Asal-usulnya Paham Al-Asy’ari
Menurut Ibn Asakir, ayah Al-Asy’ari
adalah seorang yang berfaham Ahlussunnah dan ahli Hadits. Ia wafat
ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia berwasiat kepada seseorang
sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik Al-Asy’ari.[1]
Ibu Al-Asy’ari, sepeninggal ayahnya, menikah lagi dengan seseorang tokoh
Mu’tazilah yang bernama Abu Ali Al-Jubba’I (w. 303 H/915 M), ayah kandung Abu
Hasyim Al-Jubbai (w. 321 H/932 M).[2]
Berkat didikan ayah tirinya itu, Al-Asy’ari dalam perdebatan menentang
lawa-lawan Mu’tazilah. Selain itu, banyak menulis buku yang membela alirannya.[3]
Al-Asy’ari menganut faham mu’tazilah
hanya sampai ia berusia 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan
dihadapn jamaah masjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham
Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya.[4]
Menurut Ibn Asakir, yang melatarbelakangi Al-Asy’ari meninggalkan faham
Mu’tazilah adalah pengakuan Al-Mu’tazilah adalah pengakuan Al-Asy’ari meninggalkan faham mu’tazilah adalah pengakuan Al-Asy’ari
telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah Saw. Sebanyak tiga kali, yaitu pada
malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan ramadhan. Dalam tiga mimpi itu, Rasulullah
memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang
telah diriwayatkan dari beliau.
1. Doktrin-doktrin Teologi Al-Asy’ari
a. Tuhan dan sifat-sifat-Nya
Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah
Swt memiliki sifat-sifat, seperti mempunyai tangan dan kaki, dan ini tidak
boleh diartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis (berbeda dengan
aliran sifatiah). Selanjutnya Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah
Swt itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang
tampaknya mirip. Sifat Allah Swt berbeda dengan Allah Swt sendiri, tetapi
sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan
demikian tidak berbeda dengan-Nya.
b. Kebebasan dalam Berkehendak (Free – Will)
Dalam
hal apakah manusia memiliki kemampuan untuk memilih, menentukan, serta
mengaktualisasikan perbuatannya? Al-Asy’ari membedakan antara khaliq dan
kasb. Menurutnya, Allah Swt adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia,
sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib).
c. Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk.
Walaupun al-Asy’ari mengakui
pentingnya akal dan wahyu, tapi Al-Asy’ari lebih berpendapat bahwa baik dan
buruk harus berdasarkan pada wahyu.
d. Qodimnya al-Qur’an
Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun
al-Qur’an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada
esensi Allah Swt dan karenanya tidak qadim.[5]
Nasution mengatakan bahwa al-Qur’an bagi al-Asy’ari tidaklah diciptakan sebab
kalau ia diciptakan, sesuai dengan ayat.[6]
إِنَّمَا
قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Artinya : Sesungguhnya
perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya
mengatakan kepadanya: "Kun (jadilah)", maka jadilah ia.
e. Melihat Allah
Al-Asy’ari yakin bahwa Allah Swt
dapat dilihat di akhirat.[7] Tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat
dapat terjadi manakala Allah Swt sendiri yang menyebabkan dapat dilihat
atau bilamana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
f. Keadilan
Al-Asy’ari setuju bahwa Allah Swt itu
adil. Menurutnya, Allah Swt tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah
penguasa mutlak.
g. Kedudukan Orang Berdosa
Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin
yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin
hilang karena dosa selain kufr.[8]
B. AL-MATURIDI
1. Asal Usul Paham Matudiyah
Abu manshur Al-Maturidi dilahirkan di
Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia
Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan
abad ke-3 Hijriyah, ia wafat pada tahun 333 H/944 M [9].
Gurunya dalam bidang fiqh dan teologi bernama Nasyr bin Yahya al-Balakhi. Ia
wafat pada tahun 268 H.[10]
Al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutawakil yang memerintah tahun 232 – 274
/ 847 – 861 M.
Karir pendidikan al-Maturidi lebih
dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi daripada fiqh. Ini dilakukan
untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham-faham teologi yang banyak
berkembang pada masyarakat Islam, yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah
yang benar menurut akal dan syara. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan
dalam bentuk karya tulis, diantaranya ialah kitab tauhid, ta’wil al-Qur’an,
Makhaz asy-Syara’I, Al-Jadl, Ushul fi Ushul Ad-Din, Maqalat fi AL-Ahkam Radd
Awa’il Al-Abdillah li Al-Ka’bi, Radd AL-Ushul AL-Khamisah li Abu Muhammad
Al-Bahili, Radd Al-Imamah li Al-Ba’ad Ar-Rawafid, dan Kitab Radd ‘al
Al-Qaramatah. Selain itu, ada pula karangan-karangan yang diduga ditulis
oleh Al-Maturidi, yaitu Risalah fi Al-Aqaid dan Syarh Fiqh Al-Akbar.
2. Doktrin-Doktrin Al-Maturidi
a. Akal dan Wahyu
Dalam pemikiran teologinya,
Al-Maturidi berdasarkan pada al-Qur’an dan akal. Dalam hal ini, ia sama dengan
al-Asy’ari. Namun porsi yang diberikannya kepada kal lebih besar daripada yang
diberikan al-Asy’ari.
Menurut al-Maturidi, mengetahui Tuhan
dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal
dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an yang
memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan
dan keimanannya terhadap Allah Swt melalui pengamatan dan pemikiran yang
mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan
memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah Swt tidak akan memerintahkan
manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk
memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah Swt berarti meninggalkan
kewajiban yang diperintahkan ayat-ayat tersebut. Namun akal, menurut
Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.[11]
Dalam masalah baik dan buruk,
Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak
pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah dan larangan Syari’ah hanyalah
mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Ia mengikuti
ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Ia mengakui bahwa akal tidak
selalu mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, namun terkadang pula
mampu mengetahui sebagian baik dan buruknya. Dalam kondisi demikian, wahyu
diperlukan untuk dijadikan sebagai pembimbing.[12]
b. Aliran Maturidiyah
Dalam masalah iman, aliran
Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb,
bukan semata-mata iqrar bi al-lisan.[13]
Ayat tersebut dipahami Al-Maturidi sebaga suatu penegasan bahwa keimanan itu
tidak cukup hanya dengan perkataan semata, tanpa diimani pula oleh Kalbu. Apa
yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati
tidak mengakui ucapan lidah. Al-Maturidi tidak berhenti sampai disitu.
Menurutnya, Tashdiq, seperti yang dipahami karena ia mengetahui keburukan dari
perbuatan buruk itu.
Tahun
kelahirannya tidak diketahui secara
pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah, ia
wafat pada tahun 333 H/944 M.
Ada perbedaan antara Maturidiyah
Samarkand dan Maturidiyah Bukhara mengenai perbuatan manusia. Kelompok pertama
lebih dekat dengan faham Mu’tazilah, sedangkan kelompok kedua lebih dekat
dengan faham Asy’ariyah. Kehendak dan daya berbuat pada diri manusia, menurut
Maturidiyah Samarkan, adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata
sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan.[14]
Perbedaannya dengan mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan
sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Daya yang demikian
porsinya lebih kecil daripada daya yang terdapat dalam faham mu’tazilah. Oleh
karena itu, manusia dalam faham al-Maturidi, tidaklah sebebas manusia dalam
Mu’tazilah.
Maturidiyah Bukhara dalam banyak hal
sependapat dengan Maturidiyah Samarkand. Hanya saja golongan ini memberikan
tambahan dalam masalah daya. Menurutnya untuk perwujudan perbuatan, perlu ada
dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya
Tuhanlah yang dapat mencipta, dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang
telah diciptakan Tuhan baginya.[15]
C. PERBANDINGAN ANTAR ALIRAN
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa
persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah mengenai siapa yang dikatakan
kafir dan mukmin dan apa yang sebenarnya iman dan kufur serta perbedaan antara
perbuatan, sifat-sifat, kehendak serta keadilan Tuhan dengan perbuatan manusia.
Untuk lebih jelasnya perhatian
penjelasan berikut :
a. Analisis perbandingan mengenai kedudukan pelaku dosa besar
menurut beberapa aliran, yaitu :
-
Khawarij
: status pelaku dosa besar menurut aliran ini dianggap kafir, bahkan sebagian
sekte Khawarij ada yang menganggap musyrik dan ia akan mendapatkan siksaan di
akhirat sesuai dengan yang diperoleh orang kafir.
-
Murji’ah
terbagi menjadi 2 golongan :
-
Murji’ah
moderat : Bahwa orang yang berdosa besar statusnya bukanlah kafir dan tidak
kekal dalam neraca.[16]
-
Murji’ah
Ekstrim : Orang islam yang percaya pada Tuhan dan apabila menyatakan
kekafiran secara lisan tidaklah menjadi kafir
-
Mu’tazilah
: para pelaku dosa besar menurut aliran ini berada pada posisi tengah yaitu
diantara posisi mukmin dan kafir dan jika pelaku dosa besar tersebut meninggal
sebelum taubat maka ia akan masuk neraca dan kekal didalamnya dengan siksaan
yang diterimanya lebih ringan daripada siksaan kafir.
b. Mengenai iman dan kufur
-
Khawarij
: iman dalam pandangan khawarij, tidak semata-mata percaya kepada Allah Swt,
mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari
kebenaran. Dengan demikian, siapapun yang menyatakan dirinya beriman kepada
Allah Swt dan bahwa Muhammad adalah utusannya, tetapi tidak melaksanakan
kewajiban agama dan malah melakukan perbuatan dosa maka ia dipandang sebagai
kafir.
-
Murji’ah
terbagi menjadi 2 yaitu :
-
Murji’ah
ekstrim : menurut mereka keimanan terletak di dalam qalbu. Adapun ucapan dan
perbuatan tidak selamanya menggambarkan apa yang ada di dalam kalbu.
-
Murji’ah
moderat : menurut mereka iman terdiri dari 2 point penting yaitu larar dan
tashdia dan iman “tidak bertambah dan tidak berkurang”
-
Mu’tazilah
: menurut aliran ini kadar keimanan seseorang bisa bertambah juga bisa
berkurang, tergantung kebaikan dan ma’siat yang ia lakukan karena mu’tazilah
memasukkan unsur amal sebagai unsur penting dari iman.
c. Mengenai sifat-sifat Tuhan
Mu’tazilah : Tuhan mengetahui dengan
pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri. Sebagaimana dijelaskan
oleh Abu Al-Huzail.
ان البارى تعالى عالم بعلم
وعلمه واته قادر بقدرة وقدرته حي بحياة وحياته ذاته
Artinya : “Sesungguhnya
Allah Swt maha mengetahui dengan pengetahuan : maha kuasa dengan kekuasaan,
maha hidup dengan kehidupan; dan pengetahuan, kekuasaan, dan kehidun-Nya itu adalah
DzatNya sendiri”
0 comments: