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى
مَرْيَمَ وَرُوْحٌ مِنْهُ, فَأَمَنُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ........(النساء:
171)
“Wahai ahli kitab janganlah anda
berlebih-lebihan dalam beragama, dan hanya teologi yang benar bagi Allah yang
harus anda kemukakan. Isa al-Masih putra Maryam itu hanyalah Rasul Allah dan
kalimah-Nya yang disampaikan kepada Maryam dengan tiupan roh dari Allah. Oleh
karena itu, berimanlah anda pada Allah dan rasul-rasul-Nya”. (Q.S. an-Nisa: 171)
3. Islam menyatakan, bahwa Isa tidak mati dibunuh oleh
orang-orang Yahudi. Padahal, menurut teologi mereka, Isa telah mati dibunuh dan
disalib oleh Yahudza. Mereka berkeyakinan; dengan kematian Isa, dunia ini
menjadi suci.
Firman
Allah:
وَقَوْلُهُمْ إِنَّا
قَتَلْنَا الْمَسِيْحَ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ قَتَلُوْهُ وَمَا صَلَبُوْهُ وَلَكِنْ
شُبِّهَ لَهُمْ, وَإِنَّ الَّذِيْنَ اخْتَلَفُوْا فِيْهِ لَفِى شَكٍّ مِنْهُ مَا لَهُمْ
بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلاَّ اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوْهُ يَقِيْنًا (النساء:
157)
“Dan karena ucapan mereka, sungguh
kami telah membunuh Isa al-Masih putra Maryam “Rasul Allah itu”, padahal mereka
tidak membunuh dan tidak menyalibnya tetapi (yang mereka bunuh) adalah seorang
yang bagi mereka mirip dengan Isa. Sesungguhnya orang-orang yang berpendapat
tentang terbunuhnya Isa masih dalam keraguan. Sebetulnya mereka tidak tahu
kepastian nasib Isa. Pengetahuan mereka hanya bersifat praduga saja. (Dengan
demikian), mereka tidak yakin dapat membunuh Isa”. (Q.S. an-Nisa: 157).
4. Lebih tegas lagi, al-Qur'an menyatakan bahwa Isa
diangkat oleh Allah, alias tidak mati terbunuh seperti keyakinan orang-orang
Yahudi. Firman Allah:
بَلْ رَفَعَهُ اللهُ
إِلَيْهِ وَكَانَ اللهُ عَزِيْزًا حَكِيْمًا (النساء: 158)
“Tetapi, (sebenarnya) Allah
mengangkatnya kepada-Nya, dan Allah itu Maha Perkasa dan Maha Bijaksana”. (Q.S. an-Nisa: 158).
5. Al-Qur'an menyatakan bahwa Maryam Ibunda Isa adalah
wanita pilihan yang suci. Firman Allah:
وَإِذْ قَالَتِ
الْمَلآَئِكَةُ يَامَرْيَمُ إِنَّ اللهَ اصْطَفَاكِ وَطَهَّرَكِ وَاصْطَفَاكِ
عَلَى نِسَآءِ الْعَالَمِيْنَ (ال عمران: 42)
“Dan (ingatlah) ketika malaikat
berkata: Wahai Maryam sesungguhnya Allah memilih, mensucikan dan melebihkan
anda atas kaum wanita seluruh dunia”. (Q.S.
Ali Imran: 42)
Tentang
sikap Islam terhadap teologi kaum Nasrani, bukan agama Nasrani, itu jelas ada
perbedaan essensial, antara lain:
1. Islam memerintahkan kaum muslimin untuk meyakini bahwa
Isa itu bukan Anak Allah. Ini sesuai dengan Firman-Nya:
قُلْ هُوَ اللهُ
أَحَدٌ (1) اَللهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدُ (3) وَلَمْ يَكُنْ
لَهُ كُفُوًّا أَحَدٌ (4)
“Katakan, Dialah Allah Yang Maha
Esa. Allah tempat bergantung. Tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak
ada suatu apapun yang dapat menyamai-Nya”. (Q.S.
al-Ikhlas: 1-4)
2. Menurut ajaran Islam, Tuhan itu Maha Esa dan bukan
Trinitas (Tiga dalam Satu atau Satu dalam Tiga).
Seperti
Firman Allah:
لَقَدْ كَفَرَ
الَّذِيْنَ قَالُوْا انَّ اللهَ ثَالِثُ ثَلاَثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلاَّ
إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوْا عَمَّا يَقُوْلُوْنَ لَيَمَسَنَّ الَّذِيْنَ
كَفَرُوْا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ (المائدة: 73)
“Sungguh orang-orang yang berkata
bahwa “Allah itu salah satu dari yang tiga” itu telah kafir, sebab Tuhan yang
ada (dan pantas disembah) itu hanya satu. Jika mereka tidak mau berhenti dari
kepercayaan yang mereka omongkan itu, siksa yang pedih akan menimpa pada
orang-orang kafir, termasuk orang-orang Nasrani itu”. (Q.S. al-Ma’idah: 73)
3. Dalam al-Qur'an, Allah menghujat orang-orang Nasrani
yang menyatukan antara Allah dan Isa al-masih seperti Firman Allah:
لَقَدْ كَفَرَ
الَّذِيْنَ قَالُوْا انَّ اللهَ هُوَ الْمَسِيْحُ ابْنُ مَرْيَمَ, وَقَالَ
الْمَسِيْحُ يَابَنِيْ إِسْرَآئِيْل أُعْبُدُوا اللهَ رَبِّيْ وَرَبُّكُمْ
(المائدة: 72)
“Sungguh orang-orang yang berkata,
bahwa “Sesungguhnya Allah itu (berada dalam) diri Isa al-Masih putra Maryam”,
itu telah kafir. Padahal Isa al-masih telah berkata, wahai Bani Israil
sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhan anda”. (Q.S.
al-Ma’i8dah: 72)
Allah –dalam al-Qur'an- juga mengecam
kepercayaan-kepercayaan lain yang dianggap menyimpang dari ajaran yang benar.
Oleh karena itu, kiranya ayat-ayat di atas dapat dijadikan argumentasi yang
kuat, bahwa Islam sebagai agama yang benar dan masih bersih mempunyai keistimewaan
yang secara teologis berbeda dengan Yahudi dan Nasrani.
Islam beserta perangkat teologi praktisnya , dan ajaran
syari’ahnya yang dapat merespon perkembangan zaman; serta fleksibilitas ajaran
yang mampu memberi kepuasan material dan spiritual itu, menjadi argumen yang
cukup kuat untuk menyatakan bahwa, "Islam itu agama universal yang
abadi".
Tentang aliran teologi dalam Islam yang dianggap nyeleneh
itu memang kelompok aliran yang masih dalam "lingkup" Islam. Sebab
pokok-pokok ajaran teologisnya, seperti wujud Allah, kerasulan Muhammad, Hari Kiamat
dan lain-lain, itu tidak menyimpang. Yang berbeda dengan aliran di atas hanya
ajaran-ajaran yang tidak menyentuh ajaran pokok di atas. Tentu, setiap orang
mempunyai ilmu tentang Islam yang berbeda-beda kualitasnya. Dengan ilmu itu, ia
dapat membedakan antara aqidah/teologi yang betul-betul dari ajaran Islam,
dengan aqidah/teologi yang sudah menyimpang dan menyempal dari ajaran Islam
yang asli dan murni.
Aneka Ragam Teologi Kaum Muslimin
Setelah mengemukakan jawaban terhadap pandangan para
orientalis yang diwakili oleh Weinsinck, pertanyaan akan muncul; jika benar
kandungan al-Qur'an itu tidak saling bertentangan, dan berisi kebenaran ajaran
yang dapat menerangi kehidupan manusia; mengapa Islam terpecah pada beberapa
golongan, padahal sumber kepercayaan teologis mereka satu? Sebetulnya, al-Qur'an
bukan penyebab timbulnya perpecahan. Yang menyebabkan kaum muslimin terpecah-
belah adalah "permainan politik". Untuk itu, akan lebih baik, jika
persoalan politik ini kita kaji melalui pendekatan historis.
Sudah menjadi fakta sejarah bahwa para sahabat –ketika
Rasul masih hidup- dikenal sebagai komunitas yang istimewa, hidup rukun, saling
memaafkan dan saling menegakkan amr ma'ruf nahi mungkar di antara mereka.
Perselisihan yang muncul, selalu mereka serahkan pada Rasul. Rasul bisanya
segera mengambil tindakan secara arif dan bijaksana berdasarkan ketentuan wahyu
al-Qur'an dan ijtihad.
Tetapi, begitu rasul wafat, kondisi harmonis itu mendadak
berubah. Harmonitas kehidupan mereka mulai terganggu. Mereka mempunyai visi
sendiri-sendiri. Dan visi-visi ini akhirnya menjadi kelompok. Benih-benih
perpecahan mulai muncul. Perpecahan tidak hanya sekedar perbedaan pendapat
tentang masalah penguburan Rasul atau memerangi penduduk yang murtad. Kedua
persoalan ini bisa dikatakan "sederhana", sebab begitu muncul
argumentasi berdasarkan nash al-Qur'an atau hadits, persoalan segera dapat
diatasi.
Tetapi perpecahan yang kami maksud adalah persoalan
kepemimpinan pasca Rasul, yang dalam sejarah dikenal dengan "problem
khilafah". Problem terakhir inilah yang mengantarkan kaum muslimin
terpecah menjadi kelompok-kelompok dan partai-partai, sesuai dengan visi mereka
tentang "khilafah". Istilah ini dianggap berdimensi politik yang
profan dan tidak berdimensi religius-teologis yang sakral. Dengan demikian,
tidak salah jika kami berpendapat bahwa, bukan nash dan ayat-ayat al-Qur'an
yang menyebabkan perpecahan itu. Tetapi sebaliknya motivasi politik yang profan
itulah yang diseret untuk mendapatkan legitimasi dari ayat-ayat al-Qur'an dan
hadits, demi tujuan politik. Dari sini muncul apa yang dikenal dengan
"sistem khilafah dan imamah dalam Islam", menurut visi setiap
kelompok. Dan masing-masing kelompok "sibuk" mencari legitimasi
ayat-ayat al-Qur'an dan sunnah Nabi. Akhirnya, setiap kelompok mempunyai
pemikiran teologi, fiqh, tasawuf; bahkan kultur sendiri untuk membedakan antara
aliran yang satu dengan aliran yang lain.
Atas dasar pemikiran di atas, marilah kita lacak historis
yang terjadi setelah Rasul wafat. Sebab dari peristiwa ini muncul pemikiran
iman dan amal, serta masalah yang berkaitan dengan pemerintahan dan kekuasaan
yang konstitusional dan yang inkonstitusional (sah menurut hukum Islam atau tidak).
Rasulullah SAW. wafat tanpa menunjuk seorang khalifah
sebagai pelanjut perjuangan dan kepemimpinannya. Di tengah kesibukan mengurusi
jenazah Rasul yang dipimpin oleh Ali bin abi Thalib, kaum Anshar melakukan
"rapat sepihak' di saqifah bani asidah untuk menentukan khalifah Rasul.
Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah cepat-cepat mendatangi rapat, agar pertemuan
dapat terarah. Ternyata, antara sesama kaum Anshar sendiri terjadi perbedaan
pendapat yang sulit dipadukan. Akhirnya di tengah rapat yang tidak representatif
ini, Abu Bakar terpilih dan dibaiat sebagai khalifah, yang oleh Umar
digambarkan sebagai:
إِنَّهَا فلتةٌ وَفِى اللهِ
الْمُؤْمِنِيْنَ شَرَّهَا
"Pemilihan
konyol, yang oleh Allah lindungi akibat jeleknya bagi kaum muslimin".
Pembaiatan Abu Bakar itu menimbulkan kekecewaan yang
sangat dalam di hati calon khalifah dari kalangan Anshar, yang mendukung Sa'ad bin Ubadah. Kekecewaan juga
melanda keluarga dekat Rasul terutama Ali dan Fatimah, yang merasa
"sengaja tidak diikutkan dalam pemilihan khalifah" dalam rapat itu.
Ternyata, kepemimpinan Abu Bakar yang tidak lebih dari
dua tahun itu oleh para sejarahwan dinilai "sukses" dalam meratakan
keadilan dan meredakan konflik.
Kemudian, Abu Bakar menunjuk Umar dengan cara wasiat,
untuk menjadi khalifah setelah beliau wafat. Ternyata, Umar pun dinilai sukses
dalam meratakan keadilan. Tetapi, masa pemerintahan dua sahabat besar ini,
tidak memuaskan Ali dan para pendukungnya, yang sejak pertama mempunyai
"ambisi " untuk menjadi khalifah.
Sebelum Umar wafat, ia menunjuk enam tokoh sebagai
"badan Formatur" yang beliau anggap mampu meneruskan perjuangan,
untuk memilih khalifah di antara mereka sendiri. Rapat formatur memutuskan
Usman sebagai khalifah. Terpilihnya usman ini menambah kekecewaan di pihak ali
dan para pendukungnya. Hal ini dapat terlihat, ketika Ali dibaiat sebagai
khalifah keempat, setelah Usman tewas terbunuh.Pembaiatan Ali oleh sekelompok
orang, -yang diduga antara mereka- terlibat dalam pembunuhan Usman; dan
kenyataan ali tidak segera mengambil tindakan, memperkuat dugaan –terutama dari
Muawiyah- bahwa Ali terlibat langsung dalam pembunuhan Usman.
Di pihak lain Thalhah dan Zubair yang juga pernah
melakukan gerakan anti Usman dari Irak dan Hijaz, diduga karena mereka
berambisi menjadi khalifah setelah Usman. Oleh karena itu, setelah Ali dibaiat
sebagai khalifah keempat, ia harus menghadapi paling tidak, tiga orang tokoh,
yaitu: Thalhah dengan basis pendukungnya di Irak; Zubair dengan basis
pendukungnya di Hijaz; serta Muawiyah dengan basis pendukungnya di Damaskus.
Untuk dua tokoh utama (Thalhah dan Zubair) berkoalisi
dengan Aisyah, Ali dapat menyelesaikan dengan baik dalam perang "Jamal.
Kedua tokoh itu tewas dalam pertempuran. Sedang Aisyah berhasil ditawan,
kemudian dibebaskan dengan syarat tidak akan terlibat dalam kegiatan politik
praktis.
Untuk memperkuat dan mengantisipasi beberapa kemungkinan,
Ali memindah ibu kota negara, dari Madinah ke Kufah. Ini ia lakukan, di samping
karena basis kekuatan pendukungnya berada di kota ini, ia ingin lebih cepat
mengetahui gerakan Muawiyah yang menjadi gubernur Syiria sejak masa khalifah
umar, yang tidak mau mengakui kekhalifaan Ali. Bagi Muawiyah yang terpenting
bukan siapa yang harus dibaiat menjadi khalifah, tetapi pembunuh Usman dan
orang-orang yang terlibat dalam kegiatan makar itu segera ditangkap dan
diajukan ke pengadilan.
Akhirnya pertentangan mulai melebar dari persoalan
"khalifah" ke pertentangan daerah kekuasaan; Irak melawan Syiria, dan
Kufah melawan Damaskus. Pertentangan tersebut sampai puncaknya dengan
meletusnya pertempuran antara pasukan Ali dan pasukan Muawiyah. Pertempuran ini
dalam sejarah dikenal dengan "perang shiffin".
Akhir pertempuran, secara militer keunggulan berada di
pihak ali. Tetapi secara diplomatik pihak Ali mengalami "kegagalan
total". Hal ini sebagai akibat dari "kejujuran" delegasi ali
yang dipimpin oleh Abu Musa al-Asy'ari yang kurang lihai dalam permainan
politik dalam perundingan tahkim. Sedang delegasi Muawiyah dipimpin oleh
Amru bin Ash, seorang politisi profesional yang sudah terbiasa dengan "permainan politik".
Akibat perang shiffin dan tahkim itulah kaum
muslimin terpecah, paling tidak ada empat kelompok besar. Pertama, kelompok
pendukung Muawiyah (pemerintah). Kedua, kelompok yang terus setia pada
Ali bin Abi Thalib yang kemudian dikenal sebagai Syi'ah. Ketiga, kelompok
yang secara ekstrim menentang kedua tokoh yang bersaing, Ali dan Muawiyah,
kelompok ini kemudian dikenal dengan "khawarij". Keempat, kelompok
pasif, yang tidak mau menentukan sikap dukung atau penentangan terhadap salah
satu kelompok.
Dari empat kelompok ini –yang kemudian diperkuat oleh
unsur-unsur budaya lokal dan filsafat Yunani-, berkembang menjadi aliran
teologi, fiqh, tasawuf dan pemikiran politik yang kadang-kadang antara yang
satu dengan yang lain saling bertentangan secara tajam. Dan masing-masing
kelompok mengerahkan tenaga, pikiran dan dana untuk mencari legitimasi dari
al-Qur'an dan as-Sunnah sebagai argumentasi "kebenaran" pendirian
pemikiran "agama" kelompoknya.
Jadi kenyataan kontradiksi pemikiran teologi yang terjadi
di kalangan kaum muslimin berasal dari pertentangan dan ambisi politik yang
bersifat profan, bukan berangkat dari ayat-ayat al-qur'an. Dengan demikian,
tesis Weinsinck yang menyatakan kandungan teologi dalam al-Qur'an itu banyak
yang kontradiktif tidak dapat diterima secara ilmiah, dan perlu segera
diluruskan.
KESIMPULAN
Setelah
memperhatikan statemen dan ulasan para orientalis tentang teologi Islam dan
latar belakang historisnya, kiranya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Sewajarnyalah kita mengakui bahwa para orientalis telah
berjasa memperkenalkan studi Islam dengan pendekatan rasional, sistematis dan
"menjauhi" pendekatan normatif, yang menjadi acuan setiap pemeluk
agama terhadap agamanya. Tetapi dibalik jasa "besarnya" itu mereka
berhasil menyisipkan misi "menjadikan kaum muslimin ragu terhadap
kebenaran mutlak ajaran agamanya" (Tasykik Aqidah al-Muslimin).
2. Statemen De Boer yang menyatakan bahwa, al-Qur'an hanya
membawa misi moralitas bagi kaum muslimin dan tidak membawa misi hukum dan
teologi, adalah pernyataan yang gegabah, yang dengan sendirinya terbantah oleh
kandungan al-Qur'an sendiri, dan realitas historis yang pernah dialami oleh
kaum muslimin.
3. Pernyataan De Boer, Greem dan Ignas Goldziher bahwa
"kaum muslimin pada periode awal menerima kenyataan bahwa dalam al-Qur'an
itu terdapat penjelasan dan ajaran yang kontradiktif', itu karena
dilatarbelakangi oleh pembelaan mereka terhadap kaum Yahudi Madinah yang secara
politik dan sosial terdesak oleh kehadiran Muhammad SAW. dan para pengikutnya
ke Madinah. Pernyataan itu akan kehilangan kredibiltas ilmiahnya jika mereka
sudi menggunakan "teori perkembangan", dalam menganalisa teologi dan
ajaran moral dalam al-Qur'an; bukan semata-mata analisa perbandingan antara
satu ayat dengan ayat lain.
4. Pernyataan Weinsinck yang menyatakan bahwa Muhammad SAW.
mungkin saja seorang Nabi, tapi kenabiannya hanya terbatas pada bangsa Arab,
dengan argumen: (1). Al-Qur'an itu berbahasa Arab (2). Al-Qur'an surat
al-Syura: 7, sungguh pernyataan yang terlalu dangkal. Karena memahami
universalitas hanya diukur dari teknis dan sarana penyampaian yang cenderung
Arabis, tidak pada substansi ajaran al-Qur'an yang universal. Sekali lagi
Weinsinck melakukan "kesalahan metodologis", karena ia tidak mau
melakukan studi perbandingan antara satu ayat dengan ayat yang lain. Jika teori
ini ia lakukan niscaya argumen yang dikemukakan akan rontok dengan sendirinya.
5. Argumen orientalis yang menyatakan, "bukti riilnya
kontradiksi ajaran dalam al-qur'an itu adalah munculnya beberapa aliran teologi
dalam Islam, walaupun sumber otoritas ajarannya hanya satu, yaitu
al-Qur'an". Ini tidak dapat kita terima, karena aliran teologi dalam Islam
itu muncul karena motivasi politik. Jadi bukan teologi yang memunculkan aliran
politik. Mestinya mereka menggunakan pendekatan sosio-historis, yang menjadi
basis dan kekuatan keilmuan mereka. Sayangnya –mungkin karena terikat dengan
tujuan orientalisme-, mereka tidak mau menggunakan pendekatan sesuai dengan
proporsi obyektif yang menjadi standar universal.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'an, Maktabah Ibnu Katsir, Beirut,
1995
De Boer, Geschichte der
Philosopie in Islam, Sourbone Univ. Paris, 1949
Hamzi Zaqzuq, al-Isytiraq wa al-Khalfiyah al-Fikriyah,
Kitabul Ummah, Qatar, 1983
Ihsan Abbas, al-Isytiraq: al-Tarikh wa al-Manhaj wa
al-Shura, Dalam jurnal al-Fikr al-Arabi, Tripoli, 1983
Steiner, The Mu'tazilah or Free Thinkers of Islam, Leipziq,
1945
Tritton, Moslem Theologi, London, 1947
Macdonald, Development of Moslem Theology and
Yurisprudence, London, 1903
Muhsin Musawi, Madakhlal al-Mutsaqqafin al-Arab li
al-Isytiraq, Dalam Jurnal al-Isytiraq, 1987
Weinsinck, Moslem Creed, Cambridge, 1957
0 comments: