Yang Terpenting Pendidikan Politik bagi rakyat


Dalam menyikapi polling Calon Presiden lewat SMS yang banyak dilakukan oleh media massa baik cetak maupun elektronik, pertama  kita harus kita mulai dari pembacaan yang komprehensif terhadap fenomena tersebut. Artinya sebelum kita mengambil sebuah justifikasi, apakah polling tersebut benar-benar merefleksikan realitas atau hanya sekedar formalitas, kita harus terlebih dahulu membaca bagaimana peran media dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.

Karena bukan hal yang tidak mungkin (pasti) bahwa media adalah entitas yang sama sekali tidak bebas, tapi terkait dengan realitas. Mengutip teori Louis Althusser tentang perangkat kekuasaan negara, disamping negara mempunyai perangkat yang represif (Repressif State Apparatus, RSA) –semisal tentara, polisi, maupun aparatnya--, negara pun memiliki apa yang dinamakan Perangkat Ideologi Negara (Ideological State Apparatus, ISA). Pada akhirnya Althusser menganggap bahwa media termasuk sebagai sarana legitimasi ideologi bagi kelas yang berkuasa. Media –yang masuk dalam kategori ISA— bekerja dengan melakukan hegemoni, sementara RSA bekerja dengan melakukan dominasi.(Eriyanto, 2003)

Namun bagi Antonio Gramsci, media berposisi sebagai The Batle Ground for Competiting Ideologies –sebagai tempat pertarungan ideologi-ideologi yang ada. Dalam artian ideologi yang mana yang lebih dominan menguasai proses produksi sebuah media, maka dia lah yang akan menentukan struktur diskursif dari konstruk realitas yang dibangun.

Masyarakat kita belum bisa memaknai sajian yang terungkap di media massa yang mereka konsumsi sehari-hari. Masyarakat kita belum mampu untuk mengetahui bagaimana ideologi meresap ke dalam teks-teks media, mengkonstruksi realitas dalam kehidupan sehari-hari, dan juga bagaimana teks dapat membentuk ideologi.

Atau mengutip dari pendapat Michel Foucault tentang relasi kuasa dengan pengetahuan, bahwa praktik-praktik kekuasaan akan menimbulkan efek pengetahuan, serta peyelenggaraan pengetahuan yang kontinyu akan menghasilkan bentuk kekuasaan. Maka berbagai bentuk wacana yang dikembangkan oleh media massa jelas akan sangat dipengaruhi oleh mekanisme kuasa yang berlaku saat itu. Walaupun Foucault tidak mendefinisikan kuasa sebagai sesuatu yang represif, namun kuasa dimaknai sebagai struktur diskursif yang mampu melakukan praktik regulasi maupun normalisasi dari serangkaian sendi kehidupan.

Jelas sekali bahwa media massa akan sangat berperan membentuk sebuah struktur diskursif dalam masyarakat yang pada nantinya diterima sebagai sebuah kebenaran. Disinilah proses terjalinnya opini publik terjadi. Maka wacana tentang calon presiden yang terlontar melalui hasil polling, bisa sangat mempengaruhi anggapan publik tentang calon presiden yang benar-benar dikehendaki oleh rakyat.

Yang Kedua, persoalan polling pemilihan Capres banyak dilakukan oleh media massa, perlu juga diperhatikan bagaimana efek dari hasil polling tersebut dalam pembentukan opini publik. Apakah masyarakat sudah benar-benar paham bahwa apapun hasil polling belum mencerminkan kehendak yang sebenarnya dari masyarakat. Atau kalaupun masyarakat sudah paham bahwa hasil polling tidak mencerminkan realitas yang sebenarnya, akankah masyarakat benar-benar memanfaatkan medium polling tersebut untuk menyuarakan aspirasinya. Jangan-jangan dari kesekian suara yang masuk dalam jajak pendapat tersebut hanya berasal dari orang-orang iseng, atau lebih celaka lagi polling tersebut banyak dikirim oleh tim sukses masing-masing kandidat untuk mencitrakan person yang dicalonkannya di hadapan publik.

Untuk itu media juga harus lebih memperhatikan validitas data yang diperoleh melalui polling. Dari pemilihan metode jajak pendapat hingga perkiraan terjadinya kerusakan data (sampling error) harus segera diminimalisir oleh media penyelenggara polling. Jangan sampai polling tersebut dilakukan secara asal-asalan tanpa memperhatikan kaidah serta metode yang digunakan.

Maka selama masyarakat kita masih belum memiliki perspektif yang benar tentang media massa yang dalam konteks ini menganggap bahwa apa yang dihasilkan oleh polling adalah cerminan dari kehendak sebagian rakyat indonesia, hal semacam itu bisa menjadi bentuk informasi yang cenderung menyesatkan bagi publik.

Memang untuk hal ini kita tidak bisa menyalahkan media yang melakukan polling, karena bagaimanapun juga media akan menjadi ajang pertarungan kepentingan yang cukup terbuka bagi siapapun. Siapa yang menang adalah siapa yang mempunyai akses lebih terhadap proses produksi media yang bersangkutan. Untuk itu kita tidak bisa mengandalkan media itu sendiri untuk melakukan pembelajaran pada rakyat tentang apa yang ada dibalik teks-teks yang tercantum di media. Tentu tugas dari kita semua untuk bisa merubah struktur kognitif masyarakat kita tentang anggapannya pada media.

Yang ketiga, Dari perspektif ekonomi, bisa jadi kepentingan bisnis menjadi latar belakang dari maraknya penyelenggaraan polling di media massa. Dengan bekerja sama dengan perusahaan komunikasi, diharapkan akan terkeruk hasil yang cukup menggiurkan dari bisnis polling ini.

Kalau toh memang kenyataannya seperti itu, hal tersebut tentu akan memperkuat bahwa selama ini bisnis media akan sangat dipengaruhi oleh mekanisme modal serta bayangan keuntungan yang akan diraih. Hal ini tentu harus benar-benar dipahami publik agar publik tidak kemudian hanya menjadi komoditas, paling tidak bisa memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menyuarakan aspirasi mereka.

Yang Keempat, kita juga tidak bisa menafikan bahwa di sisi lain pelaksanaan polling disebut sebagai sebuah upaya untuk melakukan peningkatan partisipasi politik bagi rakyat. Polling dapat juga digunakan sebagai sarana penjaringan awal terhadap aspirasi rakyat terhadap tokoh yang dikehendakinya untuk menjadi capres. Dengan polling minimal masyarakat mempunyai gambaran awal tentang siapa saja tokoh-tokoh yang cukup populis di tingkatan grass root.

Ini tentu bisa menjadi bentuk counter wacana serta masukan bagi parpol untuk tidak terlalu gegabah mengusung nama capres yang akan mereka perjuangkan dalam Pemilu. Sebab bagaimanapun juga Pemilu 2004 harus benar-benar menjadi proses demokratisasi yang mampu merepresentasikan kehendak rakyat dalam memilih pemimpinnya.

Persoalannya kemudian, apakah hasil polling yang banyak dilakukan di media massa cenderung akan dijadikan bahan masukan bagi parpol untuk diusulkan menjadi capres?. Dari sini penulis belum berani untuk mengambil sebuah kesimpulan. Karena selama ini yang terjadi di negeri kita, semua bentuk kebijakan yang berkaitan rakyat tidak diambil dengan pertimbangan aspirasi rakyat, namun lebih tunduk melalui mekanisme politik. Begitupun dalam konteks pencalonan Presiden, kalaupun toh hasil polling bisa dikatakan sebagai representasi kehendak rakyat, apakah berani parpol kemudian mengusulkan nama yang terjaring lewat hasil polling tersebut.

Kenyataan sekarang pun menunjukkan bahwa selama ini parpol sebagai institusi politik, lebih mengedepankan kepentingan partai daripada berorientasi untuk kepentingan rakyat. Jika akhir-akhir ini banyak parpol yang didemo oleh kadernya  sendiri berkaitan dengan penempatan nomor urut caleg, hal tersebut berarti bahwa selama ini parpol banyak melupakan aspirasi yang muncul dari tingkat bawah. Tingkat kepercayaan rakyat akan semakin menipis terhadap segala kinerja maupun aktifitas parpol.

Untuk membangun kepercayaan di tingkatan kadernya sendiri ternyata banyak parpol yang tidak mampu, tak urung harapan penjaringan aspirasi rakyat melalui polling hanya akan menjadi hiasan pada kolom-kolom media saja, tanpa menghasilkan sebuah sumbangsih yang punya nilai konsekuensi bagi proses pemberdayaan demokrasi.

Sudah saatnya parpol harus benar-benar mempunyai itikad baik dalam melakukan proses demokratisasi. Apapun kebijakan yang diambil parpol haruslah berorientasi pada keberpihakan pada rakyat, bukan mengutamakan kepentingan individu atau golongan. Apapun serta bagaimanapun pahitnya aspirasi dari bawah jika itu benar-benar merupakan suara mayoritas maka harus didengarkan serta diperjuangkan.

Jadi dalam menyikapi fenomena polling tentang calon presiden, persoalannya bukan terletak pada absah atau tidak, representatif atau tidak, serta ditampung atau tidaknya hasil polling pemilihan capres di media massa oleh para pemegang kebijakan. Namun yang terpenting adalah bagaimana kita tetap berkomitmen untuk terus berupaya melakukan proses pendidikan politik bagi rakyat.

Karena apabila masyarakat kita telah mempunyai perspektif yang cukup benar tentang kondisi politik bangsa, apapun mekanisme yang digunakan untuk mendukung proses demokratisasi akan bisa menghasilkan efek yang positif bagi bangsa ini. Dengan demikian harapan kita bersama untuk membangun bangsa kearah yang dicita-citakan akan bisa cepat terwujud.

Oleh: Em’Es Syaifullah Ma’shum

0 comments: