Perkembangan Anak


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Waktu bayi itu lahir, dia merupakan “subyek dengan dunianya sendiri” yang melingkupi diri sendiri saja. Sedikit demi sedikit ia belajar mengenal dunia luar, mengenal obyek-obyek di luar dirinya; dengan jalan mengarahkan diri keluar menuju kepada dunia obyektif yang riil.
Mula-mulanya sikap anak terhadap kenyataan faktual bercorak sangat subyektif. Lambat laun gambaran yang diperoleh tentang alam nyata akan makin bertambah sempurna dan makin obyektif. Hubungan antara benda-benda dengan diri sendiri tidak lagi didasarkan pada penghayatan yang subyektif, akan tetapi berubah menjadi pengamatan yang obyektif. Dengan begitu anak mulai merebut atau menguasai dunia sekitar secara obyektif. Dalam fase inilah anak menceburkan diri ke dalam masyarakat luas; yaitu masyarakat di luar keluarga, taman kanak-kanak, sekolah, dan kelompok-kelompok sosial lainnya.
Mengingat perkembangan anak yang amat pesat pada usia sekolah, dan mengingat bahwa lingkungan keluarga sekarang tidak lagi mampu memberikan seluruh fasilitas untuk mengembangkan fungsi-fungsi anak terutama fungsi intelektual dalam mengejar kemajuan zaman modern, maka anak memerlukan satu lingkungan sosial yang baru yang lebih luas; berupa sekolah, untuk mengembangkan semua potensinya.

B.     Rumusan Masalah
  1. Bagaimana perkembangan anak memasuki masyarakat di luar keluarga?
  2. Bagaimana pengamatan perkembangan anak pada usia 4-15 tahun?
  3. Bagaimana perkembangan fantasi, pikiran dan ingatan anak pada usia 4-15 tahun?
  4. Bagaimana perkembangan kehidupan perasaan anak pada usia 4-15 tahun?
  5. Bagaimana perkembangan kehidupan sosial anak pada usia 4-15 tahun?
  6. Bagaimana perkembangan kehidupan volutif (konatif, kamauan) anak?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui perkembangan anak memasuki masyarakat di luar keluarga.
2.      Mengetahui pengamatan perkembangan anak pada usia 4-15 tahun
3.      Mengetahui perkembangan fantasi, pikiran dan ingatan anak pada usia 4-15 tahun
4.      Mengetahui perkembangan kehidupan perasaan anak pada usia 4-15 tahun
5.      Mengetahui perkembangan kehidupan sosial anak pada usia 4-15 tahun
6.      Mengetahui perkembangan kehidupan volutif (konatif, kamauan) anak.

BAB II
PEMBAHASAN
PERKEMBANGAN ANAK PADA MASA SEKOLAH

1.      Pengantar
Mulai umur 6 tahun ini, seorang anak pertumbuhan badannya relatif seimbang, maka anak menjadi senang bermain keseimbangan dan penguasaan badan. Pertumbuhan fisik yang berlangsung secara baik sudah tentu ikut berpengaruh terhadap perkembangan psikis anak.
Pada masa tersebut anak sudah matang untuk masuk sekolah. Kriteria kematangan anak dalam hal ini antara lain:[1]
  1. Anak harus sudah dapat bekerja sama dalam suatu kelompok anak-anak lainnya, serta tidak banyak bergantung dengan ibunya dalam kegiatannya.
  2. Anak sudah harus mampu mengamati secara terurai terhadap bagian-bagian dari obyek pengamatan.
  3. Anak harus sudah mampu menyadari akan kepentingan orang lain “to take and give”.
Adapun perkembangan jiwa anak pada masa sekolah ini yang menonjol antara lain:[2]
  1. Adanya keinginan yang cukup tinggi, terutama yang menyangkut perkembangan intelektual anak.
  2. Energi yang melimpah, yang nantinya sebagai sumber potensi dan dorongan anak untuk belajar.
  3. Perasaan kesosialan yang berkembang pesat sehingga anak menyukai untuk mematuhi group teman sebayanya (peer group).
  4. Sudah dapat berpikir secara abstrak sehingga memungkinkan bagi anak untuk menerima hal-hal yang berupa teori-teori ataupun norma-norma tertentu.
  5. Minat istimewanya tertuju kepada kegemaran dirinya (gemar bermain gitar, pelihara binatang, dan lain-lain).
  6. Adanya kekejaman, yaitu: “perhatian anak ditujukan kepada dunia luar, akan tetapi dirinya tidak mendapat perhatian, saat itu juga anak belum mengenal jiwa orang lain”. Akibatnya anak berlaku kejam terhadap orang lain. Kekejaman pada masa ini bukanlah kejam sebenarnya, sebab anak belum menyadari akan tindakan kekejaman itu.
Pada masa sekolah ini sebenarnya anak telah tumbuh sikap obyektifnya, yang menyangkut tentang:
  1. Kenyataan: Anak mempunyai sikap yang serius kepada dunia nyata (realistis).
  2. Kesusilaan: Sikap anak terhadap norma susila sudah jujur meskipun terkadang acuh tak acuh.
Karena sikap-sikap inilah sebenarnya yang mendasari dari ciri-ciri anak.

Memasuki Masyarakat Di Luar Keluarga
Mengingat perkembangan anak yang amat pesat pada usia sekolah ini, dan mengingat bahwa lingkungan keluarga sekarang tidak lagi mampu memberikan fasilitas untuk mengmbangkan fungsi-fungsi anak, terutama fungsi intelektual dalam mengejar kemajuan zaman modern, maka anak memerlukan suatu lingkungan sosial baru yang lebih luas; berupa sekolah, untuk mengembangkan semua potensinya.
Selanjutnya milieu sekolah akan memberikan pengaruh yang sangat besar pada anak sebagai individu dan sebagai makhluk sosial. Peraturan sekolah, otoritas guru, disiplin kerja, cara belajar, kebiasaan bergaul dan macam-macam tuntutan dan kesenangan belajar pada anak. Semua pengalaman ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak.
Sampai pada usia kurang lebih 3 ½ tahun, anak adalah anak keluarga seutuhnya. Sesudah umur tersebut, anak meluaskan cakrawalah pengalamannya di luar lingkungan keluarga. Fungsi penghayatan emosionil yang dominan sampai usia 3 ½ tahun lalu diganti dengan penghayatan yang sifatnya lebih rasional, yang mana anak menjadi semakin obyektif.
Pada usia sekolah ini sikap hidup yang egosentris diganti dengan sikap yang “zakelijk” obyektif dan empiris berdasarkan pengalaman. Dan kelak pada usia 13-14 tahun, sikap tersebut berkembang jadi logis rasional. Emosionalitas anak jadi makin berkurang, sedang unsur intelek dan budi (rasio, berpikir) jadi semakin menonjol. Minat yang obyektif terhadap dunia sekitar menjadi makin besar.[3]
Hurlock (1986: 322) mengemukakan bahwa sekolah merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian anak (siswa), baik dalam cara berpikir, bersikap, maupun cara berperilaku.[4]
Pada saat ini anak tidak lagi benyak dikuasai oleh dorongan-dorongan endogen atau implus-implus intern dalam perbuatan dan pikirannya; akan tetapi lebih banyak dirangsang oleh stimulus-stimulus dari luar.
Dari lingkungan keluarga yang sempit, anak sekarang memasuki lingkungan sekolah yang lebih luas, yang mempunyai kondisi berbeda sekali dengan keluarga. Di sekolah ini hasil-hasil kenudayaan bangsa dan zamannya akan ditransformasikan pada diri anak. Dengan pengoperan hasil budaya tersebut, diharapkan agar anak bisa mempelajari produk-produk kultural bangsanya, untuk kemudian mampu bertingkah laku sesuai dengan norma-norma ethis dan norma sosial lingkungan sekolah.

2.      Pengamatan Anak Beberapa Teori Pengamatan
Dalam perkembangan jiwani anak, pengamatan menduduki tempat yang sangat penting. Beberapa teori tentang pengamatan:[5]
  1. Teori Meumann
Teori ini membedakan tiga fase perkembangan fungsi pengamatan, yaitu:
a.       fase Sintese fantasis (7-8 th)
Semua pengamatan/penghayatan atau memeberikan kesan total.
b.      Fase Analisa (8-9 th)
Ciri-ciri dari macam-macam benda mulai diperhatikan oleh anak.
c.       Fase Sintese Logis (kurang lebih 12 th keatas)
Anak mulai memahami benda-benda dan peristiwa.
  1. Teori Sistem
Teori ini menampilkan 4 stadium dalam perkembangan fungsi pengamatan anak, yaitu:
a.       Stadium-Keadaan (0-8 th)
Di samping mendapatkan gambaran total yang samar-samar, anak kini mengamati benda-benda dan beberapa orang secara lebih teliti.
b.      Stadium-Perbuatan (8-9 th)
Anak menaruh minat besar terhadap perkembangan dan perbuatan orang dewasa, serta tingkah laku binatang.
c.       Stadium-Hubungan (9-10 th)
Anak mengamati relasi/hubungan dalam dimensi ruang dan waktu.
d.      Stadium-Perihal (sifat)
Anak mulai menganalisa hasil pengamatan
  1. Teori Oswald Kroh
Teori ini menyatakan, ada 4 periode dalam perkembangan fungsi pengamatan anak, yaitu:
a.       Periode Sintese-Fantastis (7-8 th)
Segala hasil pengamatan merupakan kesan totalitas/global, sedang sifatnya masih samar-samar.
b.      Periode Relisme Naif (8-10 th)
Anak sudah bisa membedakan bagian/onderdil, tetapi belum mampu menghubung-hubungkan satu dengan lain dalam huungan totalitas.

c.       Periode Realisme-Kritis (10-12 th)
Anak sudah bisa mengadakan sintesis-logis, karena munculnya pengertian, insight/wawasan dan akal yang sudah mencapai taraf kematangan.
d.      Fase Subyektif (10-12 th)
Unsur emosi atau perasaan muncul kembali, dan kuat sekali mempengaruhi penilaian anak terhadap semua pengamatan.

3. Perkembangan Fantasi
Sejak anak berumur 5 atau 6 tahun, perhatiannya mulai ditunjukkan ke dunia luar, ke alam kenyataan. Tetapi bukan berarti fantasiny menjadi lenyap. Fantasi itu terus hidup. Fantasi yang senantiasa hidup itu akan mencari lapangan penyaluran lain, misalnya hiburan seperti membaca buku-buku, mendengarkan cerita, membuat sesuatu dan sebagainya.
1. Beberapa masa Fantasi
Setelah anak-anak mengalami masa  egosentris, fantasinya mengalamai perkembangan melalui masa-masa sebagai berikut:
a.       Masa dogeng 4 sampai dengan 8 tahun masa ini bertepatan waktunya dengan perkembangan anak ke arah kenyataan. Anak suka sekali mendengar cerita kehidupan seperti anak yang lucu, anak yang kotor, anak yang jarang mandi, dan sebagainya. Masih pada masa ini juga, anak suka kepada cerita raja-raja, pemburu yang kejam, raksasa, dan sebagainya.
b.      Masa Robinson Crusoe: 8 sampai dengan 12 tahun. Dalam masa ini anak mengalami realisme naif (diterima tanpa kritik) kemudian anak memasuki masa realisme kritis, yaitu masa anak tidak menyukai lagi dongeng yang fantastis, dogeng yang tidak masuk akal. Sekarang ia lebih menyukai cerita yang benar-benar terjadi, cerita yang masuk akal seperti cerita perjalanan, cerita roman dan sebaginya.
c.       Masa pahlawan: 12 sampai dengan 15 tahun. Anak suka membaca buku-buku perjuangan, karya orang kenamaan yang pernah terjadi. Lambat laun lenyapnya fantasi ilusionitis, yaitu fantasi mengkombinasi maju dengan pesat.
2. Beberapa Nilai Fantasi
Ada beberapa nilai fantasi, yang terutama adalah:
    1. Fantasi dapat dipergunakan sebagai hiburan.
    2. Fantasi dapat memudahkan anak dalam menerima pelajaran.
    3. Fantasi membentuk budi pekerti anak. Bila ia membaca atau melihat film yang baik-baik, ia terdorong meniru dan berbuat seperti yang di baca atau yang dilihatnya itu.
3. Beberapa keburukan berfantasi
Selain memiliki nilai-nilai manfaat, dari sisi lain fantasi itu menimbulkan dampak yang tidak baik yaitu:
  1. Anak sering tenggelam ke dalam dunia fantasiny. Tampaknya ia suka melamun.
  2. Anak takut menghadapi kenyataan. Ia menjadi orang yang pemalu atau menjadi seorang pembual di kalangan teman-temannya.[6]

Perkembangan Pikiran dan Ingatan
Dalam keadaan normal, pikiran anak usia sekolah dasar ini perkembangan secara berangsur-angsur dan secara tenang. Anak betul-betul berada dalam stadium belajar. Di samping keluarga, sekolah memberikan pengaruh yang sistematis terhadap pembentukan akal budi anak. Pengetahuannya bertambah secara pesat. Banyak ketrampilan mulai di kuasai, dan kebiasaan-kebiasaan tertentu mulai dikembangkannya. Dari iklim yang egosentris, anak memasuki dunia obyektif dan dunia pikiran orang lain. Hasrat untuk mengetahui realitas benda dan peristiwa-peristiwa mendorong anak untuk meneliti dan melakukan eksperimen.
Minat anak kepada periode tersebut terutama sekali tercurah pada segala sesuatu yang dinamis bergerak. Anak pada usia ini sangat aktif dinamis. Dan segala sesuatu yang aktif dan bergerak akan sangat menraik minat perhatian anak. Lagi pula minatnya banyak tertuju pada macam-macam aktivitas. Dan makin banyak dia berbuat, makin bergunalah aktivitas tersebut bagi usaha pengembangan kepribadian.
Ingatan anak pada usia 8 sampai 12 tahun ini mencapai intensitas paling besar, dan paling kuat. Daya menghafal daya memorisasi (dengan sengaja memsukkan dan meletakkan pengetahuan dalam ingatan) adalah paling kuat. Dan anak mampu memuat jumlah materi paling banyak.
Kehidupan fantasi mengalami perubahan. Pada usia 8 sampai 9 tahun anak menyuakai sekali cerita-cerita dogeng. Misalnya Timun Emas, Bawang Merah Bawang Putih, malin Kundang, Bandung Bandawasa, Lara Jonggrang, dan lain-lainnya. Unsur-unsur yang hebat dan ajaib dalam dongeng-dongeng ini mencekam segenap minat anak. Lambat-laun unsur kritik mulai muncul, dan anak ini menghendaki peristiwa riil yang betul-betul terjadi, atau semestinya harus terjadi. Karena itu anak lalu menyenangi cerita-cerita kepahlawanan.[7]

4. Perkembangan Perasaan
Anak-anak memiliki perasaan yang lebih kuat pengaruh dibandingkan dengan perasaan orang dewasa. Anak sekolah lekas merasa puas, tampaknya mereka selalu gembira, jarang bahkan tidak pernah menyesali perbuatannya. Mereka belum mampu merasakan kesusahan yang dirasakan orang lain.
  1. Perasaan Intelek
Perasaan intelek ialah perasaan yang menyertai perbuatan berpikir.[8] Perasaan intelek erat hubungannya dapat tidaknya menyelesaikan soal-soal. Pada waktu mulai mengerjakan soal-soal itu, mereka merasa tegang, merasa tidak enak. Akan tetapi setelah soal-soal itu terselesaikan, kembali mereka merasa puas dan lega.
  1. Perasaan Seksual
Masalah seks adalah masalah yang sangat pribadi sifatnya, sehingga paling baik bila dibicarakan dengan para orang tua anak semdiri. Walaupun umumnya orang tua merasa bahwa pendidikan perlu dibicarakan dengan putra-putri mereka, namun dalam kenyataannya orang tua masih segan membicarakan masalah seks dengan anak-anaknya. Padahal, khusus kawula remaja sangat membutuhkan pendidikan itu. Keseganan di kalangan orang tua itu karena belum semua orang tua memiliki informasi dan komunikasi yang wajar dengan anak-anaknya menjadi terhalang. Sebagai akibatnya, anak mencari-cari informasi dari sumber-sumber lain seperti buku, majalah, film,dan teman-teman sebayanya.
  1. Perasaan Keindahan
Yang dimaksud dengan perasaan keindahan adalah perasaan yang timbul ketika individu menghayati suatu yang ada hubungannya dengan indah atau buruk. Walaupun anak sekolah dapat menyatakan pendapatnya tentang mana yang indah/buruk, dalam hal ini mereka hanya menirukan pendapat orang dewasa saja. Apa yang disebut bagus bagi anak itu adalah sesuatu yang disukainya, bukan karena benda itu memang bagus.
  1. Perasaan Keagamaan
Perasaan keagamaan adalah perasaan yang menyertai individu ketika menghayati hubungan dengan Tuhan.
Sejak kecil, anak-anak telah dibiasakan hidup dalam suasana ketuhanan, tetapi mereka sendiri belum mampu menentukan terhadap nilai-nilai keagamaan. Mereka hanya meniru dan menyesuaikan diri saja dengan pendangan hidup orang tuanya.








5. Perkembangan Rasa Sosial
Ketika anak bersikap “keras kepala” perkembangan rasa sosial seakan-akan terhenti. Tetpi yang sesungguhnya terjadi malah sebaliknya. Pada masa inilah merupakan permulaan timbulnya kesadaran akan “aku”nya, dengan kata lain merupakan permulaan sifat obyektif. Krisis pertama inilah tempat meletakkan dasar untuk perkembangan rasa sosial yang sesungguhnya.[9]
Bila anak mulai bersekolah, ia menyambut kenalan-kenalan baru dengan rasa gembira. Semua murid di kelas itu adalah temannya. Kemudian mereka membentuk kelompok-kelompok tersendiri, dimana setiap anak menggabungkan dirinya ke dalam salah satu kelompok. Makin lama anak makin banyak memegang peranan individu dalam kelompoknya. Sekarang anak itu mulai mengetahui bahwa ia termasuk murid yang pandai berhitung, termasuk murid yang pandai bermain kasti, anak yang jenaka dan sebagainya. Pada perkembangan selanjutnya muncullah “pemimpin dan pengikutnya” di dalam kelas itu.
Belajar bergaul dan menyesuaikan diri dengan teman sebaya merupakan suatu uasaha untuk membangkitkan rasa sosial/uasaha memperoleh nilai-nilai sosial. Sehubungan dengan usaha ke arah itu sekolah hendaknya secara explisit ikut menanamkan paham rasa sosial demokratis. Dalam hal ini guru memegang peranan untuk memahami kahidupan sosial di kalangan anak asuhanya, baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat luas. Misalnya dengan menggunakan teknik sosiometris, guru dapat mengetahui hubungan sosial di kalangan anak-anaknya. Berdasarkan pengetahuan itu, guru akan dapat membantu anak-anak yang mempunyai kesulitan dalam pergaulan dengan teman sebaya.
Dalam kehidupan keluarga, anak laki-laki harus diajari berperan sebagai laki-laki, anak perempuan harus diajari berperan sebagai perempuan. Hal ini sesuai dengan tuntutan masyarakat tempat anak laki-laki berperan sosial sebagai pria, dan anak perempuan sebagai wanita. Untuk menunjang perkembangan itu, guru hendaknya mengajarkan peran sosial yang sewajar-wajarnya, masing-masing untuk murid laki-laki dan murid perempuan.
Robert Selman (dalam Santrock, 1995) misalnya, percaya bahwa pengambilan persperktif melibatkan suatu rangkaian yang terdiri dari atas lima tahap, yang berlangsung dari usia 3 tahun hingga masa remaja. Selman mencatat bahwa egosentrisme mulai mengalami kemunduran pada usia 4 tahun, dan pada usia 6 tahun anak menyadari bahwa pendangan orang lain berbeda dengan pandangannya. Pada usia 10 tahun, mereka mulai mampu mepertimbangkan pandangannya sendiri dan pandangan orang lain secara bersamaan. Akan tetapi, sejumlah peneliti tidak setuju dengan tingkatan-tingkatan usia Selman yang mengaitkan perubahan-perubahan dalam kemampuan pengambilan peran.[10]

6. Kehidupan Volutif (Konatif, Kemauan) Anak
Fungsi kemampuan pada masa ini belum berkembang dengan penuh. Anak belum mempunyai kekuasaan atas diri sendiri. Maksudnya anak belum bisa mengatur diri sendiri; belum ada proses regulasi diri. Dia lebih suka tunduk pada kewibawaan yang tegas dari orang tua dan pendidik. Bahkan anak menuntut adanya kewibawaan dan sikap yang kokoh serta konsekuen. Seperti sekolah menyajikan kewibawaan, disiplin, tata tertib dan aturan-aturan normatif lainnya. Semua ini membangunkan kemauan belajar juga mendorong ketekunan usaha dan aktifitas anak.
Sehubungan dengan minat dan aktifitas anak pada usia ini, pendidikan modern sangat memperhatikan energi dan dorongan aktif tersebut untuk disalurkan pada kegiatan yang kenstruktif serta kreatif. Sebab semua kegiatan itu menstimulir pembentukan kemauan anak. Dan yang penting untuk diperhatikan pada usia sekolah rendah ini adalah daya kemauan anak belum kuat, dan belum berkembang penuh. Oleh karena itu perlu adanya tuntunan yang bijaksana dan kewibawaan untuk memupuk disiplin.
Dalam keadaan normal usia 12 tahun anak Sekolah Dasar tersebut merupakan individu yang tenang dan seimbang. Oleh karena itu anak disebut sebagai anak yang komplit, lengkap, anak yang sudah mapan besarnya.
Ciri-cirinya:[11]
1.      Rohani dan jasmani anak dalam kondisi baik, disertai
2.      Saat ketenangan dan pengendapan perasaan-perasaan.
3.      Minat yang besar dan segar terhadap macam-macam peristiwa.
4.      Ingatan yang sangat kuat.
5.      Dorongan ingin tahu yang sangat besar.
6.      Semangat belajar yang tinggi.
Untuk usaha pendidikan perlu dipupuk motif-motif (prayojana, pola dorong, alasan) yang jelas dan kokoh. Dalam proses ini unsur ketegasan dari pendidik serta orang tua mutlak perlu, untuk menumbuhkan dan memantapkan kemauan anak, sampai anak berkemampuan sendiri.
Dengan segenap sifat-sifat anak yang baik pada periode sekolah dasar ini, disertai kemampuan berpikir yang logis, obyektif, serta bantuan bimbingan yang tegas dan bijaksana, anak mulai membuat rancangan hidup bagi masa depannya.

BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
1        Pada usia 6 tahun pertumbuhan fisik anak berlangsung secara baik, dan hal ini ikut berpengaruh terhadap perkembangan psikis anak pada masa tersebut anak sudah matang untuk masuk sekolah mengingat perkembangan anak yang amat pesat pada usia sekolah ini, dan mengingat bahwa liongkungan keluarga sekarang tidak lagi mampu memberikan fasilitas untuk mengembangkan fungsi-fungsi anak, terutama fungsi intelektual dalam megajar kemajuan zaman modern, maka anak memerlukan suatu lingkungan sosial baru yang lebih luas, berupa sekolah.
2        Dalam pengembangan jiwani anak, pengamatan menduduki tempat yang sangat penting beberapa teori tentang pengamatan antara lain:
a.       Teori Meumann, teori ini di bedakan 3 fase perkembangan fungsi pengamatan, yaitu:
v  Fase Sintesa fantasis (7-8 Th)
v  Fase Analisa (8-9 Th)
v  Fase Sintesa logis (Kurang Lebih 12 Th ke atas)
b.      Teori Stern, teori ini menampilkan 4 stadium dalam perkembangan fungsi pengamanatan anak yaitu:
v  Stadium- Keadaan (0-8 Tahun)
v  Stadium- Perbuatan (8-9 Tahun)
v  Stadium- Hubungan (9-10 Tahun)
v  Stadium- Perihal (sifat)
c.       Teori Oswald Kroh, teori ini menyatakan ada 4 periode dalam perkembangan fungsi pengamatan anak yaitu:
v  Periode Sintese- Fantastis (7-8 Th)
v  Periode Realisme Naif (8-10 Th)
v  Periode Realisme – Kritis (10-12 Th)
v  Fase Subyektif (10-12 Tahun)
3        Pada perkembangan perasaan anak-anak lebih kuat pengaruhnya di bandingkan dengan perasaan orang dewasa. Adapun perasaan ini meliputi:
a.       Perasaan intelek ialah persaan yang menyertai perbuatan berpikir.
b.      Persaan seksual, ilaha suatu permasalahan yang sangat pribadi sifatnya.
c.       Persaan keindahan, ialah perasaan yang timbul ketika individu menghayati suatu yang ada hubungannya dengan indah atau buruk
d.      Perasaan keagamaan adalah perasaan yang meyertai individu ketika menghayati hubugannya dengan Tuhan.
4        Ketika anak bersikap “keras Kepala” perkembangan rasa sosial seakan terhenti, tetapi yang sesungguhnya terjadi malah sebaliknya pada masa inilah merupakan permulaan timbulnya kesadaran akan “Aku-nya”, dengan kata lain merupakan permulaan sifat obyektif krisis pertama inilah tempat meletakkan dasar untuk perkembangan rasa sosial yang sesungguhnya.
5        Perkembangan fantasi pada usia 5 atau 6 tahun itu terus hidup adapun masa-masa fantasi telah mengalami perkembangan melalui masa-masa sebagai berikut:
a.       Masa dogeng (4-8 Tahun) masa ini bertepatan waktunya dengan perkembangan anak ke arah kenyataan.
b.      Masa Robinson Cru Soe (8-12 Tahun) dalam masa ini anak mengalami realisme naif.
c.       Masa pahlawan (12-15 Tahun) dalam masa ini anak suka membaca buku-buku perjuangan.
Dalam keadaan normal, pikiran anak usia sekolah dasar ini perkembangan secara berangsur-angsur dan secara tenang. Anak betul-betul berada dalam stadium belajar.
6        Fungsi kemampuan anak apada kehidupan Volutif (Konatif, kemauan) ini belum berkembang dengan penuh. Anak belum bisa mengatur diri sendiri, belum ada proses religius dari. Dia lebih suka tunduk pada kewibawaan yang tegas dari orang tua dan pendidik. Bahkan anak menuntut adanya kewibawaan dan sikap yang kokoh serta konsekuen.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 1991. Psikologi Perkembangan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Desmita. 2006. Psikologi Perkembangan. Bandung: Pt. Rosda Karya

Kartono, Kartini. 1995. Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan), bandung: Mandar Maju

L. Zulkifli. 1986. Psikologi Perkembangan, bandung: Pt. Rosda Karya

Ln, Yusuf Syamsu. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.


[1] Abu Ahmadi, Psikologi Perkembangan (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), hal. 75
[2] Ibid, hal. 75-76
[3] Kartini Kartono. Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan) .Bandung: Mandar Maju. 1995. hal. 134
[4] Syamsu Yusuf LN. Psikologi Anak Dan Remaja. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2004. hal. 95
[5] Kartini Kartono. Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan). Bandung: Mandar Maju. 1995. hal. 135-137
[6]  Abu Ahmadi. Psikologi Perkembangan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 1991. hal 81
[7] Ibid. hal. 82
[8] Zulkifli L. Psikologi Perkembangan. Jakarta: PT. Rosda Karya. 1986. hal. 56
[9] Zulkifli L, Psikologi Perkembangan.Jakarta: PT. Rosda Karya. 1986. hal. 61
[10] Desmita. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Rosdakarya. 2006. hal. 182
[11] Kartini Kartono, Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan) (Bandung: Mandar Maju, 1995), hal. 145

0 comments: