Pramudya Ananta
Pramudya Ananta Toer di New York. Bagaimana
kita pernah membayangkan ini? Di tengah Park Avenue tulip bermunculan
kembali—tiap tahun seperti tak disangka-sangka—dengan rapi, seakan kembang
plastik. Ini akhir April. Di dalam Gedung Asia Society di tepi avenue
itu, di auditoriumnya yang penuh sesak, orang memandang ke pentas: Pramudya
Ananta Toer di New York. Sesuatu yang lebih tak terduga. Orang sadar bahwa di
panggung yang tertata itu, ada sesuatu yang datang dari sebuah pengalaman yang
suram. Pram mengenakan jas Nehru abu-abu, rambutnya yang memutih dan gondrong
tersibak ke belakang. Dalam umurnya yang lebih dari 70 tahun, ia tampak kuat,
langsing, tegak. Suaranya besar dan mantap, dengan getar di sana-sini. John
MacGlynn, penerjemahnya, duduk di dekatnya, dekat sekali ke telinga Pramudya
yang pekak, untuk setiap kali menyalin percakapan ke dalam bahasa Inggris atau
sebaliknya. Di sebelah kiri Pramudya, Mary Zurbuchen, mengajukan beberapa
pertanyaan dalam sebuah interview yang menarik, sebelum Pramudya
menghadapi hadirin. Pernahkah kita membayangkan ini? Mungkin kita akan
mengatakan, sejarah memang sebuah proses dari keadaan terbelenggu ke arah
keadaan merdeka—dan riwayat hidup Pramudya Ananta Toer melukiskan itu. Di zaman
perang kemerdekaan ia ditangkap dan dipenjarakan Belanda, karena ia anggota
dari pasukan Republik. Di zaman "Demokrasi Terpimpin" Soekarno ia
dipenjarakan tentara, karena bukunya Hoakiau di Indonesia. Di zaman
"Orde Baru" ia dipenjarakan, dibuang ke Pulau Buru, dan kemudian
dikembalikan ke Jakarta tetapi tetap tak bebas, selama hampir 20 tahun. Dan
kini, tahun 1999, ia mendapatkan paspornya, ia seorang yang merdeka kembali,
dan ia berangkat ke Amerika Serikat, sebuah negeri yang tak pernah
dikunjunginya—dan ia disambut. Tetapi benarkah sejarah punya narasi selurus
itu? Di Pulau Buru, tempat ia diasingkan selama 13 tahun beserta 12.000 tahanan
politik lainnya, sebuah gulag yang dikurung oleh laut, sebuah kamp yang
dikitari savana dan diselang-selingi rawa, barangkali yang bertahan hanya ide
bahwa kelak manusia akan bebas. Terutama jika orang mempercayai Hegel dan
Marx—seperti mempercayai eskatologi bahwa surga akan datang kelak di kemudian
hari karena itulah janji Tuhan. Tetapi jika kita baca catatan-catatan Pramudya
yang kemudian dihimpun di bawah judul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, yang di
Amerika tahun ini diterbitkan sebagai The Mute's Soliloquy, barangkali
yang tebersit di sana bukanlah eskatologi itu, bukan Hegel bukan pula Marx,
melainkan sebuah "pesimisme pemikiran, optimisme kehendak".
Kalimat ini datang juga dari keadaan
terpenjara: yang menuliskannya seorang Marxis yang orisinil, Antonio Gramsci,
dari selnya di Italia di tahun 1930-an. Mungkin itu pulalah yang juga terjadi
di Buru. Pram menuliskan catatannya dan kemudian menyembunyikannya, tanpa
harapan bahwa semua itu akan dibaca. Tetapi, seperti dikatakannya kepada Mary
Zurbuchen, ia ingin agar ada kesaksian bagi anak-anaknya—yang terpisah dari
dirinya selama bertahun-tahun itu—bahwa "mereka pernah punya seorang
ayah". Ancaman dari waktu adalah ketidaktahuan yang berlanjut atau lupa
yang kemudian terjadi. Mengetahui, dalam melawan ancaman waktu—itulah hal yang
penting bagi Pram. Ia tak tahu apakah ia akan menang. Akalnya mengatakan
kemenangan baginya mustahil. Tetapi ia tak hendak menyerah. Ia menulis sederet
novel sejarah. George Orwell pernah mengatakan bahwa bentuk novel adalah yang
"paling anarkis" dalam kesusastraan. Orwell benar, sepanjang sifat
"anarkis" itu diartikan penampikan novel kepada segala yang ortodoks
dan mengekang. Tetapi pada sisi lain, novel—seperti yang ditulis oleh Orwell
dan Pramudya, terutama novel sejarah itu—mempunyai dorongan yang dekat dengan
kehendak "mengetahui". Dan "mengetahui" bukanlah sesuatu
yang bisa terjadi dengan anarki; mengetahui adalah proses yang tertib. Dalam
novel, sejarah memperoleh alur, mendapatkan bentuk. Mungkin bukan sebuah alur
Hegelian (bahwa sejarah akan berakhir dengan kemerdekaan), tetapi bagaimanapun
bukan sesuatu yang acak-acakan. Haruskah dengan pandangan demikian ini pula kita
melihat cerita hidup Pramudya sendiri: dari sebuah pulau buangan yang jauh di
Maluku, sampai dengan ke Amerika Serikat, sebuah negeri yang—seperti diakuinya
malam itu—punya kontribusi besar, berkat Presiden Carter, dalam pembebasannya
dari Pulau Buru? Salah satu yang sering mengagetkan dalam sejarah ialah bahwa
ia ternyata bisa mengagetkan. Banyak hal berlangsung bukan semata-mata karena
progresi yang seperti hukum itu, bukan karena perkembangan sebuah struktur
sosial, bukan pula takdir, melainkan karena tindak manusia. Dari saat Pramudya
ditahan sampai dengan saat Pramudya di New York telah berlangsung sebuah
periode yang begitu mencengkeram: Perang Dingin. Perang Dingin, yang membagi
dunia menjadi dua sejak akhir 1940-an, antara "komunis" dan antikomunis"—seakan-akan
itu sebuah pembagian yang kekal—tak disangka-sangka berakhir ketika Mikhail
Gorbachev mengambil keputusan yang semula tak terbayangkan di tahun 1989: Uni
Soviet harus berubah, dan Tembok Berlin diruntuhkan. Smiley, tokoh utama John
Le Carre yang muncul kembali dalam The Secret Pilgrim, mengatakan itu
dengan secercah rasa kagum: "Manusialah yang mengakhiri Perang Dingin itu,
kalau kau belum mengetahuinya. Bukan persenjataan, atau teknologi, atau tentara
atau serangan. Manusia, itu saja. Dan bahkan bukan manusia Barat… melainkan
musuh bebuyutan kita di Timur, yang turun ke jalan, menentang peluru dan
tongkat polisi dan berkata: Sudah cukup. Kaisar merekalah, bukan kaisar kita,
yang berani naik ke panggung dan mengatakan bahwa ia tak berpakaian."
Kaisar yang berani, rakyat yang bertindak….
Manusia belum mati—mungkin itulah yang akhirnya harus dikatakan, sebuah kabar
gembira untuk Pramudya, tentang Pramudya. Setidaknya ketika musim dingin
ketidakbahagiaan kita berakhir, dan tulip dan magnolia muncul, setidaknya
sampai musim gugur tiba kembali.
Goenawan
Mohamad
KAUM INTELEKTUIL DI DUNIA KETIGA KHUSUSNYA INDONESIA
Oleh : Pramoedya AnantaToer.
Pada tanggal 24 September
1981 yang lalu, Fakultas ilmu–ilmu Sosial Universitas Indonesia telah
mengundang pengarang Pramudya Ananta Toer untuk mengadakan ceramah di Fakultas
tersebut yang kemudian di bubarkan oleh Kopkamtib. Berikut ini adalah teks
lengkap ceramah Pramudya Ananta Toer itu.
Judul
tersebut adalah topik yang di minta oleh senat Mahasiswa FIS-UI, sebuah judul
yang di dalamnya mengandung problem aktual dunia dewasa ini, bukan hanya Dunia
Ketiga, Indonesia, bangsa-bangsa dan pribadi-pribadi di dalammnya, meliputi
masalah:
1.Sikapdan
peran.
2. Kaum intelektual.
3. Dunia Ketiga, dan
4. Indonesia
2. Kaum intelektual.
3. Dunia Ketiga, dan
4. Indonesia
Untuk memudahkan
pembicaraan susunan tersebut terpaksa saya ganti menjadi:
1. Dunia Ketiga
2. Indonesia
3. Kaum intelektual
4. Sikap dan peran.
2. Indonesia
3. Kaum intelektual
4. Sikap dan peran.
1.
DUNIA KETIGA.
Dunia
Ketiga adalah belahan umat manusia yang setelah perang Dunia II. bersama dengan
negerinya terbebas dari penjajahan Barat. Dengan Barat dimaksudkan juga Jepang.
Penjajahan Barat diawali oleh pemburuan rempah-rempah Nusantara terutama
Maluku, dikembangkan melalui mengacak-acak seluruh dunia non-Barat, untuk dapat
membawa segala yang berharga ke dunia Barat. Yang teracak-acak bukan saja
mengalami perkosaan pelembagaan budaya, lebih dari itu adalah pemiskinan yang
sistimatis. Pada pihak lain Barat semakin membengkak dengan kemajuan,
kekuasaan, keilmuan, dan teknologi dengan bangsa-bangsa jajahan sebagai landasan
percobaan. Doktrin-doktrin yang membenarkan penjajahan dilahirkan di Barat yang
semua merugikan pihak bangsa–bangsa yang dijajah. Kita menyaksikan lahir dan
berkembangnya imperium dunia: Portugis dan Sepanyol yang dibangun di atas
perampasan emas dan perak, Inggris yang dibangun di atas monopoli tekstil dan
candu serta perbudakan, dan Belanda yang dibangun di atas Monopoli
rempah-rempah. Sebagian terbesar umat manusia telah dijajah oleh Barat, yang
dalam jumlah jauh lebih kecil, namun bagaimana pun pokok utama yang menyebabkan
nasib buruk bangsa-bangsa jajahan itu adalah ketidakmampuan budaya menghadapi
ekspansi kegiatan dagang Barat. Dalam hal ini dikecualikan Portugis dan
Spanyol. Tapi pada keseluruhannya terjadi sebagaimana dikatakan oleh Chiang Kai-Shek,
bahwa tidak ada sesuatu bangsa bisa dijajah oleh bangsa lain tanpa bantuan
bangsa itu sendiri.Produk penjajahan atas Dunia Ketiga secara budaya adalah
mentalitas bangsa jajahan yang belum tentu dapat hilang setelah tiga generasi
bangsa itu hidup dalam alam kemerdekaan politik, karena mentalitas bangsa yang
dikalahkan berabad akan melahirkan bangsa kalah demi survivalnya sebagai bangsa
kalah.
Tragedi pada Dunia Ketiga dengan kemerdekaan nasionalnya masing-masing terletak pada tidak atau kurang disadarinya kenyataan bahwa mereka masih hidup dan bernafas dengan kebudayaan bangsa kalah, dan mentalitasnya.
Tragedi pada Dunia Ketiga dengan kemerdekaan nasionalnya masing-masing terletak pada tidak atau kurang disadarinya kenyataan bahwa mereka masih hidup dan bernafas dengan kebudayaan bangsa kalah, dan mentalitasnya.
Produk
jajahan atas Dunia Ketiga secara budaya pada pihak penjajahan adalah: Demokrasi
parlementer, Hak Azasi, yang dua-duanya memberi jaminan pada setiap individu
untuk tumbuh menjadi kuat untuk dan atas namanya sendiri. Sedang pengalaman
penjajahan berabad membentuk mentalitas sebagai bangsa unggul dan penakluk,
yang juga tidak mudah hapus dalam tiga generasi, setelah bangsa-bangsa Itu
kehilangan jajahannya.
Apabila Dunia Ketiga dalam upayanya mengembalikan harga diri banyak berlindung pada apa yang mereka namai “Kebudayaan Asli“ dan banyak kala tidak mengindahkan sumber sosial historisnya, malah tidak jarang menjualnya untuk pariwisata, dan bukan tanpa “Kebanggaan Nasional“. Kebudayaan asli yang terbukti secara sistem dan organisasi telah di kalahkan berabad. Pada Dunia Barat dengan mentalitasnya sebagai bangsa unggul dan penakluk sampai dengan tahun delapan puluhan abad ini masih juga memproduksikan pandangannya yang menganggap Dunia Ketiga sebagai keanehan hanya karena tidak sama dengan dirinya, hanya karena perbedaan standar yang sulit mereka sadari, dan karena standar satu–satunya yang mereka kenal adalah miliknya. Contoh terakhir misalnya buku C. J. Koch “The Year of Living Dangerously“, terbitan Sphere Books United, London, 1981. Malah satu gejala biasa bila Barat tidak mau mengerti bahwa semua keterbelakangan di Dunia Ketiga tidak lain dari pada ulah dunia Barat itu sendiri.
Penjajahan atas dunia non Barat diawali, oleh perlombaan mendapatkan rempah-rempah Nusantara terutama Maluku. Entah karena kebetulan, entah karena rancangan sejarah, secara teori Nusantara pula yang mengawali putusnya penjajahan internasioanal sebagai tempat “Dimana mata rantai imperalisme dunia paling lemah”dengan lahirnya Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Beberapa hari setelah itu menyususl Vietnam. Sekali mata rantai putus kejatuhan mata rantai-mata rantai yang lain. Dari Indonesia ke daratan Asia merambat ke Afrika, kemudian ke benua Amerika. Semua itu terjadi karena Faktor keberhasilan dari Indonesia dan Vietnam sebagai percobaan sejarah. Imperium Inggris, yang kepayahan keluar dari perang Dunia II dan mendapat pengalaman yang tidak menyenangkan di Indonesia, melepaskan dadanya dengan jalan damai untuk tidak menjadi payah lagi. Sebaliknya Indonesia, yang karena rempah-rempahnya membikin sebagian terbesar umat manusia di jajah Barat.menyadari tugas sejarahnya dengan mengadakan Afro-Asian Conference di Bandung pada April 1955. Soekarno, seorang yang bukan saja menguasai bahkan memahami sejarah bangsanya, bukan sekedar tahu tentang materi dan metode keilmuan sejarah, malah memahami filsafat sejarah, dengan pidato anti imperalismenya “Let A New Asia and Afrika Be Born” telah mengangkatnya menjadi Bapak Dunia Ketiga. Orang suka atau tidak suka, mengakui atau tidak. Dengan Afro-Asian Conference kekuasaan dan imbangan dunia berubah; bergerak karena lahirnya Dunia Ketiga. Menyebut Dunia Ketiga juga menghadapi dunia Barat dengan sejarah penjajahannya sebagai guru, musuh dan sahabat. Menyebut Dunia Ketiga tanpa konteks tersebut, adalah menempatkan sebagian terbesar umat manusia dengan negerinya sebagai persoalan fiktif. Dunia Ketiga tak lain dari anak tak sah imperialisme Barat. Bapak tidak sah dan anak tidak sah, yang dalam pergaulan internasional tidak bisa ber pisahan satu sama lain mempunyai posisi internasional yang berbeda, pertempuhan dan peran (destinasi) yang berbeda pula dalam jangka waktu tertentu yang dibutuhkan oleh Dunia Ketiga dalam mendapatkan bentuknya masing-masing. Dan dalam jangka waktu tertentu itu sekarang kita hidup, maka karena itu juga dapat menyaksikan sendiri sikap Dunia Ketiga terhadap Barat dan sikap Barat terhadap Dunia Ketiga.
Apabila Dunia Ketiga dalam upayanya mengembalikan harga diri banyak berlindung pada apa yang mereka namai “Kebudayaan Asli“ dan banyak kala tidak mengindahkan sumber sosial historisnya, malah tidak jarang menjualnya untuk pariwisata, dan bukan tanpa “Kebanggaan Nasional“. Kebudayaan asli yang terbukti secara sistem dan organisasi telah di kalahkan berabad. Pada Dunia Barat dengan mentalitasnya sebagai bangsa unggul dan penakluk sampai dengan tahun delapan puluhan abad ini masih juga memproduksikan pandangannya yang menganggap Dunia Ketiga sebagai keanehan hanya karena tidak sama dengan dirinya, hanya karena perbedaan standar yang sulit mereka sadari, dan karena standar satu–satunya yang mereka kenal adalah miliknya. Contoh terakhir misalnya buku C. J. Koch “The Year of Living Dangerously“, terbitan Sphere Books United, London, 1981. Malah satu gejala biasa bila Barat tidak mau mengerti bahwa semua keterbelakangan di Dunia Ketiga tidak lain dari pada ulah dunia Barat itu sendiri.
Penjajahan atas dunia non Barat diawali, oleh perlombaan mendapatkan rempah-rempah Nusantara terutama Maluku. Entah karena kebetulan, entah karena rancangan sejarah, secara teori Nusantara pula yang mengawali putusnya penjajahan internasioanal sebagai tempat “Dimana mata rantai imperalisme dunia paling lemah”dengan lahirnya Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Beberapa hari setelah itu menyususl Vietnam. Sekali mata rantai putus kejatuhan mata rantai-mata rantai yang lain. Dari Indonesia ke daratan Asia merambat ke Afrika, kemudian ke benua Amerika. Semua itu terjadi karena Faktor keberhasilan dari Indonesia dan Vietnam sebagai percobaan sejarah. Imperium Inggris, yang kepayahan keluar dari perang Dunia II dan mendapat pengalaman yang tidak menyenangkan di Indonesia, melepaskan dadanya dengan jalan damai untuk tidak menjadi payah lagi. Sebaliknya Indonesia, yang karena rempah-rempahnya membikin sebagian terbesar umat manusia di jajah Barat.menyadari tugas sejarahnya dengan mengadakan Afro-Asian Conference di Bandung pada April 1955. Soekarno, seorang yang bukan saja menguasai bahkan memahami sejarah bangsanya, bukan sekedar tahu tentang materi dan metode keilmuan sejarah, malah memahami filsafat sejarah, dengan pidato anti imperalismenya “Let A New Asia and Afrika Be Born” telah mengangkatnya menjadi Bapak Dunia Ketiga. Orang suka atau tidak suka, mengakui atau tidak. Dengan Afro-Asian Conference kekuasaan dan imbangan dunia berubah; bergerak karena lahirnya Dunia Ketiga. Menyebut Dunia Ketiga juga menghadapi dunia Barat dengan sejarah penjajahannya sebagai guru, musuh dan sahabat. Menyebut Dunia Ketiga tanpa konteks tersebut, adalah menempatkan sebagian terbesar umat manusia dengan negerinya sebagai persoalan fiktif. Dunia Ketiga tak lain dari anak tak sah imperialisme Barat. Bapak tidak sah dan anak tidak sah, yang dalam pergaulan internasional tidak bisa ber pisahan satu sama lain mempunyai posisi internasional yang berbeda, pertempuhan dan peran (destinasi) yang berbeda pula dalam jangka waktu tertentu yang dibutuhkan oleh Dunia Ketiga dalam mendapatkan bentuknya masing-masing. Dan dalam jangka waktu tertentu itu sekarang kita hidup, maka karena itu juga dapat menyaksikan sendiri sikap Dunia Ketiga terhadap Barat dan sikap Barat terhadap Dunia Ketiga.
Sikap
Dunia Barat dapat kita ikuti dari penerbitan-penerbitannya tentang Dunia
Ketiga, dengan catatan, bahwa sikap itu belum sikap umum Barat, baru sikap satu
golongan yang merasa maju, dan mencoba membeberkan kekurangan-kekurangan Dunia
Ketiga karena belum sampai pada standar yang dimiliki Barat, dan notabene tidak
lain warisan penjajahan Barat sendiri, disamping memperkenalkan produk Dunia
Ketiga yang patut diperkenalkan kepada Barat sebagai bukti produktifnya
pengaruh Barat. Belakangan ini muncul rumusan baru tentang utara-selatan untuk
tidak menyebutkan kata-kata menyakitkan: Kaya-Miskin. Sebelum yang terakhir
ini, Dunia Ketiga diberi nama manis: Negeri/Negara yang sedang berkembang.
Semua itu untuk menghindari persoalan nurani antara bekas jajahan dan bekas
penjajah. Nama-nama yang lentur dan dilenturkan ini tak lain dari suatu
persetujuan tak terucapkan bahwa Dunia Ketiga berterimakasih pada bantuan yang
menguntungkan dari Barat, sebaliknya Barat dengan bantuannya pada Dunia Ketiga
mendapat keuntungan lebih besar lagi. Disini kita sekarang berada.
2. I
N D O N E S I A
Kalau
kita bicara tentang Indonesia sebagai negara kita tinggal membuka peta untuk
mengetahui luas wilayahnya, jumlah rakyatnya dan pemerintahannya dengan
Undang-undang yang peraturan yang jelas dicetak dalam sekian juta copy. Tetapi
kalau kita bicara tentang budaya Indonesia peta yang kita buka masih
warna-warni impresionistis yang samar kontur-konturnya. Polemik kebudayaan
kompilasi Achdiat K. Mihardja telah menggarap soal kebudayaan Indonesia sebelum
Indonesia menjadi bangsa merdeka, Indonesia sebagai gagasan yang diperjuangkan
untuk menjadi kenyataan. Setidak-tidaknya budaya Indonesia diwakili oleh suatu
cercah dengan warna tersendiri, mungkin merupakan bagian kecil semacam bulatan
yang melambangkan sebuah ibu kota.bSebelum kemerdekaan persatuan budaya
Indonesia dimulai dengan lahirnya kesadaran akan perlunya persatuan di antara
semua suku bangsa (waktu itu masih disebut bangsa), maka yang dinamai budaya
Indonesia adalah juga budaya antar semua suku di Nusantara. Unsur-unsurnya
diambil dari mana saja demi persatuan tersebut, setidak-tidaknya mempersatukan.
Untuk komunikasi diambil bahasa melayu dan tulisan latin. Dalam sport dan spel
diambil sepak bola dan bulu tangkis, dalam musik diambil tangga nada Barat dan
sebagainya. Setelah nasion Indonesia menjadi kenyataan politik maka budaya
Indonesia adalah juga budaya yang dilahirkan oleh manusia Indonesia, termasuk
semua unsurnya yang diambilnya dari mana saja yang sesuai dengan kehidupan
bathinnya untuk survive dan berkembang sebagai nasion.Pada umumnya orang
membedakan antara budaya Indonesia dengan budaya daerah. Ternyata pada peta
budaya tidak hanya terdapat dua warna yang mengambil dua bidang . Ada
warna-warna yang menunjukkan budaya purba: animisme, dinamisme, pemujaan
leluhur menjalari seluruh bidang dan bertumpang tindih dengan warna budaya yang
lain. Kemudian ada warna Hindu dengan warna menyala: Budhisme, Hinduisme dalam
arti beberapa petak Wishnuisme dan petak lebih dan menindas beberapa warna lain
yang bernama Syiwaisme. Kemudian meluber warna-warna Islam dengan perbedaan
gradual antara salaf dan pra-salaf. Warna-warni Nasrani Roma dan Kristen
berserakan di mana-mana bidang. Tapi apa budaya itu sendiri? Secara pasti, yang
mebedakan dari pengertian selebihnya, memang belum didapatkan. Orang dapat
merasakan tetapi belum dapat dirumuskan, yang dapat diterima semua orang dalam
setiap abad. Soalnya karena banyak hal dalam banyak tingkatan dan perbedaan
keumuman: idea, sentiman, nilai, aksi, tendensi, akumulasi, yang dinyatakan
dalam tingkah laku masyarakat. Bukan maksud saya membuat batasan sendiri. Hanya
sekedar memberikan kira-kira. Dan dengan sengaja saya lebih suka menggunakan
kata budaya dari pada Kebudayaan, karena menurut anggapan saya, budaya adalah
kata jamak dari budi atau kata yang dalamnya mengandung arti kemajemukan budi.
Dalam hal ini sejajar dengan penggunaan nesia (dalam Indonesia) sebagai kata
jamak dari nesos. Tentang peta budaya itu sendiri sebenarnya bukan wewenang
saya untuk bicara. saya hanya sekedar memberikan umpan perhatian. Budaya
purba—animisme dan pemujaan leluhur menengadahkan muka pada kuburan sebagai
asal yang memberikan kekuatan untuk survive. Dipertentangkan dengan budaya
moderen, yang pertama merupakan kebalikan dari pada yang kedua. Budaya moderen
menghadapkan muka pada hari depan bahkan secara ekstrim dikatakan: untuk
menguasai hari depan, jadi bukan sekedar budaya untuk survive
Dalam
peta impresionistik itu warna budaya purba ini merembesi juga titik budaya
Indonesia. Kenyataan sosial menunjukkan masih berperannya kuburan yang bukan
saja untuk dijiarahi tetapi dimintai dan dukun-dukun yang mengendalikan tingkah
laku golongan masyarakat tertentu. Budaya Hindu yang ke Nusantara membawa serta
sitem sosial dalam bentuk feodalisme Hindu. Dalam hubungan ini terdapat
warna-warni yang menarik yang menimbulkan tanda tanya pada kita: mengapa
masyarakat suku yang mengukuhi Wisnuisme bersejarah pendek, masyarakat suku
yang mengukuhi Budhisme lebih panjang sedikit, dan masyarakat suku yang mengukuhi
Syiwaisme seperti di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali mempunyai sejarah jauh
lebih panjang. Apakah budaya Syiwa dengan masuknya Islam di Jawa sama sekali
sudah kehabisan ronde? Dan apakah Syiwaisme masih hidup dalam dada para
pemimpin yang berasal dari budaya Jawa? Dan apa budaya Jawa itu sesungguhnya? Kontur-kontur
peta budaya mengapa masih perlu disuluhi dan ditafsirkan oleh para ahli budaya
yang berwenang. Juga dalam hal ini saya hanya memberikan umpan perhatian agar
jangan selalu Indonesia ketinggalan penyelidikan dari sarjana-sarjana asing.
Dan justru budaya itu menjadi isi diri kita, kita sudah tidak merasa lagi
adanya kejanggalan. Menjadi sasaran penyelidikan? Namun jelas dalam membangun
budaya. Indonesia setiap diantara kita membawa serta warna-warna yang tertera
dalam peta budaya tersebut.
Dengan masuknya kekuasaan Barat dan bersama dengannya juga budaya Barat kita melihat bahwa semua budaya purba dan Hindu tidak mampu menggulingnya. Melalui perbenturan kekuatan dan kekuasaan budaya-budaya suku dipencilkan menjadi budaya cagar alam, budaya bangsa yang kalah. Kita dapat melihat bagaimana proses penarikan diri, assimilasi.atau pengingkaran terhadap kenyataan bekerja dalam budaya bangsa yang di kalahkan untuk survive dalam kekalahannya. Kekalahan berabad bukan tidak membentuk watak dan mentalitas. Orang kota banyak kali mentertawakan orang desa justru karena budayanya. Atau daerah satu menganggap janggal orang dari daerah lain karena kelainannya. Anggapan janggal adalah reaksi budaya tanpa disadari. Justru ketidak sadaran ini sesuai dengan peta budaya yang impresionistis, jangan sampai membikin kita menjadi kuda bertutup mata dan dikendalikan oleh kusir yang kita tidak kenal. Sebaliknya justru karena kesadaran itu kita tidak akan menolak semua budaya yang kalah. Bahwa budaya bangsa kalah itu telah membuktikan survive terhadap budaya Barat yang patut dicari kekuatan yang terkandung di dalamnya. Dari sejarah umat manusia kita ketahui ada banyak bangsa yang lenyap dari muka bumi. Dikalahkan dan dilindas oleh bangsa lain. Tapi dalam masa hidup kita, kita juga menyaksikan bahwa bangsa kita justru berkembang biak dalam kekalahannya terhadap Barat. Kekuatan-kekuatan ini juga harus di pelajari untuk membangun budaya Indonesia.Budaya Indonesia dimulai dengan kemenangan atas penjajahan Barat. Ini adalah patokan yang tidak perlu disurutkan. Dengan patokan itu saya pribadi yakin bahwa tidak ada hak pada kita untuk menjadi pesimis bagaimana pun banyak kekurangannya, karena itu tak lain dari pernyataan kekurangan kita sendiri. Jenuh pada kekurangan sendiri dan silau pada prestasi bangsa-bangsa lain, bila ini menjadi sikap budaya yang limbung, kosmopolitanisme yang tak berakar pada bumi kehidupan sendiri akan menjadi watak budaya Indonesia mendatang. Sedang budaya Indonesia itu sendiri sampai sekarang ini adalah semakna dengan budaya kota. pada gilirannya kota adalah medan perebutan pengaruh yang datang dari seluruh dunia. Sedang tingkat teknologi komunikasi dewasa ini telah membikin lenyapnya perbatasan-perbatasan nasional di seluruh muka bumi. Adalah tidak masuk akal menolak pengaruh dunia. Soalnya terletak pada kemampuan metabolisme kita, jangan laksana ayam mematok dan menelan butir jagung dan membuangnya masih dalam bentuk jagung itu juga. Budaya Indonesia adalah moderen, karena ia ada di tengah-tengah dunia moderen, dan untuk survive dalam menjawab tantangan-tantangan yang juga moderen, peka terhadap pergeseran nilai dan metabolika sehingga tidak lagi terdengar keluhan orang tua-tua bahwa masyarakat sedang sakit. Dalam sastra kita sudah mendengar itu melalui keluhan Ronggo Warsito tentang Amenangi Jaman Edan. Keluhan yang berasal dari sikap budaya yang menolak pergeseran nilai tidak sebagaimana adanya tetapi sebagaimana “mestinya” yang dikenal dan diharapkan, terlepas dari sangkan alias sejarah dan paran alias destinasi. Dengan masyarakat kita sendiri sebagai basis sosial, dengan kelemahan dan kekuatannya, kita membangun budaya Indonesia sebagai bangunan atas, yang moderen, yang membikin nasion Indonesia bisa survive dalam dunia moderen, dan lebih dari hanya survive. Yang moderen dalam dirinya mengandung kekuatan: lugas, ilmiah, melepaskan pikiran dengan koratif pengaruh Dongson, menghadapkan muka ke hari depan, bukan kekuburan dengan leher terpekosa dan menubruk segala apa yang di depannya.Pada suatu tertentu pernah diributkan adanya gap generasi baik di dunia internasional maupun di Indonesia sendiri. Kembali soal itu adalah produk angkatan tua yang kurang jeli dan tak mau menerima adanya pergeseran nilai. Dalam hal ini saya menyetujui saran Syaidina Ali untuk percaya pada generasi muda, bahwa generasi muda menghadapi problem-problemnya sendiri dan akan memecahkannya sendiri, dan dengan demikian membangun identitasnya sendiri, Identitasnya adalah juga budayanya. Hilangnya budaya nasion, hilangnya identitas nasion adalah hilangnya nasion itu. Dari wasiat lama dapat di ketahuai banyaknya suku atau bangsa yang hilang karena ditelan dan menjadi bangsa lain. Semua adalah proses historis yang wajarsebagai mana dalam hidup kita, kita melihat identitas kuak-kuak ditelan oleh kehendak untuk bersatu dan menjadi satu nasion. Apakah generasi muda berhasil membangun, mempertahankan dan mengembangkan identitasnya bukan generasi tua yang telah menjadi patriark, yang menjawabnya.Angkatan tua tidak perlu sentimentil bahwa angkatan sesudahnya tidak menjadi dirinya karena generasi muda dalam pertumbuhannya paling berhak untuk menjadi dirinya sendiri. Budaya Indonesia adalah moderen, dan yang moderen berarti juga demokratis. Sedang demokrasi di Barat yang menjadi persemaian individu kuat bukanlah hadiah gratis, dia hanyalah produk dari pergulatan sendiri. Dunia Barat dalam membangun, mempertahankan dan mengembangkan demokrasi bukan tanpa ujian. Perang Dunia II adalah ujian terberat dalam sejarahnya. Budaya Indonesia yang sejak lahirnya telah dibentuk untuk menumbangkan jajahan Barat dari pengalamannya sudah tahu belajar bahwa nilai-nilai harus dibeli, ditebus, bukan deretan hadiah. Sikap budaya kalah yang terlalu banyak mengharapkan belas kasihan orang lain tidak perlu diambil alih oleh budaya Indonesia. Dalam dunia moderen harapan akan belas kasihan sudah dikeluarkan dari buku sekali pun dalam bisnis bisa menjadi komoditi. Maka budaya Indonesia tidak bersikap mengharapkan belas kasihan.Budaya Indonesia dibicarakan di sini bukan suatu fiksi, selama ia setia pada sumbernya, tahu sangkannya, maka juga tahu parannya. Apakah itu ada dan bakal ada? Itulah tantangan.
Dengan masuknya kekuasaan Barat dan bersama dengannya juga budaya Barat kita melihat bahwa semua budaya purba dan Hindu tidak mampu menggulingnya. Melalui perbenturan kekuatan dan kekuasaan budaya-budaya suku dipencilkan menjadi budaya cagar alam, budaya bangsa yang kalah. Kita dapat melihat bagaimana proses penarikan diri, assimilasi.atau pengingkaran terhadap kenyataan bekerja dalam budaya bangsa yang di kalahkan untuk survive dalam kekalahannya. Kekalahan berabad bukan tidak membentuk watak dan mentalitas. Orang kota banyak kali mentertawakan orang desa justru karena budayanya. Atau daerah satu menganggap janggal orang dari daerah lain karena kelainannya. Anggapan janggal adalah reaksi budaya tanpa disadari. Justru ketidak sadaran ini sesuai dengan peta budaya yang impresionistis, jangan sampai membikin kita menjadi kuda bertutup mata dan dikendalikan oleh kusir yang kita tidak kenal. Sebaliknya justru karena kesadaran itu kita tidak akan menolak semua budaya yang kalah. Bahwa budaya bangsa kalah itu telah membuktikan survive terhadap budaya Barat yang patut dicari kekuatan yang terkandung di dalamnya. Dari sejarah umat manusia kita ketahui ada banyak bangsa yang lenyap dari muka bumi. Dikalahkan dan dilindas oleh bangsa lain. Tapi dalam masa hidup kita, kita juga menyaksikan bahwa bangsa kita justru berkembang biak dalam kekalahannya terhadap Barat. Kekuatan-kekuatan ini juga harus di pelajari untuk membangun budaya Indonesia.Budaya Indonesia dimulai dengan kemenangan atas penjajahan Barat. Ini adalah patokan yang tidak perlu disurutkan. Dengan patokan itu saya pribadi yakin bahwa tidak ada hak pada kita untuk menjadi pesimis bagaimana pun banyak kekurangannya, karena itu tak lain dari pernyataan kekurangan kita sendiri. Jenuh pada kekurangan sendiri dan silau pada prestasi bangsa-bangsa lain, bila ini menjadi sikap budaya yang limbung, kosmopolitanisme yang tak berakar pada bumi kehidupan sendiri akan menjadi watak budaya Indonesia mendatang. Sedang budaya Indonesia itu sendiri sampai sekarang ini adalah semakna dengan budaya kota. pada gilirannya kota adalah medan perebutan pengaruh yang datang dari seluruh dunia. Sedang tingkat teknologi komunikasi dewasa ini telah membikin lenyapnya perbatasan-perbatasan nasional di seluruh muka bumi. Adalah tidak masuk akal menolak pengaruh dunia. Soalnya terletak pada kemampuan metabolisme kita, jangan laksana ayam mematok dan menelan butir jagung dan membuangnya masih dalam bentuk jagung itu juga. Budaya Indonesia adalah moderen, karena ia ada di tengah-tengah dunia moderen, dan untuk survive dalam menjawab tantangan-tantangan yang juga moderen, peka terhadap pergeseran nilai dan metabolika sehingga tidak lagi terdengar keluhan orang tua-tua bahwa masyarakat sedang sakit. Dalam sastra kita sudah mendengar itu melalui keluhan Ronggo Warsito tentang Amenangi Jaman Edan. Keluhan yang berasal dari sikap budaya yang menolak pergeseran nilai tidak sebagaimana adanya tetapi sebagaimana “mestinya” yang dikenal dan diharapkan, terlepas dari sangkan alias sejarah dan paran alias destinasi. Dengan masyarakat kita sendiri sebagai basis sosial, dengan kelemahan dan kekuatannya, kita membangun budaya Indonesia sebagai bangunan atas, yang moderen, yang membikin nasion Indonesia bisa survive dalam dunia moderen, dan lebih dari hanya survive. Yang moderen dalam dirinya mengandung kekuatan: lugas, ilmiah, melepaskan pikiran dengan koratif pengaruh Dongson, menghadapkan muka ke hari depan, bukan kekuburan dengan leher terpekosa dan menubruk segala apa yang di depannya.Pada suatu tertentu pernah diributkan adanya gap generasi baik di dunia internasional maupun di Indonesia sendiri. Kembali soal itu adalah produk angkatan tua yang kurang jeli dan tak mau menerima adanya pergeseran nilai. Dalam hal ini saya menyetujui saran Syaidina Ali untuk percaya pada generasi muda, bahwa generasi muda menghadapi problem-problemnya sendiri dan akan memecahkannya sendiri, dan dengan demikian membangun identitasnya sendiri, Identitasnya adalah juga budayanya. Hilangnya budaya nasion, hilangnya identitas nasion adalah hilangnya nasion itu. Dari wasiat lama dapat di ketahuai banyaknya suku atau bangsa yang hilang karena ditelan dan menjadi bangsa lain. Semua adalah proses historis yang wajarsebagai mana dalam hidup kita, kita melihat identitas kuak-kuak ditelan oleh kehendak untuk bersatu dan menjadi satu nasion. Apakah generasi muda berhasil membangun, mempertahankan dan mengembangkan identitasnya bukan generasi tua yang telah menjadi patriark, yang menjawabnya.Angkatan tua tidak perlu sentimentil bahwa angkatan sesudahnya tidak menjadi dirinya karena generasi muda dalam pertumbuhannya paling berhak untuk menjadi dirinya sendiri. Budaya Indonesia adalah moderen, dan yang moderen berarti juga demokratis. Sedang demokrasi di Barat yang menjadi persemaian individu kuat bukanlah hadiah gratis, dia hanyalah produk dari pergulatan sendiri. Dunia Barat dalam membangun, mempertahankan dan mengembangkan demokrasi bukan tanpa ujian. Perang Dunia II adalah ujian terberat dalam sejarahnya. Budaya Indonesia yang sejak lahirnya telah dibentuk untuk menumbangkan jajahan Barat dari pengalamannya sudah tahu belajar bahwa nilai-nilai harus dibeli, ditebus, bukan deretan hadiah. Sikap budaya kalah yang terlalu banyak mengharapkan belas kasihan orang lain tidak perlu diambil alih oleh budaya Indonesia. Dalam dunia moderen harapan akan belas kasihan sudah dikeluarkan dari buku sekali pun dalam bisnis bisa menjadi komoditi. Maka budaya Indonesia tidak bersikap mengharapkan belas kasihan.Budaya Indonesia dibicarakan di sini bukan suatu fiksi, selama ia setia pada sumbernya, tahu sangkannya, maka juga tahu parannya. Apakah itu ada dan bakal ada? Itulah tantangan.
3.
KAUM INTELEKTUAL.
Apakah
yang dimaksudkan dengan kaum intelektual bagi saya kurang jelas apakah menurut
pengertian kamus ataukah menurut pendapat bebas dari setiap orang yang
mempunyai kepentingan dengan kata tersebut. Apakah sarjana termasuk
intelektual?. Apakah setiap orang diantara kita intelektual atau tidak? Apakah
kata intelektual itu satu atribut dari sebagian kecil nasion yang merasa diri
berpikir lebih dari pada bagian selebihnya? Kata Sahibul Hikayat yang
dimaksudkan dengan kaum intelektual adalah kaum yang menempatkan nalar sebagai
kemampuan pertama yang diutamakan. Yang melihat tujuan akhir upaya manusia
dalam memahami kebenarannya dengan penalarannya. Stop, sampai di situ. Pada
akhir Perang Dunia II ada yang menggugat: bila sampai pada suatu tanggung jawab
terhadap diri sendiri dan lingkungannya, terutama pada umat manusia. Kemudian
orang menamai kaum intelektual hanya sebagai sport, tanpa keterlibatan diri
dengan penalarannya sendiri sebagai: intelektual blangko. Sehubungan dengan
topik yang dikemukakan oleh senat Mahasiswa FIS-UI jelas bukan intelektual
blangko yang dimaksudkannya, tetapi yang merupakan bagian integral dengan
nasionnya sendiri, bagian bernalar nasionnya yang bukan hanya mendapatkan input
dari nasionnya juga memberikan out-putnya. Tetapi dalam kehidupan Dunia Ketiga
pada umumnya dan di Indonesia khususnya di mana semua nilai diawali, dibangun
dan dikembangkan seirama dengan keperluan nasional faal kaum intelektual bukan
sekedar mesin yang menari antara in-put dan out-put . Pada mereka di tuntut
kejelian kepiawiannya untuk dapat melihat paran dan perkembangan nasional, yang
berarti juga kemampuan untuk melihat hari depan. Dan hari depan hanya dapat
digalang dengan perhitungan dan amal hari ini. Penalarannya menggunakan
reflektor yang tertuju kedepan, bukan tertuju ke belakang sebagaimana dalam
kebudayaan purba, kebudayaan animis, dinamis dan pemujaan leluhur, kebudayaan
kuburan. Sebaliknya kaum intelektual bukan sekedar bagian bernalar dari
nasionnya. Ia pun nurani nasionnya, karena bukan saja dalam dirinya terdapat
gudang ilmu dan pengetahuan terutama pengalaman nasionnya, juga ia dengan isi
gudangnya dapat memilih yang baik dan yang terbaik untuk dikembangkan, memiliki
dasar dan alasan paling kuat untuk menjadi resolut dalam memutuskan ya atau
tidak. Hinduisme telah membagi masyarakat dalam kasta-kasta, yang relevansinya
masih terasa. Kaum intelektual berada dalam kasta Brahmana. Hanya bedanya kaum
Brahmana moderen menempati kedudukan sebagai jembatan pada hari depan. Saya
cenderung untuk menempatkan kaum intelektual Indonesia dan Dunia Ketiga dalam
pengertian ini.
4. SIKAP
DAN PERAN.
Bicara
tentang sikap adalah bicara tentang tempat berdiri adalah juga bicara tentang
jarak yang telah ditempuh. Tempat berdiri pada gilirannya hanyalah bagian dan
medan yang terbatas. Dari tempat berdiri orang menghadapi jarak yang masih harus
ditempuh. Sikap adalah faktor dalam yang akan menentukan bagaimana jarak di
depan akan ditempuh. Akan dalam kamus politik diucapkan: bagaimana sebaiknya,
karena itu soal operasional. Berdasarkan materi yang telah di kedepankan sikap
yang sepatutnya diambil:
a.
meninggalkan sama sekali budaya kuburan dan mengambil penalaran sebagai
satu-satunya jalan membina hari depan, dan dengan demikian secara aktif
membangun budaya nasional yang moderen.
b.
tetap kritis terhadap potensi pengaruh budaya suku yang kalah dan mengajak
kalah.
c.
berlatih berani untuk mendapatkan keberanian intelektual karena tanpa
keberanian intelektual, kaum intelektual sudah lumpuh sebelum memutuskan.
Sejalan dengan lahirnya bangsa Indonesia hanya keberanian revolusioner, maka
tradisi keberanian revolusioner juga merupakan unsur menentukan dalam kehidupan
kaum intelektual Indonesia.
d.
sebagai intelektual Indonesia tempatnya adalah pertama-tama sebagai manusia
Indonesia, sebagaimana budaya Indonesia. Manusia budaya Indonesia berada dalam
jajaran Dunia Ketiga sedang Dunia Ketiga ada karena diperhadapkan dengan Barat.
Kaum intelektual Indonesia yang terlepas dari hubungan dengan Dunia Ketiga dan
terlepas dari penghadapannya dengan Barat sebagai produk sejarah akan
kehilangan sebagian dari kemampuan penalarannya yang obyektif, karena mereka
tanpa sadarnya akan terlepas dari ikatan sejarah, ikatan pengalamannya sendiri.
e.
Barat menjadi bengkak kuasa, bengkak kemajuan dan bengkak kemakmuran sehingga
menjadi seperti sekarang ini dengan produk terbaiknya dalam bentuk demokrasi
parlementer dan hak azasi adalah atas biaya seluruh Dunia Ketiga termasuk
Indonesia.
Maka
dari pengalaman sejarah ini kita punya hak menuntut dari Barat pertanggung
jawaban moral dengan konsekwensinya yang wajar dan manusiawi. Kaum intelektual
Indonesia karenanya diajak belajar untuk menghadapi Barat bukan sebagai
superior tetapi sebagai lembaga yang dalam beberapa abad belakangan ini
menerima piutang paksa dari Dunia Ketiga. kaum intelektual Indonesia, sebagai
manusia budaya Indonesia sudah sepatutnya mempunyai keberanian intelektual dan
keberanian moral terhadap Barat untuk menuntut dari Barat segala yang terbaik
dan berguna, teknologi dan science, bukan sebagai hadiah kemanusian seperti
halnya dengan Van Deventer dengan politik etiknya, tetapi semata-mata karena
pertanggungan jawaban historis. Atas dasar ini Barat sudah sepatutnya
melepaskan pandangan menara gadingnya yang menganggap haknya bahwa Dunia Ketiga
harus menjadi pengikutnya. Sebaiknya Barat merobohkan menara gadingnya dan
menggantikannya dengan pengertian yang lebih manusiawi dalam membantu Dunia
Ketiga untuk menjadi dirinya sendiri. Dengan robohnya menara gading itu pula
bisa di harapkan Barat melepaskan pandangan-Baratnya dan standar-Baratnya dalam
menilai Dunia Ketiga dengan perkembangannya.
f.
Kaum intelektual Indonesia dalam berlatih memperkuat keberanian intelektual dan
keberanian moral juga di tuntut untuk selalu membikin perhitungan dengan masa
lalunya sebagai bangsa, dengan kebudayaan purbanya, dengan budaya sukunya yang
kalah dan di kalahkan, dengan budaya Indonesia yang baru seumur jagung,
terutama juga dengan budaya Barat. Prakteknya terus menerus yang menjamin
lahirnya kedibyaan (genialitas) sehingga keintelektualan bukan tinggal jadi
atribut sosial, tapi faaliah, fungsional, dan membikinnya patut jadi penalaran
dan nurani nasion.
g.
Akibat dari sikap yang diambil terhadap Barat membikin kaum intelektual
Indonesia tidak bisa lain dari pada menata kembali mengorganisasi secara sadar
perasaan pikirannya dalam membangun lebih lanjut budaya Indonesia dalam segala
aspeknya justru di sini peran yang menentukan kaum intelektual Indonesia.
h. Kekuatan peradaban Barat yang mampu berkembang dan bertahan berabad dalam sejarah umat manusia sudah sepatutnya dipelajari secara kritis. Pemberiannya pada umat manusia tak terhingga banyaknya. Sebaliknya kerusakan yang diakibatkannya pada perang dunia ke III juga tak terhingga banyaknya. kita tahu bahwa kekuatannya terletak pada kekuatanya individu Barat, sedang pada gilirannya individu Barat diasuh oleh demokrasinya dan diayomi oleh hak-hak asasinya yaitu individu yang oleh Chairil Anwar dinyanyikan sebagai aku ….. yang dari kumpulannya terbuang karena menolak pembebekan. Dari pelajaran Barat Indonesia juga bisa kuat dengan individu , manusia Indonesia yang kuat , sehingga dalam konteks pembicaraan kita menjadilah aku ….. yang dengan kumpulannya berpadu, yang untuk itu telah disediakan pegangan dan medan oleh Pancasila.
h. Kekuatan peradaban Barat yang mampu berkembang dan bertahan berabad dalam sejarah umat manusia sudah sepatutnya dipelajari secara kritis. Pemberiannya pada umat manusia tak terhingga banyaknya. Sebaliknya kerusakan yang diakibatkannya pada perang dunia ke III juga tak terhingga banyaknya. kita tahu bahwa kekuatannya terletak pada kekuatanya individu Barat, sedang pada gilirannya individu Barat diasuh oleh demokrasinya dan diayomi oleh hak-hak asasinya yaitu individu yang oleh Chairil Anwar dinyanyikan sebagai aku ….. yang dari kumpulannya terbuang karena menolak pembebekan. Dari pelajaran Barat Indonesia juga bisa kuat dengan individu , manusia Indonesia yang kuat , sehingga dalam konteks pembicaraan kita menjadilah aku ….. yang dengan kumpulannya berpadu, yang untuk itu telah disediakan pegangan dan medan oleh Pancasila.
i.
Terhadap dunia ke III sebagai jajaran sendiri, sebagai perasaan dalam sejarah,
sebagai rekan seiring dalam memecahkan masalah-masalah yang diwariskan oleh
kesamaan historis, meninggalkan sikap tak acuhlah yang terkunci, sedang
pandangan bahwa diri lebih maju dari yang lain adalah suatu kemewahan.
Kesepakatan antara Dunia ke III akan mempercepat lahirnya kesatuan bahasa.
Pengalaman berabad dalam praktek devide et impera Barat bukan tidak menjadi
watak peradaban dalam menghadapi dunia non-Barat. Karena itu semangat dunia ke
III, atau yang pernah disebut semangat Asia-Afrika, kemudian menjadi semangat
Asia-Afrika-Amerika Latin bukan semestinya menjadi semakin pudar untuk kerugian
dunia Ketiga. Sukarno telah melampaui masanya waktu ia—bukan sekedar
gagasan--mencoba mewujudkan Ganefo dan Conefo, tetapi dalam situasi dunia
sekarang ini dengan masalah Timur-Barat, Utara-Selatan, dunia Ketiga-dunia
selebihnya yang semakin akut dengan semakin mengecilnya dunia kita, keseiaan
Dunia Ketiga jelas merupakan kebutuhan . Sekalipun, ya, sekalipun, perkembangan
Dunia Ketiga dalam dasawarsa terakhir memerlukan batasan dan rumusan baru.
j.
Peran kaum intelektual Indonesia sudah jelas. Gagasan dan perjuangan untuk
melahirkan bangsa Indonesia diawali oleh mereka dengan kesadaran akan
komitmennya dengan bangsanya, dengan kejelian dan kepiawiannya tentang peran
bangsanya. Gagasan dan praktek terus-menerus melahirkan Indonesia merdeka.
Dengan praktek intelektual keintelektualan menjadi kuat, dengan praktek otot,
otot menjadi kuat. Seindah-indah gagasan yang tidak dicoba-wujudkan oleh otot
dan dengan otot akan berubah menjadi roh-roh yang gentayangan--roh jahat yang
menjadikan orang jadi munafik.
k.
Kaum intelektual, sebagai nalar dan nurani nasion adalah berkasta Brahmana
dalam pengertian moderen. Dan moderen selalu senyawa dengan demokratis, dengan
demikian kehilangan kedudukannya dari hierarki Hindu. Faal bernalar, berpikir
dengan inteleknya secara alami, tidak beda dari fungsi-fungsi kasta lain dalam
masyarakatnya, yakni melakukan proses biokimia. Tetapi proses biokimia yang
tahu paran. Untuk bisa tahu tentang paran sebelumnya orang dituntut tahu
tersangkannya, tentang asalnya, tentang historisnya.
Saya telah bicara.
Saya telah bicara.
Jakarta, 23 September 1981
0 comments: