Pramudya Ananta


Pramudya Ananta Toer di New York. Bagaimana kita pernah membayangkan ini? Di tengah Park Avenue tulip bermunculan kembali—tiap tahun seperti tak disangka-sangka—dengan rapi, seakan kembang plastik. Ini akhir April. Di dalam Gedung Asia Society di tepi avenue itu, di auditoriumnya yang penuh sesak, orang memandang ke pentas: Pramudya Ananta Toer di New York. Sesuatu yang lebih tak terduga. Orang sadar bahwa di panggung yang tertata itu, ada sesuatu yang datang dari sebuah pengalaman yang suram. Pram mengenakan jas Nehru abu-abu, rambutnya yang memutih dan gondrong tersibak ke belakang. Dalam umurnya yang lebih dari 70 tahun, ia tampak kuat, langsing, tegak. Suaranya besar dan mantap, dengan getar di sana-sini. John MacGlynn, penerjemahnya, duduk di dekatnya, dekat sekali ke telinga Pramudya yang pekak, untuk setiap kali menyalin percakapan ke dalam bahasa Inggris atau sebaliknya. Di sebelah kiri Pramudya, Mary Zurbuchen, mengajukan beberapa pertanyaan dalam sebuah interview yang menarik, sebelum Pramudya menghadapi hadirin. Pernahkah kita membayangkan ini? Mungkin kita akan mengatakan, sejarah memang sebuah proses dari keadaan terbelenggu ke arah keadaan merdeka—dan riwayat hidup Pramudya Ananta Toer melukiskan itu. Di zaman perang kemerdekaan ia ditangkap dan dipenjarakan Belanda, karena ia anggota dari pasukan Republik. Di zaman "Demokrasi Terpimpin" Soekarno ia dipenjarakan tentara, karena bukunya Hoakiau di Indonesia. Di zaman "Orde Baru" ia dipenjarakan, dibuang ke Pulau Buru, dan kemudian dikembalikan ke Jakarta tetapi tetap tak bebas, selama hampir 20 tahun. Dan kini, tahun 1999, ia mendapatkan paspornya, ia seorang yang merdeka kembali, dan ia berangkat ke Amerika Serikat, sebuah negeri yang tak pernah dikunjunginya—dan ia disambut. Tetapi benarkah sejarah punya narasi selurus itu? Di Pulau Buru, tempat ia diasingkan selama 13 tahun beserta 12.000 tahanan politik lainnya, sebuah gulag yang dikurung oleh laut, sebuah kamp yang dikitari savana dan diselang-selingi rawa, barangkali yang bertahan hanya ide bahwa kelak manusia akan bebas. Terutama jika orang mempercayai Hegel dan Marx—seperti mempercayai eskatologi bahwa surga akan datang kelak di kemudian hari karena itulah janji Tuhan. Tetapi jika kita baca catatan-catatan Pramudya yang kemudian dihimpun di bawah judul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, yang di Amerika tahun ini diterbitkan sebagai The Mute's Soliloquy, barangkali yang tebersit di sana bukanlah eskatologi itu, bukan Hegel bukan pula Marx, melainkan sebuah "pesimisme pemikiran, optimisme kehendak".
Kalimat ini datang juga dari keadaan terpenjara: yang menuliskannya seorang Marxis yang orisinil, Antonio Gramsci, dari selnya di Italia di tahun 1930-an. Mungkin itu pulalah yang juga terjadi di Buru. Pram menuliskan catatannya dan kemudian menyembunyikannya, tanpa harapan bahwa semua itu akan dibaca. Tetapi, seperti dikatakannya kepada Mary Zurbuchen, ia ingin agar ada kesaksian bagi anak-anaknya—yang terpisah dari dirinya selama bertahun-tahun itu—bahwa "mereka pernah punya seorang ayah". Ancaman dari waktu adalah ketidaktahuan yang berlanjut atau lupa yang kemudian terjadi. Mengetahui, dalam melawan ancaman waktu—itulah hal yang penting bagi Pram. Ia tak tahu apakah ia akan menang. Akalnya mengatakan kemenangan baginya mustahil. Tetapi ia tak hendak menyerah. Ia menulis sederet novel sejarah. George Orwell pernah mengatakan bahwa bentuk novel adalah yang "paling anarkis" dalam kesusastraan. Orwell benar, sepanjang sifat "anarkis" itu diartikan penampikan novel kepada segala yang ortodoks dan mengekang. Tetapi pada sisi lain, novel—seperti yang ditulis oleh Orwell dan Pramudya, terutama novel sejarah itu—mempunyai dorongan yang dekat dengan kehendak "mengetahui". Dan "mengetahui" bukanlah sesuatu yang bisa terjadi dengan anarki; mengetahui adalah proses yang tertib. Dalam novel, sejarah memperoleh alur, mendapatkan bentuk. Mungkin bukan sebuah alur Hegelian (bahwa sejarah akan berakhir dengan kemerdekaan), tetapi bagaimanapun bukan sesuatu yang acak-acakan. Haruskah dengan pandangan demikian ini pula kita melihat cerita hidup Pramudya sendiri: dari sebuah pulau buangan yang jauh di Maluku, sampai dengan ke Amerika Serikat, sebuah negeri yang—seperti diakuinya malam itu—punya kontribusi besar, berkat Presiden Carter, dalam pembebasannya dari Pulau Buru? Salah satu yang sering mengagetkan dalam sejarah ialah bahwa ia ternyata bisa mengagetkan. Banyak hal berlangsung bukan semata-mata karena progresi yang seperti hukum itu, bukan karena perkembangan sebuah struktur sosial, bukan pula takdir, melainkan karena tindak manusia. Dari saat Pramudya ditahan sampai dengan saat Pramudya di New York telah berlangsung sebuah periode yang begitu mencengkeram: Perang Dingin. Perang Dingin, yang membagi dunia menjadi dua sejak akhir 1940-an, antara "komunis" dan antikomunis"—seakan-akan itu sebuah pembagian yang kekal—tak disangka-sangka berakhir ketika Mikhail Gorbachev mengambil keputusan yang semula tak terbayangkan di tahun 1989: Uni Soviet harus berubah, dan Tembok Berlin diruntuhkan. Smiley, tokoh utama John Le Carre yang muncul kembali dalam The Secret Pilgrim, mengatakan itu dengan secercah rasa kagum: "Manusialah yang mengakhiri Perang Dingin itu, kalau kau belum mengetahuinya. Bukan persenjataan, atau teknologi, atau tentara atau serangan. Manusia, itu saja. Dan bahkan bukan manusia Barat… melainkan musuh bebuyutan kita di Timur, yang turun ke jalan, menentang peluru dan tongkat polisi dan berkata: Sudah cukup. Kaisar merekalah, bukan kaisar kita, yang berani naik ke panggung dan mengatakan bahwa ia tak berpakaian."
Kaisar yang berani, rakyat yang bertindak…. Manusia belum mati—mungkin itulah yang akhirnya harus dikatakan, sebuah kabar gembira untuk Pramudya, tentang Pramudya. Setidaknya ketika musim dingin ketidakbahagiaan kita berakhir, dan tulip dan magnolia muncul, setidaknya sampai musim gugur tiba kembali.
Goenawan Mohamad
KAUM INTELEKTUIL DI DUNIA KETIGA KHUSUSNYA INDONESIA

Oleh : Pramoedya AnantaToer.
Pada tanggal 24 September 1981 yang lalu, Fakultas ilmu–ilmu Sosial Universitas Indonesia telah mengundang pengarang Pramudya Ananta Toer untuk mengadakan ceramah di Fakultas tersebut yang kemudian di bubarkan oleh Kopkamtib. Berikut ini adalah teks lengkap ceramah Pramudya Ananta Toer itu.
Judul tersebut adalah topik yang di minta oleh senat Mahasiswa FIS-UI, sebuah judul yang di dalamnya mengandung problem aktual dunia dewasa ini, bukan hanya Dunia Ketiga, Indonesia, bangsa-bangsa dan pribadi-pribadi di dalammnya, meliputi masalah:
1.Sikapdan peran.
2. Kaum intelektual.
3. Dunia Ketiga, dan
4. Indonesia
Untuk memudahkan pembicaraan susunan tersebut terpaksa saya ganti menjadi:
1. Dunia Ketiga
2. Indonesia
3. Kaum intelektual
4. Sikap dan peran.
1. DUNIA KETIGA.
Dunia Ketiga adalah belahan umat manusia yang setelah perang Dunia II. bersama dengan negerinya terbebas dari penjajahan Barat. Dengan Barat dimaksudkan juga Jepang. Penjajahan Barat diawali oleh pemburuan rempah-rempah Nusantara terutama Maluku, dikembangkan melalui mengacak-acak seluruh dunia non-Barat, untuk dapat membawa segala yang berharga ke dunia Barat. Yang teracak-acak bukan saja mengalami perkosaan pelembagaan budaya, lebih dari itu adalah pemiskinan yang sistimatis. Pada pihak lain Barat semakin membengkak dengan kemajuan, kekuasaan, keilmuan, dan teknologi dengan bangsa-bangsa jajahan sebagai landasan percobaan. Doktrin-doktrin yang membenarkan penjajahan dilahirkan di Barat yang semua merugikan pihak bangsa–bangsa yang dijajah. Kita menyaksikan lahir dan berkembangnya imperium dunia: Portugis dan Sepanyol yang dibangun di atas perampasan emas dan perak, Inggris yang dibangun di atas monopoli tekstil dan candu serta perbudakan, dan Belanda yang dibangun di atas Monopoli rempah-rempah. Sebagian terbesar umat manusia telah dijajah oleh Barat, yang dalam jumlah jauh lebih kecil, namun bagaimana pun pokok utama yang menyebabkan nasib buruk bangsa-bangsa jajahan itu adalah ketidakmampuan budaya menghadapi ekspansi kegiatan dagang Barat. Dalam hal ini dikecualikan Portugis dan Spanyol. Tapi pada keseluruhannya terjadi sebagaimana dikatakan oleh Chiang Kai-Shek, bahwa tidak ada sesuatu bangsa bisa dijajah oleh bangsa lain tanpa bantuan bangsa itu sendiri.Produk penjajahan atas Dunia Ketiga secara budaya adalah mentalitas bangsa jajahan yang belum tentu dapat hilang setelah tiga generasi bangsa itu hidup dalam alam kemerdekaan politik, karena mentalitas bangsa yang dikalahkan berabad akan melahirkan bangsa kalah demi survivalnya sebagai bangsa kalah.
Tragedi pada Dunia Ketiga dengan kemerdekaan nasionalnya masing-masing terletak pada tidak atau kurang disadarinya kenyataan bahwa mereka masih hidup dan bernafas dengan kebudayaan bangsa kalah, dan mentalitasnya.
Produk jajahan atas Dunia Ketiga secara budaya pada pihak penjajahan adalah: Demokrasi parlementer, Hak Azasi, yang dua-duanya memberi jaminan pada setiap individu untuk tumbuh menjadi kuat untuk dan atas namanya sendiri. Sedang pengalaman penjajahan berabad membentuk mentalitas sebagai bangsa unggul dan penakluk, yang juga tidak mudah hapus dalam tiga generasi, setelah bangsa-bangsa Itu kehilangan jajahannya.
Apabila Dunia Ketiga dalam upayanya mengembalikan harga diri banyak berlindung pada apa yang mereka namai “Kebudayaan Asli“ dan banyak kala tidak mengindahkan sumber sosial historisnya, malah tidak jarang menjualnya untuk pariwisata, dan bukan tanpa “Kebanggaan Nasional“. Kebudayaan asli yang terbukti secara sistem dan organisasi telah di kalahkan berabad. Pada Dunia Barat dengan mentalitasnya sebagai bangsa unggul dan penakluk sampai dengan tahun delapan puluhan abad ini masih juga memproduksikan pandangannya yang menganggap Dunia Ketiga sebagai keanehan hanya karena tidak sama dengan dirinya, hanya karena perbedaan standar yang sulit mereka sadari, dan karena standar satu–satunya yang mereka kenal adalah miliknya. Contoh terakhir misalnya buku C. J. Koch “The Year of Living Dangerously“, terbitan Sphere Books United, London, 1981. Malah satu gejala biasa bila Barat tidak mau mengerti bahwa semua keterbelakangan di Dunia Ketiga tidak lain dari pada ulah dunia Barat itu sendiri.
Penjajahan atas dunia non Barat diawali, oleh perlombaan mendapatkan rempah-rempah Nusantara terutama Maluku. Entah karena kebetulan, entah karena rancangan sejarah, secara teori Nusantara pula yang mengawali putusnya penjajahan internasioanal sebagai tempat “Dimana mata rantai imperalisme dunia paling lemah”dengan lahirnya Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Beberapa hari setelah itu menyususl Vietnam. Sekali mata rantai putus kejatuhan mata rantai-mata rantai yang lain. Dari Indonesia ke daratan Asia merambat ke Afrika, kemudian ke benua Amerika. Semua itu terjadi karena Faktor keberhasilan dari Indonesia dan Vietnam sebagai percobaan sejarah. Imperium Inggris, yang kepayahan keluar dari perang Dunia II dan mendapat pengalaman yang tidak menyenangkan di Indonesia, melepaskan dadanya dengan jalan damai untuk tidak menjadi payah lagi. Sebaliknya Indonesia, yang karena rempah-rempahnya membikin sebagian terbesar umat manusia di jajah Barat.menyadari tugas sejarahnya dengan mengadakan Afro-Asian Conference di Bandung pada April 1955. Soekarno, seorang yang bukan saja menguasai bahkan memahami sejarah bangsanya, bukan sekedar tahu tentang materi dan metode keilmuan sejarah, malah memahami filsafat sejarah, dengan pidato anti imperalismenya “Let A New Asia and Afrika Be Born” telah mengangkatnya menjadi Bapak Dunia Ketiga. Orang suka atau tidak suka, mengakui atau tidak. Dengan Afro-Asian Conference kekuasaan dan imbangan dunia berubah; bergerak karena lahirnya Dunia Ketiga. Menyebut Dunia Ketiga juga menghadapi dunia Barat dengan sejarah penjajahannya sebagai guru, musuh dan sahabat. Menyebut Dunia Ketiga tanpa konteks tersebut, adalah menempatkan sebagian terbesar umat manusia dengan negerinya sebagai persoalan fiktif. Dunia Ketiga tak lain dari anak tak sah imperialisme Barat. Bapak tidak sah dan anak tidak sah, yang dalam pergaulan internasional tidak bisa ber pisahan satu sama lain mempunyai posisi internasional yang berbeda, pertempuhan dan peran (destinasi) yang berbeda pula dalam jangka waktu tertentu yang dibutuhkan oleh Dunia Ketiga dalam mendapatkan bentuknya masing-masing. Dan dalam jangka waktu tertentu itu sekarang kita hidup, maka karena itu juga dapat menyaksikan sendiri sikap Dunia Ketiga terhadap Barat dan sikap Barat terhadap Dunia Ketiga.
Sikap Dunia Barat dapat kita ikuti dari penerbitan-penerbitannya tentang Dunia Ketiga, dengan catatan, bahwa sikap itu belum sikap umum Barat, baru sikap satu golongan yang merasa maju, dan mencoba membeberkan kekurangan-kekurangan Dunia Ketiga karena belum sampai pada standar yang dimiliki Barat, dan notabene tidak lain warisan penjajahan Barat sendiri, disamping memperkenalkan produk Dunia Ketiga yang patut diperkenalkan kepada Barat sebagai bukti produktifnya pengaruh Barat. Belakangan ini muncul rumusan baru tentang utara-selatan untuk tidak menyebutkan kata-kata menyakitkan: Kaya-Miskin. Sebelum yang terakhir ini, Dunia Ketiga diberi nama manis: Negeri/Negara yang sedang berkembang. Semua itu untuk menghindari persoalan nurani antara bekas jajahan dan bekas penjajah. Nama-nama yang lentur dan dilenturkan ini tak lain dari suatu persetujuan tak terucapkan bahwa Dunia Ketiga berterimakasih pada bantuan yang menguntungkan dari Barat, sebaliknya Barat dengan bantuannya pada Dunia Ketiga mendapat keuntungan lebih besar lagi. Disini kita sekarang berada.
2. I N D O N E S I A
Kalau kita bicara tentang Indonesia sebagai negara kita tinggal membuka peta untuk mengetahui luas wilayahnya, jumlah rakyatnya dan pemerintahannya dengan Undang-undang yang peraturan yang jelas dicetak dalam sekian juta copy. Tetapi kalau kita bicara tentang budaya Indonesia peta yang kita buka masih warna-warni impresionistis yang samar kontur-konturnya. Polemik kebudayaan kompilasi Achdiat K. Mihardja telah menggarap soal kebudayaan Indonesia sebelum Indonesia menjadi bangsa merdeka, Indonesia sebagai gagasan yang diperjuangkan untuk menjadi kenyataan. Setidak-tidaknya budaya Indonesia diwakili oleh suatu cercah dengan warna tersendiri, mungkin merupakan bagian kecil semacam bulatan yang melambangkan sebuah ibu kota.bSebelum kemerdekaan persatuan budaya Indonesia dimulai dengan lahirnya kesadaran akan perlunya persatuan di antara semua suku bangsa (waktu itu masih disebut bangsa), maka yang dinamai budaya Indonesia adalah juga budaya antar semua suku di Nusantara. Unsur-unsurnya diambil dari mana saja demi persatuan tersebut, setidak-tidaknya mempersatukan. Untuk komunikasi diambil bahasa melayu dan tulisan latin. Dalam sport dan spel diambil sepak bola dan bulu tangkis, dalam musik diambil tangga nada Barat dan sebagainya. Setelah nasion Indonesia menjadi kenyataan politik maka budaya Indonesia adalah juga budaya yang dilahirkan oleh manusia Indonesia, termasuk semua unsurnya yang diambilnya dari mana saja yang sesuai dengan kehidupan bathinnya untuk survive dan berkembang sebagai nasion.Pada umumnya orang membedakan antara budaya Indonesia dengan budaya daerah. Ternyata pada peta budaya tidak hanya terdapat dua warna yang mengambil dua bidang . Ada warna-warna yang menunjukkan budaya purba: animisme, dinamisme, pemujaan leluhur menjalari seluruh bidang dan bertumpang tindih dengan warna budaya yang lain. Kemudian ada warna Hindu dengan warna menyala: Budhisme, Hinduisme dalam arti beberapa petak Wishnuisme dan petak lebih dan menindas beberapa warna lain yang bernama Syiwaisme. Kemudian meluber warna-warna Islam dengan perbedaan gradual antara salaf dan pra-salaf. Warna-warni Nasrani Roma dan Kristen berserakan di mana-mana bidang. Tapi apa budaya itu sendiri? Secara pasti, yang mebedakan dari pengertian selebihnya, memang belum didapatkan. Orang dapat merasakan tetapi belum dapat dirumuskan, yang dapat diterima semua orang dalam setiap abad. Soalnya karena banyak hal dalam banyak tingkatan dan perbedaan keumuman: idea, sentiman, nilai, aksi, tendensi, akumulasi, yang dinyatakan dalam tingkah laku masyarakat. Bukan maksud saya membuat batasan sendiri. Hanya sekedar memberikan kira-kira. Dan dengan sengaja saya lebih suka menggunakan kata budaya dari pada Kebudayaan, karena menurut anggapan saya, budaya adalah kata jamak dari budi atau kata yang dalamnya mengandung arti kemajemukan budi. Dalam hal ini sejajar dengan penggunaan nesia (dalam Indonesia) sebagai kata jamak dari nesos. Tentang peta budaya itu sendiri sebenarnya bukan wewenang saya untuk bicara. saya hanya sekedar memberikan umpan perhatian. Budaya purba—animisme dan pemujaan leluhur menengadahkan muka pada kuburan sebagai asal yang memberikan kekuatan untuk survive. Dipertentangkan dengan budaya moderen, yang pertama merupakan kebalikan dari pada yang kedua. Budaya moderen menghadapkan muka pada hari depan bahkan secara ekstrim dikatakan: untuk menguasai hari depan, jadi bukan sekedar budaya untuk survive
Dalam peta impresionistik itu warna budaya purba ini merembesi juga titik budaya Indonesia. Kenyataan sosial menunjukkan masih berperannya kuburan yang bukan saja untuk dijiarahi tetapi dimintai dan dukun-dukun yang mengendalikan tingkah laku golongan masyarakat tertentu. Budaya Hindu yang ke Nusantara membawa serta sitem sosial dalam bentuk feodalisme Hindu. Dalam hubungan ini terdapat warna-warni yang menarik yang menimbulkan tanda tanya pada kita: mengapa masyarakat suku yang mengukuhi Wisnuisme bersejarah pendek, masyarakat suku yang mengukuhi Budhisme lebih panjang sedikit, dan masyarakat suku yang mengukuhi Syiwaisme seperti di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali mempunyai sejarah jauh lebih panjang. Apakah budaya Syiwa dengan masuknya Islam di Jawa sama sekali sudah kehabisan ronde? Dan apakah Syiwaisme masih hidup dalam dada para pemimpin yang berasal dari budaya Jawa? Dan apa budaya Jawa itu sesungguhnya? Kontur-kontur peta budaya mengapa masih perlu disuluhi dan ditafsirkan oleh para ahli budaya yang berwenang. Juga dalam hal ini saya hanya memberikan umpan perhatian agar jangan selalu Indonesia ketinggalan penyelidikan dari sarjana-sarjana asing. Dan justru budaya itu menjadi isi diri kita, kita sudah tidak merasa lagi adanya kejanggalan. Menjadi sasaran penyelidikan? Namun jelas dalam membangun budaya. Indonesia setiap diantara kita membawa serta warna-warna yang tertera dalam peta budaya tersebut.
Dengan masuknya kekuasaan Barat dan bersama dengannya juga budaya Barat kita melihat bahwa semua budaya purba dan Hindu tidak mampu menggulingnya. Melalui perbenturan kekuatan dan kekuasaan budaya-budaya suku dipencilkan menjadi budaya cagar alam, budaya bangsa yang kalah. Kita dapat melihat bagaimana proses penarikan diri, assimilasi.atau pengingkaran terhadap kenyataan bekerja dalam budaya bangsa yang di kalahkan untuk survive dalam kekalahannya. Kekalahan berabad bukan tidak membentuk watak dan mentalitas. Orang kota banyak kali mentertawakan orang desa justru karena budayanya. Atau daerah satu menganggap janggal orang dari daerah lain karena kelainannya. Anggapan janggal adalah reaksi budaya tanpa disadari. Justru ketidak sadaran ini sesuai dengan peta budaya yang impresionistis, jangan sampai membikin kita menjadi kuda bertutup mata dan dikendalikan oleh kusir yang kita tidak kenal. Sebaliknya justru karena kesadaran itu kita tidak akan menolak semua budaya yang kalah. Bahwa budaya bangsa kalah itu telah membuktikan survive terhadap budaya Barat yang patut dicari kekuatan yang terkandung di dalamnya. Dari sejarah umat manusia kita ketahui ada banyak bangsa yang lenyap dari muka bumi. Dikalahkan dan dilindas oleh bangsa lain. Tapi dalam masa hidup kita, kita juga menyaksikan bahwa bangsa kita justru berkembang biak dalam kekalahannya terhadap Barat. Kekuatan-kekuatan ini juga harus di pelajari untuk membangun budaya Indonesia.Budaya Indonesia dimulai dengan kemenangan atas penjajahan Barat. Ini adalah patokan yang tidak perlu disurutkan. Dengan patokan itu saya pribadi yakin bahwa tidak ada hak pada kita untuk menjadi pesimis bagaimana pun banyak kekurangannya, karena itu tak lain dari pernyataan kekurangan kita sendiri. Jenuh pada kekurangan sendiri dan silau pada prestasi bangsa-bangsa lain, bila ini menjadi sikap budaya yang limbung, kosmopolitanisme yang tak berakar pada bumi kehidupan sendiri akan menjadi watak budaya Indonesia mendatang. Sedang budaya Indonesia itu sendiri sampai sekarang ini adalah semakna dengan budaya kota. pada gilirannya kota adalah medan perebutan pengaruh yang datang dari seluruh dunia. Sedang tingkat teknologi komunikasi dewasa ini telah membikin lenyapnya perbatasan-perbatasan nasional di seluruh muka bumi. Adalah tidak masuk akal menolak pengaruh dunia. Soalnya terletak pada kemampuan metabolisme kita, jangan laksana ayam mematok dan menelan butir jagung dan membuangnya masih dalam bentuk jagung itu juga. Budaya Indonesia adalah moderen, karena ia ada di tengah-tengah dunia moderen, dan untuk survive dalam menjawab tantangan-tantangan yang juga moderen, peka terhadap pergeseran nilai dan metabolika sehingga tidak lagi terdengar keluhan orang tua-tua bahwa masyarakat sedang sakit. Dalam sastra kita sudah mendengar itu melalui keluhan Ronggo Warsito tentang Amenangi Jaman Edan. Keluhan yang berasal dari sikap budaya yang menolak pergeseran nilai tidak sebagaimana adanya tetapi sebagaimana “mestinya” yang dikenal dan diharapkan, terlepas dari sangkan alias sejarah dan paran alias destinasi. Dengan masyarakat kita sendiri sebagai basis sosial, dengan kelemahan dan kekuatannya, kita membangun budaya Indonesia sebagai bangunan atas, yang moderen, yang membikin nasion Indonesia bisa survive dalam dunia moderen, dan lebih dari hanya survive. Yang moderen dalam dirinya mengandung kekuatan: lugas, ilmiah, melepaskan pikiran dengan koratif pengaruh Dongson, menghadapkan muka ke hari depan, bukan kekuburan dengan leher terpekosa dan menubruk segala apa yang di depannya.Pada suatu tertentu pernah diributkan adanya gap generasi baik di dunia internasional maupun di Indonesia sendiri. Kembali soal itu adalah produk angkatan tua yang kurang jeli dan tak mau menerima adanya pergeseran nilai. Dalam hal ini saya menyetujui saran Syaidina Ali untuk percaya pada generasi muda, bahwa generasi muda menghadapi problem-problemnya sendiri dan akan memecahkannya sendiri, dan dengan demikian membangun identitasnya sendiri, Identitasnya adalah juga budayanya. Hilangnya budaya nasion, hilangnya identitas nasion adalah hilangnya nasion itu. Dari wasiat lama dapat di ketahuai banyaknya suku atau bangsa yang hilang karena ditelan dan menjadi bangsa lain. Semua adalah proses historis yang wajarsebagai mana dalam hidup kita, kita melihat identitas kuak-kuak ditelan oleh kehendak untuk bersatu dan menjadi satu nasion. Apakah generasi muda berhasil membangun, mempertahankan dan mengembangkan identitasnya bukan generasi tua yang telah menjadi patriark, yang menjawabnya.Angkatan tua tidak perlu sentimentil bahwa angkatan sesudahnya tidak menjadi dirinya karena generasi muda dalam pertumbuhannya paling berhak untuk menjadi dirinya sendiri. Budaya Indonesia adalah moderen, dan yang moderen berarti juga demokratis. Sedang demokrasi di Barat yang menjadi persemaian individu kuat bukanlah hadiah gratis, dia hanyalah produk dari pergulatan sendiri. Dunia Barat dalam membangun, mempertahankan dan mengembangkan demokrasi bukan tanpa ujian. Perang Dunia II adalah ujian terberat dalam sejarahnya. Budaya Indonesia yang sejak lahirnya telah dibentuk untuk menumbangkan jajahan Barat dari pengalamannya sudah tahu belajar bahwa nilai-nilai harus dibeli, ditebus, bukan deretan hadiah. Sikap budaya kalah yang terlalu banyak mengharapkan belas kasihan orang lain tidak perlu diambil alih oleh budaya Indonesia. Dalam dunia moderen harapan akan belas kasihan sudah dikeluarkan dari buku sekali pun dalam bisnis bisa menjadi komoditi. Maka budaya Indonesia tidak bersikap mengharapkan belas kasihan.Budaya Indonesia dibicarakan di sini bukan suatu fiksi, selama ia setia pada sumbernya, tahu sangkannya, maka juga tahu parannya. Apakah itu ada dan bakal ada? Itulah tantangan.
3. KAUM INTELEKTUAL.
Apakah yang dimaksudkan dengan kaum intelektual bagi saya kurang jelas apakah menurut pengertian kamus ataukah menurut pendapat bebas dari setiap orang yang mempunyai kepentingan dengan kata tersebut. Apakah sarjana termasuk intelektual?. Apakah setiap orang diantara kita intelektual atau tidak? Apakah kata intelektual itu satu atribut dari sebagian kecil nasion yang merasa diri berpikir lebih dari pada bagian selebihnya? Kata Sahibul Hikayat yang dimaksudkan dengan kaum intelektual adalah kaum yang menempatkan nalar sebagai kemampuan pertama yang diutamakan. Yang melihat tujuan akhir upaya manusia dalam memahami kebenarannya dengan penalarannya. Stop, sampai di situ. Pada akhir Perang Dunia II ada yang menggugat: bila sampai pada suatu tanggung jawab terhadap diri sendiri dan lingkungannya, terutama pada umat manusia. Kemudian orang menamai kaum intelektual hanya sebagai sport, tanpa keterlibatan diri dengan penalarannya sendiri sebagai: intelektual blangko. Sehubungan dengan topik yang dikemukakan oleh senat Mahasiswa FIS-UI jelas bukan intelektual blangko yang dimaksudkannya, tetapi yang merupakan bagian integral dengan nasionnya sendiri, bagian bernalar nasionnya yang bukan hanya mendapatkan input dari nasionnya juga memberikan out-putnya. Tetapi dalam kehidupan Dunia Ketiga pada umumnya dan di Indonesia khususnya di mana semua nilai diawali, dibangun dan dikembangkan seirama dengan keperluan nasional faal kaum intelektual bukan sekedar mesin yang menari antara in-put dan out-put . Pada mereka di tuntut kejelian kepiawiannya untuk dapat melihat paran dan perkembangan nasional, yang berarti juga kemampuan untuk melihat hari depan. Dan hari depan hanya dapat digalang dengan perhitungan dan amal hari ini. Penalarannya menggunakan reflektor yang tertuju kedepan, bukan tertuju ke belakang sebagaimana dalam kebudayaan purba, kebudayaan animis, dinamis dan pemujaan leluhur, kebudayaan kuburan. Sebaliknya kaum intelektual bukan sekedar bagian bernalar dari nasionnya. Ia pun nurani nasionnya, karena bukan saja dalam dirinya terdapat gudang ilmu dan pengetahuan terutama pengalaman nasionnya, juga ia dengan isi gudangnya dapat memilih yang baik dan yang terbaik untuk dikembangkan, memiliki dasar dan alasan paling kuat untuk menjadi resolut dalam memutuskan ya atau tidak. Hinduisme telah membagi masyarakat dalam kasta-kasta, yang relevansinya masih terasa. Kaum intelektual berada dalam kasta Brahmana. Hanya bedanya kaum Brahmana moderen menempati kedudukan sebagai jembatan pada hari depan. Saya cenderung untuk menempatkan kaum intelektual Indonesia dan Dunia Ketiga dalam pengertian ini.
4. SIKAP DAN PERAN.
Bicara tentang sikap adalah bicara tentang tempat berdiri adalah juga bicara tentang jarak yang telah ditempuh. Tempat berdiri pada gilirannya hanyalah bagian dan medan yang terbatas. Dari tempat berdiri orang menghadapi jarak yang masih harus ditempuh. Sikap adalah faktor dalam yang akan menentukan bagaimana jarak di depan akan ditempuh. Akan dalam kamus politik diucapkan: bagaimana sebaiknya, karena itu soal operasional. Berdasarkan materi yang telah di kedepankan sikap yang sepatutnya diambil:
a. meninggalkan sama sekali budaya kuburan dan mengambil penalaran sebagai satu-satunya jalan membina hari depan, dan dengan demikian secara aktif membangun budaya nasional yang moderen.
b. tetap kritis terhadap potensi pengaruh budaya suku yang kalah dan mengajak kalah.
c. berlatih berani untuk mendapatkan keberanian intelektual karena tanpa keberanian intelektual, kaum intelektual sudah lumpuh sebelum memutuskan. Sejalan dengan lahirnya bangsa Indonesia hanya keberanian revolusioner, maka tradisi keberanian revolusioner juga merupakan unsur menentukan dalam kehidupan kaum intelektual Indonesia.
d. sebagai intelektual Indonesia tempatnya adalah pertama-tama sebagai manusia Indonesia, sebagaimana budaya Indonesia. Manusia budaya Indonesia berada dalam jajaran Dunia Ketiga sedang Dunia Ketiga ada karena diperhadapkan dengan Barat. Kaum intelektual Indonesia yang terlepas dari hubungan dengan Dunia Ketiga dan terlepas dari penghadapannya dengan Barat sebagai produk sejarah akan kehilangan sebagian dari kemampuan penalarannya yang obyektif, karena mereka tanpa sadarnya akan terlepas dari ikatan sejarah, ikatan pengalamannya sendiri.
e. Barat menjadi bengkak kuasa, bengkak kemajuan dan bengkak kemakmuran sehingga menjadi seperti sekarang ini dengan produk terbaiknya dalam bentuk demokrasi parlementer dan hak azasi adalah atas biaya seluruh Dunia Ketiga termasuk Indonesia.
Maka dari pengalaman sejarah ini kita punya hak menuntut dari Barat pertanggung jawaban moral dengan konsekwensinya yang wajar dan manusiawi. Kaum intelektual Indonesia karenanya diajak belajar untuk menghadapi Barat bukan sebagai superior tetapi sebagai lembaga yang dalam beberapa abad belakangan ini menerima piutang paksa dari Dunia Ketiga. kaum intelektual Indonesia, sebagai manusia budaya Indonesia sudah sepatutnya mempunyai keberanian intelektual dan keberanian moral terhadap Barat untuk menuntut dari Barat segala yang terbaik dan berguna, teknologi dan science, bukan sebagai hadiah kemanusian seperti halnya dengan Van Deventer dengan politik etiknya, tetapi semata-mata karena pertanggungan jawaban historis. Atas dasar ini Barat sudah sepatutnya melepaskan pandangan menara gadingnya yang menganggap haknya bahwa Dunia Ketiga harus menjadi pengikutnya. Sebaiknya Barat merobohkan menara gadingnya dan menggantikannya dengan pengertian yang lebih manusiawi dalam membantu Dunia Ketiga untuk menjadi dirinya sendiri. Dengan robohnya menara gading itu pula bisa di harapkan Barat melepaskan pandangan-Baratnya dan standar-Baratnya dalam menilai Dunia Ketiga dengan perkembangannya.
f. Kaum intelektual Indonesia dalam berlatih memperkuat keberanian intelektual dan keberanian moral juga di tuntut untuk selalu membikin perhitungan dengan masa lalunya sebagai bangsa, dengan kebudayaan purbanya, dengan budaya sukunya yang kalah dan di kalahkan, dengan budaya Indonesia yang baru seumur jagung, terutama juga dengan budaya Barat. Prakteknya terus menerus yang menjamin lahirnya kedibyaan (genialitas) sehingga keintelektualan bukan tinggal jadi atribut sosial, tapi faaliah, fungsional, dan membikinnya patut jadi penalaran dan nurani nasion.
g. Akibat dari sikap yang diambil terhadap Barat membikin kaum intelektual Indonesia tidak bisa lain dari pada menata kembali mengorganisasi secara sadar perasaan pikirannya dalam membangun lebih lanjut budaya Indonesia dalam segala aspeknya justru di sini peran yang menentukan kaum intelektual Indonesia.
h. Kekuatan peradaban Barat yang mampu berkembang dan bertahan berabad dalam sejarah umat manusia sudah sepatutnya dipelajari secara kritis. Pemberiannya pada umat manusia tak terhingga banyaknya. Sebaliknya kerusakan yang diakibatkannya pada perang dunia ke III juga tak terhingga banyaknya. kita tahu bahwa kekuatannya terletak pada kekuatanya individu Barat, sedang pada gilirannya individu Barat diasuh oleh demokrasinya dan diayomi oleh hak-hak asasinya yaitu individu yang oleh Chairil Anwar dinyanyikan sebagai aku ….. yang dari kumpulannya terbuang karena menolak pembebekan. Dari pelajaran Barat Indonesia juga bisa kuat dengan individu , manusia Indonesia yang kuat , sehingga dalam konteks pembicaraan kita menjadilah aku ….. yang dengan kumpulannya berpadu, yang untuk itu telah disediakan pegangan dan medan oleh Pancasila.
i. Terhadap dunia ke III sebagai jajaran sendiri, sebagai perasaan dalam sejarah, sebagai rekan seiring dalam memecahkan masalah-masalah yang diwariskan oleh kesamaan historis, meninggalkan sikap tak acuhlah yang terkunci, sedang pandangan bahwa diri lebih maju dari yang lain adalah suatu kemewahan. Kesepakatan antara Dunia ke III akan mempercepat lahirnya kesatuan bahasa. Pengalaman berabad dalam praktek devide et impera Barat bukan tidak menjadi watak peradaban dalam menghadapi dunia non-Barat. Karena itu semangat dunia ke III, atau yang pernah disebut semangat Asia-Afrika, kemudian menjadi semangat Asia-Afrika-Amerika Latin bukan semestinya menjadi semakin pudar untuk kerugian dunia Ketiga. Sukarno telah melampaui masanya waktu ia—bukan sekedar gagasan--mencoba mewujudkan Ganefo dan Conefo, tetapi dalam situasi dunia sekarang ini dengan masalah Timur-Barat, Utara-Selatan, dunia Ketiga-dunia selebihnya yang semakin akut dengan semakin mengecilnya dunia kita, keseiaan Dunia Ketiga jelas merupakan kebutuhan . Sekalipun, ya, sekalipun, perkembangan Dunia Ketiga dalam dasawarsa terakhir memerlukan batasan dan rumusan baru.
j. Peran kaum intelektual Indonesia sudah jelas. Gagasan dan perjuangan untuk melahirkan bangsa Indonesia diawali oleh mereka dengan kesadaran akan komitmennya dengan bangsanya, dengan kejelian dan kepiawiannya tentang peran bangsanya. Gagasan dan praktek terus-menerus melahirkan Indonesia merdeka. Dengan praktek intelektual keintelektualan menjadi kuat, dengan praktek otot, otot menjadi kuat. Seindah-indah gagasan yang tidak dicoba-wujudkan oleh otot dan dengan otot akan berubah menjadi roh-roh yang gentayangan--roh jahat yang menjadikan orang jadi munafik.
k. Kaum intelektual, sebagai nalar dan nurani nasion adalah berkasta Brahmana dalam pengertian moderen. Dan moderen selalu senyawa dengan demokratis, dengan demikian kehilangan kedudukannya dari hierarki Hindu. Faal bernalar, berpikir dengan inteleknya secara alami, tidak beda dari fungsi-fungsi kasta lain dalam masyarakatnya, yakni melakukan proses biokimia. Tetapi proses biokimia yang tahu paran. Untuk bisa tahu tentang paran sebelumnya orang dituntut tahu tersangkannya, tentang asalnya, tentang historisnya.
Saya telah bicara.
Jakarta, 23 September 1981













0 comments: