Ilmu Nahwu
Ilmu Nahwu dan Abu Aswad al-Dhualî*
Ketika kita berkunjung ke sebuah toko buku (maktabah) dan
berhenti di depan tatanan buku (baca; kitab) gramatikal bahasa Arab (an-Nahwu).
Seketika itu juga, kita berdecak kagum pada para ulama yang mampu menulis buku
berjilid-jilid, sehingga timbul keinginan kita untuk membeli dan mendalaminya.
Namun, ada sutu hal yang terlebih penting sebelum mendalami sebuah buku. Yaitu,
mengenal dasar-dasar ilmu yang sepuluh (al-Mabâdi al-'Asyarah) dari buku
tersebut. Diantaranya, mengenal siapa pelopor ilmu tersebut [Ahmad bin
Muhammad bin as-Suhaimi, Syarah hud hudî, 1988, 3]. Ilmu
Nahwu merupakan ilmu yang pertama kali dibukukan dalam Islam, karena berkaitan
dengan memelihara lisan dari kesalahan ketika membaca al-Qur an. Disamping itu,
ilmu Nahwu juga termasuk kategori ilmu pembantu dalam mempelajari ilmu-ilmu
lainnya. Misalnya, ilmu Usul Fiqh [Muhammad Shiddîq Hasan Khân al-Qinnûjî,
al-Jâmî al-ahkâm Wa Usûl al-Fiqh, 1998, 7].
Penamaan ilmu Nahwu, pengarang dan perkembangannya.
Ketika Islam mampu mengembangkan sayapnya ke belahan dunia. Maka, secara otomatis (dharûriyah) bahasa arab juga ikut andil dalam hal itu. Karena, disamping sebagai bahasa resmi umat islam terutama shalat, juga Negara arab sebagai tempat turunnya agama Islam, yang ketika itu Makkah sebagai daerahnya. Karena itu, bahasa arab akhirnya banyak yang ingin mempelajarinya sehingga tidak terlepaslah dari percampuran dengan bahasa lain yang secara pasti akan merubah susunan gramatikalnya. Akhirnya, fenomena ini menjadi perhatian penting pencinta dan pemerhati bahasa arab sendiri, karena seringnya mereka menemukan kesalahan (lahn) dalam berbicara dan penulisan. Hal ini terjadi, tidak lepas karena orang non arab ('azam) dalam berbicara keseharian masih selalu menggunakan bahasa negaranya sendiri, sehingga ketika berbicara dengan orang yang berketurunan arab selalu terdapat kesalahan dalam melafalkan kalimat.
Dalam satu riwayat disebutkan, bahwa Abû al-Aswad ad-Dhualî sebagai pencinta dan pemerhati bahasa arab yang tinggal di negeri Basrah (sekarang, Irak) pernah menemukan seorang qori sedang mentilawahkan al-Qur an. Ketika itu, qori tersebut membaca kata "rasûlihi" yang terdapat dalam ayat "innallâha barîun minalmusyrikîn wa rasûluhu" dengan berbaris bawah (kasrah) dengan maksud meng'athaf kannya kepada kata" al-musyrikîn" [ Taufîq bin Umar Balthohzî, Mûjaz Târîkh an-Nahwu, 1995, 7]. Dan dalam riwayat yang lain, suatu malam Abû al-Aswad al-Dhualî sedang duduk di balkon bersama putri kesayangannya, ketika sang putri melihat bintang-bintang di langit begitu indah sekali dengan menimbulkan cahaya yang gemilang, sehingga timbul kekagumannya dan mengatakan "mâ ahsannus samâa" sebagai ganti (badal) dari kalimat kagum (ta'azzub) yang seharusnya "mâ ahsanasamâi" Muhammad bin Ahmad bin Abdul Bâri al-Ahdal, Kawâkib ad-Durriyah, 1990, 25]. Dan telah banyak ia mendengar keselahan-kesalahan masyarakat pada waktu itu dalam berbicara, sehingga timbul kekhawatirannya akan rusaknya estetika gramatikal bahasa arab dari wujud aslinya. Kemudian ia pergi mengadukan hal-hal yang pernah ditemukannya, yang berkaitan dengan kerusakan estetika gramatikal bahasa arab kepada Saidina Alî r.a. Maka beliau menyusunkan baginya pembagian kalimat (taqsîmul kalimat), bab-bab nawâsih (abwâbunnawâsih), idhâfah, ta'azzub, istifhâm, dan selainnya. Dan mengatakan kepada Abû Aswad Ad-Dhualî unhu hadzâ an-nahwu, yang bermakna ikuti kamulah aturan dalam menyusun undang-undang (qawaâid) terhadap ilmu nahwu dan baris (syakal)nya [Op. cit, 8]. Maka, jadilah Abû Aswâd ad-Dhaulî sebagai penyusun kitab nahwu pertama dan buku tersebut bernama "Qawâid al-Lughoh al-'Arâbiyah". Setelah itu, datanglah para pelajar (thâlib) untuk mempelajari (talaqqi) kitab tersebut langsung kepadanya. Diantaranya, Sibawaihi, al- Kisâî, al-Khalîl dan lainnya, yang semuanya itu menjadi penurusnya dalam mengembangkan ilmu gramatikal bahasa arab dengan karangan kitab yang berjilid-jilid [Op.cit, 8].
Aliran-aliran ilmu nahwu (Madâris an-Nahwiyah).
Setelah tersusunnya ilmu gramatikal bahasa arab dan banyaknya para ulama yang telah memperjelas ilmu tersebut. Hal ini, mengakibatkan timbulnya aliran-aliran dalam ilmu nahwu, yang disebabkan adanya khilaf dikalangan para ulama nahwu dalam menentukan posisi (mahal) kata dalam suatu kalimat. Beda persepsi ini, tidak luput dari pengaruh daerah para ulama tersebut menetap. Diantara aliran-aliran ilmu nahwu (Madâris an-Nahwiyah) tersebut; aliran (madrasah) al-Basrah, Kûfah, Baghdâd, Andalus dan Mesir. Namun, aliran (madrasah) yang paling terkenal dalam kitab-kitab nahwu hanya dua, Basrah dan Kûfah.
Aliran (Madrasah) Basrah.
Aliran (Madrasah) ini berkembang pesat hingga terkenal di kalangan para ulama nahwu (Nahwiyyîn), dikarenakan begitu semangat dan gigihnya para pelajar (thâlib) dalam mempelajari ilmu nahwu yang langsung diajar oleh penyusun kitab nahwu pertama kali, Abû Aswad ad-Dhualî. Sebab utama begitu semangatnya mereka dalam mendalami ilmu nahwu, ketika itu negeri Basrah telah bercampur penduduknya antara pribumi (baca; warga Basrah) dengan non pribumi ('azam) yang hidup layaknya seperti penduduk asli. Bahasa arab merupakan bahasa resmi Negara pada waktu itu, namun karena adanya percampuran non pribumi dalam negeri itu yang secara otomatis (dharûriyah) mengakibatkan adanya kerusakan dalam susunan tata bahasa arab. Sibawaihi merupakan salah satu produk aliran (madrasah) Basrah, yang telah mengarang buku nahwu yang berjudul "al-Kitab". [Op. cit, 49]. Diantara ciri khas aliran (madrasah) Basrah, selalu berpegang pada pendapat jumhur bahasa (lughoh) bila terdapat khilaf. Jika terdapat yang menyalahi jumhur mereka takwilkan atau golongkan sebagai kelompok yang ganjil (syaz), dan aliran (madrasah) ini selalu menggunakan simâi dalam memecahkan suatu masalah yang berkaitan dengan gramatikal bahasa arab [Op. cit, 50]
Aliran (Madrasah) Kûfah.
Negeri Kûfah terkenal sebagai Negerinya para Muhadditsin, Penyair dan Qirâah. Sehingga terdapat di dalamnya tiga ulama Kisâi termasuk pendiri aliran (Madrasah) Kûfah dan ulama yang masyhur Qirâah yang terkenal, seperti kisâî, 'âshim bin Abi al-Nujûd dan Hamzah. di negeri itu. Penadapatnya terhadap suatu masalah dalam gramatikal bahasa arab selalu menjadi acuan, baik pengikutnya maupun yang lainnya. Ciri khas aliran (madrsah) ini, lebih sering menggunakan qiyas dalam memecahkan suatu masalah yang berkaitan dengan gramatikal bahasa arab. (Op. cit, 53)
Jadi, begitu indahnya bahasa arab memiliki pemerhati bahasa yang mampu menjaga estetika bahasa itu sendiri. Bagaimana dengan bahasa Indonesia, akankah tetap memiliki estetika bahasa yang tinggi? Semoga!
* Tulisan ini disarikan dari kitab Mûjaz Târikh an-Nahwu, Taufîq Amr Balthoh zî.
** Penulis adalah alumnus Madrasah Aliyah Swasta Muallimin Proyek UNIVA Medan. Sekarang sedang melanjutkan studi di Universitas Al-Azhar, Fak. Syariah Islamiyah TK.II
(Rahmat Hidayat Nst**)
Penamaan ilmu Nahwu, pengarang dan perkembangannya.
Ketika Islam mampu mengembangkan sayapnya ke belahan dunia. Maka, secara otomatis (dharûriyah) bahasa arab juga ikut andil dalam hal itu. Karena, disamping sebagai bahasa resmi umat islam terutama shalat, juga Negara arab sebagai tempat turunnya agama Islam, yang ketika itu Makkah sebagai daerahnya. Karena itu, bahasa arab akhirnya banyak yang ingin mempelajarinya sehingga tidak terlepaslah dari percampuran dengan bahasa lain yang secara pasti akan merubah susunan gramatikalnya. Akhirnya, fenomena ini menjadi perhatian penting pencinta dan pemerhati bahasa arab sendiri, karena seringnya mereka menemukan kesalahan (lahn) dalam berbicara dan penulisan. Hal ini terjadi, tidak lepas karena orang non arab ('azam) dalam berbicara keseharian masih selalu menggunakan bahasa negaranya sendiri, sehingga ketika berbicara dengan orang yang berketurunan arab selalu terdapat kesalahan dalam melafalkan kalimat.
Dalam satu riwayat disebutkan, bahwa Abû al-Aswad ad-Dhualî sebagai pencinta dan pemerhati bahasa arab yang tinggal di negeri Basrah (sekarang, Irak) pernah menemukan seorang qori sedang mentilawahkan al-Qur an. Ketika itu, qori tersebut membaca kata "rasûlihi" yang terdapat dalam ayat "innallâha barîun minalmusyrikîn wa rasûluhu" dengan berbaris bawah (kasrah) dengan maksud meng'athaf kannya kepada kata" al-musyrikîn" [ Taufîq bin Umar Balthohzî, Mûjaz Târîkh an-Nahwu, 1995, 7]. Dan dalam riwayat yang lain, suatu malam Abû al-Aswad al-Dhualî sedang duduk di balkon bersama putri kesayangannya, ketika sang putri melihat bintang-bintang di langit begitu indah sekali dengan menimbulkan cahaya yang gemilang, sehingga timbul kekagumannya dan mengatakan "mâ ahsannus samâa" sebagai ganti (badal) dari kalimat kagum (ta'azzub) yang seharusnya "mâ ahsanasamâi" Muhammad bin Ahmad bin Abdul Bâri al-Ahdal, Kawâkib ad-Durriyah, 1990, 25]. Dan telah banyak ia mendengar keselahan-kesalahan masyarakat pada waktu itu dalam berbicara, sehingga timbul kekhawatirannya akan rusaknya estetika gramatikal bahasa arab dari wujud aslinya. Kemudian ia pergi mengadukan hal-hal yang pernah ditemukannya, yang berkaitan dengan kerusakan estetika gramatikal bahasa arab kepada Saidina Alî r.a. Maka beliau menyusunkan baginya pembagian kalimat (taqsîmul kalimat), bab-bab nawâsih (abwâbunnawâsih), idhâfah, ta'azzub, istifhâm, dan selainnya. Dan mengatakan kepada Abû Aswad Ad-Dhualî unhu hadzâ an-nahwu, yang bermakna ikuti kamulah aturan dalam menyusun undang-undang (qawaâid) terhadap ilmu nahwu dan baris (syakal)nya [Op. cit, 8]. Maka, jadilah Abû Aswâd ad-Dhaulî sebagai penyusun kitab nahwu pertama dan buku tersebut bernama "Qawâid al-Lughoh al-'Arâbiyah". Setelah itu, datanglah para pelajar (thâlib) untuk mempelajari (talaqqi) kitab tersebut langsung kepadanya. Diantaranya, Sibawaihi, al- Kisâî, al-Khalîl dan lainnya, yang semuanya itu menjadi penurusnya dalam mengembangkan ilmu gramatikal bahasa arab dengan karangan kitab yang berjilid-jilid [Op.cit, 8].
Aliran-aliran ilmu nahwu (Madâris an-Nahwiyah).
Setelah tersusunnya ilmu gramatikal bahasa arab dan banyaknya para ulama yang telah memperjelas ilmu tersebut. Hal ini, mengakibatkan timbulnya aliran-aliran dalam ilmu nahwu, yang disebabkan adanya khilaf dikalangan para ulama nahwu dalam menentukan posisi (mahal) kata dalam suatu kalimat. Beda persepsi ini, tidak luput dari pengaruh daerah para ulama tersebut menetap. Diantara aliran-aliran ilmu nahwu (Madâris an-Nahwiyah) tersebut; aliran (madrasah) al-Basrah, Kûfah, Baghdâd, Andalus dan Mesir. Namun, aliran (madrasah) yang paling terkenal dalam kitab-kitab nahwu hanya dua, Basrah dan Kûfah.
Aliran (Madrasah) Basrah.
Aliran (Madrasah) ini berkembang pesat hingga terkenal di kalangan para ulama nahwu (Nahwiyyîn), dikarenakan begitu semangat dan gigihnya para pelajar (thâlib) dalam mempelajari ilmu nahwu yang langsung diajar oleh penyusun kitab nahwu pertama kali, Abû Aswad ad-Dhualî. Sebab utama begitu semangatnya mereka dalam mendalami ilmu nahwu, ketika itu negeri Basrah telah bercampur penduduknya antara pribumi (baca; warga Basrah) dengan non pribumi ('azam) yang hidup layaknya seperti penduduk asli. Bahasa arab merupakan bahasa resmi Negara pada waktu itu, namun karena adanya percampuran non pribumi dalam negeri itu yang secara otomatis (dharûriyah) mengakibatkan adanya kerusakan dalam susunan tata bahasa arab. Sibawaihi merupakan salah satu produk aliran (madrasah) Basrah, yang telah mengarang buku nahwu yang berjudul "al-Kitab". [Op. cit, 49]. Diantara ciri khas aliran (madrasah) Basrah, selalu berpegang pada pendapat jumhur bahasa (lughoh) bila terdapat khilaf. Jika terdapat yang menyalahi jumhur mereka takwilkan atau golongkan sebagai kelompok yang ganjil (syaz), dan aliran (madrasah) ini selalu menggunakan simâi dalam memecahkan suatu masalah yang berkaitan dengan gramatikal bahasa arab [Op. cit, 50]
Aliran (Madrasah) Kûfah.
Negeri Kûfah terkenal sebagai Negerinya para Muhadditsin, Penyair dan Qirâah. Sehingga terdapat di dalamnya tiga ulama Kisâi termasuk pendiri aliran (Madrasah) Kûfah dan ulama yang masyhur Qirâah yang terkenal, seperti kisâî, 'âshim bin Abi al-Nujûd dan Hamzah. di negeri itu. Penadapatnya terhadap suatu masalah dalam gramatikal bahasa arab selalu menjadi acuan, baik pengikutnya maupun yang lainnya. Ciri khas aliran (madrsah) ini, lebih sering menggunakan qiyas dalam memecahkan suatu masalah yang berkaitan dengan gramatikal bahasa arab. (Op. cit, 53)
Jadi, begitu indahnya bahasa arab memiliki pemerhati bahasa yang mampu menjaga estetika bahasa itu sendiri. Bagaimana dengan bahasa Indonesia, akankah tetap memiliki estetika bahasa yang tinggi? Semoga!
* Tulisan ini disarikan dari kitab Mûjaz Târikh an-Nahwu, Taufîq Amr Balthoh zî.
** Penulis adalah alumnus Madrasah Aliyah Swasta Muallimin Proyek UNIVA Medan. Sekarang sedang melanjutkan studi di Universitas Al-Azhar, Fak. Syariah Islamiyah TK.II
(Rahmat Hidayat Nst**)
0 comments: