GERAKAN KAUM MUDA DI PERSIMPANGAN JALAN


               Kehidupan manusia selalu berubah di sepanjang sejarah. Pada seratus tahun terakhir ini manusia telah membuat suatu kemajuan yang spektakuler dalam semua aspek kehidupan dengan ditandai pesatnya perkembangan sains dan teknologi. Perubahan dan pergeseran sistem tersebut berjalan secara alami seiring berputarnya roda ruang dan waktu. Kendatipun di setiap perubahan tersebut berlainan jenis dan kecepatannya. Relavan sekali ucapan yang dicuatkan oleh Heraklaitos, seorang filosof Yunani klasik, yaitu “Panterhei”, semua bergerak dan berubah. Yang dulunya baik bisa berubah di masa selanjutnya.
Perubahan yang bergerak serba cepat dalam kehidupan ini memaksa kita untuk mampu beradaptasi dan berkompetisi. Banyak perubahan yang terjadi baik positif atau negatif harus cepat diantisipasi. Karena itu, kaum muda perlu memandang arus perubahan struktural maupun kultural sebagai proses yang dialektika, akhirnya perubahan struktural akan melahirkan perubahan kultural begitu sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan yang satu mempunyai keterkaitan dengan perubahan lainnya.
Konsep tentang kaum muda selalu sarat dengan nilai. Hal ini dibuktikan dengan munculnya ungkapan aksiomatis, “Pemuda harapan bangsa, pemuda tulang punggung bangsa dan sebagainya”. Konsep di atas bukan konsep ilmiah yang bersifat teoritis melainkan suatu konsep yang menentukan jalannya kehidupan bangsa pada masa yang akan datang. Keterlibatan kaum muda secara langsung, operasional dan konsepsional dalam setiap babakan sejarah perjuangan bangsa adalah contoh yang paling simple untuk menunjukkan perannya di masa lalu dan yang akan datang sebagai penentu nasib bangsa kearah yang lebih maju, dinamis dan kreatif.
Romantisasi dan idealisasi di sekitar kaum muda ini sering terjadi. Peran kaum muda menjadi sangat tinggi dalam kehidupan politik dapat terjadi pada saat-saat genting terutama dalam situasi perang dan revolusi. Baru pada saat demikianlah kaum muda mendapat tempat yang istimewa, sehingga tidak heran kalau Soekarno pernah berucap, “Berikan aku sepuluh pemuda revolusioner, maka akan aku goncangkan seluruh dunia”. Ucapan Bung Karno ini mengggambarkan betapa potensialnya kaum muda dalam percaturan politik. Tetapi setelah selesai, peran kaum muda dikesampingkan. Kaum muda hanyalah alat, bahkan kaum muda sekarang sudah direkayasa oleh kaum tua dan birokrat untuk melegitimasi pandangannya.
Saat ini kepeloporan kaum muda dari segi perspektif masa depan bangsa tidak optimal lagi. Kaum muda di pojokkan sebagai generasi penerus yang lebih berkonotasi pengekor. Taufik Abdullah dalam bukunya “Pengantar Pemuda dan Perubahan Sosial” pernah mempertanyakan peran kaum muda dengan mengutip kata-kata Max Weber, bahkan kaum muda tidak mampu memusnakan kutukan yang terlontar pada kita (kaum muda), sebagai pengekor dari suatu era politik yang besar kecuali kalau kita berhasil untuk menjadi suatu yang lain dari jaman pendahulu yang lebih besar. Karena itu, kaum muda harus jujur pada dirinya dan idealisnya.
Pandangan Max Weber, si sarjana besar ini didasarkan atas problematika aktual di negerinya. Apakah artinya hidup sebagai seorang angkatan muda yang selalu dibayangi oleh kebanggaan generasi yang lebih tua tentang keagungan hasil yang mereka capai, yaitu kesatuan Jerman ?. Apakah generasi sesudah itu sesebagai hanyalah pengekor, epigon harus menerima warisan ? (1987: 5-6). Tentang kaum muda Indonesia, juga tidak lebih dari apa yang dikatakan Weber, contoh KNPI, AMPI, KASGORO dan lainnya, terutama dalam ruangan pemerintah, bahkan cenderung direkayasa dan dipolitisir.
Sehingga Arbi Sanit mengkhawatirkan, bahkan kaum muda sekarang cenderung pada Interpendensi politik pada penguasa. OKP yang ada kondisinya sangat memprihatinkan, karena 50 % lebih tinggal “papan nama” Interpendensi OKP pada lembaga pemerintah dan organisasi politik tertentu, memojokkan OKP menjadi “anak organisasi” yang tidak mandiri, hanya dijadikan alat pada saat-saat tertentu untuk dibutuhkan, bahkan lebih parah lagi OKP itu telah direkayasa untuk mencuatkan peran pemuda.
   Peran kaum muda akan lebih optimal, jika para kaum muda dilibatkan secara langsung dengan kemandiriannya. Jangan dihambat atau dicurigai oleh penguasa jika mereka berbuat. Kita harus membuang citra-citra feodal, pemuda jangan latah, tetapi harus tampil mitan. Kaum muda harus berani menampilkan jati dirinya, tetapi jangan bangga karena Bapak saya seorang pejabat. Sayyiding Ali berkata, “Yang dikatakan pemuda adalah menunjukkan ini dada saya, bukan itu bapak saya”.

TAHAPAN-TAHAPAN GERAKAN MUDA
            Berbicara tentang kesadaran baru kaum muda tidaklah terlepas dari eksistensi kaum muda secara universal, baik menyangkut psiko budaya, sosio kulturalnya sebagai bagian dari tipologi jati dirinya. Dengan merujuk pada pemikiran ini, penulis mencoba mereduksi kerangka pemikiran “Sosiologi pengetahuannya” Kuntowijoyo, budayawan muslim Indonesia dengan kerangka pemikiran “Positivisme”-nya August Comte, disatu sisi kerangka pemikiran “Third Wave”-nya Alvin Toffler di sisi lain. Dengan merujuk pada kerangka pemikiran “Sosiologi pengetahuannya” Kuntowijoyo pada aspek kesadaran sosial kaum muda dalam interaksinya dengan masyarakat sesuai tingkat pengetahuannya.
Sementara pemikiran Augus Comte, penulis mencoba pada aspek kesadaran berpikir dan berbuat untuk mencari jati diri kaum muda agar terlepas dari kungkungan lingkungan yang mempengaruhinya. Sedangkan dari pemikiran Alvin Toffler, penulis meninjau dari aspek psiko-kultural dan perubahan yang cepat pada diri kaum muda. Sehingga memungkinkan kendornya idealisme kaum muda, karena adanya masalah-masalah global sebagai akibat derasnya arus informasi. Dari semua ini, penulis mengklasifikasikan pola tipologi kaum muda yang terkait dengan sosio psiko kulturalnya. Untuk sementara penulis membagi tiga tahapan perkembangan kesadaran kaum muda. Yait tahap Mitos nasionallisme, politik-ideologi, ide-profesionalisme (ilmu).
Pertama, tahap mitos-nasionalisme, yaitu suatu tahap kesadaran baru kaum muda yang mempergunakan simbol kepemudaannya untuk membela tanah air dengan merebut kemerdekaannya dari tangan penjajah. Hal ini terlihat pada eksistensi kaum muda waktu itu dan agresif revolusioner. Kaum muda yang diwakili mahasiswa dalam menuntut ilmu untuk mengembangkan nasionalisme seperti munculnya Budi Utomo dan Sumpah Pemuda. Tahap ini kira-kira terjadi pada abad pertengahan munculnya kaum muda mempelopori perjuangan dan berakhir setelah kemerdekaan tercapai dan berdaulat penuh.
Gerakan kaum muda dalam masyarakat Indonesia pada awal abad-20 begitu sangat dominan dan optimal. Penonjolan gerakan kaum muda pada tahapan ini karena awal abad-20 ini di negara Asia termasuk Indonesia mengalami struktur perubahan yang sama dan spektakuler. Perubahan di Indonesia ditandai dengan masuknya ide-ide baru, pendidikan, industrialisasi, teknologi baru dan sebagainya. Dari hal ini, menuntut para kaum muda secara kritis ini tidak saja timbul perbedaan generasi. Sehingga lahirlah angkatan 08 dan 28.
Salah satu sebab mengapa kaum muda 08 dan 28 dapat berperan dan berpengaruh demikian besar dalam masyarakat. Indonesia, sehingga tindakan mereka masing-masing disebut awal kebangkitan nasional dan cikal bakal eksistensi bangsa Indonesia itu sendiri. Semua itu karena adanya struktur pendidikan yang berfunfsi sebagai pembebasan. Angkatan 08 dan 28 merupakan contoh klasik bagaimana cendikiawan kaum muda dapat mendinamiskan kehidupan politik, ide-idenya dapat diterima oleh semua golongan, karena itu masyarakat Indonesia termasuk kaum mudanya menjadi oposan kolonialisme. Ide-ide baru kaum muda merangsang masyarakat Indonesia untuk mempertebal nasionalisme. Kaum muda waktu itu memang istimewa; berani menentang kolonialisme, menyodorkan suatu keadaan lain, yakni suatu Indonesia merdeka, berdaulat dalam panji-panji persatuan.
Pada tahapan ini kaum muda identik dengan pejuang revolusi. Revolusi kaum muda berfungsi sebagai motor mobilitas sosial yang cepat. Revolusi kaum muda merebak luas, sehingga lahirlah istilah kaum muda pada tenaga-tenaga revolusioner dan konsep revolusi pemuda. Dari hal inilah, Anderson, seorang sejarawan Amerika, sebagaimana dikutip Onghokham membenarkan bahwa kesadaran kaum muda sudah ada secara tradisional di pesantren-pesantren dan memainkan peranan pada pemberontakan petani pada abad-abad yang lalu. Selanjutnya Anderson melihat revolusi 45 sebagai revolusi kaum muda yang didorong oleh kesaran baru kaum muda (Angkatan Muda dalam Sejarah dan Politik: 1 dan 8).
Kedua, tahap Politik-Ideologi, yaitu suatu tahap kesadaran baru kaum muda yang mempergunakan simbul kepemudaannya untuk membela kepentingan rakyat akibat keputusan politik yang menyengsarakan umat. Tahap ini ditandai dengan adanya demonstrasi kaum muda terpelajar dan aksi turun jalan. Kaum muda punya kesadaran baru untuk menumbangkan PKI. Tahap ini ditandai dengan peristiwa politik yang sangat bersejarah, seperti peristiwa Malari sebagai akibat dari ketidak-puasan kaum muda terpelajar terhadap kebijaksanaan ekonomi nasional. Juga terhadap kepemimpinan nasional. Tahap ini berlangsung lebih kurang antara tahun 1950 sampai 1980.
Tahap ini disebut tahap politik-idiologi, karena masa ini bersamaan dengan jaman demokrasi terpimpin yang dilingkupi oleh konsepsi Soekarno dan meluasnya organisasi partai kaum muda. Juga ditandai dengan bertarungnya ideologi besar waktu itu, yang muncul untuk mengantisipasi ideologi komunis yang progresif-revolusioner. Kaum muda santri dan nasionalis berupaya untuk membendung ideologi komunis agar tidak merebak luas. Jaman demokrasi terpimpin ini, Onghokham menyebutnya sebagai angkatan 1957. (ibid)
Kaum muda pada tahapan ini muncul sebagai aktor politik pada partai-partai politik yang ada, sehingga partai politik berjalan dinamis dengan munculnya gerakan demontrasi kaum muda inti imperialisme-kolonialisme. Dari hal inilah kaum muda anti sarat dengan julukan revolusioner memberikan inspirasi pada perubahan-perubahan politik dengan semboyan yang terkenal “Revolusi belum selesai” yang menjadi tantangan kaum muda. Jaman demokrasi terpimpin menyebabkan tumbuh suburnya ideologi komunis yang pada puncaknya melahirkan kudeta yang gagal. Maka tampil kaum muda untuk mengganyang PKI yang terkenal dengan sebutan Angkatan 66.
Ketiga, Tahap Ide-Profesionelisme. Yaitu, suatu tahap kesadaran baru kaum muda yang mempergunakan simbol kepemudaannya sebagai elite terdidik untuk mencari kesempatan kerja sebagai tuntutan kehidupan masa depan. Tahap inni merupakan tahap yang banyak menuntut kaum muda terpelajar pada kompetisi ide, ilmu yang mengarah pada profesionalime. Pemuda-mahasiswa dituntut untuk mampu mengantisipasi permasalahan global yang terjadi. Tahap ini berlangsung tahun 1980 entah sampai kapan. Yang jelas, tahap ini ditandai dengan hadirnya teknologi canggih di bidang informasi yang menyebabkan adanya transformasi kehidupan besar-besaran.
Secara umum tahapan ini gerakan kaum muda mengalami stagnasi moralitas menurut penilaian generasi yang lebih tua sehingga muncullah ungkapan sinisme pada generasi kaum muda. Tahapan ini telah mempunyai kecenderungan elitisme. Karena itu, adalah tugas dan tanggung jawab kaum muda untuk meninjau kembali elitisme yang terjadi dalam praktek kehidupan berpolitik. Disamping  itu, adanya ideologi negara-negara yang disakralkan, sehingga kurang menafasi gerak kehidupan masyarakat dan sistem politik.
Peran dan gerakan kaum muda dalam kehidupan politik bangsa semakin marginal. Hal ini karena adanya anggapan kaum tua yang selalu mencecoki dengan pewarisan nilai yang sakral. Dan cenderung melecehkan kaum muda bila dalam berbuat tidak relavan dengan pewarisan nilai yang dikatakan generasi pendahulu. Generasi pendahulu seringkali berbicara tentang pewarisan nilai-nilai masa lalunya, seolah-olah sejarah hanyalah milik kaum tua. Sehingga generasi pendahulu lupa, bahwa peristiwa masa lalu sudah barangkali tidak terjadi lagi pada kaum muda sekarang, karena adanya perputaran roda ruang dan waktu.
Adalah lazim, bilamana peranan suatu golongan makin menurun. Sangat ironis sekali, karena peran kaum muda dalam arti aktifitas intelektual sangat kecil dalam pembangunan ini. Gerakan kaum muda sekarang ini lebih cenderung menjadi obyek pembangunan dan peranannya pun telah banyak direkayasa oleh hierarki teknokrat, militer dan birokrat. Alam pembangunan sebagai realisasi program Orde Baru justru semakin mempersempit dinamika kaum muda dalam perilaku kehidupan politik bangsa, karena peran kaum muda dalam elite kekuasaan tidak lebih dari sekedar obyek dan rekayasa para penguasa.
Dalam pemerintahan Orde Baru, justru lebih memantapkan hierarki militer, birokrasi dan teknokrasi yang memberikan sempit dan tempat rendah bagi kaum muda terpelajar. Peran kaum saat ini semakin teralienasi dari struktur kehidupan politik. Karena itu, gerakan kaum muda berada dipersimpangan jalan. Disatu sisi, peran kaum muda hanya dijadikan obyek pembangunan, sehingga kaum muda menjadi korban-korban persaingan politik di antara para elite penguasa. Disisi lain, peran kaum muda dituntut untuk tampil ke depan. Dari hal itu, beban kaum muda di alam pembangunan semakin sarat dengan kefrustasian.@


0 comments: