PENDIDIKAN HARUS MAHAL (Cara yang Tepat untuk Meningkatkan Kualitas Bangsa)
Sebelumnya, penulis mohon maaf karena telah membuat pembaca yang budiman agak
kaget melihat judul di atas. Judul di atas sengaja penulis ambil karena memang
tidak ada kalimat yang pas untuk mengomentari pendidikan kita (baca: pendidikan
Indonesia). Yang kedua, judul di atas diambil supaya bisa menarik perhatian
pembaca sekalian agar memperhatikan tulisan ini --kayaknya agak berhasil--
dengan maksud agar para orang tua di rumah, bapak-ibu guru di sekolah, dan para
pengelola pendidikan serta masyarakat Indonesia lebih mengernyitkan dahi
melihat fenomena pendidikan kita.
Banyak di antara kita yang memandang pendidikan sebagai hal yang kedua di
dalam kehidupan ini. Pikiran kita sering terbawa dan terpengaruh oleh pikiran
kaum urban yang terus menggerogoti otak masyarakat Indonesia. Di antaranya
banyak yang percaya (baca: yakin) bahwa kesuksesan hidup ini ditentukan oleh
harta dan tahta (kedudukan). Kalau tidak kaya tidak akan makan, kalau tidak
punya kedudukan tidak akan terhormat. Salah satu contoh kecil, banyak para orang
tua yang bertanya kepada anak-anak mereka kelak mau jadi apa.
Pertanyaan tersebut boleh dan sah-sah saja bahkan dianjurkan untuk
memotivasi anak dengan cita-cita yang positif. Namun pertanyaan tersebut tidak
boleh berhenti sampai di situ saja, karena hal tersebut akan menyebabkan mereka
terpaku dengan angan-angan mereka yang akhirnya berakibat munculnya generasi
yang tulul amal (panjang angan-angan). Kalau angan-angan tersebut tidak
terpenuhi bisa-bisa mereka akan stres. Pertanyaan tersebut harus diikuti dengan
pertanyaan-pertanyaan lanjutan. Misalnya: ”Kalau ingin jadi polisi harus pintar
atau bodoh? Kalau ingin pintar harus rajin belajar atau tidak? Sekolahnya di mana?
Yang bagaimana? Atau beberapa contoh pertanyaan lainnya.
Meningkatkan
Pendidikan Bangsa dengan Standar Pendidikan
Upaya peningkatan kualitas pendidikan dari tahun ke tahun selalu menjadi
program pemerintah. Salah satunya dengan ditetapkannya UU. No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan dijelaskan lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Kualitas
pendidikan ditentukan oleh penyempurnaan integral dari seluruh komponen
pendidikan seperti kualitas guru, penyebaran guru yang merata, kurikulum,
sarana dan prasarana yang memadai, suasana PBM yang kondusif, dan kualitas guru
yang meningkat dan didukung oleh kebijakan pemerintah.
Keinginan dan
kebutuhan masyarakat akan pendidikan yang bermutu semakin lama semakin
meningkat seiring dengan kesadaran akan pembangunan yang tidak pernah berhenti.
Hal ini disadari oleh pemerintah untuk terus membenahi sistem pendidikan
bangsa. Munculnya konsep Sekolah Standar Nasional
(SSN) merupakan salah satu tuntutan pasar yang berkembang. Apalagi, pasal 35 UU
Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan kita memiliki
Standar Nasional Pendidikan (SNP). SNP mencakup standar isi, proses, kompetensi
lulusan, tenaga kependidikan, sarana-prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan
penilaian pendidikan (PP. 19/2005).
Menurut
Tilaar (2006), Pendidikan harus punya standar. Kenapa? Karena standarisasi
pendidikan nasional adalah sebuah kebutuhan dan tuntutan, baik tuntutan
politik, tuntutan globalisasi, dan tuntutan dari kemajuan (progress).
Namun harus diingat, bahwa standar tersebut bukanlah hal yang kaku atau hanya
menjadi sertifikat yang bisa berpuas dan berbangga diri secara formalitas, tetapi
standar yang harus dipenuhi dan diupayakan untuk terus-menerus ditingkatkan.
SSN
diharapkan berfungsi sebagai patok duga (bench mark) bagi sekolah dalam
mengembangkan diri menuju ke layanan pendidikan prima.
Langkah
Depdiknas untuk meningkatkan mutu pendidikan perlu didukung sekolah dan para stakeholdernya,
yaitu siswa, orang tua siswa, pengguna lulusan, dan kelompok masyarakat lain.
Selama ini apabila membicarakan masalah mutu SDM yang rendah, institusi
pendidikan sebagai salah satu yang dipermasalahkan. Hasil survei lembaga
konsultan dari Hong Kong, The Political and Economic Risk Consultancy (PERC)
menyimpulkan, SDM berkualitas rendah karena mutu sistem pendidikan yang rendah.
Oleh
karena itu, sudah saatnya kita semua perlu melihat dengan lebih seksama kepada
pendidikan anak-anak kita, terutama kepada lembaga pendidikan di mana anak kita
belajar. Saatnya kita perlu bertanya: ”Kenapa anak kita lebih rajin jika
belajar mata pelajaran tertentu dan malas jika belajar pelajaran yang lain?
Kenapa anak kita semangat berangkat sekolah pada hari dan waktu tertentu?
Kenapa antara sekolah A dan sekolah B kompetensi lulusannya tidak sama? Kenapa
anak kita tidak pernah memenangkan perlombaan ilmiah mewakili sekolahnya yang bonafit
dan SPP-nya mahal? Sedangkan anak tetangga sering mendapatkan penghargaan dalam
lomba yang sama mewakili sekolahnya yang SPP-nya jauh lebih murah?
Pertanyaan-pertanyaan
di atas harusnya menjadi momok bagi orang tua demi pendidikan anak mereka.
Namun sebenarnya pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa diwakili dengan satu
pertanyan: Bagaimana memilih sekolah yang baik untuk anak-anak kita?
Carilah
sekolah yang Mahal
Banyak kiat yang bisa dilakukan para orang tua untuk mendapatkan
pendididkan yang bagus buat anak-anak mereka. Banyak cara yang bisa dilakukan
untuk meningkatkan pendidikan bangsa. Namun di forum yang terbatas ini penulis
tidak akan mengulasnya terlalu global. Penulis hanya mensitir dari buah pikiran
pemerintah tentang standarisasi pendidikan dan mengemasnya dengan lebih praktis
agar bisa langsung diketahui oleh para orang tua, guru, dan pimpinan sekolah serta
masyarakat. Untuk meningkatkan pendidikan bangsa harus dimulai dari yang kecil
yang bisa dilakukan yaitu dengan me-mahal-kan pendidikan di
sekolah.
1. Guru harus Mahal
Guru menempati posisi pertama karena guru menjadi ujung tombak berhasilnya
pendidikan. Oleh karena itu guru dituntut untuk :
- Efektif dan Profesional, keberadaan seorang guru di kelas atau di suatu sekolah betul-betul menjadi suatu yang patut diperhitungkan. Guru dituntut untuk betul-betul siap menjadi seorang pendidik. Dengan perencanaan, persiapan dan bahan ajar serta evaluasi yang siap disampaikan kepada anak didik. Jangan sampai sekolah harus dibuat kecewa atau menyesal karena telah mengangkat dan menggaji tenaga pengajar yang wujuduhu ka ’adamihi (keberadaannya sama dengan ketiadaannya).
- Cerdas dan Kreatif, seorang guru ketika berada di kelas seperti seorang pesulap dihadapan penonton. Ia bisa menghipnotis anak didiknya sehingga si anak didik suka dan terbawa kepada pelajaran yang disampaikan. Guru yang diharapkan keberadaannya di kelas dan disesali apabila berhalangan hadir. Bukan sebaliknnya, guru yang disesali keberadaannya dan disenangi apabila absen. Oleh karena itu guru harus inovatif, tahu dan peka kapan anak didik semangat ataupun bosan. Guru dituntut untuk terus belajar dan mengetahui model-model pembelajaran yang bisa meningkatkan semangat belajar anak.
- Dedikatif dan Konstruktif, guru adalah sosok yang bisa digugu lan ditiru, bukan guru yang diguyu lan ditinggal turu. Guru menghadapi anak didik laksana orang tua menghadapi anaknya sendiri. Guru harus berusaha sekuat tenaga untuk memberikan yang terbaik untuk anak didiknya. Guru tidak boleh sekali-kali meng-kambinghitam- anak didik karena rendahnya kualitas pembelajaran. Para guru harus menghayati ungkapan yang dikatakan John Dewey: ”Tidak ada anak didik yang tidak bisa dididik, yang ada adalah pendidik yang tidak bisa mendidik”.
2.
Kepala Sekolah harus Mahal
Kepala sekolah mempunyai sumbangsih yang sangat besar atas keunggulan suatu
sekolah. Tiddak pernah ada ceritanya sekolah yang bagus dan berkualitas, memiliki
kepala sekolah yang bermutu rendah. Sekolah yang bermutu tinggi pastilah
memiliki kepala sekolah yang juga bermutu tinggi. Oleh karena itu untuk memilih
sekolah yyang bagus, lihatlah terlebih dahulu, apakah sekolah tersebut dipimpin
oleh seorang kepala sekolah yang hebat.
Ciri-ciri kepala sekolah yang bermutu:
a.
Organisator bukan kompor, kepala sekolah harus menguasai tekhnik-tekhnik leadhersip
(kepemimpinan), management, staffing (pengangkatan anak buah)
dengan baik dan benar selain memiliki kepribadian yang bagus, disiplin, berwibawa,
dan dedikatif. Sebab kepala sekolah menjadi top figur yang harus ideal bagi
guru, pegawai, dan siswa. Bukan sosok yang bisa mengatur orang lain tapi ia
sendiri melanggar atas aturan yang dibuat oleh dirinya sendiri.
b.
Motivator bukan provokator, kepala sekolah harus bisa memberikan motivasi terhadap lingkungan sekolah
dengan mengadakan pendekatan terhadap perbaikan pengajaran dengan empat aspek:
disiplin, prestasi, sikap, dan kepribadian. Sehingga semua komponen sekolah
ikut proaktif membangun sekolah. Jangan menjadi kepala sekolah yang menyiram
air dalam kobaran api.
c.
Supervisor bukan komentator, melakukan pemantauan dan evaluasi secara kontinyu. Menjadi pimpinan yang
selalu mengawal dan mendampingi efektifitas sekolah, bukan pimpinan yang hanya
bisa menilai dan menyalahkan orang lain. Sebagaimana ungkapan John Dewey: ”Tidak
ada guru yang tidak bisa mendidik, yang ada adalah kepala sekolah yang membuat
guru tidak bisa mendidik”.
3.
Sarana Pendidikan harus Mahal
Sarana penddidikaan adalah media belajar yang bisa menunjang terhadap
pembelajaran sesuai dengan fungsinya.
Keberadaan sarana belajar di sekolah harus:
a.
Lengkap sesuai dengan kebutuhan, lengkap berarti mencukupi sebagai sarana belajar,
berfungi dengan baik sesuai dengan kebutuhan pendidikan di sekolah dan tidak
harus mahal.
b.
Tepat guna sesuai kemampuan, tepat guna berarti sarana yang ada betul-betul berfungsi sebagai sarana
belajar, jangan sampai keberadaan sarana memberatkan terhadap efektifitas
belajar yang lain, jika tidak mampu mendapatkan sarana belajar yang lengkap
bisa mencari atau menggunakan sarana belajar alternatif yang mudah, murah dan
terjangkau.
4.
Biaya Pendidikan harus Mahal
Yang dimaksud dengan sumbangan pendidikan harus mahal bukan berarti kita
harus menaikkan uang Syahriyah bulanan dan menekan para oranng tua untuk membayarnya.
Namun kita harus memastikan efektifitas dan efisiensitas uang pendidikan yang
dibayarkan oleh oraang tua siswa tersebut. Uang bulanan harus tepat sasaran
kepada peningkatan kualitas belajar mengajar di sekolah. Yang dimaksud biaya
yang mahal disini terletak faktor
kualitas pendidikan dan faktor manusia yang menjalankan pendidikan di dalamnya.
Dengan gaji yang tidak banyak itu kepala sekolah, para guru, pegawai sekolah
dan siswa dengan semangat terus menerus melaksanakan belajar mengajar demi
terwujuddnya pendidikan yang berkualitas. Hal itu menjadi sesuatu yang sangat
mahal.
5.
Sumbangan Orang Tua dan Masyarakat harus Mahal
Selain faktor-faktor dari dalam institusi sekolah, yang tidak kalah penting
adalah faktor dari luar sekolah, yaitu dukungan dari oruang tua siswa dan
dukungan dari masyarakat. Karena tanpa adanya kepercayaan dan dukungan penuh
dari mereka, sebesar apapun sekolahnya, selengkap apapun fasilitas sarana
belajarnnya hal itu akan menjadi sia-sia.
Pendidikan
memang harus mahal
Para orang tua dihimbau agar mempunyai perhatian seimbang terhadap konsumsi
perut (pangan) anak-anak mereka dan konsumsi untuk otaknya (pendidikan).
Perhatian terhadap pendidikan anak tidak hanya sebatas yang penting mereka bisa
sekolah, berangkat pagi pulang siang atau sore. Namun kita juga dituntut untuk
memperhatikan proses pendidikan yang sedang mereka tempuh. Apakah setelah
pulang sekolah mereka membuka lembar pelajaran kembali (muthola’ah)?
Selain itu, kita juga dianjurkan untuk memperhatikan lembaga pendidikan yang
meng-inject otak anak-anak kita dengan ilmu pengetahuan. Apakah sekolah tersebut
betul-betul bisa dipercaya untuk membuat anak-anak kita menjadi seperti yang
kita harapkan? Apakah sekolah yang kita percayai tersebut mempunyai sistem yang
bagus yang dapat mengantarkan anak-anak kita menjadi generasi bangsa yang
berkualitas.
Untuk mencetak generasi yang berkualitas maka
pendidikan bagi anak-anak kita juga harus berkualitas. Pendidikan tersebut harus
bermutu tidak asal-asalan. Dengan kata lain pendidikan tersebut harus mahal dan
tidak murahan. Sebab, walau dengan input yang murah namun diprosess dengan
mahal besar kemungkinaan outputnya akan menjadi mahal. Semoga. Oleh: A.
Mudhfar Ma’ruf
0 comments: