Mengejar Angan-Angan


Sinar mentari menyinari pagi, tetesan embun tak kunjung usai membuat dingin kota ini. Nyanyian burung dan hembusan angin dari ujung tenggara selalu menemani aktifitas penduduk kota. Wajah-wajah ceria mewarnai hari pertama mereka masuk sekolah.
Ini adalah tahun ajaran baru. Segalanya serba baru; teman baru, kelas baru, buku baru, baju baru, dan sekolah baru tentunya. Begitu juga di sekolahku, teman-teman bersenda gurau melepas rindu menikmati kelas baru dan sekolah baru siswa kelas satu. Semua memasang wajah gembira saat memasuki kelas yang serba baru. Namun pagi itu aku tak merasakan sedikitpun kebahagiaan. Selembar kertas putih yang ditempel di depan kelas adalah penyebabnya. Di sana tertulis bahwa aku tidak diterima di kelas IPA tapi di kelas Bahasa. Sejak saat itulah rasa kecewa mulai muncul dari dalam hatiku, karena sebelumnya aku yakin akan lolos memasuki jurusan IPA.
Walau sekarang aku telah duduk di kelas dua, tapi semua itu tidak dapat menghapus seluruh kekecewaanku waktu di kelas satu dulu. Entah kenapa semua itu bisa terjadi, padahal nilaiku tidak begitu jelek. Sungguh memalukan bagiku. Padahal orang tuaku sudah capek-capek cari uang di bawah teriknya sang surya, bahkan sebagian sawah warisan kakek lenyap terjual hanya untuk biaya sekolahku.
Yang bikin aku tidak habis pikir, banyak temanku di kelas satu yang rangkingnya masih di bawahku, tetapi justru dapat masuk Jurusan IPA. Contohnya saja si Fauzi, nilai matematikanya saja 5,5. Masak sich pantas masuk jurusan IPA. Keputusan itu jelas tidak adil bagiku.
Karena merasa ada yang ndak beres dalam penentuan jurusan tahun ini, maka mumpung hari ini belum aktif, aku menuju ruang BP guna meminta keterangan soal itu. Alasan apakah yang membuatku duduk di kelas Bahasa.
”Assalamu’alaikum,” ucapku di depan pintu
”Wa’alaikum salam,” jawab Pak Basyir sambil mempersilahkan aku masuk.
Setelah berbasa-basi sejeknak, aku lalu menanyakan masalah tadi.
”Maaf pak ....! Kalo boleh tahu, kenapa aku ditaruh di jurusan Bahasa?”
”Memang kenapa ?” tanya Pak Basyir.
”Begini pak. Teman-temanku yang rangkingnya rendah dapat masuk di jurusan IPA, sedangkan aku sendiri hanya duduk di Jurusan Bahasa!” jawabku tegas sambil menyerahkan rapotku pada beliau.
Setelah berpikir sejenak, Pak Basyir berkata.
”Aku belum bisa memutuskan masalahmu hari ini, karena harus meminta pertimbangan Kepala Sekolah dan seluruh guru IPA.”
”Baik Pak. Terima kasih,” jawabku singkat. ”Assalamu’alaikum,” ucapku sambil meninggalkan ruang BP.
”Wa’alaikum salam ,” jawab Pak Basyir.

Hari Kedua
Pagi itu aku terpaksa harus duduk di kelas bahasa lagi. Soalnya, keputusan yang dijanjikan Pak Basyir belum juga muncul. Mungkin sudah nasibku menjadi ahli bahasa, pikirku. Aku tak bisa konsentrasi belajar. Khayalanku terus mengalir, lamunan tak kunjung berhenti memikirkan masalah itu.
Tuut......tuut...! itu tandanya siswa harus masuk kelas untuk memulai pelajaran. Namun sebelumnya semua siswa wajib membaca Al-Qur’an di kelas masing-masing selama 15 menit. Begitu selesai membaca Al Qur’an, kulihat jadwal pelajaran hari ini, aduh... ternyata jam ke enam ada pelajaran Bahasa Inggris. Padahal pelajaran itu merupakan salah satu pelajaran yang aku benci.
xxx
Kami sekelas sudah menunggu lama kedatangan pak guru, namun hampir dua jam beliau belum juga muncul. Kelas lainpun kelihatannya masih banyak yang kosong, kecuali kelas IPA 1 dan IPS 2. Hari kedua ini kegiatan belajar-mengajar memang belum berjalan seratus persen, mungkin kebanyakan guru masih sibuk ngurusin LKS yang baru. Jadi mereka tidak sempat masuk kelas.
Bagiku, kosong tidak masalah, asal gurunya benar-benar sibuk. Kalau mereka tidak mengajar karena malas, itu sangat merugikan siswa. Lebih-lebih ada yang tidak bertanggung jawab, misalnya saja guru yang suka memberikan tugas lalu ditinggal ngobrol di kantor. Sungguh memalukan kalau hal itu benar-benar terjadi. Apa kata dunia nanti.
xxx
Pagi itu banyak jam pelajaran kosong di kelasku; hanya pelajaran Bahasa Inggris saja yang diajarkan. Itu saja karena gurunya menjadi wali kelasku, dan itupun  belum menambah materi melainkan hanya perkenalan dan memilih pengurus kelas yang baru. Waktu pulang sekolah juga agak awal, yakni setelah salat dzuhur. Biasanya setelah salat dzuhur masih tersisa dua jam pelajaran. Hari ini akan ada rapat guru pada pukul setengah satu sehingga para siswa dipulangkan agak awal.

Hari ketiga
Pagi itu aku harus masuk kelas Bahasa lagi. Tetapi hatiku masih belum mantap. Pikiranku masih belum bisa konsentarasi menangkap pelajaran di kelas Bahasa. Orang tuaku memang tidak mewajikan aku masuk kelas IPA. Menurutnya, belajar di manapun sama saja, tergantung pada semangat kita. Tapi aku berfikir, belajar di Jurusan Bahasa tidak akan mendapatkan pelajaran IPA. Tapi belajar di kelas IPA secara otomatis akan mendapatkan pelajaran Bahasa. Selain itu, di Jurusan IPA akan mempermudah kita mendapatkan pekerjaan, karena lulusan IPA mempunyai nilai plus dibanding jurusan lain. Apalagi kalau ingin melanjutkan ke perguruan tinggi; kita lebih leluasa memilih jurusan.
”Angkota...! Angkota...!” Mendengar teriakan pak kondektur aku terbangun dari lamunan. Tak terasa bus sudah sampai di pangkalan angkutan kota (angkota). Begitu turun aku langsung masuk angkota line B.
Aku turun di Jl MT Hariyono, tepat di depan lampu merah, lalu berjalan kaki kira-kira 300an meter ke sekolahku. Begitu menginjak gerbang sekolah, kulihat suasana masih sepi; hanya ada puluhan siswa yang datang. Padahal siswanya berjumlah ribuan.
Begitu sampai di depan masjid sekolah, aku teringat bahwa tadi aku bersentuhan kulit dengan wanita lain saat berdesakan di bus. Kata pak ustadz, bersentuhan kulit dengan lawan jenis yang bukan mahrom, bisa membatalkan wudhu. Berarti tidak sah apabila kita melakukan salat atau membawa mushaf. Padahal nanti aku harus membaca Al-Quran. Karena itu aku langsung menuju kamar mandi dekat masjid untuk mengambil air wudhu’, setelah itu kulangkahkan kakiku menuju kelas baruku yang tidak aku inginkan itu. Di dalam kelas hanya ada satu orang Yulianto. Teman-temanku rata-rata berasal dari luar kota, jadi maklumlah kalau datangnya agak siang.
Namun seiring berputarnya waktu, satu persatu bangku kelas mulai terisi. Tepat pukul tujuh bel berbunyi, dan itu pertanda bahwa setiap siswa wajib bersiap-siap untuk membaca Al-Quran. Waktu 15 menit pun hampir berakhir, dan bacaan ilahi robbi harus segera diakhiri.
Tak lama berselang datanglah Bu Mahfudhoh sambil mengucapkan salam:
”Assalamu’alaikum …!”
”Wa’alaikum salam…!” jawab kami serempak.
Bu Mahfudhoh adalah salah satu guru yang banyak disukai anak-didiknya. Selain cantik, beliau juga mahir berbahasa Arab serta cara menyampaikan materi sangat mudah difahami. Beliau juga pengasuh pondok pesantren atau dapat dikatakan Bu Nyai, sehingga tanpa perkenalan pun beliau langsung memulai pelajaran Bahasa Arabnya.
Pelajaran hari ini adalah tasrif istilahi, sebuah morfologi ilmu Bahasa Arab. Melihat judulnya saja aku sudah bosen. Sebab setiap tiap malam aku sudah mempelajarinya di pondok. Masak siang-malam harus belajar seperti itu?
Sebenarnya belajar itu tidak boleh bosen walaupun telah mendengar seribu kali. Itu pesan Syeikh Zarbuji dalam kitab Ta’limul Muta’lim. Akan tetapi, entah mengapa perasaan itu melekat pada diriku. Sehingga kayalanku ingin masuk Jurusan IPA terngiang kembali. Saat itu juga pikiranku kacau-balau. Meski Ibu Mahfudhoh sudah berbicara ngalor-ngidul, akan tetapi aku tetap tidak menghiraukan.
Di tengah pelajaran tiba-tiba Pak Basyir datang dan menyuruhku datang ke ruang BP. Setelah minta izin kepada Ibu Mahfudhoh, aku meningalkan kelas menuju Ruang BP. Begitu sampai di ruang BP, Pak Basyir langsung berkata padaku: ”Mulai detik ini kamu secara resmi dipindahkan ke kelas IPA, menggantikan si Fauzi. Tapi satu pesanku, kamu harus rajin belajar. Karena teman-temanmu di kelas IPA nilainya di atas rata-rata”
Aku benar-benar gembira menerima keputusan ini. Keinginan dan misiku telah tercapai. Tapi satu hal yang menggangu pikiranku, yaitu si Fauzi dipindah ke kelas Bahasa gara-gara aku. Padahal dia juga ingin masuk kelas IPA. Tapi kenyataannya memang harus begitu, karena rangkingnya masih berada di bawahku.
xxx
Rasa syukur kepada ilahi robbi menemani perjalananku pindah dari kelas Bahasa menuju kelas IPA. Setapak demi setapak langkah kakiku mengantarku sampai di kelas IPA. Setibanya di sana aku disambut bahagia oleh para penghuni kelas, terutama Doni, Ikhwan, dan Benu. Mereka bertiga merupakan teman akrabku dulu di kelas satu. Kini kami dapat bersatu kembali. Sungguh luar biasa. Keadilan Tuhan membuat hambaNya bahagia.
Di ruang kelas itu hanya ada satu bangku kosong. Terpaksa aku harus duduk di situ. Ternyata di dekat bangku itu ada Lukman, teman yang pertama aku kenal saat masuk di sekolah ini. Tapi dia pernah pinjam bajuku walau baru kenal 2 jam saja. Kini kenang-kenangan itu muncul tiba-tiba saat aku duduk disampingnya. Ternyata pindah ke kelas IPA tidak membuat hatiku tenang, karena teman sebangkuku tidak cocok denganku. Berarti selama ini aku hanya hidup dalam angan-angan.
                                                           
Mujib Kodar Almadyuni, mahasiswa Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng semester II, santri asal Madiun.

0 comments: