Anak Muda NU:Tradisionalis atau Ultra-Liberal?
Awal Oktober 2003 yang lalu, sejumlah anak muda NU
menggelar muktamar pemikiran Islam NU di Pondok Pesantren Salafiyyah
Syafi’iyyah, Sukorejo, Situbondo. Hajatan yang lebih bernuasa pemikiran dan
keilmuan ini telah melahirkan beberapa pikiran penting tentang perlunya
memahami tradisi Islam sebagai konsep kebangsaan dan kerakyatan. Dan di pundak
anak muda NU, gagasan mendapat perhatian yang luar biasa.
Buku Menggugat Tradisi: Pergulatan Pemikiran Anak
Muda NU ini setidaknya memberikan penjelasan yang lumayan gamblang tentang
pikiran-pikiran segar anak muda NU. Yang menarik dari buku ini, bahwa
pikiran-pikiran anak muda NU, seperti yang ditulis Masdar F. Mas’udi, Ulil
Abshar Abdalla, Said Aqil Siraj, Zuhairi Misrawi, Sumanto al-Qurthubi, Khamami
Zada, Muhammad Guntur Romli, ditulis dalam bahasan yang mendalam. Bukan hanya
itu, dalam buku ini juga dilengkapi dengan pergulatan pemikiran yang terjadi
dalam muktamar, antara lain: dinamika pemikiran islam NU, metodologi pemikiran
Islam NU dan kerangka praksis pemikiran Islam NU.
Diskursus yang hendak dijawab dalam buku ini adalah:
apakah anak muda NU masih tradisionalis, liberal atau ultra-liberal? Robin Bush
dalam tulisannya memandang, bahwa anak muda NU masih tradisionalis, karena
mereka masih menggunakan tradisi sebagai sumber pembaruan. Mereka adalah anak
muda yang dibesarkan dalam tradisi pesantren.
Namun, Sumanto al-Qurthubi membantah pandangan
tersebut. Menurut dia, anak muda muda tergolong liberal, bahwa pada titik
tertentu sudah sampa pada maqam “ultra-liberal”. Anak muda NU
mengkritisi tradisi hingga pada masalah-masalah yang rawan, seperti teks suci,
rukun agama dan lain-lain. Anak muda NU memandang fundamentalisme sebagai
ancaman serius bagi agama. Dan tradisi harus dipandang se-ultra liberal
mungkin.
Selain, itu buku ini juga ingin mengabarkan, bahwa
tradisi pemikiran anak muda NU yang progresif, inklusif dan emansipatoris
tersebut menjadi trend anak muda NU yang saat ini sedang belajar di luar
negeri, contonya di Mesir. Muhammad Guntur menulis akar-akar pemikiran anak
muda NU dengan brilian. Anak muda NU di Mesir menyambut baik pemikiran
progresif, karena sesuai dengan konteks keindonesiaan dan kemodernan.
Fakta tersebut menunjukkan kebangkitan anak muda NU
sebagai ikon pembaruan dan perubahan pemahaman keagamaan di masa mendatang. Cak
Nur—panggilan akrab Prof. Dr. Nurcholish Madjid—dalam kata pengantarnya
menyambut baik pemikiran anak muda NU. “Saya cukup bangga dengan
terselenggaranya muktamar pemikiran Islam NU. Apalagi, acara tersebut dimotori
oleh anak muda NU yang akhir-akhir ini saya dengar dan saya lihat banyak
menelurkan karya-karya tulis, baik di media maupun dalam bentuk buku.” Ucap Cak
Nur.
Ia menambahkan, fenomena tersebut tentu saja patut
disyukuri, karena selama ini NU dikenal sebagai kelompok Islam yang kolot,
tradisionalis, dan anti-kemodernan. Maksudnya, geliat pemikiran yang terjadi di
tengah-tengah anak muda NU ini membuktikan bahwa tradisi tidak selamanya buruk
dan anti-kemodernan.
Untuk itu PBNU sebagaimana diharapkan oleh peserta
muktamar pemikiran Islam NU agar bisa melembagakan pemikiran anak muda NU
tersebut dalam kegiatan rutin, misalnya dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama.
Dengan demikian, terjalin dialog konstruktif antara arus liberal dan arus
konservatif dalam tubuh NU. “Pelbagai bentuk pemikiran yang muncul di NU harus
ditangani hati-hati. Yakni, agar tidak menjadi perpecahan antara yang liberal
dan konservatif”, tulis Prof. Dr. Machasin.
Buku ini penting, menarik dan perlu dibaca, karena
memberikan arahan penting tentang arus pemikiran anak muda NU yang
sesungguhnya, dipengantari secara panjang lebar oleh Zuhairi Misrawi, ketua
pelaksana nasional perhelatan muktamar tersebut. Selamat membaca.(nj)
Profil Jaringan Islam Emansipatoris
Latar Belakang
Satu hal yang patut dicermati secara saksama, bahwa
pemahaman keagamaan (tafsir) mengalami kemandegan. Yang terjadi hanya sekadar
reproduksi pemahaman keagamaan. "Menghadirkan masa lalu ke masa
kini", demikian Muhammad Arkoun mengamati pemikiran keagamaan kontemporer.
Interdependensi yang begitu kuat terhadap masa lalu mempunyai dampak yang harus
dibayar mahal oleh masyarakat beragama, yaitu pertama, sakralisasi teks. Teks
tidak lagi dipahami sebagai dialektika antara wahyu dan budaya, melainkan
sebagai wahyu yang terpisah dengan budaya. Karenanya, teks lalu kehilangan
konteksnya dan tercerabut dari akar budaya. Seakan-akan teks berada di sebuah
lembah, dan persoalan kemanusiaan di lembah yang lain.
Kedua, kerancuan metodologis. Pemahaman terhadap
doktrin-doktrin keagamaan terkesan fatalistik dan mengabaikan aspek
metodologis. Beragama diartikan sebagai kepasrahan yang bersifat pasif dan
menerimanya tanpa reserve. Beragama hanya dilihat dari aspek ritualitasnya
belaka.
Karena itu, saatnya dihadirkan sebuah bentuk
keberagamaan yang berlandaskan kesadaran terhadap teks dan konteks, sekaligus
mampu membawa misi pembebasan dan pencerahan bagi masyarakat. Agama sejatinya
tidak dilihat sebagai dokumen teologis belaka, akan tetapi sebagai jalan menuju
terciptanya perubahan pada tataran realitas.
Mengenal Islam Emansipatoris
Pemahaman dan penghayatan terhadap teks merupakan
problem serius yang dihadapi masyarakat beragama saat ini, bahkan tak jarang
perbedaan cara pandang terhadap teks menyebabkan munculnya sikap-sikap
eksklusif dan perilaku-perilaku destruktif. Yang cukup memprihatinkan bersama,
bahwa pemahaman keagamaan dalam pertumbuhannya melahirkan adanya klaim
kebenaran (truth claim) yang kemudian memperuncing relasi antar umat beragama di
satu sisi, dan pemaknaan sepihak terhadap doktrin-doktrin keagamaan. Ini
mengakibatkan teks hadir dalam wujud parsial dan kehilangan visi utamanya
sebagai "teks terbuka dan membebaskan". Teks menjadi arena kontestasi
yang paling marak dalam menyingkap kebenaran.
Kehadiran teks seakan hanya melahirkan problem dari
pada mendatangkan kemaslahatan. Di sini, lalu kritik atas teks menjadi fenomena
yang sulit dihindarkan, dan diperlukan kerangka metodologis guna memahami teks
yang diharapkan dapat menciptakan paradigma baru, seperti keadilan,
kemanusiaan, keadaban, kesetaraan, persamaan, pluralisme dan pembebasaan.
Pemahaman terhadap teks tidak hanya melalui literalnya, akan tetapi melihat
dimensi-dimensi lain yang sangat luas.
Dalam gugusan pemikiran seperti itu, Islam
Emansipatoris hadir dengan paradigma dan pendekatan yang lebih membebaskan dan
berinteraksi langsung dengan problem kemanusiaan. Setidaknya ada tiga hal yang
ingin disampaikan tafsir emansipatoris. Pertama; Islam Emansipatoris ingin
memberikan perspektif baru terhadap teks. Ada
kesan, bahwa pemahaman terhadap teks hanya bisa dilakukan dengan menggunakan
teks-teks lain yang diklaim orisinil, baik teks primer maupun teks sekunder.
Islam Emansipatoris akan mencoba melihat teks dari kaca mata konteks dan problem
kemanusiaan. Karena toh sebenarnya teks lahir dari konteks dan sosio-kultur
masyarakat pada zamannya.
Kedua, Islam Emansipatoris menempatkan manusia sebagai
subyek penafsiran keagamaan. Hal itu dalam rangka memperpendek jarak yang
selama ini terlalu jauh antara teks dan realitas. Pemahaman keagamaan selama
ini "dihadirkan" ke tengah-tengah masyarakat hampir semuanya
berangkat dari teks yang kemudian diturunkan menjadi produk hukum dalam rangka
memberi status hukum terhadap realitas. Akibatnya, bukan saja teks kehilangan
semangat transformatifnya, tapi dampak yang lebih buruk: teks berjarak dengan
realitas.
Ketiga, Islam Emansiapatoris mempunyai konsern kepada
persoalan-persoalan kemanusiaan ketimbang pada persoalan-persoalan teologis.
Islam Emansipatoris ingin mengalihkan perhatian agama daripersoalan langit
(teosentrisme) menuju persoalan riil yang dihadapi manusia (antroposentrisme).
Penekanannya pada aspek praksis, sehingga agama tidak hanya dipahami sebagai
ritualisme melainkan pembebasan masyarakat dari segala penindasan.
Islam emansipatoris diharapkan dapat memberikan
kontribusi untuk memahami historisitas teks dan sejauh mana teks itu dapat
mewujudkan perubahan pada tataran praksis. Ini sejalan dengan pandangan, bahwa
keistimewaan wahyu tidak dikarenakan wahyu tersebut berasal dari Tuhan,
melainkan sejahmana wahyu tersebut dapat membawa misi keadilan, pluralisme,
pembebasan, kemanusiaan dan keadaban.
Apa perbedaan Islam Emansipatoris dengan model Islam yang lain?
Islam Emansipatoris mempunyai komitmen yang kukuh
terhadap demokrasi, pluralisme, relasi antar agama, jender, HAM dan keadilan
sosial. Nilai-nilai tersebut merupakan piranti bagi terwujudnya masyarakat yang
berkeadaban. Namun yang membedakan antara Islam Emansipatoris dengan model
Islam yang lain terletak pada paradigma dan perspektif yang tercermin dalam
hal-hal berikut:
- Sudut pandang terhadap teks. Islam Emansipatoris memberikan perhatian secara khusus terhadap teks, karena ditengarai teks telah menjadi arena kontestasi di antara pelbagai aliran keagamaan. Di satu sisi, ada semacam upaya politisasi teks, yaitu menjadikan teks sebagai dokumen hukum dan politik yang mesti diterapkan sebagai alternatif perubahan ke arah yang lebih baik, tapi di sisi lain ada kecenderungan untuk menarik teks sebagai alat justifikasi liberalisme. Kedua model tersebut sebenarnya tidak mempunyai sikap tegas terhadap teks dan hanya sekadar menjadikan teks sesuai dengan kepentingannya. Karena itu, keduanya terjebak dalam pertentangan yang tidak berkesudahan, dan yang terjadi justru "perang antar teks". Kelompok yang pertama menjadikan teks sebagai "baju fundamentalisme", sedangkan kelompok yang kedua menjadikan teks sebagai "baju liberalisme". Islam Emansipatoris ingin melihat teks sebagai bagian dari realitas yang mempunyai keterbatasan. Keterbatasan tersebut bukan menunjukkan kelemahan teks, melainkan bukti keistimewaan manusia untuk menyikapinya. Di sinilah pentingnya sudut pandang dan perspektif terhadap teks. Setiap pembaca teks sedapat mungkin melakukan diskoneksitas epistemologis (al-qathi'ah al-ma'rafiyah) dengan teks, tapi di sisi lain ia harus mampu melakukan kontekstualisasi (al-tawashul al-ma'rafy). Pendekatan ini berangkat dari asumsi, bahwa persoalan mendasar tidak terletak pada teks, melainkan pada realitas emperik. Karena itu, yang mesti ditumbuhkan adalah kesadaran kritis terhadap realitas sosial yang sarat dengan penindasan, diskriminasi dan dominasi, serta kritis terhadap segala bentuk eksploitasi teks yang akan menyeret kepada politisasi dan hegemoni penafsiran.
- Sikap terhadap modernitas. Islam Emansipatoris memandang, bahwa penindasan, diskriminasi dan dominasi merupakan hasil dari sistem dan ideologi modernitas. Modernitas di satu sisi dapat dianggap sebagai pendorong bagi pencerahan, akan tetapi di sisi lain, modernitas tak mampu mendorong terhadap kesetaraan dan keadilan pada tataran praksis. Modernitas adalah koloni baru yang mesti disikapi secara kritis, dikarenakan menciptakan pandangan positivistik dan semakin jauhnya keadilan ekonomi. Ini berbeda dengan pola keberagamaan yang berkembang selama ini. Islam Fundamentalis dan Islam Liberal sangat menggantungkan dirinya kepada modernitas. Islam Fundamentalis menolak modernitas dengan alternatif kembali kepada pemahaman salaf, sedangkan Islam Liberal menjadikan modernitas sebagai satu-satunya perangkat bagi perubahan sosial. Kedua gerakan tersebut lebih tepat disebut sebagai gerakan urban. Di sinilah, Islam Emansipatoris hendak mengukuhkan eksistensinya sebagai gerakan kerakyatan yang senantiasa kritis terhadap segala penindasan, baik yang diproduksi teks maupun yang diproduksi modernitas dengan tidak mengenyampingkan aspek-aspek positif dari modernitas.
- Apresiasi terhadap budaya lokal. Islam Emansipatoris mempunyai komitmen yang kuat terhadap budaya lokal, sehingga segala proses transformasi masyarakat tidak tercerabut dari akarnya. Ini sangat penting dalam rangka menggali kearifan lokal (local wisdom) yang selama ini tertimbun oleh budaya-budaya lain. Apresiasi terhadap budaya lokal sebagai wujud akultari agama dan budaya, bahwa keberagamaan tidak hanya dibentuk teks dan wahyu, melainkan dibentuk dengan budaya lokalnya. Ini juga dalam rangka menyadarkan wujud keragaman budaya dalam keberagamaan.
- Menekankan aspek partisipasi dan aksi. Islam Emansipatoris mengimani bahwa proses perubahan masyarakat tidak bersifat top down, akan tetapi bottom up. Ini berbeda dengan keberagamaan yang dikembangkan, baik Islam Liberal maupun Islam Fundamentalis. Keduanya meyakini bahwa perubahan konstitusional merupakan satu-satunya perubahan dan transformasi masyarakat. Islam Emansipatoris tidak terlalu yakin dengan kecanggihan teks, wacana dan konstitusi. Secanggih apapun teks, wahyu, wacana dan konstitusinya, tidak bisa menjamin perubahan dan transformasi. Karena itu, Islam Emansipatoris sangat menekankan pentingnya partisipasi dan aksi pada tataran praksis.
Pendekatan
1. Pendekatan Historis. Dalam khazanah tradisional aspek ini
sebenarnya sudah disadari dengan adanya asbâb al-nuzûl dalam proses penafsiran.
Adanya asbâb al-nuzûl merupakan salah satu bentuk kesadaran bahwa teks agama
tidak muncul di ruang kosong. Ada proses-proses sosial tertentu yang berperan
dalam melahirkan sebuah teks. Namun sayangnya, dalam tafsir konservatif asbâb
al-nuzûl ini cenderung dipahami secara ad hoc yang diletakkan dalam kerangka
nalar bayânî untuk mendukung paham ortodoksi.
Berkaitan dengan historisitas teks ini ada beberapa
hal yang perlu dilakukan dalam proses penafsiran, yaitu:
- Melakukan kritik sejarah terhadap situasi historis yang melingkupi lahirnya sebuah teks. Kritik sejarah ini tentu saja dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip ilmu sejarah.
- Sebagai kelanjutan dari kritik sejarah maka perlu juga dilakukan analisis sosial, baik yang berkaitan dengan situasi ketika teks lahir maupun situasi sosial yang kita hadapi.
- Kritik isi, yaitu melakukan kritik terhadap muatan makna yang terdapat dalam teks. Kritik isi ini bisa dilakukan dengan menggunkana instrumen kritik wacana untuk melihat wacana apa yang sebenarnya sedang berkerja dalam teks tersebut.
2. Pendekatan Hermeneutik. Pemahaman aspek kebahasaan yang terdapat
dalam teks dapat didekati secara hermeneutik yang merupakan disiplin yang
memusatkan kajiannya pada upaya memahami teks, terutama teks kitab suci yang
datang dari kurun waktu, tempat dan situasi sosial yang berbeda, bahkan asing
bagi para pembacanya. Dalam kaitan ini paling tidak ada tiga elemen pokok
hermeneutik, yaitu pengarang (Tuhan), teks serta pembaca yang masing-masing
memiliki dunianya sendiri sehingga masing-masing seharusnya berhubungan secara
dinamis, dialogis dan terbuka. Oleh karena itu, makna teks tidak pernah
tertutup dan selesai, tapi senantiasa terbuka.
a. Pengarang. Dalam kaitan dengan teks suci maka Tuhan
diletakkan dalam posisi sebagai pengarang atau sumber pesan. Tuhan sebagai
"pengarang" teks berada dalam posisi sama sekali berbeda, baik dengan
Muhammad sebagai penerima pesan. Tuhan adalah Dzat Maha Tinggi dan Tak
Terbatas; sedang Muhammad dan elemen lain yang digunakan untuk menyampaikan
pesan (bahasa dan teks) dalam posisi yang serba terbatas.
b. Bahasa dan teks. Sebagai medium untuk menyampaikan
pesan wahyu, meski mempunyai keistimewaan, bahasa dan teks tetaplah merupakan
produk budaya yang mempunyai sifat terbatas. Di sini tentu saja kita boleh
bertanya, apakah gagasan Tuhan yang sifatnya Tak Terbatas itu dapat terangkum
secara keseluruhan dalam bahasa dan teks? Tentu saja tidak. Menyamakan ide
Tuhan hanya sebatas yang terungkap dalam simbol bahasa dan teks sama artinya
mengecilkan Tuhan itu sendiri, karena dengan itu berarti kita telah
"membatasi" Tuhan, padahal Dia adalah Tak Terbatas. Dengan demikian,
bahasa dan teks ibarat gunung es dimana makna yang tidak tampak masih lebih
banyak daripada makna yang muncul ke permukaan.
Keterbatasan teks sebenarnya dapat kita lihat dari
beberapa sifat yang terdapat dalam teks itu sendiri, antara lain:
- Teks dalam banyak kasus mempunyai sifat ambigu, karenanya ia selalu membuka kemungkinan adanya pluralitas makna.
- Pada saat yang lain teks bisa saja menyembunyikan makna. Apa yang terungkap secara eksplisit belum tentu merupakan makna sebenarnya yang ingin disampaikan.
- Teks juga bisa menunda makna, artinya makna yang ada dalam teks bisa saja baru bisa diketahui pada saat yang tidak dapat ditentukan, karena tidak mungkin ada pesan Tuhan yang disampaikan kepada manusia tapi hanya Tuhan yang tahu makna dari pessan tersebut.
c. Audiens. Yang dimaksud di sini adalah pihak-pihak
yang menerima pesan, baik Muhammad saw sebagai rasul maupun umat dan generasi
sesudahnya. Manusia sebagai audiens yang menerima pesan wahyu Tuhan senantiasa
berada dalam situasi yang terus berubah. Dalam membaca teks suci dalam diri
manusia terdapat sejumlah situasi, kemampuan, kecerdasan, referensi dan
sebagainya yang bisa jadi berbeda satu dengan yang lain. Persepsi sebelum
membaca teks, vested interest serta pengalaman hidup dan religius jelas akan
sangat mempengaruhi seseorang dalam mengungkap makna teks.
Kerangka di atas sebenarnya ingin menunjukkan adanya
relativitas kebenaran makna teks. Secanggih apapun proses pencarian makna teks,
ia harus diletakkan dalam altar relativisme, sehingga ia senantiasa terbuka
untuk dikoreksi dan diwacanakan (qâbil al-taghyîr wa al-niqâsh). Dalam kaitan
ini, pencarian makna dapat saja dilakukan dengan melampauai teks itu sendiri
untuk mengungkap kebenaran lain dari "pucuk gunung es" teks.
3. Pendekatan Praksis. Sebuah kerangka metodologi dirumuskan
tentu saja tidak cukup berhenti pada metodologi. Kecanggihan metodologi
penafsiran tidak semata-mata diukur dari kacamata metodologi itu sendiri, tapi
juga dari sejauh mana ia membuka kemungkinan untuk bisa diterapkan dalam proses
penafsiran yang sebenarnya.
Atas dasar itu, di samping menggunakan menggunakan
kerangka tersebut maka dalam praksisnya proses penafsiran teks dan realitas
dapat dilakukan dengan meminjam disiplin-disiplin lain lain seperti sosiologi,
antropologi dan juga fenomenologi. Ilmu-ilmu tersebut sangat berguna untuk
memahami realitas serta "ideologi-ideologi" yang bekerja dibalik realitas
tersebut.
Santri Government
Profile Santri Government (SG):
Program Pendidikan Demokrasi
Untuk Santri Pesantren
A. PENGANTAR
Sudah sejak dua tahun lalu, P3M melaksanakan program
pendidikan demokrasi di pesantren. Kegiatan tersebut, pertama, berupa pelatihan
implementasi nilai-nilai demokrasi pada lembaga/organisasi kepemimpinan santri
(santri government). Kegiatan kedua, adalah tindak lanjut dari yang tersebut
pertama, yakni pilot proyek pembentukan pranata kepemimpinan dalam organisasi
santri melalui proses rekruitmen secara demokratik. Kegiatan-kegiatan ini sudah
kami lakukan di beberapa pesantren di Jawa Barat sepanjang tahun 2001.
Pada tahun 2003 ini P3M kembali melakukan program
pendidikan demokrasi di pesantren. Program ini, sebagian tentu saja, merupakan
perluasan dari program sebelumnya. Kali ini kami mencanangkan perluasan program
ke wilayah Jawa Tengah/DIY dan Jawa Timur. Dengan bentuk kegiatan seperti
sebelumnya, yakni berupa kegiatan training kepemipinan santri (¡§santri
government¡¨). Kami berharap dengan kegiatan tersebut bahwa proses
demokratisasi di lingkungan pesantren dapat semakin dipeekuat, bukan saja pada
tataran wacana, akan tetapi sekaligus masuk ke tahap internalisasi.
Tetapi patut kami kemukakan juga bahwa pada program
pendidikan demokrasi di kalangan pesantren tahun 2003 ini ada tambahan dari
jenis kegiatannya. Yakni apa yang kami sebut sebagai ¡§in-house training¡¨.
Kegiatan ini adalah intensifikasi setelah kegiatan pendampingan proses
rekruitmen kepemimpinan santri. Singkatnya, sebagai langkah lanjut untuk
mengisi pemerintahan santri yang sudah terbentuk. Hal ini terutama pada proses
cara menetapkan kebijakan anggaran dan aturan, administrasi, dan pendayagunaan
pengurus santri dalam kerangka demokratisasi pesantren. Kegiatan ini kiranya
untuk memperkuat perasukan demokrasi pada tingkat institusianalisasinya.
Jangka waktu program pendidikan demokrasi ini didesain
dalam waktu setahun. Yakni dari bulan Januari 2003 sampai dengan bulan Januari
2004. Sejak bulan Februari 2003, program ini telah mulai direalisasikan. Jadi
dari segi waktu yang kini sudah pada bulan Januari 2004, program ini telah
berjalan setahun. Dan ini berarti sudah berlangsung selama setahun. Berikut
adalah catatan dan laporan akhir tahun perkembangan kegiatan pendidikan
demokrasi untuk kalangan pengurus santri pesantren.
B. TUJUAN
B.1. Secara umum kegiatan Pendidikan Demokrasi di
Pesantren dimaksudkan untuk mendorong proses demokratisasi dari bawah, melalui
pemahaman dan penghayatan nilai-nilai demokrasi yang mengacu pada sistem
keyakinan transedental warga.
B.2. Sementara, secara lebih khusus bertujuan:
ć Menumbuhkan pemahaman yang lebih argumentatif di
kalangan para santri perihal hakikat demokrasi serta bagaimana penjumpaannya
secara simbiosis dengan keyakinan agama mereka.
ć Mendorong terumuskannya langkah-langkah nyata di
kalangan para santri tentang bagaimana mengaktualisasikan serta
mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi dalam tata kehidupan mereka sendiri
secara kolektif dan masyarakat sekitar mereka.
C. URUTAN KEGIATAN
Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, maka dirancang
satu urutan atau paket kegiatan dengan rincian sbb:
C.1. Training Demokrasi untuk Pengurus Santri
(¡§Santri Government¡¨)
Kegiatan ini merupakan upaya menggumulkan wacana
demokrasi dengan gagasan dasar Islam tentang kepentingan rakyat, terutama pada
aspek kepemimpinan. Diharapkan dari hasil pergumulan kedua wacana tersebut,
santri dapat mengimplementasikan dalam ¡§model pemerintahan santri yang
independen¡¨. Diharapkan pula dari kegiatan ini muncul calon pemimpin lokal
(santri pesantren) yang memiliki watak kepemimpinan yang demokratik dan
egaliter.
Training ¡§santri government¡¨ direncanakan akan
dilakukan dalam satu angkatan di dua region. Yakni, pertama akan diadakan di
Jawa Timur dan kedua di Jawa Tengah/DIY. Kegiatan ini akan diikuti oleh
kalangan santri senior dan atau lurah santri yang berasal dari wilayah Jawa
Timur dan Jawa Tengah/DIY. Lokasi wilayah ini sebagai bagian perluasan
¡§program santri government¡¨ sebelumnya. Di Jawa Timur terdapat banyak sekali
pesantren salaf yang belum tersentuh dengan gagasan demokrasi. Sementara
wilayaj Jawa Tengah/DIY meski keberadaan pesantrennya tidak begitu sebanyak di
Jatim, tetapi pesantren di wilayah ini umumnya juga menuntut pengembangan
sistem kepengurusan santrinya yang lebih maju.
Materi training meliputi prinsip-prinsip demokrasi
dalam pemerintahan; Islam demokrasi dan pluralisme; otonomi daerah dan
demokrasi lokal; bentuk ¡§pemerintahan¡¨ yang relevan untuk komunitas santri;
sistem rekruitmen (pemilihan umum, kampanye mencari dukungan), penyusunan
program kerja (action plan).
C.2. Pendampingan Proses Rekruitmen Kepemimpinan
Santri (Impelementasi SG)
Kegiatan pendampingan proses rekruitmen kepemimpinan
santri ini merupakan tindak lanjut dari kegiatan training santri government.
Kegiatan ini merupakan asistensi pilot proyek pembentukan pranata kepemimpinan
dalam organisasi santri melalui proses rekruitmen secara demokratik di beberapa
pesantren yang telah mengikuti training.
Lokasi kegiatan direncanakan akan dilaksanakan di 3
Pesantren di Jawa Timur dan 3 pesantren di Jawa Tengah/DIY. Bentuk kegiatannya
berupa sosialisasi konsep kepemimpinan santri demokratik kepada kyai pengasuh;
pembentukan panitia pemilihan pimpinan santri; pendampingan baik pada saat
persiapan (pemunculan calon; kampanye mencari dukungan; sampai dengan saat
pemilihan dan penentuan pimpinan definitif). Sebelumnya, kegiatan yang sama
sudah kami lakukan di beberapa pesantren di Jawa Barat sepanjang tahun 2001.
Secara singkat, output yang diharapkan dari kegiatan ini adalah terbentuknya
kepemimpinan santri sesuai dengan prosedur demokrasi.
C.3. In House Mentoring untuk Penguatan Santri
Government Kegiatan ini pada dasarnya merupakan intensifikasi paska Pilot
Proyek Pendampingan Proses Rekruitmen Kepemimpinan Santri. Kegiatan dimaksudkan
meningkatkan kemampuan dan ketrampilan pengurus santri dalam konteks
pengelolaan dan pengembangan struktur pemerintahan santri yang sudah terbentuk,
baik pada proses cara menetapkan kebijakan anggaran, aturan-administrasi, dan
pendayagunaan pengurus santri dalam kerangka demokratisasi pesantren. Karena
itu, dari kegiatan ini diharapkan akan memunculkan proses penetapan kebijakan
dunia santri yang demokratis, berkembangnya politik anggaran yang berorientasi
bagi demokratisasi di kehidupan sehari-hari santri. Selain itu, juga diharapkan
adanya perkembangan administrasi kepengurusan santri yang simple, surviceable,
serta adanya ruang manajemen yang dapat melibatkan banyak partisipasi santri
dalam pengambilan keputusan.
Adapun urutan kegiatannya antara lain pendampingan
untuk need assasement; fasilitasi atau upgrading cara/proses penyusunan
anggaran (yang transparan) dan manajemen administrasi kebijakan pemerintahan
santri agar lebih bermutu dan serviceable; asistensi peningkatan mutu
kepemimpinan (organisasi) dan pendampingan kegiatan ¡§dialog
pengurus-santri-pengasuh¡¨ secara berkala; fasilitasi bahan bacaan dan sedikit
sarana penunjang untuk struktur pemerintah santri demokratis.
Untuk lokasi dari kegiatan-kegiatan ini direncanakan
di pesantren di mana telah terbentuk santri government (alumni training, dan
pendampingan santri government). Yakni, di PP. Bahrul Ulum Tasikmalaya Jawa
Barat, PP. Al Hikmah Bumiayu Jateng, PP. Al Hamidiyah Jakarta, PP. Al
Masthuriyah Sukabumi. PP. Darunnajah Jakarta, dan PP. Al Hikam Malang.
C.4. Penerbitan Majalah HALQAH
Penerbitan majalah ini sudah berlangsung sejak awal
program penguatan demokrasi untuk kalangan pesantren sekitar tahun 1997.
Penerbitan sebagai wahana tukar gagasan, komunikasi dan supply informasi ke
alumni training atau ke seluruh jaringan P3M yang meliputi ribuan pesantren di
Indonesia. Penerbitan ini bertujuan antara lain memperkaya sekaligus
mempertajam kesadaran berdemokrasi dan pluralisme di kalangan para santri
khususnya, dan para pembaca pada umumnya. Adapun materi sajian majalah ini
meliputi; Masalah masalah berdemokrasi dala umat Islam dan umat beragama pada
umumnya; Pengalaman berdemokrasi di kalangan umat Islam/beragama; dsb.
Untuk memenuhi tujuan dari penerbitan ini maka
ditetapkan kebijakan redaksi dengan proporsi sajian fakta 20% dan opini 80%.
Karena itu bentuk rubrikasinya adalah seperti focus, wawancara dan berita.
Sedapat mungkin sajian Halqah adalah memberikan analisa berdasar fakta untuk
mengangkat concern mengenai hal demkratisasi dan penegakan HAM. Selain itu juga
memberikan sajian tentang bagaimana kalangan pesantren merespons demokrasi atau
tepatnya pergumulannya. Sasaran pembacanya adalah adalah kalangan pesantren, baik
kyai maupun santri; kalangan tokoh Islam/keagamaan lain di lapis bawah, dan
aktivis sosial daerah.
Dengan ketiga kegiatan tersebut diharapkan proses
demokratisasi di lingkungan pesantren dapat semakin diperkuat, bukan saja pada
tataran wacana, akan tetapi masuk ke tahap internalisasi dan
institusionalisasinya.
D.REALISASI KEGIATAN
Untuk jangka waktu Februari 2003 sampai dengan Januari
2004 alhamdulillah seluruh kegiatan yang direncanakan di atas, telah bisa
direalisasi. Kegiatan-kegiatan itu sebagai berikut:
D.1. In House Mentoring
In house mentoring telah dilaksanakan di 6 pesantren
sesuai dengan rencana semula. Perlu kami informasikan untuk kegiatan in house
ada beberapa perubahan dari sasaran pesantrennya. Ada tiga pesantren yang
dipindahkan, yang 3 tetap. Pertama, Pesantren Darunnajah Jakarta dipindah ke
Pesantren Assidhiqiyah Batu Ceper Tangerang. Kedua, PP Bahrul Ulum Tasikmalaya
dipindah ke PP. Sukaheding Tasikmalaya. Ketiga, PP. Al Hikam Malang dipindah ke
PP. Al-Ihya¡¦ Ulumuddin Cilacap. Ini dilakukan berkait dengan beberapa
pesantren yang kami anggap lebih membutuhkan asistensi kegiatan in house ini.
Tetapi tetap bahwa pesantren ¡Vyang akan di in house itu- memiliki kepengurusan
santri yang sudah memiliki pola pemerintahan dari santri; dan juga teah
mengikuti Training Santri Government yang diadakan P3M.Sementara 3 pesantren
yang sesuai dengan rencana semula adalah Pesantren Al Hikmah Sirampog Brebes,
Pesantren Al Hamidiyah Depok Jawa Barat dan Pesantren Al Mashthuriyah Sukabumi
Jabar.
d.1.1. Di Pesantren Al-Hikmah Sirampog Brebes
Kegiatan in house pertama kali dilaksanakan di
Pesantren Al Hikmah Sirampog Brebes 15 ¡V 19 Mei 2003. Kegiatan In House
Mentoring Penguatan Kapasitas Santri Government ini diikuti 111 peserta santri.
Mereka terdiri dari 55 santri putrid dan 59 santri putra. Mereka ini adalah
para pengurus harian pondok (pusat), koordinator departemen, ketua bidang,
ketua komplek, koordinator organisasi daerah, pengurus majalah/media pondok
serta para santri yang memiliki bakat dan prestasi. Tentu ini merupakan jumlah
yang banyak dari kesepakatan yang dibuat dengan pesantren yang direncanakan
hanya 100 peserta santri. Adanya penambahan peserta dari yang direncanakan
disebabkan karena banyaknya santri yang berminat mengikuti kegiatan tersebut
walaupun mereka tahu ada pembatasan jumlah. Sedangkan tambahan peserta
semata-mata dari toleransi panitia terhadap peserta yang berkualitas untuk
mengikutinya (rincian nama yang hadir bias dilihat pada lampiran di satuan
kegiatan).
Proses kegiatan in house dimulai dengan tahap
merencanakan bersama beberapa bentuk kegiatan dengan pengurus santri dan
pesantren itu sendiri. Baik itu melalui kunjungan maupun kontak pertelpun.
Sementara kegiatan in house nya sendiri berupa pertemuan forum (di dalam kelas)
dan dampingan lapangan. Bahasan yang disampaikan pada forum pelatihan maupun
pndampingan lapangan tak jauh beda dengan yang direncanakan. Beberapa materi
pokok itu antara lain materi pengembangan potensi diri (minat dan bakat),
materi dasar dan pola kepemimpinan demokratik dalam konteks kepengurusan
santri. Kemudian juga materi manajemen administrasi kesekretariatan, dan
pengetahuan berorganisasi. Walau begitu, dalam pelatihan ini ada juga materi
tambahan. Yakni, materi tentang media (jurnalistik) dan teknik pembuatan
proposal kegiatan. Ini karena pihak pengurus santri memintanya.
Proses materi pengembangan potensi diri intinya
mencoba mengeksplorasi dan merangsang para pengurus santri untuk akif dan
berani tampil berbicara. Dalam materi kepemimpinan, dengan cara menyuruh tiga
orang peserta untuk maju ke depan yang masing-masing memerankan sebagai
pemimpin, lalu mengidentifikasi pola/model kepemimpinan yang berkembang di
lingkungannya, baik itu kepemimpinan kharismatis, paternalitik, otoriter dan
demokratis. Di sini peserta juga diajak untuk menunjukkan kelebihan tipe-tipe
tersebut, yang kesimpulannya bahwa kepemimpinan demokratik meski prosesnya
tidak terlalu efisien tapi lebih baik.
Pada materi manajemen, fasilitator mengajak para
peserta untuk memahami apa itu manajemen, serta esensi manajemen. Seterusnya,
bagaimana memahami manajemen yang paling sederhana sampai yang luas. Kemudian
peserta diajak memahami proses-proses manajemen, yaitu (1) apa dan bagaimana
planning (merencanakan)? (2) Apa dan bagaimana organizing (mengorganisasikan)?
(3) Apa dn bagaimana actuating (mengaktualisasikan)? (4) Apa dan bagaimana
controlling (melakukan pengawasan)?. Proses-proses mesti dimengerti sebagai
proses yang harus dilakukan secara terpadu. Dan diungkapkan juga bahwa proses
manajemen inilah yang seharusnya menjadi acuan langkah dalam administrasi
kesekretariatan kepengurusan santri.
Pada materi keorgnisasian ini fasilitator memulai
dengan mengajak semua peserta untuk mengugkapkan tentang hakikat organisasi,
unsur-unsur organisasi yaitu: (1) Orang-orang, (2) Pekerjaan, (3) Lingkungan
dan (4) Hubungan. Pada tahap berikutnya fasilitator menjelaskan bagaimana
menyatukan empat unsur tersebut menjadi kekuatan yang memperkuat orgnisasi.
Bagaiamana agar orgnisasi solid dan terjadi proses yang mampu mewadahi serta
terjadi right man and the right job. Dalam membuat orgnisasi yang kuat dan
ideal sebenarnya bias mengadopsi dari system ¡§trias politika¡¨, pada setiap
tingkatan organisasi. Sehingga di sini fasilitator mencoba menugaskan setiap
kelompok, bagaimana membuat struktur organisasi yang dibentuk mengacu pada
¡§trias politika¡¨, yaitu memenuhi tiga struktur: eksekutif, legislative dan
yudikatif. Dan sifat antar ketiganya bersifat koordinatif bukan instruktif.
Respons peserta pada kegiatan in house ini sangat
antusias. Ini terbukti sesi di kelas hingga jam 02.00 malam. Peserta pengurus
santri yang relatif semuanya setingat Aliyah (SMA) memang membawa semangat
tersendiri dalam proses di kelas maupun di pendampingannya. Apalagi dukungan
ustad-ustad mudanya yang juga menambah proses in house ini lebih intensif.
Perencanaan waktu yang ditetapkan semula tampaknya kurang. Mungkin karena ini
kegiatan in house pertama kali yang dilaksanakan.
d.1.2. Di Pesantren Ihya Ulumaddin Cilacap
Kegiatan in house kedua, kami laksanakan di Pesantren
Ihya Ulumaddin Kesugihan, Cilacap. Kegiatan ini telah dilaksanakan pada tanggal
5-10 Juni 2003. kegiatan diikuti 25 santri putra dan 48 santri putri. In houde
di pesantren Cilacap ini mengambil bentuk hampir sama dengan pesantren Al
Hikmah, tetapi waktu yang tersedia agak lebih longgar yakni selama 5 hari
efektif.
Pertama, kegiatan dibagi dalam bentuk pertemuan kelas
(upgrading). Upgrading berisi need assement pengurus santri, manajemen
kesekretariatan dan pengorgnaisasian pengurus santri, dilanjutkan bahasan
mengenai kepemimpinan. Tiga bahasan ini masih ditambah dengan permintaan
¡Vseperti di tempat Al Hikmah- untuk pengenalan jurnalistik/media dan
pengenalan teknik pembuatan perencanaan kegiatan (proposal). Waktu untuk proses
di kelas ini hampir 3 hari efektif.
Sementara untuk proses pendampingan lapangan (praktek)
membutuhkan 1 hari penuh. Proses di kelas, secara umum, pengurus santri cukup
antusias, karena beberapa bahasan ini memang tidak pernah diajarkan di
pesantren. Sementara proses di lapangan, respons pengurus santri sangat serius
walaupun suasanana agak lebih santai. Dalam banyak hal in house di pesantren
Ihya Cilacap, peserta cukup intens walau jumlahnya tidak sebanyak di Al- Hikmah
Brebes. Tetapi evaluasi yang penting tetap sama bahwa waktu yang singkat belum
mencukupi untuk proses in house yang lebih mendalam. Di samping itu, untuk
pendampingan pengembangan dan penguatan administrasi kesekretariatan agak urang
intensif karena memang peralatan dan prosedur yang ada di pesantren ini masih
relatif sederhana dibanding dengan Al Hikmah.
d.1.3. Di Pesantren Sukahideng Tasikmalaya Bertempat
di Pesantren Sukahideng Tasikmalaya, in house mentoring yang ketiga telah
berlangsung dari tanggal 15-20 Juli. Hadir dalam kegiatan ini 72 peserta.
Mereka terdiri 29 santri putri dan 44 putra. Padahal peserta yang direncanakan
mengikuti kegiatan pelatihan In house Mentoring tadinya berjumlah 30 putra dan
30 putri. Banyaknya jumlah tambahan jumlah peserta putra dari yang direncanakan
disebabkan karena banyaknya santri putra yang tetap berminat mengikuti kegiatan
tersebut sehingga mereka memaksa panitia agar mereka diperkenankan
mengikutinya, walaupun mereka tahu adanya pembatasan jumlah peserta (rincian
nama hadir terlampir).
Secara prinsip alur kegiatan in house di pesantren
Sukahideng ini sama dengan kegiatan in house sebelumnya di pesantren lain.
Pembukaan acara yang secara resmi yang bertempat di Aula Pesantren Sukahideg
lantai II dihadiri oleh calon peserta pelatihan baik putra dan putri. Sambutan
awal dari pihak pesantren sekaligus membuka acara oleh Drs. Kyai Asep Mulyana,
yang menyampaikan tentang pembekalan pelatihan ini terutama dalam rangka turut
serta mengembangkan SDM pesantren.
Kegiatan mendapat respons yang cukup baik dari peserta
santri bahkan juga ustad-ustad muda yang antusias. Peserta sebagian besar
menyambut baik serta minta agar kegiatan ini ditindaklanjuti lagi dan
dilaksanakan sesering mungkin. (terlampir pada lembar evaluasi)
d.1.4 Di Pesantren Masthuriyah Sukabumi, Assidiqiyah
Tangerang, dan Al Hamidiyah Depok
Kegiatan in house keempat sampai keenam ini mengambil
bentuk hampir sama dengan pelaksanaan di pesantren sebelumnya (Al Hikmah dkk).
Kegiatan dibagi dalam bentuk pertemuan di kelas (upgrading) dan proses
pendampingan.
Upgrading berisi need assement pengurus santri,
manajemen kesekretariatan dan pengorgnisasian pengurus santri, dilanjutkan
bahasan mengenai kepemimpinan. Tiga bahasan ini masih ditambah dengan
permintaan ¡Vseperti di tempat tempat lain¡Xuntuk pengenalan jurnalistik/media
dan pengenalan teknik pembuatan perencanaan kegiatan (proposal). Waktu untuk
proses di kelas ini hampir 2 s/d 3 hari efektif. Proses di kelas, secara umum,
pengurus santri cukup antusias, karena beberapa bahan ini memang tidak pernah
diajarkan di pesantren.
Sementara untuk proses pendampingan lapangan (praktek)
membutuhkan 1 hari penuh. Di lapangan, respons pengurus santri tampak serius
walau suasananya agak lebih santai. Dalam banya hal in house di 3 pesantren
terakhir ini peserta cukup intens walau jumlahnya tak sebanyak di Al Hikmah
Brebes. Tetapi evaluasi yang penting tetap sama bahwa waktu yang singkat
tampaknya belum mencukupi untuk proses in house yang lebih mendalam.
D.2. Pelatihan Demokrasi untuk Pengurus Santri (Santri
Government)
Kegiatan Training Demokrasi (Santri Government) telah
dilaksanakan di 2 region, yakni di region Jatim dan regio Jawa Tengah.
d.2.1 Training Santri Government di PP. Al Hikam
Malang Kegiatan training region Jawa Timur diadakan di Pondok Pesantren Al
Hikam Malang. Kegiatan berlangsung dari tanggal 1-4 Juni 2003. sekitar 36
peserta hadir dalam kegiatan ini. Mereka terdiri 7 peserta putri dan 29 putra.
Pelatihan diikuti oleh kalanga para lurah pondok, gus dan ning (putra-putri
kyai) dari pesantren yang ada di wilayah Jawa Timur. 36 peserta ini hadir dari
kurang lebih 16 pesantren di Jawa Timur.
Proses training dilakukan dengan model partisipatif
dan juga menghadirkan beberapa narasumber untuk memberi masukan dan dialog.
Pada training santri government di Al Hikam Malang ini, hadir narasumber Dr.
Haryadi yang mengeksplorasi mengenai prinsip-prinsip kepemimpinan demokratis.
Narasumber dan UNAIR ini juga mengajak peserta untuk menganalisa bagaimana
konsep kelembagaan dan pola rekruitmen dalam konteks Indonesia. Menurut
Haryadi, elit politik sendiri belumm siap untuk berdemokrasi. Ini terlihat dari
bagaimana rendahnya trust antar mereka.
Selain Haryadi, hadir juga Ismail Amir, aktifis NGO
senior yang mengeksplorasi problem dan tantangan demokrasi lokal di era otonomi
daerah. Menurutnya, peran pesantren termasuk di dalamnya santri adalah menjadi
fasilitator pemberdayaan bagi masyarakat agar peluang otoda bisa lebih menuju
demokrasi lokal dalam bentuk partisipasi aktif masyarakat lebih luas. Bahkan
sebaliknya, seperti realitas saat ini di mana otoda hanya memunculkan raja-raja
kecil baru yang tetap elitis dan tak peduli terhadap kesejahteraan dan keadilan
daerah.
Dengan analisa dan wawasan yang dialog dengan
narasumber kemudian peserta oleh fasilitator diajak untuk mendiskusikan peran
apa saja yang bisa dimainkan pesantren ke masyarakat sekitar pesantren. Setelah
memberikan peran yang orientasinya keluar ini, peserta membicarakan tentang
peran ke dalam. Karena itu proses training kemudian dilanjutkan dengan diksusi
kelompok tentang bentuk ¡§pemerintahan¡¨ yang relevan untuk komunitas santri.
Apa saja yang mungkin bisa dimplementasikan seperti dalam sistem rekruitmen
(kampanye, pemilu) dalam komunitas kepemimpinan santri (lurah pondok, orda,
orwil, ketua asrama, ketua komplek dll). Proses pelatihan di Al Hikam Malang
ini hampir 70% justru lebih banyak untuk diskusi kelompok yang dipandu
fasilitator. Tampak dari sini respons peserta sangat aktif.
d.2.2. Training SG di PP. Edimancoro Salatiga Jateng
Sementara pelatihan untuk region Jawa Tengah dan DIY telah dilaksanakan di
pesantren Edimancoro Salatiga Jawa Tengah dari tanggal 24-27 Juli 2003.
Kegiatan yang berlangsung selama 4 hari ini diikuti oleh 37 peserta. Mereka
terdiri dari 6 putri dan sisanya 31 peserta putra. Peserta ini adalah sebagian
besar kalangan para lurah pondok, ditambah beberapa gus dan ning (putra-putri
kyai) dari sebagian besar (17 pesantren) yang ada di Jawa Tengah.
Dalam kegiatan pelatihan ini, kita mengundang narasumber
Dr Ahmad Rofiq, dosen pascasarjana IAIN Semarang untuk ¡Vsama seperti pada
training di Al Hikam¡Xmendialogkan mengenai apa dan bagaimana prinsip
kepemimpinan yang demokratis. Serta bagaimana konsep kelembagaan dan pola
rekruitmen kepemimpinan yang demokratis dalam konteks Indonesia. Dicoba juga
dieksplorasi mengenai persoalan dan tantangan apa saja secara struktur dan
kultur bagi kehidupan berdemokrasi di Indonesia.
Dari perbincangan ini kemudian dikaitkan dengan
bagaimana peran kaum agamawan dalam proses demokratisasi, terutama sumbangannya
bagi tegaknya kepemimpinan demokratik. Dari sinilah dilihat bagaimana peranan
NU dan pesantren dalam proses demokratisasi. Topik ini disampaikan Adnan MA
yang juga Ketua Tanfidziyah PWNU Jateng. Perbincangan juga mencoba
mengeksplorasi apakah NU/pesantren bisa menjadi modal sosial bagi demokratisasi
di Indonesia. Kalau ya, apa saja visi dan persyaratan apa bagi kepemimpinan
pesantren/NU (termasuk di dalamnya: santri) yang demokratis itu?
Materi lain selama training juga mencoba
memperbincangkan hubungan demokrasi dan Islam itu sendiri. Hal ini dibantu oleh
narasumber dari P3M, yakni Masdar F. Mas¡¦udi. Direktur P3M ini mencoba
menunjukkan hubungan kompabilitasnya antara demokrasi dan Islam. Menurut
Masdar, dari sini ada kesesuaian antar etos, spirit dan doktrin agama dengan
demokrasi. Dari khasanah Islam kita menjumpai apa yang disebut sebagai al
dhoruriyatul khoms atau alkulliyatul khoms (lima perlindungan dasar bagi
manusia menurut tujuan syariat Islam). Secara sosiologis juga bisa ditemukan
peran pesantren sendiri yang signifikan dalam kepemimpinan bangsa. Dari sini
Masdar kemudian menunjukkan pentingnya pesantren mengambil visi demokratisasi
dan HAM bagi keterlibatannya terhadap persoalan-persoalan daerah yang ada.
Tentu hal ini tak mudah. ¡§Di samping perlu adanya reinterpretasi kembali
doktrin ajaran Islam, kita sendiri harus kritis dengan kebijakan otoda yang
belum lama diterapkan bagi daerah.¡¨ Hal senada diungkapkan Himawan, Direktur
LAPERA yang memang menjadi narasumber untuk kajian problem dan Tantangan
Demokrasi Lokal Di Era Otonomi Daerah.
Dari dua pelatihan training santri government ini
tampak bawa jumlah peserta putri masih diras kurang. Walaupun usaha ke arah itu
dengan banyak melibatkan peserta putri, sudah dilakukan dengan mencantumkan
dalam undangan training.
D.3. Penerbitan Majalah HALQAH
Dari rencana 6 kali penerbitan, Majalah Halqah sudah
secara keseluruhan terbit dan disebar ke target pembacanya.
d.3.1. Terbitan Ke I
Untuk edisi Halqah terbitan pertama (atau edisi nomor
19 th. 2003) kami mengangkat tema utama berjudul ¡§Kebebasan Berekspresi dalam
Islam¡¨. Edisi ini terbit pada awal bulan April 2003. Topik ini kami coba
angkat berkaitan erat dengan maraknya isyu formalisasi Islam yang berkembang
akhir-akhir ini. Sikap yang demikian berdampak pada tidak dihormatinya
perbedaan secara utuh. Padahal dalam Islam perbedaan itu adalah rahmat. Islam
dengan doktrin rahmatan lil ¡¥alamin itu kita coba dorong sebagai sebuah
cita-cita sosial yang harus diperjuangkan. Untuk memperkuat topik ini sengaja
kami menurunkan wawancara khusus dengan KH Prof. Dr. Said Aqiel Siradj, MA,
yang dikenal dengan pemikirannya yang kritis, dan toleran serta menjunjung
tinggi ruang perbedaan. Dalam wawancaranya, salah satu Ketua PBNU ini,
berbicara tentang runutan sejarah perbedaan pendapat dan bagaimana
mensikapinya. Selain mengangkat fokus besar yang telah disebutan di atas, edisi
ini seperti biasa juga memberikan warta sekitar perkembangan peristiwa dan
kegiatan aktual seperti fenomena korupsi, Rencana Undang-Undang TNI dan
penyerangan tentara koalisi ke Irak. Tema-tema tersebut diambil karena
berhubungan erat dengan perkembangan demokrasi di tanah air dan juga
persoalan-persoalan Hak Asasi Manusia, yang memang menjadi concern Halqah dalam
liputannya.
Edisi ¡§pertama¡¨ untuk tahun program ini mendapat
respons lumayan dari pembaca. Terbukti dengan surat-surat yang menyambut
gembira setelah agak lama HALQAH tidak terbit. Sebagian surat yang datang juga
masih banyak yang berharap langganan majalah HALQAH. Para pembaca tersebut
tidak datang dari kalangan pesantren saja. Ada beberapa pembaca non pesantren
yang ingin mendapatkan majalah HALQAH.
d.3.2. Terbitan Ke II
Sementara untuk edisi ¡§kedua¡¨ (edisi nomor 20 th.
2003) mengangkat tema utama mengenai Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
(UU Sisdiknas). Edisi ini terbit pada akhir Mei 2003. tema ini diambil dengan
alasan bahwa pendidikan itu merupakan hak dasar bagi setiap warga negara.
Pasal-pasal yang disyahkan masih menunjukkan campur tangan yang kuat pemerintah
terhadap peluang kemandirian dan kreatifitas masyarakat untuk mengatur
pendidikan sendiri. Negara sehausnya hanya memberikan arah dan prasarana yang
cukup. Apalagi kontroversi penetapan UU Sisdiknas ini menjadi kontraproduktif.
Tampak sekali UU Sisdiknas baru ini benar-benar tidak tanggap terhadap krisis
yang sesungguhnya terjadi pada pendidikan nasional.
HALQAH edisi kedua ini juga mengangkat mengenai
konflik Aceh, kegiatan santri government di Malang, resensi buku dan kajian
demokrasi yang disampaikan pengajar Unair Dr. Haryadi. Tulisan ini menarik
karena mencoba mengkaji perkembangan demokrasi baik secara teoritik maupun
konteksnya di Indonesia. Respons pembaca dalam edisi ini cukup beragam. Tidak
hanya adanya surat ke redaksi, tetapi ada juga pembaca yang memberikan
komentarnya melalui telepon.
d.3.3. Terbitan Ke III
HALQAH edisi ketiga (edisi nomor 21 th. 2003) terbit
akhir Juli 2003. Pada edisi ini mengambil tema utama ¡§Kepemimpinan Umat di
Titik Nadir¡¨. Ada beberapa alasam mengapa mengambil tema ini. Pertama,
kepemimpinan merupakan alat kekuasaan yang seharusnya prosesnya merupakan
sarana pembelajaran demokrasi. Kedua, hal ini berkaitan erat dengan program
santri government, yang menekankan proses kesadaran dalam berdemokrasi di
kalangan agamawan. Sedangkan tema lain yang diangkat adalah hasil sidang
tahunan MPR, kegiatan santri government di Salatiga dan lain-lain.
d.3.4. Terbitan Ke IV
Untuk edisi HALQAH terbitan keempat (atau edisi nomor
22 th. 2003) kami mengangkat tema utama ¡§Islam Politik dan Artikulasi Umat¡¨.
Edisi ini terbit pada awal September 2003. Dengan topik ini HALQAH mencoba
mengungkap bagaimana prospek peran politik umat Islam dalam proses
demokratisasi politik ke depan. Dari isu ini HALQAH menimbang dan menelusuri
munculnya banyak organisasi dan kelompok Islam seperti Front Pembela Islam,
Laskar Jihad, Hizbut Tahrir. Mereka ini kelompok-kelompok yang dengan
terang-terangan menyebut dirinya mengusung panji dan perjuangan syariat Islam
baik dalam konteks sebagai ormas maupun mengarah pada pembentukan partai.
Pertanyaan pokok yang diajukan adalah apakah mereka benar-benar membawa
artikulasi politik umat atau hanya sebagian elitnya saja.
Di samping itu kita juga mengangkat persoalan Komisi
Pemberantasan Korupsi yang akhir-akhir ini banyak diperbincangkan. Tentu saja
selain fokus atau laporan analisis tentang peristiwa atau perkembangan aktual,
kami dalam edisi ini tetap juga menurunkan artikel, kolom maupun resensi buku.
d.3.5. Terbitan Ke V
Penerbitan kelima atau HALQAH edisi nomor 23 th. 2003
terbit pada awal November 2003. Penerbitan edisi kelima tahun program ini
(edisi 23/2002). Pada sajian utama penerbitan edisi ini, kami mencoba
mengangkat topik tentang dampak globalisasi bagi petani, terutama petani tebu
atau gula, dan bagaimana problem globalisasi ini seharusnya disikapi kyai atau
ulama. Topik ini kami pandang penting karena memang problem globalisasi
perdagangan bagi kehidupan pertanian kita di desa-desa memang sudah begitu
memprihatinkan.
Melengkapi sajian tersebut, kita menghadirkan
wawancara dengan Sugeng Bahagyo seorang aktifis NGO. Sugeng ini adalah
Secretary Deputy INFID, suatu NGO yang selama ini terlibat dalam isyu utang dan
globalisasi. Dari wawancara ini bisa dikemukakan bahwa dampak globalisasi telah
mengakibatkan berkurangnya pelayanan dasar untuk rakyatnya dari banyaj negara
berkembang, termasuk di Indonesia. Ketergantungan Indonesia dengan lembaga
multirateral semacam IMF, menjadikan pemerintah menarik subsidi-subsidi yang menjadikan
kaum miskin makin kesulitan.
Untuk melihat lebih luas tentang masalah globalisasi,
di rubrik petilasan, kami sajikan pula tulisan mengenai utang dan globalisasi
dari perspektif islam. Topik ini ditulis oleh Masdar F Mas¡¦udi yang dikenal
luas dengan pandangan kritisnya mengenai perlunya agama memiliki peran aktif
dalam persoalan kemanusiaan termasuk dampak dari problem termasuk globalisasi
ini.
Satu lagi yang penting pada nomor ini adalah sajian
kita tentang peristiwa maraknya penggusuran di beberapa kota khususnya Jakarta.
Berita tentang ini bisa pembaca lihat pada rubrik ¡§peristiwa¡¨. Ini perlu kami
angkat karena kita terus terang saja prihatin bahwa di tengah bulan Ramadhan
dan bahkan menjelang lebaran ini, saudara-saudara kita tidak mempunyai tempat
berteduh dan rumahnya digusur.
d.3.6. Terbitan Ke VI
HALQAH edisi keenam ini terbit pada awal Januari 2004.
laporan utama pada edisi nomor 24 th. 2004 ini, kami coba mengangkat topik
sekitar persoalan pemilu dan harapannya aan perubahan. Tentu topik ini mulai
hangat mengingat saat ini pemilu sebagai perhelatan nasional sudah semakin
dekat. Topik ini kami anggap penting karena sudah seharusnya perhelatan dengan
ongkos yang tidak sedikit ini mestinya membawa perubahan yang penting di
kehidupan bangsa untuk keluar dari krisis multidimensi.
Melengkapi sajian itu, kita menghadirkan wawancara
dengan dr. Makmur Keliat, pengajar fisipol UI. Dari wawancara ini didapat
pandangan bahwa pesimisme massa memang tampak kuat menghadapi pemilu 2004. Ini
terjadi karena tidak adanya arah perubahan yang lebih baik, seperti visi misi
yang dikehendaki banyak orang pada masa reformasi ini. Maka menurutnya partai
yang menempati posisi sentral dalam upaya demokratisasi pada momentum pemilu
ini, harus ditarik agar bisa memihak kepentingan rakyat. Sikap dan agneda
inilah yang harus dipikirkan dan dipersiapkan kalangan prodemokrasi.
Untuk memberikan pengkayaan bagaimana konteks
perubahan yang mestinya menjadi perhatian itu, di rubrik petilasan, kami
sajikan pula problem kemiskinan di negeri ini beserta perspektif yang
diperlukan agamawan untuk melihat masalahnya. Topik ini ditulis oleh Masdar F
Mas¡¦udi yang dikenal luas dengan pandangan kritisnya mengenai perlunya agama
memiliki peran aktif dalam persoalan kemanusiaan termasuk masalah kemiskinan.
Satu lagi yang penting dalam nnomor ini adalah sajian
kita tentang maraknya penolakan politisi busuk yang dilakukan oleh banyak
kelompok kritis seperti NGO dan mahasiswa. Berita tentang ini bisa pembaca
lihat pada rubrik ¡§peristiwa¡¨. Ini perlu kami angkat karena kita terus terang
saja prihatin bahwa di tengah tuntutan perlunya instrumen politik yang mampu
merubah negeri ini dari krisis multidimensi, kehidupan kepartaian kita masih
memikirkan dirinya sendiri.
Majalah HALQAH dari terbitan kesatu yang ke enam itu
telah didistribusikan ke pesantren-pesantren di seluruh Indonesia, LSM mitra
dan para alumni Santri Government.
D.4. Pendampingan Proses Rekruitmen Kepemimpinan
Santri (Implementasi SG)
Mengingat pelatihan training dilakukan di pertengaan
tahun program, maka kegiatan implementasi ini baru bisa dilaksanakan hampir
mendekati tahun program. Setelah melakukan tahap persiapan, yakni dengan
mencoba menginventarisasi, dan juga melihat kelayakan pesantren mana yang akan
dipilih untuk pilot proyek, ditetapkan bahwa untuk pelaksanaan kegiatanakan
dipilih 3 pesantren alumni training santri government di Jatim dan 3 pesantren
alumni training di Jawa Tengah.
Agak berbeda dengan kegiatan asistensi ¡§implementasi
pemilihan pengurus santri dengan lebih demokratis¡¨ sebelumnya, realisasi
kegiatan pada tahun program ini mengalami sedikit perubahan. Kalau sebelumnya
kita melakukan asistensi saat tepat ada restrukturisasi pengurus santri di
pesantren untuk mendorong proses pemilihan yang demokratis, sekarang ¡Vkarena
banyak pesantren belum ada jadwal pemilihan kepengurusan (kebanyakan pergantian
kepengurusan pesantren yang menjadi alumni dalam jangka waktu 2 sampai 3
tahun)¡V¡Vkegiatan implementasi tersebut berbentuk praktek dalam hearing dan praktek
merumuskan fit and proper tes untuk proses nantinya ketika restrukturisasi
sebenarnya. Jadi konsepnya adalah bahw kegiatan ini, tetap melibatkan
kepengurusan santri (lurah santri dkk) pesantren yang terpilih, lalu mereka
diajak untuk merefleksikan kepengurusannya selama ini, sambil lalu menemukan
kebutuhan pola baru rekrutmen yang lebih demokratis dengan cara praktek
tersebut.
d.4.1. Enam Pesantren Partisipan, Jumlah Peserta dan
Tanggal Pelaksanaan
1. PP Al Hikmah Warungpring Pemalang Jawa Tengah Peserta
berjumlah 58 yang terdiri dari 36 peserta putra dan 22 peserta putri, dengan
fasilitator lokal oleh Gus Mukhlisin Labib (Wakil Pengasuh Pesantren). Ini
dilaksanakan pada tanggal 26 Desember 2003.
2. PP. Shirotul Fuqoha Gondanglegi Malamg Jawa Timur Peserta
berjumlah 33 yang terdiri dari 18 peserta putra dan 15 peserta putri, dengan
fasilitator lokal oleh Gus M. Najib S.Ag (Kepala Bidang Pendidikan Pesanren).
Ini dilaksanakan pada tanggal 3 Januari 2004.
3. PP. Al Aziziyah Denanyar Jombang Jawa Timur Peserta
berjumlah 51 yang terdiri dari 30 peserta putra dan 21 peserta putri, dengan
fasilitator lokal oleh Gus H. Najib Muhammad (Wakil Pengasuh Pesantren). Ini
terlaksana pada tanggal 4 Januari 2004.
4. PP. Al Asy¡¦ariyah Mojotengah Wonosobo Jawa Tengah
Peserta berjumlah 51 yang terdiri dari 23 peserta putra dan 28 peserta putri,
dengan fasilitator lokal oleh Abdul Ghoni (Aktifis BEM UNSIQ). Ini dilaksanakan
pada tanggal 11 Januari 2004.
5. PP. Nurul Qornain Sukowono Jember Jawa Timur
Peserta berjumlah 55 yang terdiri dari 26 peserta putra dan 29 peserta putri,
dengan fasilitator lokal oleh Gus Badrut Tamam S.Ag (Pembina Santri). Ini
terlaksana pada tanggal 16 Januari 2004.
6. PP. Al Iman Bulus Purworejo Jawa Tengah Peserta
berjumlah 50 yang terdiri dari 36 peserta putra dan 14 peserta putri, dengan
fasilitator lokal oleh Burhanul Muttaqin, S.Ag (Lurah Santri). Dan ini
terlaksana pada tanggal 18 Januari 2004.
d.4.2. Isi, Materi dan Proses Kegiatan Implementasi SG
Pertama, --seperti dulu¡Xproses kegiatan implementasi ini dimulai dengan
sosialisasi ¡§model kepengurusan santri¡¨ (kalau bisa model trias politika) dan
¡§prosedur demokratis pemilihan kepengurusan santri¡¨ ke kyai pengasuh (lihat
proposal di LA). Lalu kegiatan mulai dalam kelas, fasilitator mengajak
brainstroming mengenai refleksi dan sosialisasi kepengurusan santri.
Kemudian kedua melakukan kegiatan praktek bersama
dalam kelas untuk rancang persyaratan semacam fit and proper test dan aturan
main bagi proses pemilu kepengurusan santri (tentu saja yang sesuai dan
menggunakan prinsip demokrasi). Di sini diharapkan ada proses implementasi
membangun sistem yang demokratis dai bawah, partisipasi, nilai-nilai
egalitarian, dst.
Seterusnya, melakukan ¡§praktek (prosesi) check and
balance¡¨ antar beberapa kepengurusan santri, melalui semacam ¡§forum
hearing¡¨. Dan prosesi hearing ini juga dilakukan antara santri awamnya
(kelompok putra dan putri misalnya) ke/dengan pengurus santri. Di sini
diharapkan kita mendorong implementasi nilai-nilai kontrol dan partisipasi dll.
E. ANALISA DAMPAK DAN SUATAINABILITY PROGRAM
e.1. Dampak Program
ć Untuk catatan awal, kalau melihat realisasi
kegiatan program dalam satu tahun ini, dan juga melihat tanggapan dari
pesantrennya, maka jelas tampak bahwa program ini bisa diterima dan mendapat
sambutan sangat positif di pesantren. Gagasan demokrasi sebagai pengalaman
Barat ternyata bukan sesuatu yang harus dicurigai oleh kalangan pesantren.
Penerimaannya melalui pergumulannya antara Islam dan demokrasi yang tampak dari
antusiasme pengurus santri dan dukungan dari pengasuhnya, menunjukkan program
bukan saja mendapat tempatnya, tetapi tampaknya nantinya perlu diintensifkan.
Saat inipun dari hasil program pendidikan sebelumnya, kepengurusan santri di
beberapa pesantren tampaknya dapat dilihat sudah lebih mandiri dan demokratis
(tidak tergantung kyainya). Ini terlihat dalam keikutsertaan semua pengurus
santri dalam semua proses perencanaan in house, juga implementasi santri
government ini, dan juga adanya dukungan kyai mudanya.
ć Secara khusus, kalau dilihat dari intensitas
pengurus santri baik dalam mengikuti training santri government, in house
mentoring, maupun implementasi santri government menunjukkan bahwa wacana
demokrasi terutama pada aspek prinsip kepemimpinannya dapat memperluas
pemahaman yang lebih argumentatif pada para santri perihal demokrasi sebagai
sistem alternatif bagi pengaturan hubungan publik yang setara dan adil. Karena
itu, dari proses pergumulan ini semakin bisa didorong langkah-langkah nyata di
kalangan para santri tentang bagaimana mengaktualisasikan serta
mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi dalam tata kehidupan mereka sendiri
secara kolektif dan masyarakat sekitar mereka.
ć Selain menyangkut penerimaan demokrasi tataran ide,
dampak program secara umum terlihat dalam tataran perubahan beberapa aspek
kehidupan kepengurusan santri, yakni menyangkut semakin mandiri dan servicieble
sebuah kepengurusan santri bagi santrinya dibanding sebelum program. Satu isyu
misalnya mengenai campur tangan kyai yang relatif berkurang, bahkan semakin
besar tingkat kemandirian pengurus untuk menentukan kebijakan mengenai hal-hal
yang menyangkut kehidupan santri. Saat ini pemilihan ketua biasanya karena
figurnya tetapi sekarang melihat pentingnya kriteria. Demikian juga untuk
pemilihan pengurus lainnya, yang kini tidak lagi ditunjuk langsung oleh kyai
tetapi melalui prosedur yang lebih demokratis. Kemudian juga berkait dengan
distribusi wewenang dan tugas dalam kepengurusan santri. Terlihat di beberapa
pesantren ada tambahan sub-sub struktur pengurus, misalnya adanya dewan santri
yang lebih berfungsi sebagai majelis penyampai aspirasi santri secara
keseluruhan sebagai kelengkapan dari dewan eksekutif santri dan majelis
mahkamah santri. Perubahan-perubahan ini diharapkan semakin memungkinkan santri
berpartisipasi dalam pengawasan serta kritik dan saran yang konstruktif untuk
memajukan organisasi pesantren.
e.2. Substainability Program
ć Jujur saja walau kapasitas program ini sebenarnya
bisa dikatakan masih berukuran ¡§dalam tataran masih inisiatif¡¨ untuk membuka
ruang pergumulan yang lebih intens bagi pesantren dengan demokrasi, tetapi
dampaknya ¡Vseperti telah diurai di atas¡Xcukup signifikan. Selain itu, program
pendidikan demokrasi untuk pengurus santri ini cukup prospektif bagi
transformasi di pesantren, sehingga perkembangan programnya ke depan masih
sangat diperlukan. Ini terutama berkait dengan masih sedikitnya pesantren yang
tersentuh dengan program ini. Dari jumlah 33 pesantren yang mengikuti training
demokrasi pada tahun program ini, masih 6 pesantren yang difasilitasi sampai
pada kegiatan implementasi kepengurusannya yang demokratis. Sisa 28 pesantren
masih membutuhkan kegiatan program ini untuk berlanjut. Atau dengan kata lain
72% dari pesantren yang mengikuti pada tingkat awal program ini menunggu
kegiatan program ini sampai pada mereka. Karena itu merupakan hal penting dan
mendesak untuk tetap memberlangsungkan program ini pada tahun depan dan bahkan
memperluaskannya ke pesantren-pesantren yang belum tersentuh program ini.
ć Selain kebutuhan berkelnjutan yang sifat
mengembangkan peran ¡§santri pesantren ke dalam¡¨, adalah relevan untuk
mengembangkan peran santri pesantren keluar. Hal ini berarti kebutuhan untuk
mendorong kapasitas banyak pengurus santri yang merupakan alumni training
demokrasi yang ada selama ini menjadi jaringan yang dinergis dan solid untuk
mengembangkan kesadaran masyarakat akan hak-haknya, terutama dalam
keterlibatannya dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kebijakan di daerah
pesantren itu berada, seperti kebijakan sektoral maupun anggaran untuk publik
(APBD). Kebetulan sekali dalam setengah tahun ini, P3M telah merintis satu
gerakan yang mendorong kyai dan pengasuh pesantren untuk kontrol kebijakan
anggaran via revitalisasi bahtsul masail (ethical review) di 12 kota. Langkah rintisan
ini memerlukan keberlanjutan dan juga perluasan terutama dalam bentuk program
yang bisa mendorong dan mengawal pembentukan forum kyai-pengasuh pesantren dan
kekuatan lain (akademisi, LSM lokal) untuk kontrol kebijakan publik. Gerakan
ini sangat penting untuk mewujudkan bagaimana agamawan dengan visi keadilannya
bisa mendorong pembesaran angka alokasi anggaran yang riil dapat berpihak pada
pemberdayaan masyarakat lemah/miskin (seperti sektor pertanian, pendidikan,
kesehatan dsb); dan juga distribusi anggaran APBD itu benar-benar sampai ke
kelompok lemah tersebut dengan jaminan tidak korup. Karena itu sekali lagi
menjadi relevan untuk melanjutkan program pendidikan demokrasi ini ke arah
memperkuat gagasan ini, sebagai bentuk tindak lanjutnya.
ć Terakhir berkait dengan majalah HALQAH untuk tetap
bisa diteruskan penerbitannya mengingat hingga kini telah memperkaya dan
sekaligus mempertajam kesadaran berdemokrasi dan pluralisme, dengan menjadi
bacaan bagi kalangan kyai dan seluruh jaringan P3M yang meliputi ribuan
pesantren di Indonesia.
F. PENUTUP
Demikian beberapa catatan dari realisasi kegiatan
program pendidikan demokrasi di pesantren. Walaupun mengingat bahwa
sesungguhnya fasilitas dana yang ada untuk pelaksanaan program ini masih sangat
minim tetapi alhamdulillah rangkaian kegiatan ini dapat berlangsung dengan
menggembirakan. Ini adalah upaya yang memerlukan ke-tlatenan dan keberlanjutan.
Dalam banyak hal semua kegiatan yang direncanakan bisa dibilang berjalan lancar
dan bahkan mendapat respons yang cukup bagus. Ini harus dilihat sebagai hal
yang cukup sukses mengingat ¡§wacana hubungan demokrasi dan Islam beberapa saat
terakhir ini sesungguhnya dalam taraf rendahnya. Ini karena carut-marutnya
¡§praksis demokrasi¡¨ oleh banyak negara besar yang menyebut dirinya kampium
demokrasi masih terlibat kontroversi dalam perang Afghanistan maupun Irak ¡V¡V(yang
mayoritas penduduknya Islam) yang hingga kini belum usai.
0 comments: