Pendidikan dan Kebudayaan
PENDIDIKAN, baik formal maupun nonformal, adalah sarana
untuk pewarisan kebudayaan. Setiap masyarakat mewariskan kebudayaannya kepada
generasi yang lebih kemudian agar tradisi kebudayaannya tetap hidup dan
berkembang, melalui pendidikan. SUDAH lama banyak orang mempertanyakan pendidikan kita,
mengapa hasilnya tidak memperkuat dan mengembangkan budaya sendiri? Mengapa
bangsa kita mudah larut dalam pengaruh budaya yang datang dari luar? Mengapa
budaya asli kita tidak dapat menahan banjir bandang globalisasi yang datang?
Pendidikan kita selama ini menjadi sarana pewarisan budaya atau tidak?
BILA menengok sejarah, kita akan melihat, sebagai bangsa
jajahan sejak tiga-empat abad terakhir, budaya kita adalah budaya bawahan yang
menganggap budaya bangsa yang menjadi tuan penjajah sebagai cermin keunggulan.
Hal itu menumbuhkan mentalitas bangsa jajahan, yang selalu merasa rendah diri
bila berhadapan dengan kaki penguasanya. Dalam masyarakat demikian, orang
pribumi dianggap sebagai keset sepatu tuan penjajah.
Sebagai penjajah, Belanda tidak langsung memeras bangsa
pribumi. Mereka menggunakan para pemimpin tradisional pribumi sebagai alatnya.
Dan, para pemimpin tradisional pribumi, yang secara turun-temurun selalu
menikmati kedudukan sebagai elite penguasa priayi yang selalu ongkang-ongkang
menikmati hasil kerja keras rakyat petani dan nelayan, menerima peran yang
diberikan tuan penjajah dengan suka hati. Mereka mendapat gaji dan persentase
keuntungan dari harga hasil bumi yang dipaksa ditanam petani dan harus dijual
kepada pemerintah dengan harga yang ditetapkan oleh pembeli. Sebagai produsen,
petani kita tak berdaya menghadapi pembeli karena yang dihadapi adalah
penguasanya sendiri. Sebagai rakyat kerajaan yang selalu patuh kepada raja,
para petani menganggap jangankan hasil kerjanya, nyawa dan keluarganya pun
milik sang raja.
Dalam hal ini kita melihat, mentalitas elite penguasa
pribumi itulah yang menyebabkan rakyat kita sengsara dalam kemiskinan luar
biasa meski bekerja amat keras, sedangkan tuan penjajah Belanda menangguk
keuntungan ratusan juta gulden tiap tahun untuk kemakmuran negaranya yang jauh
di benua utara. Yaitu mentalitas calo, broker, yang ingin hidup senang tanpa
mengeluarkan keringat. Untuk memperkuat pengaruhnya terhadap rakyat petani yang
diperasnya, mereka mengangkat tukang-tukang pukul sebagai kaki tangannya. Para
petani yang tidak patuh atau memperlihatkan gejala akan melawan dihadapi dengan
kasar dan kejam oleh para tukang pukul itu. Bila para tukang pukul tidak mampu
lagi, serdadu marsose dikerahkan. Itulah yang terjadi di Banten pada tahun
1888, terjadi di Jatitujuh dan daerah lain di Cirebon pada sekitar 1815, di
Cimareme, Garut, pada tahun 1918, dan lain-lain.
Pemberontakan petani di Jawa, yang kerap terjadi pada
abad ke-19 dan ke-20, mempunyai pola yang sama: para petani merasa tidak puas
dengan ketentuan yang dikenakan terhadap mereka, mereka mengajukan usul, lalu
protes, dan karena tidak digubris, mereka melawan. Bila sudah memberontak,
mereka dihadapi tentara profesional penjajah yang mempunyai senjata jauh lebih
canggih. Pemberontakan seperti itu selalu berakhir dengan ditindasnya
petani-bukan hanya yang memberontak, tetapi juga mereka yang dianggap
bersimpati kepada pemberontak atau mempunyai hubungan darah dengan mereka.
Praktik demikian kita saksikan pula pada masa Orde Baru.
Para petani Banjaran (Majalengka), yang sawahnya tercemar limbah pabrik baterai
yang didirikan di sana, setelah melakukan protes tak digubris pemerintah
daerah, lalu membakar pabrik itu. Mereka ditangkap dan dijatuhi hukuman oleh
pengadilan. Para petani di Cimacan (Cianjur) juga ditangkapi dan diajukan ke
pengadilan karena protes mempertahankan tanah yang sudah digarapnya puluhan
tahun, yang oleh pemerintah daerah hendak dijadikan lapangan golf.
Dalam sejarah, kita tidak melihat ada-kalaupun ada jarang
sekali-pembesar pribumi yang dalam situasi demikian membela rakyatnya. Karena
itu, perbuatan Bupati Sumedang Pangeran Koesoemadinata dianggap gagah berani
dan heroik karena berani menyodorkan tangan kiri saat diajak bersalaman oleh
Gubernur Jenderal Daendels yang tersohor galak. Dilihatnya Gubernur Jenderal
hendak menyalahkan rakyatnya yang dikerahkan kerja paksa secara cuma-cuma
membangun jalan di tempat yang kini bernama Cadas Pangeran. Pangeran
Koesoemadinata tidak membiarkan rakyatnya dipersalahkan dalam pembuatan jalan itu
karena medan yang dihadapi luar biasa berat. Namun, sebenarnya, dia pun tidak
membela rakyatnya yang dikerahkan kerja paksa tanpa dibayar, mungkin karena
dianggapnya hal itu sudah sewajarnya demikian.
Peristiwa di Istana Bogor saat sejenak Inggris menguasai
Hindia Belanda dan Gubernur Jenderal Inggris Lord Minto berkunjung ke Jawa-saat
Pangeran Koesoemadinata menyatakan dengan berani dan terus terang kepatuhan dan
kesetiaannya kepada majikannya yang lama, yaitu Pemerintah Hindia Belanda yang
dikalahkan Inggris-menunjukkan bahwa pada dasarnya ia sama saja dengan kaum
elite priayi lain yang tidak mempunyai perspektif pandangan sejarah dan sosial
yang luas. Kelebihannya, ia mempunyai kekuatan moral yang lebih baik daripada,
misalnya, Bupati Garut Moesa Kartalegawa saat menghadapi peristiwa Cimareme.
PANDANGAN masyarakat kita saat itu adalah feodalistis.
Feodalisme di Eropa dikuasai kaum feodal, yaitu mereka yang memiliki tanah yang
dikerjakan para petani. Para petani di wilayah tertentu, misalnya di Rusia, dianggap
sebagai hamba sahaya yang bekerja untuk dan semua hasil pekerjaannya menjadi
hak majikan. Akan tetapi, kaum feodal di Jawa-terutama setelah penjajahan
Belanda-tidak selalu berarti pemilik tanah. Hidup mereka digaji Pemerintah
Hindia Belanda, ditambah pendapatan dari persentase hasil tanaman rakyat yang
dibeli pemerintah dengan harga rendah sekali. Artinya, mereka bukan orang yang
memegang kekuasaan tertinggi dalam komunitasnya karena mereka hanya pegawai
dari pemerintah yang mewakili kepentingan bangsa asing. Karena itu, mentalitas
mereka adalah mentalitas calo, broker. Nilai-nilai kesatriaan yang membela
kebenaran dan melindungi rakyat kecil dan sering dipuji-puji sebagai pegangan
para priayi kita hanya ada dalam teks.
Maka, nilai-nilai yang diwariskan kepada generasi yang
lebih muda pun dari kebudayaan feodal yang bermentalitas calo. Status quo yang
tertib dipertahankan dengan ajaran yang, misalnya, dirumuskan dalam peribahasa,
"Guru, ratu wong atuo karo, wajib sinembah," yang berasal dari Jawa,
tetapi kemudian dipopulerkan melalui sekolah yang didirikan Pemerintah Hindia
Belanda di seluruh Tatar Sunda. Maksud peribahasa itu ialah setiap orang
(rakyat) wajib menghormati guru, ratu, dan orang tua. "Guru" yang
tadinya mungkin mempunyai arti pendeta, kiai, empu, dibumikan menjadi pegawai
Pemerintah Hindia Belanda yang tugasnya berdiri di depan kelas mengajar murid.
"Ratu" adalah Raja Belanda yang diwakili pejabat yang menjadi kaum
priayi. Jelas peribahasa itu hendak mempertahankan ketenteraman masyarakat
melalui lembaga "guru" (yang memberi bimbingan ilmu) dan
"ratu" (yang mengatur pemerintahan), sedangkan "orang tua"
menjadi bantal paling akhir. Tak pernah ada gugatan dari pihak ulama Islam
yang, misalnya, mempersoalkan mengapa "guru" dan "ratu"
yang disebut dahulu baru "orang tua", padahal ada hadis yang jelas
menyatakan, orang yang harus dihormati itu pertama-tama ibu (3 kali) dan baru
ayah. "Guru" dan "ratu" tak disebut.
Tentu bukan hanya peribahasa itu yang ditanamkan untuk
menjaga ketenteraman "orde" (ketertiban) masyarakat kolonial feodal
itu. Contoh lain mudah diperoleh dalam kumpulan peribahasa bahasa-bahasa daerah
dan Melayu.
NILAI-nilai yang ditanamkan dan diwariskan oleh
orang-orang tua itu adalah nilai-nilai yang cocok dengan ajaran feodal yang
menunjang kepentingan dan kelestarian penjajahan. Ajaran itu disebarkan secara
lebih intensif melalui sekolah-sekolah yang didirikan Pemerintah Hindia
Belanda.
Adapun sekolah yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda
ada beberapa macam:
Pertama, sekolah untuk orang Belanda (Eropa) atau elite
pribumi dengan bahasa pengantar bahasa Belanda, seperti ELS, HIS, MULO, AMS,
dan HBS. Di sekolah ini, sejak dini para siswa diperkenalkan dengan sumber
budaya Belanda (Eropa), yaitu budaya Yunani dan di tingkat sekolah lanjutan
tingkat atas (AMS dan HBS) mereka belajar bahasa Latin, sedangkan sebelumnya
mereka sudah diperkenalkan dengan mitologi dan drama-drama Yunani. Mereka juga
diharuskan membaca buku-buku karya sastra klasik dan modern, bukan saja dalam
bahasa Belanda, tetapi juga dalam bahasa modern Eropa lain, seperti Inggris,
Perancis, dan Jerman. Dengan demikian, para siswa mengenal betul sumber budaya
Eropa dan kekayaan rohani budaya Eropa modern seperti tampak dalam karya-karya
tulisnya (tidak hanya karya sastra). Dengan demikian, tamatan sekolah lanjutan
tingkat atas (AMS dan HBS) sudah menguasai dengan baik sumber-sumber budaya
Barat.
Kedua, sekolah untuk orang asing Timur, seperti Tionghoa,
India, dan Arab, seperti HCS (Holands Chineesche School) yang selain menggunakan
bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar juga mengajarkan bahasa China secara
intensif. Para siswa pun mempelajari sumber budayanya, yaitu sumber budaya
China. Mereka belajar bahasa China dan membaca karya-karyanya dalam bahasa itu
sehingga mereka mengenal dengan baik karya-karya budaya klasik China.
Ketiga, sekolah untuk orang pribumi, seperti sekolah desa
tiga tahun, Sekolah Angka II (lima kemudian enam tahun), sekolah sambungan
(schakel school), sekolah guru (normaal school) yang menggunakan bahasa
pengantar bahasa daerah atau bahasa Melayu. Sekolah-sekolah pribumi ini
didirikan Pemerintah Hindia Belanda terutama untuk mencukupi kebutuhannya akan
tenaga-tenaga administrasi murahan dalam rangka eksploitasi kolonialnya. Karena
itu, pelajaran yang diajarkan di sini amat sederhana, yaitu membaca, menulis,
dan berhitung. Dalam kurikulumnya, tak ada pelajaran tentang kekayaan budaya
yang menjadi sumber hidup dan masyarakatnya. Untuk mereka disediakan buku-buku
terbitan Balai Pustaka dalam perpustakaannya. Namun, meski buku-buku terbitan
Volkslectuur, yang kemudian menjadi Balai Pustaka, itu semula saduran dari
naskah-naskah kuno Nusantara, yang kemudian diterbitkan kebanyakan buku-buku
terjemahan atau saduran dari bahasa Belanda. Dengan demikian, para siswa yang
belajar di sekolah-sekolah pribumi tidak dianggap perlu mengenal dan mengetahui
sumber budaya warisan leluhurnya sendiri.
Malangnya, ketika Indonesia merdeka, yang dilanjutkan
Pemerintah Republik Indonesia (RI) adalah jenis sekolah untuk kaum pribumi,
bukan model sekolah untuk orang Belanda atau Eropa. Mungkin karena semangat
zaman yang serba anti- penjajahan Barat, kebudayaan Barat dengan serta-merta
dikutuk dan diharamkan orang.
MEMANG bukan ELS, HIS, MULO, AMS, atau HBS yang harus
dilanjutkan pendidikan RI, tetapi model sekolah itu telah terbukti amat efisien
dan efektif menjadi wadah pewarisan budaya yang menjadi sumbernya. Modelnya
sama, tetapi isinya harus disesuaikan dengan sumber budaya kita sendiri.
Pemerintah RI melanjutkan model sekolah untuk pribumi,
yang dalam kurikulumnya ditambah sejarah nasional, ilmu bumi nasional, dan
pelajaran berbagai ilmu yang dianggap perlu. Akan tetapi, tidak ada pelajaran
yang menyebabkan si siswa mengenal sumber budayanya. Tidak ada yang menganggap
perlu, anak didik yang akan menjadi pewaris negara dan bangsa Indonesia
mengenal dengan baik sumber budayanya. Dengan demikian, anak-anak Jawa terputus
dengan sumber budaya Jawa, anak-anak Sunda terputus dengan sumber budaya Sunda,
anak-anak Bugis terputus dengan sumber budaya Bugis, anak-anak Aceh terputus
dengan sumber budaya Aceh, dan seterusnya.
Memang ada pelajaran tentang Pancasila yang dianggap
hasil galian dari bumi sendiri sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi,
tetapi isinya lebih merupakan indoktrinasi dan hafalan. Maka, kini setelah
hampir 60 tahun Indonesia merdeka, kita tiba-tiba terpukau melihat anak-anak
bangsa kita tidak mengenal kekayaan budaya nenek moyangnya. Padahal kita selalu
membanggakan diri dan menggembar-gemborkan kekayaan ragam budaya tradisi kita.
Kita memasukkan segala macam pelajaran untuk dimamah oleh
anak didik sehingga berlebihan, tetapi mengenai sumber budayanya amat minim.
Baru beberapa belas tahun terakhir ada pelajaran muatan lokal yang biasanya
digunakan untuk memperkenalkan kesenian dan bahasa daerah setempat kepada anak
didik, tetapi kedudukannya dalam kurikulum tidak termasuk penting. Bahasa
Inggris dianggap jauh lebih penting.
Menurut hemat saya, masalah ini amat penting demi
kelangsungan kita sebagai bangsa mandiri sehingga perlu mendapat perhatian
bukan saja dari para teknokrat pendidikan dan para ahli kurikulum, tetapi juga
dari semua ahli di bidang kemasyarakatan lainnya. Enam puluh tahun terlambat
tidak apa kalau masih dapat segera diperbaiki.
Ajip Rosidi Pensiunan; Tinggal di Desa Pabelan,
Magelang, Jawa Tengah
0 comments: