TAN MALAKA; PEJUANG REVOLUSIONER YANG KESEPIAN (4)


Sungguhpun begitu, Tan Malaka tidak pula mungkin dapat melepaskan sama sekali dari kaitan pengaruh Marx yang telah mengilhami revolusi Rusia. Sukses revolusi Rusia, sangat berkesan bagi Tan Malaka dan oleh sebab itu, tak mungkin hapus begitu saja. Secara idealis dan teoritis Tan Malaka mungkin masih mengganggap dirinya seorang bolsyewik yang lebih mengerti dan mengutamakan realita bangsanya. "Marxisme", katanya, bukan kaji hafalan (dogma) melainkan suatu petunjuk untuk revolusi. Oleh karena itu, sikap marxis perlu bersikap kritis terhadap petunjuk itu. Sikap kritis itu antara lain sangat ditekankan pada kemampuan untuk melihat perbedaan dalam kondisi atau faktor sosial dari suatu masyarakat dibanding masyarakat-masyarakat lain. Dari situ akan
diperoleh kesimpulan oleh ahli revolusi di Indonesia atau pun di Hindustan (yang) tentulah berlainan sekali denhan yang diperoleh di Rusia. Yang sama cuma cara berpikir dialektika materalistis.
Setelah sebulan PARI berdiri dia pergi ke Manila (melalui Hongkong) dan tertangkap. Sewaktu yang memeriksanya menanyakan apakah dia mengerti apa yang dimaksudkan dengan bolsyewikisme. Ia jawab: "Ya". Apa itu? "Itu adalah doktrin melalui apa kelas buruh di dunia dapat mencapai emansipasi sosial dan politik dengan jalan mempersatukan diri mereka buat mengubah sistim yang berlaku sekarang dengan jalan apapun.
"Apakah anda mengikuti doktrin itu? (pertanyaan). "Secara teoritis, ya. Terapi tujuannya tergantung pada batasan -batasan (kondisi) yang terdapat di masing-masing negeri." Sewaktu Tan Malaka ditanya apakah ia percaya pada pemakaian kekerasan
senjata untuk mencapai kemerdekaan. Dijawab: "Saya percaya pada aksi massa untuk mencapai kemerdekaan kami dengan cara apapun, apakah fisik atau cara yang lain, politik, ekonomi dan kalalu perlu dengan kekerasan fisik dan senjata."
Pada bagian lain, Tan Malaka mencoba memisahkan dirinya dengan PKI (dengan mengaku sebagai bekas ketua Sarekat Rakyat, bukan ketua PKI) dan komintern (dengan menyangkal bahwa ia bukan agitator merah atau agen bolsyewik). "Saya bukan seorang bolsyewik," katanya menyangkal tuduhan. "Kalau seseorang mencintai tanah airnya memperlihatkan memperlihatkan bolsyewikisme maka panggilah saya bolsyewik."
Penguaha kolonial di Pilipina (Amerika Sertikat) karena bekerja sama erat sekali dengan pengusaha kolonial Belanda tentu mempunyai data lengkap tentang kegiatan-kegiatan Tan Malaka di masa lampau yang isinya paling kurang sebagian berlainan dengan keterangan Tan Malaka di atas. Sikap anti komunis yang keras dari penguasa-penguasa kolonial, dan terjadilah malapetaka pemberontakan PKI 1926/1927 yang berakibat buruk bagi aktivis-aktivis PKI, barangkali merupakan penyebab kuat
mengapa perlu untuk agak membohong tentang kegiatan politik masa lampaunya.
Sungguhpun begitu, pengakuannya bahwa ia menerima bolsyewik secara teoritis dan tidak menolak kemungkinan untuk memakai kekuatan fisik buat mencapai kemerdekaan mungkin dapat dianggap sebagai suatu sikap konsisten dan konsekwen, paling kurang dalam kaitan pandangannya terhadap Marxisme sebagai petunjuk untuk berevolusi, bukan dogma atau kaji hafalan. Kalau boleh disimpulkan, Tan Malaka dalam arti kata yang sesungguhnya teyap konsisten dan konsekwen sebagai seorang revolusioner.
Seorang revolusioner yang antara lain menerima Marxisme sebagai petunjuk, tetapi jauh di lubuk hatinya lebih meresapkan nasionalisme. PARI, yang dimaksudkannya sebagai kendaraan untuk menuju revolusi Indonesia yang diinginkannya, tidak sempat berakar untuk menjalar luas di Indonesia. Dua orang pendiri lainnya, Subakat dan Djamaluddin Tamim, tertangkap. Subakat memilih bunuh diri dalam penjara di Jakarta.
Sisa-sisa terakhir dari PARI di Jakarta dan Surabaya digulung habis oleh Belanda dalam tahun 1935. Sementara itu, Tan Malaka yang praktis terputus hubungannya dengan teman-temannya boleh dikatakan bergerak sendiri.
Dalam tahun 1928 dia diangkat kembali oleh Komintern sebagai salah seorang agennya untuk Asia Tenggara. Rupanya pada waktu itu, Moskow belum mengetahui tentang kegiatan Tan Malaka dengan PARI-nya. Sewaktu ia memasuki Hongkong dari Shanghai (1932), dalam perjalannnya menuju pos barunya di Birma sebagai agen Komintern, Tan Malaka ditangkap Inggris dan ditahan selama beberapa minggu. Sesudah dilepas, ia kembali ke Cina (Amoy), di mana ia menghidupi dirinya dengan mendirikan sekolah bahasa asing yang cukup berhasil sampai tahun 1937, ketika dia terpaksa lari lagi sewaktu Jepang menyerang kota itu. Ia menyingkir ke Singapura, menyamar sebagai guru Cina di sekolah-sekolah di sana sampai 1942. Sewaktu ia sampai di Indonesia kembali, Jepang sudah mendarat dan berkuasa.
Jadi, semenjak meninggalkan Bangkok (1927), kecuali hubungan surat-menyurat yang terbatas dan kemudian juga terputus, Tan Malaka lebih banyak bergerak sendiri. Dalam arti kata yang mendekati sesungguhnya dia menjadi seorang pejuang revolusioner yang kesepia, tetapi juga setia pada cita-cita revolusinya.
Sementara itu, Komintern dan orang-orang komunis Indonesia mengetahui tentang PARI dan itu dengan sendirinya mengungkapkan kepada mereka siapa Tan Malaka yang sebenarnya. Dia dikecam habis-habisan, antara lain oleh tokoh PKI Muso, yang berhasil masuk Indonesia dari Moskow tanpa diketahui Beland, yang menulis pamflet menentang tokoh ini dengan PARI-nya.
Tan Malaka yang dulunya pernah menjadi ketua PKI dan agen Komintern, kini menjadi musuh utama mereka (PKI). Dari uraian di atas dapat dilihat bagaimana kontroversialnya tokoh ini. Sikap, tingkah laku politik serta ide atau pemikirannya menempatkannya
dalam suasan konflik dengan berbagai kekuatan. Sebagai pejuang nasionalis atau buronan politik dia berkonflik dengan penguasa-penguasa kolonial di Asia waktu itu. Sebagai politisi-intelektual yang berpikir dinamis dan menerima Marxisme secara kritis dia berani mengritik tokoh-tokoh separtainya (PKI) dan kemudian mendirikan partai baru tanpa
katab komunis di dalamnya, dan itu semua menempatkan dia berkonflik dengan tokoh-tokoh komunis Indonesia dan Komintern. Tetapi, adakah jalan lain dari menyusuri liku-liku berbagai konflik itu untuk dapat memahami siapa tokoh ini sebenarnya?
VII.
Dua siklus pertama dari perantauannya ditandai dengan titik puncak sewaktu dia kembali pulang. Titik puncak pertama ianalah pada waktu ia diangkat sebagai datuk sewaktu ia pulang ke kampungnya sehabis menamatkan sekolah di Bukittinggi. Titik puncak dari perantauan kedua ialah ketika ia berhasil memainkan peranan yang amat penting dalam pergerakan nasional Indonesia, sebagai tokoh dan ketua PKI, tak lama
sesudah ia kembali dari Negeri Belanda. Dengan begitu, arti rantau bagi dirinya memang penting. Rantau telah menjadikannya manusia yang semakin berarti dan berguna bagi perjuangan bangsanya. Siklus ketiga perantauannya berjalan lama sekali, 20 tahun sebagai buangan politi. Pengalamannya dalam perantauan ketiga ini jauh lebih
banyak, penderitaan jauh lebih mendalam, kecemasan jauh lebih sering datang. Itu semua semakin mematangkan dan mendewasakan dirinya, baik sebagai intelektua-pemikir, politisi-idealis, mau pun pejuang revolusioner yang kesepian. Ia pun sudah semakin berumur.
Dapatlah dimengerti kalau dia melihak kepulangannya kali ini sebagai sesuatu yang amat berarti. Ia melihat bahwa siklus-siklus hidupnya sejajar dengan siklus-siklus perjuangan bangsanya, dan itu diidentikannya pula dengan perkembangan organis tubuhnya yang telah sampai pada siklus terakhir.
Dia memperkirakan dan mengantisipasi kepulangannya dari perantauannya yang ketiga dan terkahir kalinya ini akan bertautan dengan terjadinya revolusi Indonesi, dan ia ingin hadir dan ikut aktif sebagai peserta di dalamnya. Bagi dia, inilah kesempatan terakhir untuk merealisir revolusi totalnya, dan oleh karena itu tak ingin melepaskan kesempatan itu berlalu dengan sia-sia. Seluruh kehidupannya selama ini, tercurah ke sana, dan dapatlah dimengerti kalau ia ingin memberikan sesuatu yang amat berarti bagi bangsanya pada saat yang amat bersejarah itu. Bermakna untuk penghabisan kalinya.
Tetapi menarik pula untuk diketahui bahwa sewaktu pulang dari perantauan ketiga ini, Tan Malaka segera menggabungkan diri dalam barisan perjuangan atau mengambil peranan aktif dalam percaturan politik. Salahsatu faktor mungkin karena merasa dia membutuhkan waktu buat mempelajari suasana masyarakat yang sudah lama ditinggalkannya. Ia ingin masuk sekolah sosial dulu. Alasan lain yang diberikan Tan Malaka ialah karena ingin menulis sesuatu yang berarti yang bisa dipakai sebagai
pegangan oleh bangsanya nanti dalam hidup bernegara sebagai bangsa merdeka yang sosialistis.
Dia memang menulis apa yang dianggapnya sebagai karya terbaiknya yang ingin ditinggalkannya sebagai "pusaka" bertuah". Itulah MADILOG, yang ditulisnya dalam suasana kemiskinan yang luar biasa di sebuah gubuk bambu di pinggir Jakarta. Pada waktu ia dia masih belum keluar dengan memamai nama aslinya. Faktor lain yang menyebabkannya merasa masih perlu menyembunyikan identitasnya barangkali pengaruh pengalaman pahitnya sebagai buronan politik di luar negeri yang tentu selalu
menghantuinya, walau pun suasana romantis dan misteri yang lahir bersamaan dengan itu tampak pula disenanginya. Dia mungkin masih perlu menyembunyikan diri di bawah kekuasaan Jepang yang tak kalah kejamnya itu.
Kekejaman fasis Jepang tambah memuakan hatinya ketika ia menyaksikan sendiri di pertambangan Bayah, Banten. Di sini sebagai krani yang cukup baik kedudukannya, dengan memakai nama samaran Ilyas Husein dia kembali menyaksikan, sebagaimana pernah dialaminya di perkebunan Senembah dulu, pengeksploatasian bangsanya oleh kekuasaan imperialis baru. Ia melihat sendiri kondisi yang amat menyengsarakan --antara
hidup dan mati-- kaum romusha yang dipekerjakan Jepang secara paksa. Hal ini tentunya tambah memperkuat keyakinannya tentang keperluan adanya aksa massa buat melahirkan revolusi.
Suasana politik Indonesia selama pendudukan Jepang secara garis besarnya diwarnai oleh Soekarno, Hatta dan sejumlah pemimpin lain yang memilih bekerjasama atau berkolaborasi dengan Jepang. Mereka senang ataukah tidak, ikut serta dalam sistem kekuasaan, sesuatu hal yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Sebagai pejuang nasionalis mereka tentu mempunyai alasan-alasan sendiri buat memilih jalan itu. Di fihak
lain, sejumlah tokoh yang relatif muda seperti Sutan Sjahrir memilih bergerak di bawah tanah melawan rezim fasis Jepang.
Antara kedua kelompok ini yang dipermukaan dan yang di bawah tanah, barangkali terdapat kontak atau kerjasama pula. Kecenderungan ke arah asumsi iini dikuatkan oleh relatif mudahnya kedua kelompok ini yang disimbolkan oleh Soekarno-Hatta dan Sjahrir, bekerjasama kemudian dalam revolusi kemerdekaan.
Tan Mala juga melihat adanya dua kekuatan, tetapi dengan pemahaman yang agak lain. Sukarno dan Hatta dianggapnya sebagai simbol dari golongan tua yang berkalaborasi dengan kekuasan Jepang, dan oleh karena itu ia mengganggap mereka, terutama Soekarno sebagai oportunis. Sikap sinis Tan Malaka terhadap Sukarno antara berkaitan dengan pandangan negatifnya terhadap kebudayaan Hindu-Jawa. Strategi Sukarno (dan Hatta) untuk mencapai kemerdekaan melalui kerjasama dengan kaum penjajah baginya
menunjukan masih adanya sisa-sisa mentalitas budak yang berasal dari kebudayaan Hindu-Jawa itu. Ini jelas sangat kontras dengan ide revolusi Tan Malaka sendiri yang antara lain ingin menghancurkan sisa-sisa kebudayaan lama yang bernilai buruk, terutama ciri-ciri feodalismenya. Kekuatan kedua yang dilihatnya ialah pemuda yang dinilainya sebagai tombak revolusi. baginya, di sinilah terletak kekuatan revolusi yang
sebenarnya, dan oleh karena itu ia menaruh perhatian yang sangat besar kepada mereka. Dia berusaha mengidentifikasikan dirinya dengan semangat revolusioner pemuda, melalui mana dia melambungkan harapan bahwa merekalah yang akan berhasil merealisir revolusi yang dicita-citakannya.
Pengontrasan yang tajam antara golongan tua (Sukarno-Hatta) yang dinilainya oportunis dengan pemuda revolusioner berasal dari cara berfikir Tan Malaka yang dialektis. Akan tetapi, ia rupanya kurang memahami realita sebenarnya dari masyarakat Indonesia pada waktu itu. Sukarno-Hatta, terutama Sukarno (apakah itu sebagai akibat dari pengaruh sisa-sisa kebudayaan Hindu-Jawa dalam masyarakat ataukah tidak) sudah
lama mempunyai kekuatan kharisma politik yang menjalar jauh ke dalam masyarakat. Dwitunggal itu telah berhasdil menjadikan diri mereka sebagai simbul persatuan dan perjuangan nasional. Cara berfikir Tan Malaka yang amat dialektis ternyata tidak begitu tepat, kalaulah tidak sama sekali salah. Melalui ini barangkali dapat dimengerti sebagian
dari penyebab mengapa riwayat Tan Malaka dalam revolusi Indonesia berakhir secara tragis.
VIII
Beberapa minggu menjelang proklamasi, Tan Malaka masih memakai nama samaran Ilyas Husein, mulai mengadakan kontak dengan sejumlah kecil pemuda revolusioner. Akan tetapi, ia tidak hadir sewaktu peristiwa bersejarah, proklamasi, terjadi, dan kemudian disesalinya. Ia baru muncul dengan di arena politik, langsung dengan nama aslinya, beberapa hari kemudian di rumah Acmad Subarjo yang selanjutnya
mempertkenalkannya dengan elit politik Jakarta yang lain pada hari-hari berikutnya. Sewaktu dia sempat berbicara dengan Soekarno, yang sudah menjadi presiden, Tan Malaka berhasil mengemukakan ide-ide tentang revolusi, antara lain mengenai bagaimana revolusi harus dilanjutkan kalau seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (mati atau ditangkap) atas diri Sukarno dan Hatta.

0 comments: