pencarian hukum islam kajian epistemologi islam versi imam maliki
Dalam sebuah hadits diiwayatkan dari
Nabi:
“ اذا
صحّ الحديث فهو مذهبي “ “ jika sebuah hadits terbukti
kesahihanya, itulah madzhabku”. Kata Syafi’i
(hlm xv). adagium ini telah menggerakan paradigma intelektual islam dalam
lanskap tektualis, sehingga ditengarai turut membidani lahirnya pendapat klasik
bahwa sumber hukum islam adalah Al-Qur’an dan Hadits. Sebab hadits adalah
dokumentasi sunnah. Namun kaum revisionis barat ( orientalis ) menolak pendapat
itu mentah – mentah, berdasarkan fakta sejarah bahwa hadits terbukti banyak
yang palsau. Tidak dipungkiri, kemunculan hadits tidak terlepas dari kaitan
sosial, politik, kultural, juga geografis yang melingkupinya. Orientalis
menafikan keabsahan hadits sebagai sumber hukum islam sudah established sejak
zaman nabi.
Kehadiran buku karya Yassin Dutton ini adalah sebagai representasi dari
keinginannya untuk menyajikan suatu tesis akan pengungulan “ Madzhab ketiga
versi Imam Malik dengan Magnum opus-nya yakni kitab Muwattha’-nya.
Madzhab ketiga dalam konteks ini menegaskan pandangan tegas Imam Malik, bahwa
pandangannya dalam hal hukum islam dapat dikatakan sejalan dengan pendapat
klasik, yakni pendasaran hukum islam adalah pada Al-Qur’an dan Sunnah, hal mana
Malik yang membedakannya sama sekali dengan konsep hadis; sunnah lebih dekat pada
‘ amal ( Tradisi ). Pendapat Imam Malik ini sekaligus juga pun
bertentangan dengan para sarjana barat, khususnya Joseph Schacht, yang
menafikan kedudukan sunnah sebagai salah satu sumber hukum islam ( setelah Al
Qur’an).
Dalam wacana pergumulan hukum islam, khususnya dalam konteks sejarah
pemikiran dan perkembangan hukum islam, Imam Syafi’i sebagai kampium nomor
wahid dalam barisan ulama klasik yang berpendapat bahwa hukum islam adalah
hukum yang berasal dari dua sumber otoritatif yakni Al-Qur’an dan Hadits ( atau
yang sering dianggap sebagai dokumentasi lisan/tulisan baru ‘ sunnah’ tradisi
nabi SAW ), selain sumber – sumber otoritatif lainnya seperti Ijma’ dan Qiyas
( Analogi). Makanya di dunia dan kalangan Sunni, dimana peran dan ketokohan Syafi’i
( dan para ulama klasik setelahnya )begitu mengakar, pencitraan dan imaji.
Bahwa sumber / rujukan hukum islam
adalah Al-Qur’an dan Hadits demikian.
Kajian ini berusaha menelusuri kembali masa sebelum as- Syafi’i dan
merekonstruksi gambaran tentang bagaimana pendekatan yang dipakai oleh madzhab
yang paling ‘lama’ ( as- Syafi’i) dianatara madzhab – madzhab ‘lama’ lainnya,yakni
madzhab Madinah terhadap masalah – masalah penerapan Al-Qur’an sebagai hukum (
hal 7).
Dalam buku ini dikatakan bahwa Imam Malik dalam Muwattha’nya sangat
mengunggulkan otoritas ‘amal ahl-Madinah sebagai satu-satunya rujukan
tunggal bagi seluruh pengetahuan islam, tak terkecuali dalam bidang hukum. Madinah
dalam pendapat Malik adalah tempat atau “ kota rasul”, tempat paling utama, pertama
dan sentral dimana wahyu islam dan keterlibatan tuhan diejawantahkan secara
praktis. Maka pengetahuan Madinah, yang notabene terefleksikan dalam
praktik nyata (‘amal) penduduknya niscaya diunggulkan dari pengetahuan
siapa dan berasal dari daerah teritorial manapun. ( hlm xvii) Josep Schacht dalam konteks ini menyatakan
bahwa justru di Madinah-lah tema tentang sunnah yang terpelihara melalui
tradisi daripada melalui hadits ( hal 7).
Kajian yang memfokuskan pada unsur Al- Qur’an secara khusus yang terdpat
dalam kitab Muwattha’ Malik ini dibagi dalam tiga bagian pertama buku
ini memberikan penjelasan tentang latar belakang konteks Madinah secara umum.
Setting ke-Madinah-an ini memiliki signifikansi penting untuk meletakkan magnum
opusnya tersebut yakni Muwattha’, serta bagaimana hubungan antara terma
sunnah ( tradisi ) dan hadits sebagai sumber hukum islam. Dikatakan Dutton,
bahwa seringnya Imam Malik mengutip hadits dan pendapat – pendapat dari sumber
– sumber, menunjukkan penghargaannya yang cukup tinggi terhadap mereka sebagai
representasi dan rujukan dari tradisi pengetahuan Madinah serta kepercayaanya
yang tinggi terhadap tradisi kota tersebut.
Karena bagi Malik, sunnah tidak melulu apa saja yang terdokumentasikan
dalam hadits ( dalam hal ini tentunya hadits yang berkategori shahih), tetapi ‘amal
( tradisi ) yang dipraktikkan pendudukan Madinah secara terus menerus, maka
di dalam Muwattha’, sebagaimana kita lihat, bukan saja berisi teks –
teks hadits rasul yang established, tetapi juga, bahkan lebih banyak praktik –
praktik penduduk Madinah, lebih dari itu, teks- teks hadits Muwattha’ juga
sebatas yang berkesesuaian denga ‘amal.
Peranan penting yang dimiliki Madinah disebabkan oleh adanya; pertama,
karena Madinah banyak memiliki
ulama dan kedua, karena Madinah memiliki keterkaitan historis
dengan nabi dan para sahabat, khususnya al-Khulafa ar-Rasydin, kota ini juga
memiliki akses yang lebih luas terhadap pemikiran – pemikiran dan perkembangan
– perkembangan intelektual di wilayah muslim lainya, daripada ulama yang berada
di setiap pusat pengetahuan lainaya. Ini dikuatkan dengan komentar Abd’Allah,
bahwa Malik sangat bergantung pada konsensus mereka melebihi 90 persen dari
masanya, yang hal ini juga mengindikasikan sebuah kontinuitas yang berlangsung
lama antara fikih “ tujuh fuqaha dan fikih Imam Malik ( hal 21-23).
Adapun bagian kedua buku ini berisikan sejauh mana unsur –
unsur Al-Qur’an yang terdapat dalam kitab Muwattha’ tersebut. Bab ini
juga maencakup penjelasan tentang sisi tekstual dari Al-Qur’an, aspek – aspek
yang lebih bersipat teknis dari penerpan. Malik terhadap Al-Qur’an dalam kitab
tersebut, walaupun sering bertentangan dengan kontekstal tradisi. masih dalam bab yang sama, Dutton juga
amenjelaskan tentang hubungan penting antara tradisi pada satu sisi dan
kontribusi Dinasti Umayyah terhadap perkembangan yang lebih bersipat kronologis, yakni arti penting naskh dan
arti penting asbab an- nuzul dalam penafsiran al-Qur’an. ( hal 8).
Ditegaskan bahwa dalam kitab Muwattha’ terdapat banyak rujukan dari Al-Qur’an,
baik secara implisit maupun ekplisit. Kebanyakan rujukan ini
berkaitan dengan tafsir terhadap masing – masing kata, atau kalimat dan
terhadap juga beberapa bagian berkaitan dengan Al-Qur’an secara umum dan
berkaitan secara khusus. Dengan bagaimana ia harus diamalkan dalam ritual –
ritual ibadah formal seperti salat, diaman bacaan Al-Qur’an menjadi sebuah
unsur esensial (hal 137).
Dari seluruh teks nash dalam Al-Qur’an kemungkinan tidak satu pun yang
dipandang lebih terperinci dan jelas, dari ayat – ayat tentang warisan, dan
metode penafsiran Malik yang menunjukkan keterkaitan antara Al-Qur’an dan hukum
fikih, tidak terilustrasikan dengan baik kecuali pada bagian warisan.
Perkembangan kronologis ini memunculkan sebuah ‘ pelapisan’ yang definitif
terhadap hukum – hukum yang terdpat dalam kitab Muwattha’ yang
terepresikan dalam penggolongan ini dalam masing – masing bab dan beragam
perbedaan antara term- term sunnah dan konsep amr Malik. Dikatakan bahwa
yang pertama menunjukkan hukum – hukum yang berasal dari masa nabi dan yang
kedua menunjukkan hukum – hukum yang berisi signifikansi ijtihad.
Adapun bagian ketiga bab ini berisikan sejumlah kesimpulan dimana
aksioma yang diterima secara umum, yakni bahwa hukum islam didasarkan pada dua
sumber berupa Al-Qur’an dan as-sunnah.
Dari contoh –contoh dalam bab ini akan tampak bahwa Malik dan bahkan ulama
pada umumnya, telah menjadikan Al-Qur’an sebagai dasar utama hukum islam yang
disempurnakan, pertama sunnah dan kedua ijtihad generasi
selanjutnya. Hal ini dengan jelas ditunjukkan oleh fakta – fakta bahwa pokok
persoalan dari hukum islam sepenuhnya adalah persoalan formulasi Al-Qur’an itu
sendiri, yang sebaliknya menjelaskan uniformitas mengagumkan dari
infrastruktur hukum islam di samping
perbedaan – perbedaan doktrin yang ada; perdebatan – perdebatan dan
pertentangan – pertentangan yang terjadi lebih berhubungan dengan hal – hal
yang mendetail ( Furu’ Iyyah-penj) daripada mengenai konsep – konsep
dasarnya ( hal 331-332).
Adapaun kesimpulan – kesimpulan utama yang dapat ditarik dari kajian ini
adalah sebagai berikut:
Dalam kitab Muwattha’ terdapat banyak sekali kumpulan materi Al-Qur’an
yang dinyatakan secara jelas, tetapi sebagain besar dinyatakan secara tidak
langsung dan taken for granted.
Unsur Al-Qur’an merupakan sebah bagian integral dari hukum islam awal
sebagimana ditunjukkan dalam kita Muwattha’ dan menjadi dalil pengesah
yang dibelakangan baginya.
Dalam term – term penerapanya, Al-Qur’an tidak dapat dipisahkan dari
sunnah; tetapi al-Quran menjadi motor bagi sunnah, dan sunnah menjadi
pengejawantahan dari Al-Qur’an.
Sunnah ini lebih diketahui ( ( bagi ulama Madinah ) dari ‘amal ketimbang
hadits; begitu juga, ketika terdapat sebuah penafsiran terhadap teks al- Qur’an
dan hadits, maka penafsiran ini lebih disandarkan pada latar belakang ‘amal dari
pada semata – mata teks.
Dengan demikian hadits lebih memiliki peran ilustratif daripada otoritatif
dan pemahaman yang sebenarnya terhadap al- Qur’an dan sunnah sebagai sumber
hukum islam.
‘Amal dan Sunnah tidak
sama dan keduanya tidak dapat dikumpulkan dibawah terjemahan yang sama berupa
praktek atau tradisi yang hidup.
Kesimpulan tambahan, bahwa perkembangan hukum islam pada abad 1-2 H, adanya
dan kecendrungan – kecendrungan terjadinya perbedaan pendapat ( Ikhtilaf ) yang timbul dari ambiguitas – ambiguitas
bahasa atau kemungkinan beragamanya penafsiran. Dan sebuah kecendrungan
terjadinya persamaan pendapat yang tampak dari semakin termarjinalkanya
pendapat – pendapat yang sazz sebelumnya.
Sebagai penutup dari kajian buku ini, perlu ditegaskan bahwa dalam konteks
ini, ada dua hal pokok yang penting ditegaskan, yakni; pertama sejumlah
penulis telah mengklaim bahwa konsep Malik tentang sunnah merupakan konsep yang
sempit. Tetapi dari penjelasan diatas khususnya komentarnya terhadap al- lays Ibn
Sa’ad bahwa seluruh masyarakat yang berada dibawah masyarakat Madinah – telah
tampak bahwa Malik tidak hanya menjelaskan praktik sunnah di Madinah sebagai
fenomena lokal yang dipertahankan dan diamalkan di Madinah, tetapi menjadikanya
sebagai fenomena yang secara ideal harus diamalkan oleh seluruh muslim.
Kedua, ialah praktik yang digambarkan oleh Malik dalam beberapa had, lebih
merupakan sebuah praktik’ideal’ daripada sebuah praktik aktual. Dengan kalimat
lain, bahwa penyebutan Malik terhadap praktik penduduk Madinah sebagai sebuah
pilihan diantara sekian pilihan menunjukkan bahwa praktik ini tidak hanya
merupakan konstruk teoritis dan ideal, tetapi lebih merupakan respon praktis
terhadap situasi –situasi faktual. Sifat kepraktisan ini terefleksikan dari
respon – respon dan kesadaran Imam Malik terhadap praktik – praktik yang ada
lainnya, jika merupakan konstruk ideal, maka seseorang akan menganggapnya
sebagai pendapat, bukan pilihan saja.
Sebagaimana ditegaskan dalam pendahuluan buku ini, bahwa tidak mengherankan
jika dalam konteks Muwattha’, agak berseberangan dengan pendapat
paradigma Syafi’i. Malik perpandangan dengan kebenaran tidak dilihat sejaumana
kesesuaianya dengan bunyi literal teks (Al-Qur’an dan terutama hadits), namun
seberapa besar tingkat muwafaqoh -nya dengan amal (
tradisi ), atau ‘ tradisi yang hidup’. ( istilah Josep Schacht ) yang
dipraktekkan secara kontinue oleh penduduk Madinah.
Dalam perspektik pembentukan dan perkembangan hukum islam. Karya Yassin ini
telah ikut menjelaskan secara jernih dan utuh tentang proses penerapan al- Qur’an
sebagai sumber hukum pokok, klarifikasi antara term sunnah dan hadits yang
memiliki pengaruh penting dalam perkembangan hukum, dan metode yang dipakai
oleh Imam Malik dalam kitab Muwattha’ –nya beserta proses penafsirannya.
0 comments: