Ahlussunnah Wal Jama’ah "SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR"
Ahlussunnah Wal
Jama’ah (Aswaja) merupakan bagian integral,
bahwa Aswaja merupakan metode pemahaman dan pengamalan keyakinan Tauhid. Lebih
dari itu, disadari atau tidak Aswaja merupakan bagian kehidupan sehari-hari
setiap kader nadlatul ulama kita. Akarnya tertananam dalam pada
pemahaman dan perilaku penghayatan kita masing-masing dalam menjalankan Islam.
Selama ini proses
reformulasi Ahlussunnah wal Jama’ah telah berjalan sebagaimana selama ini
digunakan, lahirlah gagasan ahlussunnah wal-jama’ah sebagai manhaj al-fikr (metode berpikir).
Santri melihat bahwa gagasan tersebut sangat relevan dengan
perkembangan zaman, selain karena alasan muatan doktrinal Aswaja selama ini yang
terkesan terlalu kaku. Sebagai manhaj,
Aswaja menjadi lebih fleksibel dan memungkinkan bagi pengamalnya untuk
menciptakan ruang kreatifitas dan menelorkan ikhtiar-ikhtiar baru untuk
menjawab perkembangan zaman.
Santri Aswaja juga menjadi ruang untuk menunjukkan bahwa Islam
adalah agama yang sempurna bagi setiap tempat dan zaman. Islam tidak diturunkan
untuk sebuah masa dan tempat tertentu. Kehadirannya dibutuhkan sepanjang masa
dan akan selalu relevan. Namun relevansi dan makna tersebut sangat tergantung
kepada kita, pemeluk dan penganutnya, memperlakukan dan mengamalkan Islam. Di
sini, sekali lagi melihat bahwa Aswaja merupakan pilihan paling tepat di tengah
kenyataan masyarakat kepulauan Indonesia yang beragam dalam etnis, budaya dan
agama.
I.
SKETSA SEJARAH
Ahlussunnah Wal
Jama’ah (Aswaja) lahir dari pergulatan intens antara doktrin dengan sejarah. Di
wilayah doktrin, debat meliputi soal kalam mengenai status Al-Qur’an apakah ia
makhluk atau bukan, kemudian debat antara Sifat-Sifat Allah antara ulama Salafiyyun dengan golongan Mu’tazilah, dan seterusnya.
Di wilayah sejarah,
proses pembentukan Aswaja terentang hingga zaman al-khulafa’ ar-rasyidun, yakni dimulai sejak terjadi Perang Shiffin
yang melibatkan Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dengan Muawiyah. Bersama
kekalahan Khalifah ke-empat tersebut, setelah dikelabui melalui taktik
arbitrase (tahkim) oleh kubu
Muawiyah, ummat Islam makin terpecah kedalam berbagai golongan. Di antara
mereka terdapat Syi’ah yang secara
umum dinisbatkan kepada pengikut Khalifah Ali bin Abi Thalib, golongan Khawarij yakni pendukung Ali yang
membelot karena tidak setuju dengan tahkim,
dan ada pula kelompok Jabariyah
yang melegitimasi kepemimpinan Muawiyah.
Selain tiga golongan
tersebut masih ada Murjiah dan Qadariah, faham bahwa segala sesuatu
yang terjadi karena perbuatan manusia dan Allah tidak turut campur (af’al al-ibad min al-ibad) – berlawanan
dengan faham Jabariyah.
Di antara
kelompok-kelompok itu, adalah sebuah komunitas yang dipelopori oleh Imam Abu
Sa’id Hasan ibn Hasan Yasar al-Bashri (21-110 H/639-728 M), lebih dikenal
dengan nama Imam Hasan al-Bashri, yang cenderung mengembangkan aktivitas
keagamaan yang bersifat kultural (tsaqafiyah),
ilmiah dan berusaha mencari jalan kebenaran secara jernih. Komunitas ini menghindari
pertikaian politik antara berbagai faksi politik (firqah) yang berkembang ketika itu. Sebaliknya mereka
mengembangkan sistem keberagamaan dan pemikiran yang sejuk, moderat dan tidak
ekstrim. Dengan sistem keberagamaan semacam itu, mereka tidak mudah untuk
mengkafirkan golongan atau kelompok lain yang terlibat dalam pertikaian politik
ketika itu.
Seirama waktu, sikap
dan pandangan tersebut diteruskan ke generasi-generasi Ulama setelah beliau, di
antaranya Imam Abu Hanifah Al-Nu’man (w. 150 H), Imam Malik Ibn Anas (w. 179
H), Imam Syafi’i (w. 204 H), Ibn Kullab (w. 204 H), Ahmad Ibn Hanbal (w. 241
H), hingg tiba pada generasi Abu Hasan Al-Asy’ari (w 324 H) dan Abu Mansur
al-Maturidi (w. 333 H). Kepada dua ulama terakhir inilah permulaan faham Aswaja
sering dinisbatkan; meskipun bila ditelusuri secara teliti benih-benihnya telah
tumbuh sejak dua abad sebelumnya.
Indonesia merupakan
salah satu penduduk dengan jumlah penganut faham Ahlussunnah wal Jama’ah
terbesar di dunia. Mayoritas pemeluk Islam di kepulauan ini adalah penganut
madzhab Syafi’i, dan sebagian terbesarnya tergabung – baik tergabung secara
sadar maupun tidak – dalam jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama, yang sejak awal berdiri
menegaskan sebagai pengamal Islam ala Ahlussunnah wal-Jama’ah.
II.
PENGERTIAN
Arti Ahlussunnah wal
jama’ah adalah sebagai berikut. Ahl
berarti pemeluk, jika dikaitkan
dengan aliran atau madzhab maka artinya adalah pengikut aliran atau pengikut
madzhab (ashab al-madzhab). Al-Sunnah
mempunyai arti jalan, di samping
memiliki arti al-Hadist. Disambungkan
dengan ahl keduanya bermakna pengikut
jalan Nabi, para Shahabat dan tabi’in. Al-Jamaah
berarti sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Bila dimaknai secara kebahasaan,
Ahlusunnah wal Jama’ah berarti segolongan orang yang mengikuti jalan Nabi, Para
Shahabat dan tabi’in.
Nahdlatul ‘Ulama
merupakan ormas Islam pertama di Indonesia yang menegaskan diri berfaham
Aswaja. Dalam Qanun Asasi (konstitusi
dasar) yang dirumuskan oleh Hadratussyaikh
KH Hasyim Asy’ari juga tidak disebutkan definisi Aswaja. Namun tertulis di
dalam Qanun tersebut bahwa Aswaja
merupakan sebuah faham keagamaan dimana dalam bidang akidah menganut pendapat
Abu Hasan Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, dalam bidang fiqh menganut pendapat dari
salah satu madzhab empat (madzahibul arba’ah
– Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali), dan dalam bidang
tasawuf/akhlak menganut Imam Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid Al-Ghazali.
Aswaja sebagai madzhab
artinya seluruh penganut Ahlussunnah wal Jama’ah menggunakan produk hukum atau
pandangan para Ulama dimaksud. Pengertian ini dipandang sudah tidak lagi
relevan lagi dengan perkembangan zaman mengingat perkembangan situasi yang
berjalan dengan sangat cepat dan membutuhkan inovasi baru untuk menghadapinya.
Selain itu, pertanyaan epistimologis terhadap pengertian itu adalah, bagaimana
mungkin terdapat madzhab di dalam madzhab?
Dua gugatan tersebut
dan banyak lagi yang lain, baik dari tinjauan sejarah, doktrin maupun
metodologi, yang menghasilkan kesimpulan bahwa Aswaja tidak lagi dapat diikuti
sebagai madzhab. Lebih dari itu, Aswaja harus diperlakukan sebagai manhaj al-fikr atau metode berpikir.
III.
ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR
Bahwa Ahlussunnah wal-jama’ah adalah orang-orang
yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan
dengan berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleran. Aswaja
bukan sebuah madzhab melainkan sebuah metode dan prinsip berpikir dalam
menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial-kemasyarakatan;
inilah makna Aswaja sebagai manhaj
al-fikr.
Sebagai manhaj al-fikr, berpegang pada
prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tawazun (netral), ta’adul (keseimbangan), dan tasamuh
(toleran). Moderat tercermin dalam
pengambilan hukum (istinbath) yaitu
memperhatikan posisi akal di samping memperhatikan nash. Aswaja memberi titik porsi yang seimbang antara rujukan nash (Al-Qur’an dan al-Hadist) dengan
penggunaan akal. Prinsip ini merujuk pada debat awal-awal Masehi antara
golongan yang sangat menekankan akal (mu’tazilah)
dan golongan fatalis.
Sikap netral (tawazun) berkaitan sikap dalam politik.
Aswaja memandang kehidupan sosial-politik atau kepemerintahan dari kriteria dan
pra-syarat yang dapat dipenuhi oleh sebuah rezim. Oleh sebab itu, dalam sikap tawazun, pandangan Aswaja tidak terkotak
dalam kubu mendukung atau menolak sebuah rezim. Aswaja, oleh karena itu PMII
tidak membenarkan kelompok ekstrim yang hendak merongrong kewibawaan sebuah
pemerintahan yang disepakati bersama, namun tidak juga berarti mendukung sebuah
pemerintahan. Apa yang dikandung dalam sikap tawazun tersebut adalah memperhatikan bagaimana sebuah kehidupan
sosial-politik berjalan, apakah memenuhi kaidah atau tidak.
Keseimbangan (ta’adul) dan toleran (tasamuh) terefleksikan dalam kehidupan
sosial, cara bergaul dalam kondisi sosial budaya mereka. Keseimbangan dan
toleransi mengacu pada cara bergaul PMII sebagai Muslim dengan golongan Muslim
atau pemeluk agama yang lain. Realitas masyarakat Indonesia yang plural, dalam
budaya, etnis, ideologi politik dan agama, bukan semata-mata realitas
sosiologis, melainkan juga realitas teologis. Artinya bahwa Allah SWT memang
dengan sengaja menciptakan manusia berbeda-beda dalam berbagai sisinya. Oleh
sebab itu, tidak ada pilihan sikap yang lebih tepat kecuali ta’adul dan tasamuh.
IV.
PRINSIP ASWAJA SEBAGAI MANHAJ
Berikut ini adalah prinsip-prinsip
Aswaja dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip-prinsip tersebut meliputi Aqidah,
pengambilan hukum, tasawuf/akhlak dan bidang sosial-politik.
1.
AQIDAH
Dalam bidang Aqidah, pilar-pilar
yang menjadi penyangga aqidah Ahlussunnah
wal-Jama’ah diantaranya yang pertama adalah aqidah Uluhiyyah (Ketuhanan), berkait dengan ikhwal eksistensi Allah SWT.
Pada tiga abad pertama
Hijriyah, terjadi banyak perdebatan mengenai Esksitensi sifat dan asma Allah
SWT. Dimana terjadi diskursus terkait masalah apakah Asma Allah tergolong dzat
atau bukan. Abu Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H) secara filosofis berpendapat bahwa
nama (ism) bukanlan yang dinamai (musamma), Sifat bukanlah yang disifati
(mausuf), sifat bukanlah dzat. Sifat-sifat Allah adalah nama-nama
(Asma’) Nya. Tetapi nama-nama itu
bukanlah Allah dan bukan pula selain-Nya.
Aswaja menekankan
bahwa pilar utama ke-Imanan manusia adalah Tauhid; sebuah keyakinan yang teguh dan
murni yang ada dalam hati setiap Muslim bahwa Allah-lah yang Menciptakan,
Memelihara dan Mematikan kehidupan semesta alam. Ia Esa, tidak terbilang dan
tidak memiliki sekutu.
Pilar yang kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah menurunkan wahyu
kepada para Nabi dan Rosul sebagai utusannya. Sebuah wahyu yang dijadikan
sebagai petunjuk dan juga acuan ummat manusia dalam menjalani kehidupan menuju
jalan kebahagiaan dunia dan akhirat, serta jalan yang diridhai oleh Allah SWT.
Dalam doktrin Nubuwwat ini, ummat
manusia harus meyakini dengan sepebuhnya bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah
SWT, yang membawa risalah (wahyu)
untuk umat manusia. Dia adalah Rasul terakhir, yang harus diikuti oleh setiap
manusia.
Pilar yang ketiga
adalah Al-Ma’ad, sebuah keyakinan bahwa
nantinya manusia akan dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat dan setiap
manusia akan mendapat imbalan sesuai amal dan perbuatannya (yaumul jaza’). Dan mereka semua akan
dihitung (hisab) seluruh amal
perbuatan mereka selama hidup di dunia. Mereka yang banyak beramal baik akan
masuk surga dan mereka yang banyak beramal buruk akan masuk neraka.
2.
BIDANG SOSIAL POLITIK
Berbeda dengan
golongan Syi’ah yang memiliki sebuah
konsep negara dan mewajibkan berdirinya negara (imamah), Ahlussunnah wal-jama’ah dan golongan sunni umumnya memandang
negara sebagai kewajiban fakultatif (fardhu
kifayah). Pandangan Syi’ah tersebut
juga berbeda dengan golongan Khawarij yang
membolehkan komunitas berdiri tanpa imamah
apabila dia telah mampu mengatur dirinya sendiri. Bagi ahlussunnah wal jama’ah, negara merupakan alat untuk mengayomi
kehidupan manusia untuk menciptakan dan menjaga kemashlahatan bersama (mashlahah musytarakah).
Ahlussunnah
wal-Jama’ah
tidak memiliki konsep bentuk negara yang baku. Sebuah negara boleh berdiri atas
dasar teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau negara-modern/demokrasi, asal mampu
memenuhi syarat-syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah negara.
Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah otoritas
(wewenang) pemimpin negara tersebut. Syarat-syarat itu adalah:
- Prinsip Syura (musyawarah)
Negara harus mengedepankan musyawarah
dalam mengambil segala keputusan dan setiap keputusan, kebijakan dan peraturan.
Salah satu ayat yang menegaskan musyawarah adalah sebagai berikut:
“Maka
sesuatu apapun yang diberikan kepadamu itu adalah kenikmatan hidup di dunia;
dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang
beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi
dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka
memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya
dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat
antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan
kepada mereka. Dan ( bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan
zalim mereka membela diri. (QS Al-Syura, 42: 36-39)
- Prinsip Al-‘Adl (Keadilan)
Keadilan adalah salah satu Perintah yang
paling banyak ditemukan dalam Al-Qur’an. Prinsip ini tidak boleh dilanggar oleh
sebuah pemerintahan, apapun bentuk pemerintahan itu. Berikut ini adalah salah
satu ayat yang memerintahkan keadilan.
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.” (QS An-Nisa, 4: 58)
- Prinsip Al-Hurriyyah (kebebasan)
Negara wajib menciptakan dan menjaga
kebebasan bagi warganya. Kebebasan tersebut wajib hukumnya karena merupakan
kodrat asasi setiap manusia. Prinsip kebebasan manusia dalam Syari’ah dikenal
dengan Al-Ushulul-Khams (prinsip yang
lima), yaitu:
·
Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa); adalah kewajiban setiap
kepemimpinan (negara) untuk menjamin kehidupan setiap warga negara; bahwa
setiap warga negara berhak dan bebas untuk hidup dan berkembang dalam
wilayahnya.
·
Hifzhu al-Din (menjaga agama); adalah kewajiban
setiap kepemimpinan untuk menjamin kebebasan setiap orang memeluk, meyakini dan
menjalankan Agama dan Kepercayaannya. Negara tidak berhak memaksakan atau
melarang sebuah agama atau kepercayaan kepada warga negara.
·
Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda); adalah kewajiban
setiap kepemimpinan untuk menjamin keamanan harta benda yang dimiliki oleh
warga negaranya. Negara wajib memberikan jaminan keamanan dan menjamin
rakyatnya hidup sesuai dengan martabat rakyat sebagai manusia.
·
Hifzhu al-Nasl; bahwa negara wajib memberikan jaminan
terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara. Negara
harus menjaga kekayaan budaya (etnis), tidak boleh mangunggulkan dan
memprioritaskan sebuah etnis tertentu. Hifzhu
al-Nasl berarti negara harus memperlakukan sama setiap etnis yang hidup di
wilayah negaranya.
·
Hifzh al-‘Irdh;
jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan
setiap warga negara. Negara tidak boleh merendahkan warga negaranya karena profesi
dan pekerjaannya. Negara justru harus menjunjung tinggi dan memberikan tempat
yang layak bagi setiap warga negara.
Al-Ushulul
Khams identik dengan konsep
Hak Azazi Manusia yang lebih dikenal dalam dunia modern – bahkan mungkin di
kalangan ahlussunnah wal-jama’ah.
Lima pokok atau prinsip di atas menjadi ukuran baku bagi legitimasi sebuah
kepemerintahan sekaligus menjadi acuan bagi setiap orang yang menjadi pemimpin
di kelak kemudian hari.
- Prinsip Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)
Bahwa manusia diciptakan sama oleh Allah
SWT. Antara satu manusia dengan mausia lain, bangsa dengan bangsa yang lain
tidak ada pembeda yang menjadikan satu manusia atau bangsa lebih tinggi dari
yang lain. Manusia diciptakan berbeda-beda adalah untuk mengenal antara satu
dengan yang lain. Sehingga tidak dibenarkan satu manusia dan sebuah bangsa
menindas manusia dan bangsa yang lain. Dalam surat Al-Hujuraat disebutkan:
“Hai manusia,
Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal. (Al-Hujuraat, 49: 13)
Perbedaan bukanlah semata-mata fakta
sosiologis, yakni fakta yang timbul akibat dari relasi dan proses sosial.
Perbedaan merupakan keniscayaan teologis yang Dikehendaki oleh Allah SWT.
Demikian disebutkan dalam surat Al-Ma’idah.
Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan
dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya
satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah
kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu. (Al-Maidah; 5: 48)
Dalam sebuah negara kedudukan warga
negara adalah sama. Orang-orang yang menjabat di tubuh pemerintahan memiliki
kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mereka memiliki jabatan semata-mata
adalah untuk mengayomi, melayani dan menjamin kemashlahatan bersama, dan tidak
ada privilege (keistimewaan)
khususnya di mata hukum. Negara justru harus mampu mewujudkan kesetaraan
derajat antar manusia di dalam wilayahnya, yang biasanya terlanggar oleh
perbedaan status sosial, kelas ekonomi dan jabatan politik.
Dengan prinsip-prinsip di atas, maka
tidak ada doktrin Negara Islam, Formalisasi Syari’at Islam dan Khilafah
Islamiyah bagi Ahlussunnah wal-Jama’ah. Sebagaimana pun tidak didapati perintah
dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas untuk mendirikan salah satu di antara
ketiganya. Islam hanya diharuskan untuk menjamin agar sebuah pemerintahan –
baik negara maupun kerajaan – harus mampu memenuhi 4 (empat) kriteria di atas.
- BIDANG ISTINBATH AL-HUKM (Pengambilan Hukum Syari’ah)
Hampir seluruh kalangan Sunni
menggunakan empat sumber hukum yaitu:
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
3. Ijma’
4. Qiyas
Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam
pengambilan hukum (istinbath al-hukm)
tidak dibantah oleh semua madzhab fiqh. Sebagai sumber hukum naqli posisinya tidak diragukan.
Al-Qur’an merupakan sumber hukum tertinggi dalam Islam.
Sementara As-Sunnah meliputi al-Hadist
dan segala tindak dan perilaku Rasul SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh para
Shabat dan Tabi’in. Penempatannya ialah setelah proses istinbath al-hukm tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, atau digunakan
sebagai komplemen (pelengkap) dari apa yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an.
As-Sunnah sendiri mempunyai tingkat
kekuatan yang bervariasi. Ada yang terus-menerus (mutawatir), terkenal (masyhur)
ataupun terisolir (ahad). Penentuan
tingkat As-Sunnah tersebut dilakukan oleh Ijma’
Shahabah.
Menurut Abu Hasan Ali Ibn Ali Ibn
Muhammad Al-Amidi, Ijma’ adalah Kesepakatan kelompok legislatif (ahl
al-halli wa al-aqdi) dan ummat Muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum
dari suatu kasus. Atau kesepakatan orang-orang mukallaf dari ummat Muhammada
pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus.
Dalam Al-Qur’an dasar Ijma’ terdapat dalam QS An-Nisa’, 4:
115 “Dan
barang siapa menentang rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” Dan “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan
kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia..” QS Al-Baqarah, 2:
143.
Qiyas, sebagai sumber hukum Islam, merupakan
salah satu hasil ijtihad para Ulama. Qiyas yaitu mempertemukan sesuatu yang
tak ada nash hukumnya dengan hal lain yang ada nash hukumnya karena ada
persamaan ‘illat hukum. Qiyas sangat dianjurkan untuk digunakan
oleh Imam Syafi’i.
5.
TASAWUF
Imam Al-Junaid bin Muhammad Al-Baghdadi
menjelaskan "Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan
dirimu dengan-Nya; Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah SWT
tanpa keterikatan apa pun."
Imam Abu Hamid Al-Tusi Al-Ghazali
menjelaskan “Tasawuf adalah menyucikan hati dari apa saja selain Allah… Aku
simpulkan bahwa kaum sufi adalah para pencari di Jalan Allah, dan perilaku
mereka adalah perilaku yang terbaik, jalan mereka adalah jalan yang terbaik,
dan pola hidup mereka adalah pola hidup yang paling tersucikan. Mereka telah
membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah dan menjadikannya
sebagai saluran tempat mengalirnya sungai-sungai yang membawa ilmu-ilmu dari
Allah.”
“berada
semata-mata bersama Allah SWT tanpa keterikatan apapun” kata Imam Al-Junaid, lalu “menyucikan hati dari apa saja selain
Allah.... Mereka (kaum Sufi) telah
membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah..,” kata Imam
Al-Ghazali. Seorang sufi adalah mereka yang mampu membersihkan hatinya dari
keterikatan selain kepada-Nya.
Ketidakterikatan kepada apapun selain
Allah SWT adalah proses batin dan perilaku yang harus dilatih bersama
keterlibatan kita di dalam urusan sehari-hari yang bersifat duniawi. Zuhud harus dimaknai sebagai ikhtiar
batin untuk melepaskan diri dari keterikatan selain kepada-Nya tanpa
meninggalkan urusan duniawi. Mengapa? karena justru di tengah-tengah kenyataan
duniawi posisi manusia sebagai Hamba dan fungsinya sebagai Khalifah harus
diwujudkan.
Banyak contoh sufi atau ahli tasawuf yang
telah zuhud namun juga sukses dalam ukuran duniawi. Kita lihat saja Imam Al-Junaid
adalah adalah pengusaha botol yang sukses, Al-Hallaj sukses sebagai pengusaha
tenun, Umar Ibn Abd Aziz adalah seorang sufi yang sukses sebagai pemimpin
negara, Abu Sa’id Al Kharraj sukses
sebagai pengusaha konveksi, Abu Hasan al-Syadzily sukses sebagai petani, dan
Fariduddin al-Atthar sukses sebagai pengusaha parfum. Mereka adalah sufi yang
pada maqomnya tidak lagi terikat dengan urusan duniawi tanpa meninggalkan
urusan duniawi.
Urusan duniawi yang mendasar bagi
manusia adalah seperti mencari nafkah (pekerjaan), kemudian berbuntut pada
urusan lain seperti politik. Dari urusan-urusan itu kita lantas bersinggungan
dengan soal-soal ekonomi, politik-kekuasaan, hukum, persoalan sosial dan
budaya. Dalam Tasawuf urusan-urusan tersebut tidak harus ditinggalkan untuk
mencapai zuhud, justru kita mesti menekuni kenyataan duniawi secara total sementara
hati/batin kita dilatih untuk tidak terikat dengan urusan-urusan itu. Di
situlah zuhud kita maknai, yakni zuhud di dalam batin sementara aktivitas
sehari-hari kita tetap diarahkan untuk mendarmabaktikan segenap potensi manusia
bagi terwujudnya masyarakat yang baik.
V.
PENUTUP
Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai manhaj al fikr bersifat dinamis dan
sangat terbuka bagi pembaruan-pembaruan. Sebagai sebuah metode pemahaman dan
penghayatan, dalam makna tertentu ia tidak dapat disamakan dengan metode
akademis yang bersifat ilmiah. Dalam metode akademik, sisi teknikalitas pendekatan
diatur sedemikian rupa sehingga menjadi prosedur yang teliti dan nyaris pasti.
Namunpun demikian dalam ruang akademis pembaharuan atau perubahan sangat
mungkin terjadi.
Sebagai metode berpikir, boleh jadi pada
saatnya nanti Aswaja akan memiliki kadar teknikalitas sama tinggi dengan metode
ilmiah. Namun dalam pandangan kami upaya pemahaman yang lebih komprehensif dan
mendalam terhadap Aswaja perlu kita upayakan bersama-sama terlebih dahulu.
Khususnya terhadap apa yang telah kami sajikan di sini, yang sangat butuh
banyak masukan. Sebuah kebutuhan lanjut, semacam jabaran teknis untuk memandu
langkah per langkah tindakan dan pandangan gerakan, akan muncul kemudian
apabila kenyataan lapangan sungguh-sungguh menuntut dan membutuhkannya. Akan
tetapi sepanjang kebutuhan primer kolektif kita masih terletak pada memahami, hal semacam itu kami pandang
belum menjadi kebutuhan objektif.
0 comments: