Tradisi Menulis dan Gerak Peradaban


Adakah hubungan antara menulis dan peradaban? Ada! Bahkan sangat erat. Sejarah membuktikan, sebuah tulisan bisa menjadi agen perubahan. Ia bisa mengubah peta dunia dan memutar jalannya sejarah!
Manusia memang sangat dipengaruhi oleh kata-kata. Entah dengan membaca atau mendengar. Kekuatan bacaan sangat ampuh karena bisa dipelajari berulang-ulang, walau dalam rentang waktu berabad-abad lamanya.
Perubahan-perubahan besar dalam sejarah dunia banyak digerakkan oleh kekuatan tulisan. Revolusi Perancis bergerak di bawah ide tertulis J.J. Rousseu dan Montesquieu. Revolusi Amerika dibimbing oleh Declaration of Independence yang sampai kini dijadikan konstitusi Amerika. Perjuangan kaum komunis di seluruh dunia dipimpin oleh Comunistisch Manifest dan Das Kapital karya Karl Marx dan Engels. Nazi Jerman bergerak di bawah petunjuk buku Mein Kampf buah tangan Adolf Hitler. Revolusi Tiongkok berpedoman kepada “San Min Chu I” karangan Sun Yat Sen.
Di lapangan ilmu dan filsafat, kita mengenal Aristoteles, Plato, Phytagoras, Archimedes dll, yang ajaran-ajaran dan ide-idenya tertulis dengan rapi sehingga mampu mempengaruhi dunia. Istilah “Republik” dan “Demokrasi”, misalnya, diambil dari judul buku karya Aristoteles. Bayangkan, jika kedua buku tersebut tidak tertulis, maka kita tidak akan mengenal istilah itu.
Di dunia Islam, kita sudah akrab dengan nama-nama semacam al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, dll., yang kitab-kitabnya hingga detik ini masih bisa kita nikmati. Ini tak lain karena pemikiran-pemikiran mereka tertulis.
Dalam lapangan fiqh kita mengenal empat madzhab, yang tidak mungkin dapat kita pelajari metodologinya jika tidak tertulis. Abu Hanifah menuliskan ajaran fiqhnya melalui al-Fiqh al-Akbar dan al-Fiqh al-Asghar; As-Syafi'i mengemas prinsip Ushul Fiqhnya melalui ar-Risalah dan ajaran Fiqhnya melalui al-Umm (sebenarnya kitab-kitab as-Syafi’i berjumlah 113); Imam Malik melestarikan madzhabnya dengan kitab al-Muwatho' dan al-Mudawwanah al-Kubra; Ahmad ibn Hanbal menulis kitab An Nasikh wal Mansukh, Jawab al-Qur’an, At-Tarikh, Al Wara’, serta Musnad Ahmad bin Hanbal.
Pada periode-periode berikutnya, para ash-hab (generasi penerus madzhab) mengembangkan madzhabnya secara lebih luas. Mereka menulis ratusan–bahkan ribuan–judul kitab yang tebal-tebal, dengan analisa yang bertumpuk-tumpuk dan argumen yang berlipat-lipat. Dalam madzhab Syafi’i, misalnya, Jalaluddin as-Suyuthi menulis 400an judul kitab. Sedangakn an-Nawawi menulis 50an kitab, seperti Riyadhush Shalihin, Minhajuth Thalibin, Raudhatuth Thalibin, Al-Majmu’, At-Tibyan, Bustanul Arifin, Al-Adzkar, dll.
Dalam madzhab Maliki ada Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtashid karya Ibnu Rusyd, Matan ar Risalah fi al Fiqh al Maliki karya Abu Muhammad Abdullah bin Zaid, Ashl al Madarik Syarh Irsyad al Masalik fi Fiqh al Imam Malik karangan Shihabuddin al Baghdadi, dan Bulghah as Salik li Aqrab al Masalik buah tangan Syeikh Ahmad as-Sawi.
Sungguh tidak terbayangkan, jika mereka tidak menuliskan ajaran-ajarannya, maka kita akan buta tentang fiqh.
Gerakan kebangkitan Islam abad ke 20 pun banyak dipengaruhi tulisan-tulisan Ibnu Taimiyah, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Amir Syakib Arsalan, Abdurahman Al-Kawakibi, Mohammad Iqbal, dll. Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, mislanya, menebarkan ide-idenya melalui majalah al-Urwatul-Wutsqa, sedangkan Rasyid Ridla dengan majalah al-Manar.

Menulis dan Kemerdekaan RI
Jika kita mencermati sejarah, maka akan kita dapati fakta bahwa kemerdekaan Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Bung Karno, Hatta, Syahrir, dan Tan Malaka. Selain berjuang secara fisik atau lewat mimbar-mimbar pidato, mereka juga berjuang melalui tulisan. Mislanya ”Mencapai Indonesia Merdeka” milik Bung Karno, ”Ke arah Indonesia Merdeka” karya Bung Hatta, tulisan-tulisan Syahrir dalam Daulat Rakyat tentang taktik dan straegi perjuangan, buku-buku Tan Malaka yang diselundupkan dari luar negeri, dan lain-lain.
Pasca kemerdekaanpun, perjuangan melalui tulisan terus bergelora, termasuk oleh orang-orang pesantren. Hadratusy Syeikh KH Hasyim Asy’ari, menjadi pengasuh rubrik tanya jawab di Majalah Nahdlatoel Oelama, disamping aktif menulis kitab. KH A. Wahid Hasyim (1914-1953) juga menyebarkan ide-idenya melalui media massa, bahkan pernah menjadi pemimpin redaksi Suluh NU.
KH Saifuddin Zuhri (1919-1986), mantan Menteri Agama produk pesantren yang juga besan Kiai Wahid, merupakan Pemimpin Redaksi surat kabar Duta Masyarakat. Beliau juga menjadi koresponden surat kabar Pemandangan dan Darmokondo, disamping membantu kantor berita Antara, Berita Nahdlatoel Oelama, Soeloeh Nahdlatoel Oelama, Soeara Ansor, Penggugah, dan lain-lain.
Sejumlah lembaga Islam pun gencar berdakwah melalui media cetak, elektronik, maupun digital. NU memiliki NU Online dan Majalah Aula, Muhammadiyah meluncurkan Suara Muhammadiyah, ICMI dan sejumlah ormas Islam lainnya menerbitkan Harian Republika, Majalah Hidayah, Suara Hidayatullah, Alkisah, Sabili, Cahaya Sufi, dsb.
Karena menyadari pentingnya tulisan, maka sejumlah pesantrenpun menerbitkan media. Pesantren Tebuireng, misalnya, sudah memiliki website sendiri (tebuireng.net), disamping menerbitkan Majalah Tebuireng. Pesantren Lirboyo Kediri juga mengemas website dan menerbitkan Majalah Misykat. Pesantren Sidogiri Pasuruan menyebarkan Buletin Sidogiri dan al-Ijtihad. Pondok Langitan menerbitkan Kaki Langit, Pesantren Gontor Ponorogo meluncurkan Majalah Gontor, dll.
Nah, ketika medianya sudah ada, lalu kapan kita ikut berkiprah di dalamnya? (Sipe)

0 comments: