Kiai, Sastra, dan Puisi



Setiap kali bertemu Kiai Mustofa Bisri, saya selalu ditagih apakah diwan atau kitab kumpulan puisi karya Kiai Hasyim Asy’ari sudah ditemukan? Tentu saya jawab belum. Bahkan setahu saya yang sejak 1994 menyunting belasan karya Kiai Hasyim, beliau tak memiliki kumpulan puisi seperti yang dimaksud penyair Balsem asal Rembang itu.
Kalau ada satu dua bait puisi yang terselip di sela-sela tulisan beliau, memang ya. Tetapi dalam bentuk antologi puisi, rasanya tidak ada. Padahal—selain Gus Dur yang beberapa tahun silam pernah meminta Kiai Muchith Muzadi dan Kiai Aziz Masyhuri melacak naskah-naskah karya Kiai Hasyim—sampai kini mungkin cuma saya yang punya koleksi cukup lengkap.
Entah dari mana Mustofa Bisri mendapatkan informasi tentang antologi puisi Kiai Hasyim itu. Yang jelas, kiai penyair ini rupanya terobsesi untuk menerjemahkan puisi-puisi Kiai Hasyim ke dalam bahasa Indonesia supaya bisa dinikmati khalayak yang lebih luas. Maklum, puisi-puisi yang ditulis Kiai Hasyim—seperti halnya kiai-kiai lain di masa itu–sebagian besar berbahasa Arab. Itu karena para kiai terkemuka di awal abad XX rata-rata pernah mengenyam pendidikan di Timur Tengah. Tak heran bila mereka terkadang lebih fasih berbicara dan menulis dalam bahasa Arab ketimbang bahasa Melayu.
Kemampuan berbahasa Arab para kiai itu memang sangat mengagumkan. Mereka dituntut menguasai bahasa dan sastra Arab karena merupakan pintu masuk untuk memahami dan mengungkap rahasia Alquran. Kitab suci ini oleh kebanyakan orang Arab bukan dianggap sekedar pedoman hidup, tetapi juga mukjizat kesusastraan abadi yang mustahil ditandingi karya sastra mana pun. Karena itu, seperti dinyatakan salah seorang teoritikus sastra Arab terkemuka, Jalaluddin As Suyuthi, tanpa menguasai sastra Arab, mustahil dimensi esoterik Alquran yang amat halus itu dapat dipahami dengan baik.
Tak seperti dipahami orang awam yang kadang membatasi kiai sekedar agamawan, mereka ternyata juga peminat dan kolektor antologi karya para sastrawan Arab terkemuka. Di perpustakaan sejumlah kiai, dapat ditemukan diwan karya Imam Asy Syafi’i, Al Buhturi dan Al Farazdaq. Bahkan kadang dijumpai karya sastra berbahasa Persia yang sudah diterjemahkan, misalnya Mastnawi karya Jalaluddin Rumi atau Rubaiyyat Omar Khayyam.
Jangan tanya soal shalawat dan madaih nabawiyyah (pujian kepada Nabi), mereka gudangnya. Dari Banat Su’adu buah pena Ka’ab bin Zuhair dan Qashidah Al Burdah karya Al Bushiri yang sangat imajinatif dan puitis, hingga beraneka prosa dan puisi maulid, terutama karya Ja’far Al Barzanji. Malah ada karya genuine yang mereka gubah sendiri, seperti Shalawat Quraniah tulisan Kiai Abdullah Umar Semarang yang mirip himne bagi para penghafal Alquran. Juga Shalawat Badar karya Kiai Ali Manshur Tuban yang amat populer dan nyaris menjadi shalawat wajib bagi kaum sarungan.
Keakraban dengan sastra Arab, menyebabkan karya intelektual dan karya sastra yang lahir dari tangan para kiai tak lepas dari rumpun bahasa Semit ini. Dari belasan judul karya Kiai Hasyim misalnya, hanya dua tiga buah menggunakan bahasa Jawa bertulisan Arab pego. Sisanya berbahasa Arab. Ayah Mustofa Bisri sendiri–yang namanya kebalikan dari sang anak, Kiai Bisri Mustofa–meski banyak menerjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Jawa, tapi karya sastranya, Syarh Qashidah Munfarijah, buah pena Taqiuddin As Subki, juga berbahasa Arab.
Kepiawaian berolah kata para kiai itu muncul karena malakah atau naluri berekspresi yang mereka miliki berkat intensitasnya menggeluti sastra Arab. Bahkan, ada juga yang dianugerahi ikhtira’ alias kemampuan berimprovisasi sehingga ketika terlibat dalam sebuah peristiwa, spontan dapat melahirkan puisi dan anekdot. Kiai Hasyim pernah berdebat dengan Kiai Amar Faqih dalam suatu masalah.
Masing-masing menulis buku untuk mempertahankan pendapatnya. Ketika polemik sudah mencapai puncak dan tak ada titik temu karena argument keduanya sama-sama bersumber dari Alquran, maka secara spontan Kiai Hasyim menggubah sebait puisi Arab di akhir bukunya–yang kalau diterjemahkan kira-kira demikian:
Aku boleh ragu
Kalian boleh ragu
Mereka boleh ragu
Tapi semua keraguan
tak akan menghapus kebenaran
firman Tuhan
Sebuah sajak sederhana, tapi memiliki kedalaman makna. Melalui sajak ini, Kiai Hasyim menegaskan, pendapat yang lahir dari pemikiran seseorang harus direlatifkan kebenarannya, dan karena itu bisa berbeda atau diragukan. Kebenaran mutlak hanyalah kebenaran wahyu yang acapkali berada di luar jangkauan nalar manusia.
Bagi para kiai, sajak berirama yang lazim disebut nazham bahkan sering digunakan untuk merangkai teks-teks keagamaan agar lebih mudah dihafal oleh para santri. Kiai Ahmad Qusyairi Siddiq Jember misalnya, menulis 312 bait nazham berjudul Tanwir Al Hija yang mengulas tuntas ajaran teologi dan ibadah bagi santri pemula. Hebatnya, karya teologi dan fikih bercorak sufistik ini mendapatkan perhatian hingga dibuatkan komentar panjang oleh ulama terkemuka Arab Saudi, Sayyid Alwi bin Abbas Al Maliki, berjudul Inarat Ad Duja.
Menantu Kiai Siddiq, yaitu Kiai Abdul Hamid Pasuruan–seorang wali yang amat kesohor, tak kalah kreatif. Ia mensyairkan Sullam At Taufiq–sebuah kitab fikih sufistik yang bercorak Ghozalian dan menjadi mainstream pemahaman Islam Sunni di Indonesia–dalam 553 bait. Selain itu, ia juga menyairkan 99 nama Allah yang dikenal sebagai Al Asma’ Al Husna.Masih banyak lagi contoh lain yang bila diungkap satu per satu, akan membuat tulisan ini jadi terlalu panjang.
Persoalannya, kini tak banyak lagi kiai atau gus yang memiliki malakah, apalagi ikhtira’ untuk menciptakan karya sastra. Bahkan, tingkat apresiasi mereka terhadap sastra bisa dibilang sangat rendah. Ini merupakan sebuah ironi, karena bila dibandingkan dengan generasi kiai terdahulu, mereka yang belajar di Timur Tengah kini jauh lebih banyak. Tapi intensitas menggeluti sastra dan melahirkan karya sangat kurang. Alumnus Timur Tengah saat ini agaknya lebih suka menerjemahkan buku-buku berbahasa Arab ke bahasa Indonesia ketimbang melahirkan karya genuine. Larisnya penjualan buku terjemahan dan banyaknya penerbit yang memfasilitasi penerbitan buku terjemahan seperti Mizan, Risalah Gusti dan masih banyak lagi, mungkin menjadi salah satu faktor penyebab.
Akibatnya, seperti ditulis Hes Y Gumai dalam esainya, Memperkokoh Tradisi Sastra Kaum Santri (Republika, 28 April 2002), kalangan pesantren tak lagi mampu memproduksi karya sastra yang cukup signifikan untuk ikut mewarnai jagad sastra nasional. Apalagi mengintroduksi karya sastra yang sarat nilai-nilai religi dan moral sebagai counter wacana terhadap karya sastra yang mengedepankan nilai-nilai peradaban global, seperti konsep seksualitas modern yang muncul pada karya-karya Ayu Utami.
Maka, tak mengherankan bila pesantren belakangan ini cenderung kering dari sentuhan sastra, karena para kiai dan ustadz tak lagi produktif menulis karya sastra, terutama puisi seperti dilakukan para pendahulunya. Memang, ada beberapa nama yang pantas disebut, tapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Misalnya Mustofa Bisri dan Acep Zamzami Noor (putera Kiai Ilyas Rukhiat). Tentu tak boleh dilupakan Celurit Emas D Zawawi Imron dan "Kiai Mbeling" Emha Ainun Nadjib.
Di luar itu, kita masih harus menunggu sampai munculnya nama-nama lain yang meneruskan apresiasi sastra dan tradisi berpuisi dari para kiai terdahulu. Oleh (Alm.) M. Ishom Hadzik*) ]
*) Penulis adalah cerpenis, pekerja budaya dan pengasuh Pesantren Al Masruriah Tebuireng Jombang.

0 comments: