MUNCULNYA SEKTE-SEKTE TEOLOGIS DALAM ISLAM

Tidak Ada Aqidah Dalam al-Qur'an
De Boer, dalam buku yang berjudul "Geschichte der Philosophie in Islam" menyatakan: al-Qur'an membawa misi ajaran agama bagi kaum muslimin dan tidak membawa teori-teori. Dalam al-Qur'an itu ada ketentuan-ketentuan hukum, tetapi tidak membawa ajaran aqidah dan teologi (De Boer, 1960: 46). Apa yang dimaksud dengan ungkapan di atas? Apakah ia bermaksud bahwa dalam al-Qur'an tidak ada teori dan sistem teologi yang diungkapkan secara tematik dan sistematis, menurut kaidah ilmu atau kaidah yang memang bermaksud untuk menafsirkan teori, aqidah dan teologi dalam al-Qur'an?
Jika yang dimaksud dalam pertanyaan pertama, maka itu dapat diterima. Sebab itu akan mengurangi nilai dan bobot al-Qur'an. Fakta sejarah menyatakan bahwa aneka macam aliran filsafat dan etika yang berusaha menanamkan "nilai-nilai baik dan terpuji" dalam jiwa manusia, berdasarkan metodologi ilmiah rasional, ternyata gagal total secara keseluruhan. Ini berbeda dengan konsep etika yang ditawarkan oleh ajaran agama. Yang terakhir ini menawarkan alternatif, menggabungkan antara rasio (al-Aql) dan rasa (al-Wujdan). Ternyata konsep ini berhasil mengarahkan manusia untuk mendapatkan petunjuk (al-Hidayah) dan mencapai kebahagiaan yang optimal, baik dalam kehidupan individual, maupun dalam kehidupan komunal.
Jika uraian ini bukan yang dimaksud De Boer, tetapi ia bermaksud menyatakan bahwa al-Qur'an memang sama sekali tidak membawa teori aqidah dan teologi, maka sebetulnya ia hanya berpraduga saja, yang akan terbantah sendiri oleh al-Qur'an.
Dalam hal aqidah dan teologi, al-Qur'an melarang bahkan ingin memberantas taqlid dan kepercayaan-kepercayaan lain yang berdasarkan taqlid, seperti bertahan dan fanatik untuk mengikuti perilaku dan kepercayaan nenek moyang. Firman Allah:
كاَنُوْا لاَ يَعْقِلُوْنَ شَيْئًا وَلاَ يَهْتَدُوْنَ (البقرة: 41)
"Mereka itu tidak mengerti apa-apa dan tidak mendapat petunjuk (al-hidayah)" (Q.S. al-Baqarah: 41)
Al-Qur'an memerintahkan manusia untuk meneliti kebenaran dalam penciptaan alam semesta. Allah berfirman:
قُلِ انْظُرُوْا مَا فِى السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ
"Katakanlah, pikirkan apa yang di langit dan di bumi"
وَفِيْ أَنْفُسِكُمْ أَفَلاَ تُبْصِرُوْنَ
"Dan kejadian yang ada dalam diri anda sendiri, apakah anda tidak melihat". (Q.S. al-Qashash: 72)
Al-Qur'an juga memberi peluang untuk melakukan "tanya jawab" dan diskusi untuk mencapai suatu kebenaran. Allah berfirman:
أَمْ خُلِقُوْا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الخْاَلِقُوْنَ (الطور: 35)
Apakah  mereka diciptakan tanpa sebab, atau apakah mereka sendiri yang menjadi pencipta". (Q.S. al-Thur: 35)
Al-Qur'an juga memalingkan perhatian manusia untuk sudi memikirkan materi kejadian alam dan tata surya yang sangat mengagumkan itu dan yang mengaturnya. Misteri alam semesta itulah, yang menjadi dalil dan argumentasi adanya Sang Pencipta dan ke Maha Esaan-Nya. Sebab, jika Tuhan itu berbilang.
لَذَهَبَ كُلُّ إِلهٍ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلَ  بَعْضَهُمْ عَلىَ بَعْضٍ (ألمؤمنون: 93)
"Niscaya setiap Tuhan akan sirna pergi bersama dengan segala yang ia ciptakan. Dan sungguh antara satu Tuhan dengan Tuhan yang lain akan salaing menindas".
Jika demikian yang terjadi, maka keadaan di langit dan di bumi akan menjadi tegang dan kacau.
لَوْ كَانَ فِيْهِمَا ألِهَةٌ إِلاَّ اللهُ لَفَسَدَتَا (ألأنبياء: 22)
"Andaikan di langit dan di bumi ada Tuhan selain Allah, niscaya langit dan bumi itu akan rusak berantakan". (Q.S. al-Anbiya': 22)
Di samping itu Sang Pencipta pasti mempunyai sifat-sifat yang sesuai dengan kedudukannya sebagai Pencipta. Seperti: kuasa (Qudrah), kehendak (Iradah), hidup (Hayah), pengetahuan (Ilmu), menyeluruh terhadap segala sesuatu, "termasuk tingkah tipuan mata dan suara hati". Firman Allah:
يَعْلَمُ خَائِنَةَ اْلأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِى الصُّدُوْرِ (المؤمن: 19)
"Dia mengetahui tipu daya dan suara hati yang di dada" (Q.S. al-Mukmin: 19)
Bersamaan dengan itu, Sang Pencipta terus memperhatikan dan memelihara ciptaan-Nya.
إِنَّ اللهَ يُمْسِكُ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ أَنْ تَزُوْلاَ (فاطر: 41)
"Sesungguhnya Allah-lah yang mempertahankan langit dan bumi agar tidak sirna". (Q.S. Fathir: 41)
Dia berjanji untuk memberi prlindungan dan rizki pada setiap benda hidup.
وَمَا مِنْ دَآبَّةٍ فِى اْلأَرْضِ إِلاَّ عَلىَ اللهِ رِزْقُهَا (الرعد: 6)
"Segala sesuatu yang dapat berjalan di atas bumi pasti kan mendapatkan rizki dari Allah". (Q.S. al-Ra'd: 6)
Manusia adalah makhluk pilihan Allah dengan keistimewaan "hidayah". Dengan hidayah ini manusia dapat menangkap dan menerima kebenaran dan budi pekerti yang luhur.
قَدْ جَآءَكُمْ مِنَ اللهِ نُوْرٌ وَكِتَابٌ مُبِيْنٌ (المائدة: 17)
"Sungguh cahaya (Nur) dan kitab yang jelas dari Allah telah datang pada anda sekalian". (Q.S. al-Maidah: 17)
إِنَّا لَنَنْصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِيْنَ آمَنُوْا فِى الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُوْمُ اْلأَشْهَادُ (المؤمن: 51)
"Sesungguhnya Kami (Allah) akan menolong para Rasul dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada masa para saksi melaksanakan tugasnya (kiamat akhirat)". (Q.S. al-Mukmin: 51)
- Allah akan segera menolong seorang hamba yang berjuang untuk menegakkan agama-Nya, dan mempertahankan serta membela nilai kebaikan dalam agama. Firman Allah:
إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللهِ لِلَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ السُّوْءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوْبُوْنَ مِنْ قَرِيْبٍ (النساء: 17)
"Sesungguhnya Kami (Allah) akan menolong para Rasul dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada masa para saksi melaksanakan tugsnya (kiamat akirat)". (Q.S. al-Mukmin: 51)
- Dan Allah telah menetapkan pada diri-Nya sendiri untuk dapt mengampuni hamba yang bertobat.
إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلىَ اللهِ لِلَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ السُّوْءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوْبُوْنَ مِنْ قَرِيْبٍ (النساء: 17)
"Sesungguhnya tobat itu mnjadi hak otoritas Allah untuk mengampuni orang-orang yang melakukan kesalahan (kejahatan) karena kebodohan yng segera bertobat (di dunia)". (Q.S. an-Nisa': 17)
- Pengampunan Allah ini berlaku umum, termasuk orang yang bisa melakukan dosa besar. Seperti dalam Firman-Nya:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِيْنَ أَسْرَفُوْا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لاَ تَقْنَطُوْا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ (الزمر: 53)
"Katakanlah (wahai Muhammad) wahai hamba-hamba-Ku yang berlebih-lebihan (menganiaya) diri mereka sendiri. Janganlah kalian (merasa) terputus dari rahmat Allah". (Q.S. al-Zumar: 53)
- Walaupun demikian, Allah masih berkenan memberi rahmat kepada para tiranis yang sombong dan congkak.
Di samping itu al-Qur'an menetapkan adanya konsep kebangkitan dan kekekalan. Firman Allah:
يَوْمَ تُبَدَّلُ اْلأَرْضُ غَيْرَ اْلأَرْضِ وَالسَّمَوَاتِ. وَنُفِخَ فِى  الصُّوْرِ فَإِذَا هُمْ مِنَ اْلأَجْدَاثِ إِلَى رَبِّهِمْ يَنْسِلُوْنَ (يس: 51)
- Setelah itu manusia akan diintrogasi (dihisab) secara ketat dan teliti. Firman Allah:
وَنَضَعُ الْمَوَازِيْنَ الْقِسْطِ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ (الأنبياء: 47)
"Kami pasang "timbangan keadilan" pada hari Kiamat". (Q.S. al-anbiya': 47)
Introgasi dan hisab ini menyeleksi seseorang untuk dikelompokkan menjadi kriteria orang baik atau orang jelek. Firman Allah:
فَرِيْقٌ فِى الْجَنَّةِ وَفَرِيْقٌ فِى السَّعِيْرِ (الشورى: 7)
"Satu kelompok masuk ke dalam surga sedangkan satu kelompok masuk ke dalam neraka". (Q.S. al-Syura: 7)
Kejadian-kejadian di atas bagi Allah Yang Maha Pencipta, tidak mustahil. Firman Allah:
فَسَيَقُوْلُوْنَ مَنْ يُعِيْدُنَا, قُلِ الَّذِيْ فَطَرَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ (الأسراء: 51)
أَوَلَيْسَ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ بِقَادِرٍ عَلىَ أَنْ يَخْلُقَ مِثْلَهُمْ (يس: 81)
"Maka mereka akan berkata: Siapa yang mengembalikan kami (hidup kembali sekarang ini?). Katakanlah: ialah Tuhanku yang menciptakan anda pertama kali". (Q.S. al-Isra': 51)
"Bukankah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi itu Maha Kuasa untuk menciptakan manusia yang seperti mereka?". (Q.S. Yasin: 81)
Ungkapan kejadian di atas adalah teori hubungan antara alam semesta (cosmos) dengan penciptanya yang kemudian akidah yang menjadi missi para Nabi yang diperintahkan untuk menyampaikan kepada seluruh umat manusia secara keseluruhan.

Kontradiksi Dalam al-Qur'an
De Boer dalam buku di atas, selanjutnya menyatakan: "Kaum muslimin pada periode pertama menerima kenyataan bahwa dalam al-Qur'an itu terdapat penjelasan dan ajaran yang kontradiktif" (De Boer, Ibid, h. 49). Sebetulnya statemen di atas bukan hanya pendapat De Boer. Orientalis lain seperti Greem Goldzine juga berpendapat begitu. Mereka menyatakan: Kontradiksi dalam al-Qur'an itu adalah suatu kenyataan. Hal ini terjadi –menurut mereka- terkait dengan kondisi psychologis Muhammad yang sering berubah sikap dan tidak konsis, sesuai dengan tantangan dan peran yang dimainkannya dalam menghadapi tantangan dakwahnya. Kenyataan di atas telah diterima oleh kaum muslimin tanpa harus disertai pertanyaan kritis: Mengapa dan bagaimana hal itu dapat terjadi?
Dalam hal ini para orientalis pada umumnya sangat memperhatikan kontradiksi dalam al-Qur'an itu: dengan menekankan fokus bahasan "ide deterministis" (al-Jabr), upaya dan usaha (al-Ikhtiyar) manusia, penyerupaan (al-Tasybih), pensucian (al-Tanzih) Tuhan. Tujuan utama mereka mengungkap beberapa sub bahasan di atas adalah mencari data dan analisa "ilmiah" untuk menyatakan bahwa al-Qur'an itu bukan diturunkan dari Allah. Sebab jika memang betul terjadi kontradiksi, tentu sangat mustahil Allah memberi hidayah kepada manusia dengan pedoman sebuah kitab yang berisi kenyataan-kenyataan yang kontradiktif, lebih mustahil lagi jika Allah tidak konsisten dan bersikap kontradiktif dengan sifat-sifat otoritasNya sendiri.
Tetapi, menurut orientalis, karena al-Qur'an itu hanya karangan dan rekayasa Muhammad yang tak lebih dari seorang manusia, tentu terikat dan terpengaruh dengan realitas sosial. Oleh karena itu kondisi psikologis, pendapat dan sikapnya sangat mudah berubah seperti layaknya seorang manusia. Realita kontradiksi pemikiran yang ada dalam al-Qur'an tidak terlepas dari kondisi, perubahan dan dinamika sosial yang dihadapi Muhammad. Sebagai contoh, pada awal Muhammad menyampaikan dakwah dan missinya, ia ingin menghapus sikap menerima kenyataan (determinis, al-Jabr) yang sudah menjadi teologi bangsa Arab pada masa jahiliyah. Teologi "jumud" ini perlu dihapus, agar tidak dijadikan argumentasi untuk menjauhi dan tidak mengikuti agama yang ia dakwahkan. Oleh sebab itu, dapat dipahami, mengapa Muhammad –pada awal dakwahnya- itu mengajukan kebebasan individu (al-Hurriyah al-Fardiyah/personal free will).
Setelah Muhammad hijrah dan menetap di Madinah, dengan mendapatkan pengikut yang cukup banyak, bahkan lebih dari yang ia duga, maka –menurut Muhammad- orng-orang itu mendapatkan hidayah masuk Islam, semata-mata karena anugerah Allah. Betulkah realitas dalam al-Qur'an itu kontradiktif, berdasarkan argumen di atas? Betulkah "kesucian" dan kesakralan" al-Qur'an itu akan tercabut dan turun derajatnya menjadi  tidak berbeda dengan sebuah kitab karangan manusia biasa?
Sebetulnya, secara substansional isi al-Qur'an itu tidak ada yang kontradiktif apalagi saling berlawanan (antagonistik). Sebab, dalam satu ayat, al-Qur'an menyatakan: Manusia itu tidak dipaksa (deterministik) menerima nasib (mujbar), dan pada ayat lain, menyatakan dipaksa menerima nasib. Al-Qur'an juga tidak menentukan bahwa Allah itu hanyalah esensi yang abstrak (Jauhar mujarrad), sedang di ayat lain menyatakan: Allah itu bukan "esensi yang abstrak", yang dpat diambil kesimpulan, dalam waktu yang sama ada positif dan negatif (tsubul alsya'iwa tsabutuh). Kesimpulan ini adalah syarat yang harus dipenuhi bagi adanya kontradiksi (tanaqud) dan antogonistik (ta'arudh).
Substansi yang ada dalam al-Qur'an hanya terjadi pada problem determinis (al-jabr) dan usaha (al-ikhtiyar). Hal ini seperti pengertian ayat-ayat yang menjelaskan bahwa "Allah SWT. itu pncipta segala sesuatu". Sedang pada ayat yang lain menjelaskan bahwa "kebebasan berkreasi dan berencana menjadi otoritas manusia. Apakah dua pernyataan di atas harus dipahami bahwa manusia pada waktu yang bersamaan dapat bersikap determinis (mujbar) sekaligus bebas bersikap (muhayyar) atau persoalan ini sebetulnya tidak dapat dikatakan kontradiktif. Sebab dua pengertian di atas mengandung "kebenaran" menurut profesi yang berbeda. Allah harus ditempatkan sebagai pencipta jagat raya ini, sebagai sumber sebab, dengan realitas, Dialah yang menganugerahi manusia untuk dapat berbuat dan berkehendak. Dia pulalah yang mengatur proses perjalanan dan tantangan dan memberi pertolongan agar manusia dapat menyelesaikan dan menuntaskan anugerah yang bermula dari Allah itu.
Jadi, jika al-qur'an kemudian menegaskan bahwa "Allah Pencipta Segala Sesuatu", itu menggambarkan hakekat, atau minimal satu sisi dari hakekat itu. Seperti halnya, manusia itu mempunyai kehendak (al-Iradah) dan program untuk pelakukan suatu perbuatan. Dari dalam dirinya ia merasakan kehendak kuat di atas (al-Iradah wa al-'Azm). Ia juga merasakan kehendak kuat tersebut merupakan prasyarat bagi aktualisasi ikhtiayar dirinya. Oleh karena itu jika al-Qur'an mengaitkan aktualisasi perbuatan itu pada seseorang, itu berarti penjabaran "kebenaran" atau –minimal bagian terkecil dari "kebenaran" itu. Jadi "Islam"  harus dianggap sebagai agama yang sempurna yang meliputi dua kerangka  "kebenaran" di atas. Sebab, bisa terjadi, ada seseorang yang menyatakan bahwa segala sesuatu itu semuanya sudah ditentukan oleh Allah. Oleh karena itu tidak akan ada jalan lain, kecuali yang sudah ditentukan-Nya. Ungkapan ini berdasarkan ayat-ayat al-Qur'an yang secara gamblang menyatakan adanya "kebebasan kehendak individu". Dengan demikian, seseorang yang dengan upaya dan perjuangan maksimalnya dapat meraih "sukses", masih mengembalikan kesuksesannya itu pada anugerah Allah, sebagai pengakuan atas hak otoritas Allah dalam memberikan taufiq, hidayah, perputaran hukun kausalitas, dan penyingkiran beberapa rintangan, berarti ia telah mencapai kesempurnaan dalam kesyahduan dan kenikmatan beragama.
Jika benar Muhammad ketika di Makkah memuji dan menganjurkan "kbebasan kehendak individu": Kemudian ketika beliau ada di Madinah, mngembalikan segala sesuatu pada Allah: itu bukan berarti beliau mengubah sikap, karena kondisinya berubah, berdasarkan adanya dua nash yang kontradiktif. Tetapi hal itu berpangkal pada mantapnya dua sisi kebenaran (al-Haqiqah) dalam keadaan tertentu. Jadi pertentangan antar nash itu sama sekali tidak ada.
Sedang problem penyerupaan (al-Tasybih) dan penyucian (al-Tanzih) itu lebih mudah menjelaskannya. Sebab, dalam al-Qur'an tidak ada nash qath'i yang menyatakan bahwa Allah itu benda atau jisim, yang bertentangan dengan nash lain, yang dalam al-Qur'an adalah beberapa ayat yang dalam bahasa dan rasa orang-orang Arab dapat dipalingkan dari arti hakiki ke arti majazi. Seperti firman Allah:
وَالسَّمَوَاتِ مُطْوِيَّاتٌ بِيَمِيْنِهِ (الزمر: 67)
"Tujuh lapis langit itu terlipat pada sebelah kanan Allah" (Q.S. al-Zumar: 67)
وَيَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيْهِمْ (الفتح:    )
"Tangan Allah (kekuasaan) berada di atas tangan (kekuasaan) mereka". (Q.S. al-Fath:     )
Arti gamblang (terlipat pada sebelah kanan Allah dan tangan Allah) di atas dalam rasa dan bahasa Arab berarti keperkasaan dan keagungan al-qur'an memilih ungkapan di atas, yang kemudian "dikira" bahwa Allah serupa dengan benda; itu karena agama harus mampu memperhatikan strata sosial dan intelektual. Masyarakat, secara menyeluruh, kiranya lapisan terbesar masyarakat tidak mampu menangkap maksud "keagungan Allah", kecuali dengan menggunakan ungkapan gamblang tersebut di atas. Sebab kemampuan berfikir mereka masih sangat sederhana, yang tidak memungkinkan memahami hakekat dzat Allah dengan ungkapan abstrak. Oleh karena itu, pendapat orientalis yang menyatakan bahwa dalam al-Qur'an itu terdapat ayat-ayat yang kontradiktif yang juga bisa terjadi pada karya manusia, itu sebetulnya bukan kontradiktif. Tetapi itulah gambaran fenomena kebenaran dari berbagai sisi. Sebagai aktualisasi dari kondisi pelapisan masyarakat yang berbeda tingkat kemampuan ilmu dan budayanya.
Dalam hal ini Erpree, seorang orientalis Inggris secara jujur mengakui bahwa al-Qur'an itu mengandung bobot ilmiah yang sangat tinggi, ia juga mengakui bahwa al-Qur'an itu dapat berfungsi sebagai mu'jizat yang luar biasa. Menurutnya, al-Qur'an mampu mengungkap ayat-ayat yang terkait, dalam satu tema, teologi Islam dijelaskan dalam satu judul. Jadi menurutnya dalam al-Qur'an itu tidak ada ayat-ayat yang kontradiktif, dan tidak kosong dari teori dan obyek teologis seperti yang dikemukakan oleh De Boer dkk. Tetapi, walaupun Erpree sangat hormat dan memuji agama Islam melalui kesimpulannya tentang kandungan al-Qur'an, ia –sayang sekali- tidak mengakui sumber kebenaran al-Qur'an.
-Al-Qur'an Untuk Bangsa Arab
Weinsinck, seorang orientalis Belanda "memilih jalan tengah" dengan menyatakan bahwa “Muhammad sedikitpun tidak pernah berupaya menarik kaum Yahudi dan Nasrani agar Masuk Islam. Ia hanya menganggap diri salah satu dari Nabi, sekaligus Nabi yang terakhir". Dengan pengertian, ia seorang Rasul yang diutus oleh Allah untuk bangsa Arab yang masih “buta huruf”, dengan      menegaskan bahwa kitab sucinya al-Qur'an, berbahasa Arab" (قُرْأَنًا عَرَبِيًّا)                     hukumnya, ”hukum Arab” (حُكْمًا عَرَبِيًّا) dan membatasi lapangan kegiatan dan obyek dakwahnya seperti dalam al-Qur'an:  
وَكَذلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ قُرْأَنًا عَرَبِيًّا لِتُنْذِرَ أُمَّ الْقُرَى وَمَنْ حَوْلهَاَ (السورى: 7)
“Demikian juga, Kami wahyukan pada anda (Muhammad) al-Qur'an yang berbahasa Arab, agar anda dapat memberi peringatan pada penduduk Ummul Qura (Makkah) dan sekitarnya” (Q.S. asy-Syuro: 7)
Oleh karena itu menurut Weinsinck kita bisa –dan ini benar- menyatakan bahwa Muhammad itu seorang Nabi. Tetapi karena obyek dakwah Muhammad itu diutus ke seluruh manusia di dunia ini, kami tidak mengingkari adanya beberapa ayat yang kira-kira digunakan sebagai argumen keluasan obyek dakwah Muhammad ke seluruh dunia, seperti firman Allah:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا (السبأ: 28)
“Saya utus anda, hanya untuk memberi kabar gembira dan memberi peringatan pada manusiaseluruh dunia”. (Q.S. Saba’: 28)
Tetapi ayat ini harus dipahami berdasarkan ayat-ayat lain yang terkait, seperti yang tersebut sebelumnya.
Jika seseorang memahami firman Allah:
قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّيْ رَسُوْلُ اللهِ إِلَيْكُمْ جَمِيْعًا
“Katakanlah, wahai manusia saya ini seorang Rasul untuk anda semua”. (Q.S.               )
Sebagai misi global yang mencakup seluruh lapisan masyarakat dan aneka ragam bangsa, berarti secara tegas ia menyatakan bahwa kandungan al-Qur'an itu kontradiktif.
Kami juga mengakui, bahwa “misi kerasulan global” ini pasti menggunakan argumen hadits/sunnah. Dalam hal ini argumen yang paling kuat untuk menyatakan luasnya cakupan obyek dakwah Muhammad adalah kisah surat-surat yang pernah beliau kirim kepada para raja dan penguasa politik di luar jazirah Arabia. Tetapi, kisah di atas berdasarkan sumber yang sebenarnya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Mungkin –seperti dikemukakan oleh sebagian pakar- kisah surat-surat itu hanyalah legenda yang diciptakan oleh para khalifah dan panglima perang untuk mencari legitimasi agama bagi ekspansi militer yang sedang mereka lakukan.
Sesungguhnya, baik al-Qur'an maupun as-Sunnah tidak memberikan kontribusi yang “istimewa” bagi Islam. Yakni suatu kontribusi yang membedakan secara substansi dengan agama-agama lain; atau dengan aliran-aliran teologis yang muncul setelah itu. Jika ajaran Islam itu mencakup dua prinsiputama: monoteisme (al-Tauhid) dan hari kebangkitan (al-Ba’ts), maka harus diingat bahwa agama Yahudi dan Nasrani pun menegaskan kedua prinsip ajaran tersebut.
Dibalik ungkapan Weinsinck di atas, -menurut saya- ia bertujuan mengingkari kerasulan Muhammad ke seluruh umat manusia di seluruh dunia. Atau, jika memang betul Muhammad itu seorang Rasul, risalahnya hanya khusus bagi satu jenis bangsa yang mempunyai prinsip-prinsip ajaran yang “berbeda” dengan Yahudi dan Nasrani. Dengan demikian, jika memang betul Muhammad itu seorang Nabi, maka kenabiannya hanya khusus untuk bangsa Arab yang terbelakang kehidupan intelektualnaya (al-Ummiyyin). Atau dengan kata lain, missinya tidak jauh berbeda dengan pemikiran dan kepercayaan yang biasa dianggap oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani. Tetapi benarkah dalam al-Qur'an tidak ada ayat yang menyatakan universalitas ajaran Islam? Bahkan, ajarannya hanya dikhususkan untuk bangsa Arab saja? Benarkah, secara substansial ajaran Islam tidak punya keistimewaan prinsipil yang berbeda dengan Yahudi dan Nasrani?
Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, saya segera menyatakan bahwa, kisah surat-surat yang pernah dikirim oleh Muhammad, kepada para Raja dan Kaisar pada masa itu adalah kisah yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu –kisah surat- dapat dijadikan argumen; bahwa sejak awal, Muhammad mengaku dirinya sebagai seorang Rasul bagi seluruh umat manusia. Tetapi –secara tergesa-gesa pula- Saya “mundur” dari argumen di atas, sehingga Allah menganugerahkan kesempatan bagi saya untuk dapat membantah benih “keraguan” ayang ditanamkan oleh sebagian besar orientalis, terhadap hadits dan sunnah Nabi; seperti Weinsinck, Ignas Goldziner, Wiegiuom, dan lain-lain.
Walaupun demikian, saya masih menaruh hormat kepada Weinsinck, karena ia masih jujur dengan menyatakan bahwa tidak mustahil, bahwa Muhammad itu seorang Nabi dengan mendapatkan wahyu berupa kitab suci al-Qur'an, konsekwensinya mustahil ia berbohong dalam pengakuannya. Tetapi, misi kenabiannya –menurut Weinsinck- hanya terbatas pada bangsa Arab. Padahal dalam al-Qur'an secara gamblang dijelaskan bahwa missi dakwah Muhammad untuk seluruh umat manusia. Dan dalam al-Qur'an sama sekali tidak ada penjelasan yang menyatakan “missi dakwah Muhammad” hanya khusus untuk bangsa Arab. Al-Qur'an yang menggunakan bahasa Arab tidak menafsirkan missi universalitas ajaran Islam. Penggunaan bahasa Arab bukan menjadi sifat ajarannya, tetapi menjadi sifat bahasa yang digunakan untuk mengekspresikan ajaran suci tersebut. Sebab pembawa missi dan penyebar pertama missi suci itu ke seluruh dunia adalah bangsa Arab. Al-Qur'an diturunkan tidak menggunakan bahasa selain Arab. Karena tidak logis, jika naskah mushaf al-Qur'an akan terdiri dari beberapa naskah dengan menggunakan beberapa bahasa. Pada gilirannya al-Qur'an harus diturunkan sesuai dengan bahasa setiap bangsa di dunia yang jumlahnya sulit dihitung dan akan selalu berkembang.
Tentang ayat yang secara selintas –seolah-olah- lapangan kegiatan dakwah Muhammad SAW. itu terbatas, seperti Firman Allah:
وَلِتُنْذِرَ أُمَّ الْقُرَى وَمَنْ حَوْلهَاَ (الشورى: 7)
“Dan agar anda mengingatkan penduduk Ummul Qura dan sekitarnya”. (Q.S. al-Syura: 7)
Andaikan ayat ini dianggap betul seperti pemahaman di atas, mestinya Weinsinck konsisten dalam anak kalimat “dan penduduk sekitar Ummul Qura”. Menurut kebiasaan orang Arab, itu tidak mungkin mencakup penduduk Yaman. Jika pemahaman itu diperluas dan dipahami ke seluruh bangsaa Arab, dari mana Weinsinck mendapatkan argumen ini? Mengapa ayat ini hanya dipahami untuk seluruh bangsa Arab saja? Dan mengapa ia tidak menyatakan bahwa Muhammad hanya diutus untuk sanak familinya? Karena Allah membatasi kegiatan dakwah Nabi pada keluarganya? Seperti dalam Firman Allah:
وَأَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ اْلأَقْرَبِيْنَ (الشورى: 214)
“Dan ingatkanlah keluarga terdekat anda (muhammad)” (Q.S. al-Syu’ara: 214)
Jika dalam al-Qur'an juga terdapat ayat yang menyatakan keuniversalannya, mengapa Weinsinck tidak mau memadukan ayat-ayat yang secara selintas missi Muhammad menyatakan “hanya untuk bangsa dan komunitas tertentu? Jika Weinsinck mau memahami al-Qur'an secara komprehensif dan integral, tentu ia akan dapat menarik suatu kesimpulan bahwa “keterbatasan dan keuniversalan ajaran Islam yang termaktub dalam al-Qur'an bertujuan untuk menggambarkan tahapan dakwah yang dilakukan Muhammad sesuai perintah Allah. Pertama,  Missi dakwah itu diperintahkan untuk disampaikan pada keluarga terdekatnya. Kedua, agar disampaikan kepada masyarakat Makkah. Ketiga, agar disampaikan kepada masyarakat di daerah-daerah yang berdekatan dengan Makkah. Keempat, agar disampaikan pada seluruh bangsa Arab. Kelima, missi dakwah itu harus disampaikan ke seluruh masyarakat dan aneka ragam bangsa di seluruh dunia.
Dalil dan ayat-ayat yang menyatakan keuniversalan agama Islam itu adalah sebagai berikut:
1. Firman Allah:
تَبَارَكَ الَّذِيْ نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُوْنَ لِلْعَالمَِيْنَ نَذِيْرَا (الفرقان: )
“Maha suci Allah yang telah menurunkan al-Furqan (al-Qur'an) pada hamba-Nya, agar ia menjadi pemberi peringatan kepada semesta alam (jin dan manusia)”. (Q.S. al-Furqan)
2. Ayat yang cukup tegas:
وَأَوْحَى إِلَيَّ هَذَا الْقُرْأَنَ ِلأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ (الأنعام: 19)
“ Al-Qur'an ini diwahyukan kepada saya sebagai pegangan dan dasar peringatan yang saya lakukan pada anda dan bagi orang-orang yang sempat menerima dakwah ini”. (Q.S. al-An’am: 19)
3. Jika Weinsinck berkenan, marilah kita membaca suatu ayat yang menyatakan bahwa Rasul juga menyampaikan dakwah pada orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Yaitu Firman Allah:
يَاأَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَآءَكُمْ رَسُوْلُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ كَثِيْرًا مِمَّا كُنْتُمْ تَخْتَلِفُوْنَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍ (المائدة: 16)
يَاأَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَآءَكُمْ رَسُوْلُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ عَلَى فَتْرَةٍ مِنَ الرُّسُلِ أَنْ تَقُوْلُوْا مَا جَاءَ نَا مِنْ بَشِيْرٍ وَلاَ نَذِيْرٍ فَقَدْ جَآءَكُمْ بَشِيْرٍ وَنَذِيْرٍ (المائدة: 19)
“Wahai ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) sesungguhnya Rasul kami telah datang pada anda untuk menjelaskan dan membiarkan beberapa hal dari kandungan (Taurat dan Injil) yang anda sembunyikan”. (Q.S. al-Ma’idah: 16)
“Wahai ahli kitab sesungguhnya rasul akami telah datang pada anda untuk menjelaskan (Syari’at kami) setelah terputusnya pengiriman rasul-rasul , agar anda tidak berkilah..”tak seorangpun pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan datang kepada kami”. (Sekarang) sungguh pembawa berita gembira dan pemberi peringatan itu telah datang pada anda”. (Q.S. al-Ma’idah: 19)
Dari empat ayat di atas, tampak jelas dan tegas, bahwa missi dakwah Muhammad berlaku universal bagi umat manusia seluruh dunia. Dan tidak satu ayat pun dalam al-Qur'an atau hadits yang mempersempit (takhsis) missi dakwah tersebut pada satu suku atau bangsa tertentu. Jika alur pikir ini dapat ditangkap oleh Weinsinck, tentu ia tidak akan melontarkan pendapat bahwa Muhammad itu hanya Nabi yang diutus pada bangsa Arab. Dan ia tidak akan berpendapat bahwa substansi kandungan al-Qur'an itu banyak yang kontradiktif.
Selanjutnya, perkenankanlah kami menanggapi pendapat Weinsinck yang menyatakan, “bahwa Islam sebagai suatu agama tidak mempunyai ajaran yang spesifik, istimewa dan mandiri yang berbeda dengan agama Yahudi dan Nasrani, atau dengan aliran-aliran aneh yang muncul dari internal umat Islam itu sendiri.
Tentang sikap dan pandangan Islam terhadap agama Yahudi dan Nasrani itu sudah jelas. Sebab, dalam hal pokok-pokok ajaran (Ushul al-Syaraii), antara Islam, dan agama-agama samawi yang lain, itu tidak ada perbedaan.
Allah berfirman:
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا وَصَّى بِهِ نُوْحًا وَالَّذِيْ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَى وَعِيْسَى أَنْ أَقِيْمُوا الدِّيْنَ وَلاَ تَتَفَرَّقُوْا فِيْهِ (الشورى: 13)
“Dia telah mensyari’atkan agama pada anda seperti agama yang diperintahkan kepada Nuh. Dan ajaran yang Kami wahyukan pada anda seperti yang Kami perintahkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: “Tegakkanlah (ajaran) agama dan janganlah anda berselisih tentang agama itu”. (Q.S. asy-Syura: 13)
Walaupun demikian dari pokok-pokok ajaran itu, Islam secara teologis masih mempunyai keistimewaan yang berbeda dengan teologi Yahudi dan Nasrani. Misalnya, teologi “Uzair itu putra Allah” bagi Yahudi; dan Isa putra Allah” bagi Nasrani. Hal ini ditegaskan dalam beberapa ayat dalam al-Qur'an, di antaranya:
1. Firman Allah:
وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ عُزَيْرُ ابْنُ اللهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيْحُ ابْنُ اللهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُوْنَ قَوْلَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ قَبْل قَاتَلَهُمُ اللهُ أَنَّى يُؤْفَكُوْنَ (التوبة: 30)
“Orang-orang Yahudi berkata, Uzair itu putra Allah sedang orang-orang Nasrani berkata, Isa al-masih itu putra Allah. Demikian itulah ucapan yang keluar dari mulut mereka, mereka meniru ucapan-ucapan orang-orang kafir sebelumnya. Mereka mendapatkan laknat Allah, bagaimana mereka dapat dipalingkan”? (Q.S. at-Taubah: 30)
2. Firman Allah:
يَاأَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُوْا فِيْ دِيْنِكُمْ وَلاَ تَقُوْلُوْا عَلَى اللهِ إِلاَّ الْحَقَّ, إِنَّمَا الْمَسِيْحُ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُوْلُ اللهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوْحٌ مِنْهُ, فَأَمَنُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ........(النساء: 171)
“Wahai ahli kitab janganlah anda berlebih-lebihan dalam beragama, dan hanya teologi yang benar bagi Allah yang harus anda kemukakan. Isa al-Masih putra Maryam itu hanyalah Rasul Allah dan kalimah-Nya yang disampaikan kepada Maryam dengan tiupan roh dari Allah. Oleh karena itu, berimanlah anda pada Allah dan rasul-rasul-Nya”. (Q.S. an-Nisa: 171)
3. Islam menyatakan, bahwa Isa tidak mati dibunuh oleh orang-orang Yahudi. Padahal, menurut teologi mereka, Isa telah mati dibunuh dan disalib oleh Yahudza. Mereka berkeyakinan; dengan kematian Isa, dunia ini menjadi suci.
Firman Allah:
وَقَوْلُهُمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيْحَ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ قَتَلُوْهُ وَمَا صَلَبُوْهُ وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ, وَإِنَّ الَّذِيْنَ اخْتَلَفُوْا فِيْهِ لَفِى شَكٍّ مِنْهُ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلاَّ اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوْهُ يَقِيْنًا (النساء: 157)
“Dan karena ucapan mereka, sungguh kami telah membunuh Isa al-Masih putra Maryam “Rasul Allah itu”, padahal mereka tidak membunuh dan tidak menyalibnya tetapi (yang mereka bunuh) adalah seorang yang bagi mereka mirip dengan Isa. Sesungguhnya orang-orang yang berpendapat tentang terbunuhnya Isa masih dalam keraguan. Sebetulnya mereka tidak tahu kepastian nasib Isa. Pengetahuan mereka hanya bersifat praduga saja. (Dengan demikian), mereka tidak yakin dapat membunuh Isa”. (Q.S. an-Nisa: 157).
4. Lebih tegas lagi, al-Qur'an menyatakan bahwa Isa diangkat oleh Allah, alias tidak mati terbunuh seperti keyakinan orang-orang Yahudi. Firman Allah:
بَلْ رَفَعَهُ اللهُ إِلَيْهِ وَكَانَ اللهُ عَزِيْزًا حَكِيْمًا (النساء: 158)
“Tetapi, (sebenarnya) Allah mengangkatnya kepada-Nya, dan Allah itu Maha Perkasa dan Maha Bijaksana”. (Q.S. an-Nisa: 158).
5. Al-Qur'an menyatakan bahwa Maryam Ibunda Isa adalah wanita pilihan yang suci. Firman Allah:
وَإِذْ قَالَتِ الْمَلآَئِكَةُ يَامَرْيَمُ إِنَّ اللهَ اصْطَفَاكِ وَطَهَّرَكِ وَاصْطَفَاكِ عَلَى نِسَآءِ الْعَالَمِيْنَ (ال عمران: 42)
“Dan (ingatlah) ketika malaikat berkata: Wahai Maryam sesungguhnya Allah memilih, mensucikan dan melebihkan anda atas kaum wanita seluruh dunia”. (Q.S. Ali Imran: 42)
Tentang sikap Islam terhadap teologi kaum Nasrani, bukan agama Nasrani, itu jelas ada perbedaan essensial, antara lain:
1.    Islam memerintahkan kaum muslimin untuk meyakini bahwa Isa itu bukan Anak Allah. Ini sesuai dengan Firman-Nya:
قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ (1) اَللهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدُ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًّا أَحَدٌ (4)
“Katakan, Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah tempat bergantung. Tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada suatu apapun yang dapat menyamai-Nya”. (Q.S. al-Ikhlas: 1-4)
2. Menurut ajaran Islam, Tuhan itu Maha Esa dan bukan Trinitas (Tiga dalam Satu atau Satu dalam Tiga).
Seperti Firman Allah:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِيْنَ قَالُوْا انَّ اللهَ ثَالِثُ ثَلاَثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلاَّ إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوْا عَمَّا يَقُوْلُوْنَ لَيَمَسَنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ (المائدة: 73)
“Sungguh orang-orang yang berkata bahwa “Allah itu salah satu dari yang tiga” itu telah kafir, sebab Tuhan yang ada (dan pantas disembah) itu hanya satu. Jika mereka tidak mau berhenti dari kepercayaan yang mereka omongkan itu, siksa yang pedih akan menimpa pada orang-orang kafir, termasuk orang-orang Nasrani itu”. (Q.S. al-Ma’idah: 73)
3. Dalam al-Qur'an, Allah menghujat orang-orang Nasrani yang menyatukan antara Allah dan Isa al-masih seperti Firman Allah:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِيْنَ قَالُوْا انَّ اللهَ هُوَ الْمَسِيْحُ ابْنُ مَرْيَمَ, وَقَالَ الْمَسِيْحُ يَابَنِيْ إِسْرَآئِيْل أُعْبُدُوا اللهَ رَبِّيْ وَرَبُّكُمْ (المائدة: 72)
“Sungguh orang-orang yang berkata, bahwa “Sesungguhnya Allah itu (berada dalam) diri Isa al-Masih putra Maryam”, itu telah kafir. Padahal Isa al-masih telah berkata, wahai Bani Israil sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhan anda”. (Q.S. al-Ma’i8dah: 72)
Allah –dalam al-Qur'an- juga mengecam kepercayaan-kepercayaan lain yang dianggap menyimpang dari ajaran yang benar. Oleh karena itu, kiranya ayat-ayat di atas dapat dijadikan argumentasi yang kuat, bahwa Islam sebagai agama yang benar dan masih bersih mempunyai keistimewaan yang secara teologis berbeda dengan Yahudi dan Nasrani.
Islam beserta perangkat teologi praktisnya , dan ajaran syari’ahnya yang dapat merespon perkembangan zaman; serta fleksibilitas ajaran yang mampu memberi kepuasan material dan spiritual itu, menjadi argumen yang cukup kuat untuk menyatakan bahwa, "Islam itu agama universal yang abadi".
Tentang aliran teologi dalam Islam yang dianggap nyeleneh itu memang kelompok aliran yang masih dalam "lingkup" Islam. Sebab pokok-pokok ajaran teologisnya, seperti wujud Allah, kerasulan Muhammad, Hari Kiamat dan lain-lain, itu tidak menyimpang. Yang berbeda dengan aliran di atas hanya ajaran-ajaran yang tidak menyentuh ajaran pokok di atas. Tentu, setiap orang mempunyai ilmu tentang Islam yang berbeda-beda kualitasnya. Dengan ilmu itu, ia dapat membedakan antara aqidah/teologi yang betul-betul dari ajaran Islam, dengan aqidah/teologi yang sudah menyimpang dan menyempal dari ajaran Islam yang asli dan murni.

Aneka Ragam Teologi Kaum Muslimin
Setelah mengemukakan jawaban terhadap pandangan para orientalis yang diwakili oleh Weinsinck, pertanyaan akan muncul; jika benar kandungan al-Qur'an itu tidak saling bertentangan, dan berisi kebenaran ajaran yang dapat menerangi kehidupan manusia; mengapa Islam terpecah pada beberapa golongan, padahal sumber kepercayaan teologis mereka satu? Sebetulnya, al-Qur'an bukan penyebab timbulnya perpecahan. Yang menyebabkan kaum muslimin terpecah- belah adalah "permainan politik". Untuk itu, akan lebih baik, jika persoalan politik ini kita kaji melalui pendekatan historis.
Sudah menjadi fakta sejarah bahwa para sahabat –ketika Rasul masih hidup- dikenal sebagai komunitas yang istimewa, hidup rukun, saling memaafkan dan saling menegakkan amr ma'ruf nahi mungkar di antara mereka. Perselisihan yang muncul, selalu mereka serahkan pada Rasul. Rasul bisanya segera mengambil tindakan secara arif dan bijaksana berdasarkan ketentuan wahyu al-Qur'an dan ijtihad.
Tetapi, begitu rasul wafat, kondisi harmonis itu mendadak berubah. Harmonitas kehidupan mereka mulai terganggu. Mereka mempunyai visi sendiri-sendiri. Dan visi-visi ini akhirnya menjadi kelompok. Benih-benih perpecahan mulai muncul. Perpecahan tidak hanya sekedar perbedaan pendapat tentang masalah penguburan Rasul atau memerangi penduduk yang murtad. Kedua persoalan ini bisa dikatakan "sederhana", sebab begitu muncul argumentasi berdasarkan nash al-Qur'an atau hadits, persoalan segera dapat diatasi.
Tetapi perpecahan yang kami maksud adalah persoalan kepemimpinan pasca Rasul, yang dalam sejarah dikenal dengan "problem khilafah". Problem terakhir inilah yang mengantarkan kaum muslimin terpecah menjadi kelompok-kelompok dan partai-partai, sesuai dengan visi mereka tentang "khilafah". Istilah ini dianggap berdimensi politik yang profan dan tidak berdimensi religius-teologis yang sakral. Dengan demikian, tidak salah jika kami berpendapat bahwa, bukan nash dan ayat-ayat al-Qur'an yang menyebabkan perpecahan itu. Tetapi sebaliknya motivasi politik yang profan itulah yang diseret untuk mendapatkan legitimasi dari ayat-ayat al-Qur'an dan hadits, demi tujuan politik. Dari sini muncul apa yang dikenal dengan "sistem khilafah dan imamah dalam Islam", menurut visi setiap kelompok. Dan masing-masing kelompok "sibuk" mencari legitimasi ayat-ayat al-Qur'an dan sunnah Nabi. Akhirnya, setiap kelompok mempunyai pemikiran teologi, fiqh, tasawuf; bahkan kultur sendiri untuk membedakan antara aliran yang satu dengan aliran yang lain.
Atas dasar pemikiran di atas, marilah kita lacak historis yang terjadi setelah Rasul wafat. Sebab dari peristiwa ini muncul pemikiran iman dan amal, serta masalah yang berkaitan dengan pemerintahan dan kekuasaan yang konstitusional dan yang inkonstitusional (sah menurut hukum Islam atau tidak).
Rasulullah SAW. wafat tanpa menunjuk seorang khalifah sebagai pelanjut perjuangan dan kepemimpinannya. Di tengah kesibukan mengurusi jenazah Rasul yang dipimpin oleh Ali bin abi Thalib, kaum Anshar melakukan "rapat sepihak' di saqifah bani asidah untuk menentukan khalifah Rasul. Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah cepat-cepat mendatangi rapat, agar pertemuan dapat terarah. Ternyata, antara sesama kaum Anshar sendiri terjadi perbedaan pendapat yang sulit dipadukan. Akhirnya di tengah rapat yang tidak representatif ini, Abu Bakar terpilih dan dibaiat sebagai khalifah, yang oleh Umar digambarkan sebagai:
إِنَّهَا فلتةٌ وَفِى اللهِ الْمُؤْمِنِيْنَ شَرَّهَا
"Pemilihan konyol, yang oleh Allah lindungi akibat jeleknya bagi kaum muslimin".
Pembaiatan Abu Bakar itu menimbulkan kekecewaan yang sangat dalam di hati calon khalifah dari kalangan Anshar, yang  mendukung Sa'ad bin Ubadah. Kekecewaan juga melanda keluarga dekat Rasul terutama Ali dan Fatimah, yang merasa "sengaja tidak diikutkan dalam pemilihan khalifah" dalam rapat itu.
Ternyata, kepemimpinan Abu Bakar yang tidak lebih dari dua tahun itu oleh para sejarahwan dinilai "sukses" dalam meratakan keadilan dan meredakan konflik.
Kemudian, Abu Bakar menunjuk Umar dengan cara wasiat, untuk menjadi khalifah setelah beliau wafat. Ternyata, Umar pun dinilai sukses dalam meratakan keadilan. Tetapi, masa pemerintahan dua sahabat besar ini, tidak memuaskan Ali dan para pendukungnya, yang sejak pertama mempunyai "ambisi " untuk menjadi khalifah.
Sebelum Umar wafat, ia menunjuk enam tokoh sebagai "badan Formatur" yang beliau anggap mampu meneruskan perjuangan, untuk memilih khalifah di antara mereka sendiri. Rapat formatur memutuskan Usman sebagai khalifah. Terpilihnya usman ini menambah kekecewaan di pihak ali dan para pendukungnya. Hal ini dapat terlihat, ketika Ali dibaiat sebagai khalifah keempat, setelah Usman tewas terbunuh.Pembaiatan Ali oleh sekelompok orang, -yang diduga antara mereka- terlibat dalam pembunuhan Usman; dan kenyataan ali tidak segera mengambil tindakan, memperkuat dugaan –terutama dari Muawiyah- bahwa Ali terlibat langsung dalam pembunuhan Usman.
Di pihak lain Thalhah dan Zubair yang juga pernah melakukan gerakan anti Usman dari Irak dan Hijaz, diduga karena mereka berambisi menjadi khalifah setelah Usman. Oleh karena itu, setelah Ali dibaiat sebagai khalifah keempat, ia harus menghadapi paling tidak, tiga orang tokoh, yaitu: Thalhah dengan basis pendukungnya di Irak; Zubair dengan basis pendukungnya di Hijaz; serta Muawiyah dengan basis pendukungnya di Damaskus.
Untuk dua tokoh utama (Thalhah dan Zubair) berkoalisi dengan Aisyah, Ali dapat menyelesaikan dengan baik dalam perang "Jamal. Kedua tokoh itu tewas dalam pertempuran. Sedang Aisyah berhasil ditawan, kemudian dibebaskan dengan syarat tidak akan terlibat dalam kegiatan politik praktis.
Untuk memperkuat dan mengantisipasi beberapa kemungkinan, Ali memindah ibu kota negara, dari Madinah ke Kufah. Ini ia lakukan, di samping karena basis kekuatan pendukungnya berada di kota ini, ia ingin lebih cepat mengetahui gerakan Muawiyah yang menjadi gubernur Syiria sejak masa khalifah umar, yang tidak mau mengakui kekhalifaan Ali. Bagi Muawiyah yang terpenting bukan siapa yang harus dibaiat menjadi khalifah, tetapi pembunuh Usman dan orang-orang yang terlibat dalam kegiatan makar itu segera ditangkap dan diajukan ke pengadilan.
Akhirnya pertentangan mulai melebar dari persoalan "khalifah" ke pertentangan daerah kekuasaan; Irak melawan Syiria, dan Kufah melawan Damaskus. Pertentangan tersebut sampai puncaknya dengan meletusnya pertempuran antara pasukan Ali dan pasukan Muawiyah. Pertempuran ini dalam sejarah dikenal dengan "perang shiffin".
Akhir pertempuran, secara militer keunggulan berada di pihak ali. Tetapi secara diplomatik pihak Ali mengalami "kegagalan total". Hal ini sebagai akibat dari "kejujuran" delegasi ali yang dipimpin oleh Abu Musa al-Asy'ari yang kurang lihai dalam permainan politik dalam perundingan tahkim. Sedang delegasi Muawiyah dipimpin oleh Amru bin Ash, seorang politisi profesional yang sudah terbiasa dengan  "permainan politik".
Akibat perang shiffin dan tahkim itulah kaum muslimin terpecah, paling tidak ada empat kelompok besar. Pertama, kelompok pendukung Muawiyah (pemerintah). Kedua, kelompok yang terus setia pada Ali bin Abi Thalib yang kemudian dikenal sebagai Syi'ah. Ketiga, kelompok yang secara ekstrim menentang kedua tokoh yang bersaing, Ali dan Muawiyah, kelompok ini kemudian dikenal dengan "khawarij". Keempat, kelompok pasif, yang tidak mau menentukan sikap dukung atau penentangan terhadap salah satu kelompok.
Dari empat kelompok ini –yang kemudian diperkuat oleh unsur-unsur budaya lokal dan filsafat Yunani-, berkembang menjadi aliran teologi, fiqh, tasawuf dan pemikiran politik yang kadang-kadang antara yang satu dengan yang lain saling bertentangan secara tajam. Dan masing-masing kelompok mengerahkan tenaga, pikiran dan dana untuk mencari legitimasi dari al-Qur'an dan as-Sunnah sebagai argumentasi "kebenaran" pendirian pemikiran "agama" kelompoknya.
Jadi kenyataan kontradiksi pemikiran teologi yang terjadi di kalangan kaum muslimin berasal dari pertentangan dan ambisi politik yang bersifat profan, bukan berangkat dari ayat-ayat al-qur'an. Dengan demikian, tesis Weinsinck yang menyatakan kandungan teologi dalam al-Qur'an itu banyak yang kontradiktif tidak dapat diterima secara ilmiah, dan perlu segera diluruskan.


KESIMPULAN

Setelah memperhatikan statemen dan ulasan para orientalis tentang teologi Islam dan latar belakang historisnya, kiranya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.    Sewajarnyalah kita mengakui bahwa para orientalis telah berjasa memperkenalkan studi Islam dengan pendekatan rasional, sistematis dan "menjauhi" pendekatan normatif, yang menjadi acuan setiap pemeluk agama terhadap agamanya. Tetapi dibalik jasa "besarnya" itu mereka berhasil menyisipkan misi "menjadikan kaum muslimin ragu terhadap kebenaran mutlak ajaran agamanya" (Tasykik Aqidah al-Muslimin).
2.    Statemen De Boer yang menyatakan bahwa, al-Qur'an hanya membawa misi moralitas bagi kaum muslimin dan tidak membawa misi hukum dan teologi, adalah pernyataan yang gegabah, yang dengan sendirinya terbantah oleh kandungan al-Qur'an sendiri, dan realitas historis yang pernah dialami oleh kaum muslimin.
3.    Pernyataan De Boer, Greem dan Ignas Goldziher bahwa "kaum muslimin pada periode awal menerima kenyataan bahwa dalam al-Qur'an itu terdapat penjelasan dan ajaran yang kontradiktif', itu karena dilatarbelakangi oleh pembelaan mereka terhadap kaum Yahudi Madinah yang secara politik dan sosial terdesak oleh kehadiran Muhammad SAW. dan para pengikutnya ke Madinah. Pernyataan itu akan kehilangan kredibiltas ilmiahnya jika mereka sudi menggunakan "teori perkembangan", dalam menganalisa teologi dan ajaran moral dalam al-Qur'an; bukan semata-mata analisa perbandingan antara satu ayat dengan ayat lain.
4.    Pernyataan Weinsinck yang menyatakan bahwa Muhammad SAW. mungkin saja seorang Nabi, tapi kenabiannya hanya terbatas pada bangsa Arab, dengan argumen: (1). Al-Qur'an itu berbahasa Arab (2). Al-Qur'an surat al-Syura: 7, sungguh pernyataan yang terlalu dangkal. Karena memahami universalitas hanya diukur dari teknis dan sarana penyampaian yang cenderung Arabis, tidak pada substansi ajaran al-Qur'an yang universal. Sekali lagi Weinsinck melakukan "kesalahan metodologis", karena ia tidak mau melakukan studi perbandingan antara satu ayat dengan ayat yang lain. Jika teori ini ia lakukan niscaya argumen yang dikemukakan akan rontok dengan sendirinya.
5.    Argumen orientalis yang menyatakan, "bukti riilnya kontradiksi ajaran dalam al-qur'an itu adalah munculnya beberapa aliran teologi dalam Islam, walaupun sumber otoritas ajarannya hanya satu, yaitu al-Qur'an". Ini tidak dapat kita terima, karena aliran teologi dalam Islam itu muncul karena motivasi politik. Jadi bukan teologi yang memunculkan aliran politik. Mestinya mereka menggunakan pendekatan sosio-historis, yang menjadi basis dan kekuatan keilmuan mereka. Sayangnya –mungkin karena terikat dengan tujuan orientalisme-, mereka tidak mau menggunakan pendekatan sesuai dengan proporsi obyektif yang menjadi standar universal.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur'an, Maktabah Ibnu Katsir, Beirut, 1995
De Boer, Geschichte der Philosopie in Islam, Sourbone Univ. Paris, 1949
Hamzi Zaqzuq, al-Isytiraq wa al-Khalfiyah al-Fikriyah, Kitabul Ummah, Qatar, 1983
Ihsan Abbas, al-Isytiraq: al-Tarikh wa al-Manhaj wa al-Shura, Dalam jurnal al-Fikr al-Arabi, Tripoli, 1983
Steiner, The Mu'tazilah or Free Thinkers of Islam, Leipziq, 1945
Tritton, Moslem Theologi, London, 1947
Macdonald, Development of Moslem Theology and Yurisprudence, London, 1903
Muhsin Musawi, Madakhlal al-Mutsaqqafin al-Arab li al-Isytiraq, Dalam Jurnal al-Isytiraq, 1987
Weinsinck, Moslem Creed, Cambridge, 1957



0 comments: