Mencoba Memahami Soekarno sebagai "Dirinya Sendiri"
Seorang tokoh besar seperti Soekarno memang menjadi bahan
kajian yang tidak pernah habis dan membosankan. Selalu ada unsur dan polemik
baru yang lahir dari tokoh ini di sepanjang karier politiknya.
Karya Bob Hering tentang Soekarno ini mencoba memahami
kembali Soekarno sebagai "Bapak Bangsa" dengan cara melakukan
rekonstruksi atas berbagai realitas yang dialami Soekarno sendiri. Dengan
begitu, ia mencoba mengurangi "subyektivisme" dan stereotip atas
Soekarno sebagai sosok yang oleh Taufik Abdulah sering dianggap sebagai sosok
"eksotis dari Timur" oleh para peneliti Barat.
Edisi bahasa Indonesia karya Hering diterbitkan oleh Hasta
Mitra dengan kata pengantar dari Joesoef Isak. Menurut Joesoef, banyak karya
tentang Soekarno tidak menggambarkan siapa itu Soekarno secara utuh,
"Obyeknya memang Soekarno, tetapi pertama-tama stempel selera dan
warna-politik penulis sendirilah yang dapat kita detect, dapat langsung kita
lihat belang penulisnya" (hal viii). Dalam semangat ini Hering mencoba
melihat watak Soekarno menurut pengalaman Soekarno sendiri. Dengan dukungan
data yang sangat detail, karya ini mengajak pembaca agar memahami tentang
Soekarno sebagai "dirinya sendiri". Seperti dikatakan oleh Joesoef,
"dia bebas dari kontaminasi abstraksi-abstraksi kerekayasaan yang
bermaksud mematahkan dan menghitamkan Soekarno" (hal xxi).
Pesan penting dari buku ini adalah bahwa benang merah
paling penting dari sejarah politik Soekarno adalah perjuangannya yang
konsisten untuk mencapai Indonesia merdeka. Untuk tujuan tersebut ia
"melakukan berbagai cara yang dimungkinkan" untuk terus membawa kapal
politik gerakan menuju satu tujuan bersama, Indonesia merdeka. Oleh karena itu,
pantas bila Soekarno dijuluki "Bapak Indonesia Merdeka". Sebuah peran
besar yang tidak boleh "dikecilkan" oleh analisis akademis dan
penelitian tentang diri Soekarno, di balik segala kontroversi yang
mengiringinya.
Menyusuri ideologi Soekarno muda
"Masa pendidikan politik" Soekarno, menurut
Hering, dibentuk di dua kota berbeda, yang mengenalkannya pada dua ideologi
modern yaitu sosialisme dan nasionalisme. Di kota Surabaya Soekarno mengaku
pertama kali mengenal Marxisme melalui Alimin ketika ia tinggal di asrama. Di
asrama ini ia juga mengenal Moeso, Semaun, dan Darsono, orang- orang kiri yang
kelak mendirikan Partai Komunis Indonesia. Dari orang-orang sosialis radikal
ini Soekarno juga mulai mendengarkan berbagai propaganda sosialis yang
dilakukan oleh orang Eropa seperti Baars, Reeser, dan Hartogh. Pengaruh kaum
sosialis ini sangat kuat pada analisis Soekarno tentang imperialisme,
kapitalisme, dan kolonialisme sehingga kalaupun ia nanti menjadi seorang
nasionalis, ia menjadi seorang nasionalis yang cenderung antikapitalisme.
Namun, dalam perkembangannya Soekarno tidak memilih
sosialisme radikal. Menurut Hering, ada dua orang yang memengaruhi perubahan
"sosialisme" Soekarno. Pengaruh pertama datang dari tokoh karismatis
Sarekat Islam, Tjokroaminoto, yang mempunyai basis kuat di Surabaya dan seorang
penganjur "kapitalisme yang bermoral" dan dasar religius bagi
sosialisme. Tjokro "secara berangsur memberikan tugas- tugas dan tanggung
jawab politik kepada Soekarno yang dengan senang dilaksanakannya" (hal
104-105).
Pengaruh kedua datang dari Karl Kautsky melalui karyanya
Sozialismus und Kolonialpolitik Eine Auseinandersetzung yang ia baca
ringkasannya dalam Het Vrije Woord di tahun 1919. Kaustsky membawa Soekarno
kepada pentingnya sebuah parlemen yang kuat daripada sebuah kediktatoran
proletariat. Seperti ditulis Hering, "Hal ini memberikan pengaruh agak
kuat pada Soekarno yang telah lebih matang" (hal 107).
Kepindahan Soekarno ke Bandung pada bulan Juni 1921 untuk
masuk ke Technische Hoogeschool membawa Soekarno berkenalan dan menyerap
nasionalisme radikal dari Tjipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker. Tjipto
tampaknya mendapatkan tempat khusus dalam diri Soekarno. Menurut Hering,
"Soekarno mengakui bahwa ia mendapatkan pengaruh politik terbesar dari
trio pengurus IP (Indische Partij) kemudian SH/NIP (Sarekat
Hindia/Nationaal-Indische Partij)" (hal 128). Soekarno menyebut Tjipto
dengan "saudara Tjipto-mychief". Kebetulan Tjipto dan Douwes Dekker
tinggal tidak jauh dari tempat tinggal Soekarno di Bandung. "Mereka itu
yang mempengaruhi pandangan politik radikal Soekarno yang kian matang, terutama
Tjipto yang sama-sama priyayi" (hal 129). Selama di Bandung ini
"Tjipto terus-menerus mendorong Soekarno menjadi seorang nasionalis yang
meyakinkan" (hal 129).
Pergumulannya dengan sosialisme dan nasionalisme radikal
membuat Soekarno mencoba merumuskan "sebuah ideologi nasional" yang
akan ia gunakan hingga akhir hayat, yaitu Marhaenisme. Nama ini didapat ketika
ia sedang berjalan di sebelah selatan Bandung dan bertemu dengan seorang petani
bernama Marhaen. Seorang petani kecil, tani sieur, memiliki sepetak tanah
dengan peralatan kerja untuk bercocok tanam, sekadar bisa bertahan hidup
bersama keluarga. Konsep Marhaen ini kemudian ia identikkan secara lebih luas
dengan orang yang miskin dan hidup kekurangan, seperti buruh miskin, nelayan
miskin, klerek miskin, pedagang keliling miskin, tukang sado miskin, atau sopir
miskin. "Menurut Soekarno, mereka semua adalah marhaen, dan marhaenisme adalah
sosialisme Indonesia dalam praktek" (hal 126). Dengan begitu, Soekarno
muda sudah menemukan suatu "ideologi nasional" yang dianggap cocok
dengan situasi rakyat negerinya. "Pada waktu itu, ia memandang bahwa
konsep marhaenisme lebih cocok sebagai ideologi nasional daripada pengertian
kelas proletariat" (hal 126).
Soekarno mencoba mencari strategi realistis bahwa tujuan
ideologis atas nama Islam atau sosialisme sebetulnya harus melewati sebuah
proses yang sama, yaitu Indonesia merdeka. Tujuan "mencapai kemerdekaan"
ini yang menurut Hering konsisten dilaksanakan oleh Soekarno dengan taktik yang
berbeda, nonkooperasi di zaman rezim kolonial Belanda dan kooperasi di bawah
rezim fasis Jepang.
Pada tahun 1926 didirikan Comite Persatuan Indonesia (CPI)
di Bandung.
CPI mengeluarkan terbitan berkala bulanan yang bernama
Indonesia Moeda (IM). Dalam IM ini Soekarno mengeluarkan formula politik
"klasiknya" tentang "Nasionalisme, Islamisme, dan
Marxisme". Tulisan ini dimuat tiga nomor berturut- turut. "Dengan
begitu Soekarno melakukan ajakan dan prakarsa dramatis kepada tiga ideologi
dominan yang menjiwai keberadaan dan bertahannya organisasi-organisasi utama di
Tanah Air" (hal 136). Persatuan ini ditujukan pada satu muara, yaitu
"untuk melakukan perlawanan bersama terhadap musuh bersama" (hal
136).
Perserikatan Nasional Indonesia dan represi
Pada bulan Juli 1926 Soekarno mengadakan sebuah pertemuan
dan mengambil kesepakatan tentang perlunya mendirikan sebuah partai nasionalis
baru yang "sama sekali berlainan dengan PKI". Disepakati untuk
membentuk Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) dengan Soekarno sebagai ketua.
Partai ini menolak taktik kekerasan, tetapi memilih sikap nonkooperasi atas
penguasa kolonial. PNI juga mengambil taktik aksi massa atau rapat umum untuk
mendesakkan kebangkitan kesadaran rakyat. Kelahiran PNI ini juga menjadi titik
awal rivalitas politik yang panjang antara Soekarno dan Hatta dan Syahrir.
Kelahiran PNI ini telah membentuk "jiwa politik
Soekarno" untuk menjalin suatu "keterikatan emosional" dengan
"kerumunan massa" yang terpukau oleh orasinya. Kehadirannya menjadi
kunci dari mobilisasi politik yang diikuti oleh ribuan orang di berbagai tempat
di Pulau Jawa. Rezim kolonial mulai khawatir dengan perkembangan ini.
Akibatnya, ruang gerak PNI mulai dibatasi dengan berbagai pembatalan acara dan
represi. Bahkan, di Semarang pidato Soekarno dihentikan oleh polisi ketika
berbicara tentang kemerdekaan. Soekarno mulai menjadi target utama polisi,
intel rezim kolonial. Bahkan polisi bertindak lebih jauh lagi dengan melarang
penggunaan kata "merdeka" dalam pertemuan PNI dan pidato Soekarno.
Bahkan beredar desas-desus bahwa Soekarno sudah masuk dalam daftar aktivis yang
akan ditangkap dan dibuang.
Merespons isu tersebut Hatta sudah menyiapkan sebuah
perjalanan bagi Soekarno untuk tinggal sementara di negeri Belanda. Namun,
menurut Hering, selain motif untuk menghindari represi atas PNI dan Soekarno,
Hatta tampaknya juga berambisi hendak mengambil alih kepemimpinan politik.
"Ketika PNI ditinggalkan sendirian, maka Hatta akan mendapatkan peluang
nyata bagi peran dirinya sendiri" (hal 185). Dan langkah selanjutnya
adalah "mendapatkan kesempatan agar kepemimpinan PNI jatuh ke tangan
mereka yang kurang flamboyan dan lebih berhati- hati yang kemudian lebih menerima
arahan dan gagasannya sendiri" (hal 185). Anjuran ini ditolak oleh
Soekarno, yang menurut Hering, "Hatta tidak memahami suatu fakta penting
bahwa Soekarno mendapatkan kepuasan luar biasa dengan menggunturkan protes dan
klaimnya di depan kerumunan besar massa rakyat pribumi yang mendengarkan
pidatonya" (hal 186).
Tanggal 29 Desember 1929 Soekarno ditangkap dengan tuduhan
akan adanya pemberontakan, "agar ada alasan memukul PNI sekali dan untuk
selamanya" (hal 203). Selanjutnya, Soekarno ditahan di Penjara Bantjeuj.
Ketika Soekarno di penjara, rezim kolonial terus melakukan represi atas PNI
dengan melakukan penggeledahan dan pelarangan berbagai kegiatan. Akhirnya para
pimpinan PNI membekukan organisasi ini pada 11 November 1930.
Pengadilan atas Seokarno dilangsungkan sepanjang tahun 1930
dan ia dijatuhi hukuman empat tahun penjara. Soekarno lalu ditahan di Penjara
Soekamiskin di Bandung bersama dua pemimpin PNI lainnya, Gatot dan Maskoen.
Proses persidangan Soekarno menjadi media propaganda dan pendidikan politik
yang menarik perhatian luas, seperti dikatakan Hering, "Dengan segala
keterampilannya sebagai orator, ia menyampaikan pembelaan maraton yang piawai,
penuh dengan data resmi tak terbantah dalam membeberkan pesannya dengan
istilah-istilah yang penuh tenaga" (hal 213-214).
Dipenjarakannya Soekarno tetap tidak dapat menghasilkan
"kepemimpinan politik baru". Hatta dan Syahrir yang mendirikan
Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) pada tahun 1932 gagal menggantikan
peran Soekarno dan PNI lamanya. Menurut Hering, akhirnya Syahrir bersikap jauh
lebih realistis atas Soekarno. "Kami tak dapat menyingkirkan dia
(Soekarno). Telah beberapa tahun lamanya rakyat terpesona olehnya sampai
kini" (hal 237-238). Akibatnya, menurut Hering, "secara mendasar
mereka gagal untuk dapat melaksanakan cetak biru pandangan Barat secara
lengkap" (hal 240).
Bebasnya Soekarno pada Januari 1932 membuat Partindo yang
didirikan untuk menggantikan PNI dengan cepat mendorong kembali radikalisme
kaum pergerakan. Cabangnya berkembang hingga 43 cabang dengan anggota mencapai
20.000 anggota. Untuk memberikan panduan politik, Soekarno menerbitkan pamflet
Menuju Indonesia Merdeka (MIM). Hering tidak melihat keluarnya pamflet MIM
sebagai reaksi dari pamflet Hatta yang keluar sebelumnya dengan judul Ke arah Indonesia
Merdeka (KIM) seperti ditulis Mavis Rose dalam Biografi Politik Mohammad Hatta
(Jakarta, Gramedia 1991, hal 111).
Pada 31 Juli 1933 Soekarno kembali ditangkap karena
pamfletnya tersebut. Dalam proses interogasi inilah dunia pergerakan kembali
dibuat geger oleh Soekarno dengan dipublikasikannya empat surat Soekarno yang
mengungkapkan penyesalan politiknya dan berjanji akan keluar dari politik dan
selanjutnya mengabdikan diri sepenuhnya dalam kehidupan sebagai warga biasa
sesuai dengan kemampuan akademiknya.
Hering sendiri tampaknya mencoba keluar dari polemik
sensitif di sekitar surat ini dengan melihat konteks mengapa bisa keluar surat
semacam ini. Pertama, ia menduga ada tekanan atas Soekarno selama diinterogasi
dan ditahan, "Kunci masalahnya mungkin sekali berada di tangan Jongmans
yang menekan Soekarno dengan memaksanya menulis surat kepada Jaksa Agung"
(hal 258). Kedua, ia hendak mengatakan bahwa Soekarno adalah juga manusia
biasa, apalagi saat itu ibunya sedang sakit, "Di sini ia dalam keadaan pantas
dikasihani, memohon dirinya dibebaskan, serta menerima usul yang bermaksud baik
untuk memperbaiki jalan hidupnya" (hal 258-259). Terakhir, rezim kolonial
melanggar kesepakatan yang telah dibuat untuk tidak mengumumkan surat-surat
tersebut. Rezim kolonial tampaknya sadar, "Diterbitkannya surat itu akan
merupakan ’pernyataan kematian sosialnya yang pasti’ dan menyebabkan
’masyarakat Indonesia akan mengutuk dan meludahi dirinya’" (hal 259).
Selanjutnya, Soekarno harus menjalani hukuman panjang dalam
"sewindu semadi dan refleksi" di Ende dan Bengkulu. Dari
pembuangannya di Bengkulu Soekarno terus mengikuti perkembangan dunia dan mulai
menulis serangkaian artikel tentang bahaya fasisme, "Semangat kita adalah
semangat demokrasi, sedang semangat fasis adalah tirani". Perkembangan ini
disadari Soekarno "akan mempunyai kaitan langsung atau tidak dengan
kepentingan Indonesia sendiri" (hal 295).
Pada 1941 Soekarno dibebaskan dan diminta untuk membentuk
Penolong Korban Perang. Seperti ditulis Hering, "Bagi Soekarno ini
merupakan pertanda bahwa serangan Jepang sudah mendekat" (hal 301).
Analisis Soekarno itu terbukti benar. Bulan Maret 1942 tentara fasis Jepang
sudah behasil mengambil alih Hindia Belanda dari rezim kolonial Belanda.
Zaman Jepang dan proklamasi kemerdekaan
Tidak banyak yang memahami bahwa taktik kolaborasi dalam
zaman pendudukan militer Jepang dilakukan Soekarno dalam kerangka "mencari
segala cara" untuk membawa Indonesia merdeka. Tampaknya penulis ingin
membuktikan bahwa dalam ruang politik yang begitu sempit, Soekarno berhasil
memaksakan berbagai konsesi politik kepada rezim Fasis Jepang. Dalam
"penafsiran seperti ini" Hering ingin menunjukan bahwa Soekarno tidak
berubah dengan cita-citanya, hanya taktiknya yang berubah. Oleh karena itu, strategi
Soekarno tersebut tidak bisa disamakan dengan kolaborasi terhadap naziisme atau
fasisme di Eropa.
Pada bulan Juni 1942 Soekarno kembali ke Jawa dari
pembuangannya. Ia lalu terlibat dalam pertemuan politik dengan Asmara Hadi,
Hatta, dan Syahrir untuk merespons situasi terbaru di bawah pendudukan militer
Jepang. "Mereka berempat merundingkan kesempatan kerja sama dengan pihak
Jepang dalam usaha untuk membangun kembali gerakan" (hal 338). Dengan
alasan strategis itu Soekarno menerima penunjukannya untuk berkolaborasi guna
mengurangi dampak politik penindasan pemerintah terhadap rakyat.
Dengan taktik itu Soekarno menerima tawaran Jenderal
Imamura, penguasa militer Jepang, untuk duduk sebagai penasihat dalam
Departemen Urusan Dalam Negeri. Posisi ini memberikan "ruang dan
kesempatan" kepada Soekarno untuk kembali bicara di hadapan ribuan rakyat,
"tempat ia selalu mendapatkan ilham kekuatan" (hal 341), setelah
sembilan tahun diasingkan. Pada tanggal 8 Desember 1942 Soekarno mengumumkan
berdirinya Pusat Tenaga Rakyat (Putera).
Soekarno memanfaatkan Putera untuk melakukan berbagai rapat
umum di berbagai tempat dan mendesakkan berbagai konsesi politik. Sebuah rapat
umum Putera yang dihadiri lebih dari 100.000 orang di Bandung akhirnya membuat
"Pemerintah Jepang memberikan sejumlah konsesi" (hal 356) dengan
"mengizinkan penduduk Jawa melakukan partisipasi politik" (hal 356).
Realisasi perluasan partisipasi politik itu adalah dengan pembentukan Chuo
Sangiin (Dewan Penasihat Pusat), Shu Sangikai di tingkat karesidenan dan Tokubetsushi
Sangikai khusus di Jakarta.
Dalam Chuo Sangiin Soekarno terus menuntut konsesi politik
yang lebih luas bahkan sudah berani menuntut kemerdekaan dalam pidato pertama
pembukaan dewan. Menurut Hering, "Chuo Sangiin yang diketuai oleh Soekarno
telah berkembang ke arah lain daripada yang dimaksudkan oleh pihak Jepang"
(hal 359-360).
Kebutuhan akan mobilisasi perang membuat pihak Jepang
membentuk Pembela Tanah Air (Peta) yang diketuai oleh tokoh PNI, Gatot
Mangkoepradja. Namun, organisasi ini berhasil digerakkan ke arah tujuan lain.
Hering menulis, "Kaum nasionalis Indonesia memandang Peta berbeda karena
tujuan berkelanjutan Soekarno, Hatta, dan para pemimpin Putera lain yang terus
menerus mengindoktrinasi para anggota Peta dengan arah pandangan pro Indonesia,
hanya keluar terlihat pro Jepang dan antisekutu" (hal 365).
Tanda-tanda Jepang mulai kelelahan dengan perang mulai
tampak dari janji PM Koiso untuk memberikan masa depan kemerdekaan bagi
Indonesia pada bulan Juli 1944. Pada tanggal 1 Maret 1945 secara mengejutkan
pemerintah Jepang membentuk Badan Untuk Menyelidiki Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan yang dipimpin oleh Dr Radjiman.
Setelah Nazi takluk pada sekutu pada bulan Mei 1945, Mayjen
Yamamoto Moichiro secara mengejutkan mulai berbicara tentang "membangun
Indonesia merdeka". Badan Untuk Menyelidiki Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan mengadakan sidang 1 Juni 1945 "untuk bersama-sama mencari
dasar filosofis bersama" (hal 401). Dalam sidang ini Soekarno merumuskan
konsepnya yang dikenal sampai sekarang dengan Pancasila.
Pada tanggal 10 Agustus 1945 Syahrir menyebarkan kabar
peledakan bom atom di Jepang dan ultimatum sekutu agar bala tentara Jepang
menyerah. Ia menyebarkan kabar ini kepada berbagai kelompok pemuda dan menemui
Hatta "untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia" (hal
413).
Polemik yang muncul kemudian adalah, apakah proklamasi
dilakukan karena "penculikan" yang dilakukan oleh kelompok yang
didorong oleh "scenario mereka sendiri, atau setidaknya scenario
Syahrir" (hal 415) ataukah memang karena inisiatif Soekarno-Hatta sendiri?
Adam Malik menganggap telah terjadi kesepakatan antara pemuda dan keduanya
setelah dipaksa. Hatta menganggap kesepakatan itu cuma mitos belaka.
Kenyataannya adalah bahwa naskah proklamasi dikerjakan di Jalan Imam Bonjol, di
rumah Laksamana Maeda, di mana Hatta berperan besar dalam menuliskan naskah
proklamasi. Pada jam 10 pagi di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan 56,
"Soekarno dengan didampingi Hatta di depan ratusan hadirin membacakan
proklamasi" (hal 423). Berita ini lalu disebarluaskan dengan menggunakan
fasilitas kantor berita Domei ke seluruh pelosok Indonesia dan dunia.
Selanjutnya PPKI diubah menjadi Komite Nasional Indonesia
"untuk menghindarkan kesan sebagai bikinan Jepang". Dan Soekarno
menjadi presiden bersama wakilnya Hatta dengan dewan penasihat sementara Komite
Nasional Indonesia Pusat. Pada tanggal 7 Oktober Syahrir dan 40 orang anggota
KNIP membuat petisi yang menuntut kabinet bertanggung jawab pada legislatif
(KNIP), bukan pada presiden.
Petisi ini menunjukkan terbukanya kembali rivalitas
perebutan kepemimpinan politik di antara Syahrir-Hatta versus Soekarno. Petisi
tesebut adalah alat dari Syahrir-Hatta untuk "memangkas peran politik
Soekarno". Kejadian ini adalah "kudeta diam-diam dalam arti dilakukan
dengan pintar, tenang dan damai" (hal 429). Dan Soekarno diletakan
perannya tak lebih sebagai "simbol".
Penutup
Buku ini adalah upaya seorang "peneliti Barat"
yang mencoba memahami Soekarno dari pengalaman dan fakta yang mengitarinya.
Upaya ini tampak dari kerja keras penulis untuk menelusuri berbagai dokumen
yang mengikuti karier politik Soekarno muda secara detail.
Tentu saja subyektivisme "seorang pengagum
Soekarno" juga terasa, khususnya dalam perseteruan politik Soekarno dengan
Hatta dan Syahrir. Membaca karya Hering, kita justru menjadi
"realistis" bahwa "dwi-tunggal Soekarno-Hatta" sebenarnya
lebih tepat sebuah mitos, bukan kenyataan.
Karya "akbar" ini menurut Bob Hering akan
dilanjutkan dengan penerbitan jilid II, yaitu masa perjalanan politik Soekarno
antara tahun 1945 hingga 1965. Kita patut menunggunya karena rivalitas antara
Hatta- Sjahrir dan Soekarno akan mencapai puncaknya dengan penangkapan Syahrir
dan mundurnya Hatta sebagai Wapres. Namun, rivalitas itu tampaknya hanya
sekunder karena munculnya rivalitas baru antara dua pendatang politik baru yang
sangat penting yaitu PKI dan Angkatan Darat (baca: ABRI). Dua kekuatan politik
yang nantinya akan coba diimbangi oleh Soekarno dengan menggunakan berbagai
konsep "soekarno muda", yang akhirnya gagal karena Angkatan Darat
bergerak dengan motif politik yang lain yaitu motif ideologis Perang Dingin.
WILSON, Alumnus
Jurusan Sejarah Universitas Indonesia, Peneliti di Litbang Lembaga Kajian
PRAXIS.
0 comments: