BANGSA Indonesia selalu tidur. Dalam mimpi yang seperti berulang- ulang terjadi itu, mereka melihat persoalan yang nyaris sama. Setiap bertemu masalah, mereka berpikir kalau jalan keluarnya juga ditemukan di tempat yang sama, yaitu pendidikan. Pada awal perjuangan kemerdekaan di awal abad ke-20, tokoh masyarakat seperti dokter Wahidin Sudirohusodo menyebut pendidikan sebagai cara ampuh untuk mengentaskan bangsa Indonesia dari keterbelakangan dan kemelaratan.
Apakah benar pendidikan bisa menjadi obat mujarab untuk semua penyakit yang ada di masyarakat? Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama yang harus dilakukan sebagai bangsa Indonesia adalah membuka mata dan bangun dari tidur yang panjang. Kita tidur sejak tahun 1913, ketika seorang pemuda terdidik dan dari lingkungan keraton Jawa bernama Soewardi Soerjaningrat dengan lugas menulis di media Belanda De Express berjudul "ls Ik Nederlander was".
Dalam tulisan yang menggegerkan negeri penjajah itu, pemuda yang lalu lebih dikenal dengan Ki Hajar Dewantara itu berandai-andai menjadi orang Belanda dan berniat memberikan kemerdekaan kepada tanah jajahannya: Hindia Belanda alias Indonesia.
Kita dengan takjub mendengarkan petuah Ki Hajar tentang pendidikan yang seolah dengan rapi dikemas ke dalam konsep sederhana "Ing Ngarso sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani". Di depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, dan di belakang mengawasi. Amat disayangkan bila konsep ini tidak pernah dijabarkan dengan lebih rinci, meski kemudian ajarannya dijadikan dasar gerakan pendidikan Taman Siswa yang memiliki jaringan sekolah di Tanah Air. Ki Hajar sendiri lalu disebut Bapak Pendidikan. Lebih jauh lagi bahkan pemerintah menggunakan semboyannya untuk logo departemen yang mengurusi pendidikan. Kita kian lelap tertidur. Persoalan masyarakat, khususnya pendidikan, pasti beres.
YANG salah di sini bukan Ki Hajar yang dengan susah payah berpikir, menulis, dan pertama kali mengampanyekan idenya di depan rekan-rekan sejawat dalam gerakan Boedi Oetomo. Yang salah adalah kita yang cepat terkesima dengan jalan keluar yang tampak siap pakai dan siap berhasil. Karena Indonesia adalah bangsa majemuk, maka sistem pendidikan Ki Hajar yang "netral" terhadap semua perbedaan mestinya yang paling cocok.
Padahal, persoalannya tidak sesederhana itu. Bagaimana dengan pendidikan tradisional pesantren di desa-desa, sekolah-sekolah yang mengadopsi sistem pendidikan Belanda yang didirikan tokoh Islam perkotaan, sekolah-sekolah swasta yang berangkat dari inisiatif kelompok masyarakat Kristen dan agama non-Islam lain, dan sekolah yang dimulai dari inisiatif lokal kedaerahan? Konsep Ki Hajar tentu tidak bisa begitu saja mewadahi atau menyapu semangat masyarakat untuk mengembangkan pendidikan sesuai aspirasi masing-masing.
Setelah triliunan rupiah, miliaran dollar AS, jutaan murid lulus, dan empat presiden, kita masih juga berkutat dengan persoalan sama. Konsep Ki Hajar tetap ada, meski terasa seperti buah simalakama. Apa pun yang kita lakukan terhadap konsep ini akan menghasilkan malapetaka. Bila ditinggalkan, konsepnya masih relevan untuk bangsa Indonesia yang majemuk dan sedang dalam proses transisi menuju negara demokrasi di tengah era globalisasi.
Kita merasa bila rasa nasionalisme diperlukan untuk membendung pengaruh luar, misalnya Barat dan ide terorisme yang menggunakan jargon keagamaan. Repotnya, bila mau diterapkan, konsep Ki Hajar ini harus digali lebih dalam dan diuji secara ilmiah lewat berbagai penelitian agar jelas sosoknya dan memudahkan penerapan di lapangan.
Salah satu masalah dari konsep Ki Hajar adalah terpusatnya proses pendidikan di tangan guru. Seolah, bila gurunya baik semuanya akan berjalan baik. Kata guru, dalam bahasa Jawa bisa dijabarkan menjadi digugu lan ditiru (didengar dan dijadikan contoh).
Penerapan ide di lapangan bisa dilihat di banyak tempat, misalnya kenaikan gaji guru, anggaran pendidikan ditambah, dan manajemen berbasis sekolah (MBS). Padahal, pendidikan bukan cuma berisi guru. Kita bisa lihat banyaknya unsur selain guru, seperti murid (anak didik), kurikulum, dan lingkungan.
SISTEM pendidikan kita hingga kini memperlakukan anak didik sebagai penampung atau meminjam istilah Freire, depositor, yang menampung semua ucapan dan ajaran guru di depan kelas. Umpan balik dari murid amat jarang terjadi. Seringkali ini bukan karena gurunya yang gagal merangsang anak didik untuk bertanya, tetapi karena itulah kebiasaan sejak lama (lingkungan), dan guru harus mengejar target setiap mata pelajaran (kurikulum) seperti sopir bus kota yang mengejar setoran yang dalam beberapa kesempatan mesti mengabaikan rambu-rambu lalu-lintas dan kadang-kadang keselamatan dirinya dan penumpang.
Yang mengenaskan, proses pendidikan semacam ini tidak hanya terjadi di SD, tetapi juga di perguruan tinggi yang muridnya lebih dewasa dan gurunya lebih terdidik. Soalnya, bahan baku atau calon mahasiswanya sejak TK sudah dibiasakan menjadi penampung.
Barulah bila mereka keluar negeri dan bersekolah di universitas Barat yang maju, terasalah betapa mahasiswa Indonesia terkenal dengan "duduk, diam, dan mendengarkan dengan baik". Seorang profesor dengan bercanda bilang, “Sit, relax, and enjoy the ride" (duduk, santai, dan nikmatilah perjalanan ini).
Kita harus mulai melihat persoalan pendidikan secara sistematis dan menyeluruh. Tidak hanya berkonsentrasi ke satu guru, cuma melihat kurikulum, atau berfokus ke lingkungan saja.
Yang terlibat juga bukan hanya para pejabat, mantan pejabat, atau "orang-orang penting" saja, tetapi seluruh lapisan masyarakat termasuk orangtua dan dunia usaha. Sebagai contoh, Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang ramai dibicarakan kelak akan berujung ke penyusunan kurikulum nasional dan daerah.
Bila saat penyusunan undang-undangnya begitu ramai dan banyak pihak terlibat, banyak pihak pesimistis bila pemerintah bersedia mendengarkan kritik dan usul masyarakat saat penyusunan kurikulum nanti. Sebab, berbeda dengan undang-undang yang mesti melibatkan DPR, penyusunan kurikulum sudah sepenuhnya menjadi porsi pemerintah.
Penyusunan kurikulum pendidikan kita selama ini tidak merangsang adanya umpan balik. Jangankan dari murid, dari masyarakat dan orangtua pun, pemerintah yang secara legal memiliki wewenang menciptakan kurikulum nasional tak pernah sekalipun membuka kesempatan untuk itu.
Kita sudah merdeka 58 tahun, tetapi mentalitas penyelenggara dan birokrasi pemerintahan yang mengurusi pendidikan masih mengandalkan pendekatan formal, seolah merekalah yang paling tahu. Kita bisa melihatnya dari penempatan pikiran Ki Hajar Dewantara yang nyaris tanpa koreksi. Yang terus dipakai hanyalah ’ing ngarso sung tulodho’ (di depan memberi contoh, memimpin), bukan ’ing madyo mangun karso’, apalagi ’tut wuri handayani’.
Totok Amin Soefijanto Kandidat doktor bidang pendidikan, di Boston University

0 comments: