Biografi Al-Ghazali


Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali.[1] Lahir pada tahun 450 Hijriah di Tus  di kawasan Khurasan.[2] Beliau meninggal dunia pada tahun 505 H di kota yang sama.[3] Ayahnya adalah seorang zahid. Kehidupan ayahnya ini mempengaruhi pemikiran Al-Ghazali. Guru yang pertama di mana Al-Ghazali belajar adalah seorang sufi. Selanjutnya Al-Ghazali pergi ke Nisyafur untuk melanjutkan studi kepada seorang yang dikenal kemasyhurannya yaitu Imam Al-Haramain pada Madrasah Nidzamiah. Al-Ghazali kemudian menjadi murid yang istimewa bagi imam tersebut. Ia mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan yang cukup banyak, khususnya Teologi, Fiqh, Logika dan Tasawuf. Dari Nisyafur, Al-Ghazali pergi ke istana Nidzam Al-Mulk, yang statusnya sebagai Perdana Menteri Khalifah Bani Saljuk, yaitu Malik Syah, yang kemudian ia meminta Al-Ghazali untuk menjadi presiden di Madrasah Nidzamiah yang berada di Baqdad. Di tempat inilah Al-Ghazali menuntaskan reputasinya sebagai guru besar yang terkenal. Setelah beberapa lama Al-Ghazali mengalami kegoncangan jiwa yang disebabkan oleh kekacauan berbagai macam ajaran, sekte dan keyakinan. Akhirnya ia meninggalkan Baqdad dan menghabiskan waktunya selama 10 tahun untuk pergi ke Syiria, Hijaz, dan berbagai tempat lainnya dalam rangka mencari penerahan pikiran. Ia kemudian memasuki pengalaman hidup transcendental hingga ia sampai pada kesimpulan bahwa pengetahuan yang dicapai dengan panca indera tidak dapat dipercaya. Demikian pula akal pikiran ia juga terkadang berbuat keliru. Al-Ghazali mempelajari teologi dan filsafat tetapi ia tidak merasa puas. Ia kemudian berpindah ke bidang tasawuf. Dalam bidang tasawuf ini Al-Ghazali mendapatkan kepuasan, karena telah mengabaikan urusan dunia dan semata-mata hanya ibadah mengabdikan diri kepada Tuhan.
Akhirnya ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa institusi adalah satu0satunya jalan untuk memahami kebenaran. Ia kemudian memutuskan untuk memelihara ajaran Islam dan untuk memperbaiki kembali cita-cita ajaran Islam serta menghancurkan bentuk kemusyrikan dan skeptisme. Pada saat yang sama pemerintahan Nisyabur meminta Al-Ghazali untuk bekerja sama dengan Madrasah Nisyabur dalam kedudukan sebagai guru. Al-Ghazali menerima tawaran tersebut dan memulai mengajar di Madrasah tersebut. Namun setelah beberapa lama ia meningaalkan tugasnya itu dan kembali ke Thus di mana di tempat tersebut ia membangun Madrasah untuk mengajar fiqh dan tasawuf hingga ia wafat. Pada masa itulah ia menulis buku yang berjudul Ihya’ Ulumud Al-Din (menghidupkan kembali ilmu agama). Al-Ghazali memiliki beberapa buku yang ditulisnya seperti: Maqasid Al-Falasifah (tujuan filsafat), Tahfut Al-Falasifah (kekacauan para filosof), Mizan Al-Amal (Neraca Perbuatan= dalam bidang etika) dan lain-lain. Kita dapat menjumpai pandangan Al-Ghazali tentang pendidikan secara sepintas dalam bukunya Ihya’ Ulum Al-Din.

B.     Pandangan Al-Ghazali Tentang Pendidikan
  1. Tujuan Pendidikan
Al-Ghazali mempunyai pandangan berbeda dengan keyakinan ahli filsafat pendidikan Islam mengenai tujuan pendidikan. Beliau menekankan tugas pendidikan adalah mengarah pada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, di mana fadhilah (keutamaan) dan taqarrub kepada Allah merupakan tujuan yang paling penting dalam pendidikan. Sesuai penegasan beliau: “manakah seorang ayah menjaga anaknya dari siksaan dunia, hendaknya ia menjaganya dari siksa api neraka/akhirat, dengan cara mendidik dan melihatnya serta mengajarinya dengan keutamaan akhirat, karena ahlak yang baik merupakan sifat Rasulullah. Dan sebaik-baik amal perbuatan orang-orang yang jujur, terpercaya, dan merupakan realisasi dari buah ketekunan orang yang dekat kepada Allah.”
Selanjutnya beliau mengatakan: “Wajiblah bagi seorang guru untuk mengarahkan murid kepada tujuan mempelajari ilmu, yaitu taqarrub kepada Allah bukannya mengarah pada pimpinan dan kemegahan”. Sebab yang mendorong Al-Ghazali sangat memperhatikan tujuan keagamaan adalah karena pada waktu itu kerusakan akhlak orang banyak telah merajalela (yang ditimbulkan oleh gerakan yang merusak) agama seperti serakan yang dipimpin oleh Al-Hasan Al-din Shabah.
Pandangan beliau tentang pendidikan itu mendapat pengaruh dari filsafat tasawufnya. Beliau membagi jenis-jenis ilmu pengetahuan dan menerangkan nilai ilmiah serta kemanfaatannya bagi murid. Beliau telah menyusun ilmu-ilmu menurut kepentingan dan manfaat ilmiahnya. Beliau juga menjelaskan prinsip-prinsip yang harus dipegang oleh guru pada waktu melaksanakan tugas mendidik dan mengajar, yaitu prinsip bahwa petunjuk agama dipandang olehnya sebagai yang paling penting, sehingga jelaslah Al-Ghazali berpendirian bahwa tujuan pendidikan bagi beliau adalah bersifat keagamaan dan keakhlakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan sekaligus untuk mendapatkan keridhaan-Nya, karena agama merupakan sistem kehidupan yang menitikberatkan pada pengalaman. Beliau menyatakan: “Maka barangsiapa mengajarkan ilmu dan mengamalkan apa yang diajarkan, maka ia mendapatkan kebesaran di dalam cakrawala langit seperti kebesaran matahari menyinari benda-benda lainnya, ia menerangi jiwanya sendiri atau bagaikan minyak kasturi yang semerbak bau harumnya (maka ia menjadi harum) dan barangsiapa tekun dan terpaku pada suatu perkara besar dan membahayakan, maka hendaknya ia menjaga tata cara dan tugas pokoknya.”
Yang dimaksud dengan pengalaman ialah pengalaman terhadap amal akhirat; dan beliau menjelaskan dalam kitab “Ihya’ Ulum Al-Din” bahwa ilmu itu adalah fadhilah (keutamaan) dalam dzatnya secara mutlak. Lebih lanjut dikatakan: “Sumber kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah ilmu yang diamalkan.” Maka jelaslah pandangan beliau ini menunjukkan bahwa ilmu itu secara intrinsik mempunyai tujuan yaitu memberikan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dari pandangannya inilah kita dapat mengatakan bahwa Al-Ghazali selalu mementingkan amaliah dari ilmu, maka beliau menjadi “Hujjatul Islam” yang dalam hatinya bersinar petunjuk Allah.
  1. Kewajiban Pendidik (Guru)
Al-Ghazali berpandangan “idealistik” terhadap profesi guru. Idealisasi guru, menurutnya, adalah orang yang berilmu, beramal dan mengajar. Dari sini Al-Ghazali menekankan perlunya keterpaduan ilmu dengan amal. Ia menyerupakan guru sejati dengan matahri yang menyinari sekelilingnya, dan dengan minyak wangi (misk) yang membuat harum di sekitarnya. Adapun orang berilmu yang tidak mau mengamalkan ilmunya, namun dirinya sendiri kosong.
Berangkat daru prespektif idealistic profesi guru tersebut, Al-Ghazali menandaskan bahwa orang yang sibuk mengajar merupakan orang yang “bergelut” dengan sesuatu yang amat wigati (penting, peny.), sehingga ia perlu menjaga etiket dan kode etik profesinya.
Kode etik atau tugas profesi yang harus dipatuhi oleh guru (pendidik) meliputi delapan hal:
Pertama; menyayangi para peserta didiknya, bahkan memperlakukan mereka seperti perlakuan dan kasih saying guru kepada anaknya sendiri. Nabi SAW pernah bersabda; “sesungguhnya posisi saya bagi kamu sekalian sama halnya dengan posisi orang tua bagi ank-anaknya”. Artinya, guru memiliki pedulian tinggi menyelamtkan para peserta didik dari siksa neraka. Ini merupakan hal sebenarnya yang lebih penting daripada penyelamatan yang telah dilakukan kedua orang tua terhadap anak-anak mereka dari panas api dunia. Yang dimaksud guru adalah orang yang memberi bimbingan bagi kehidupan akhirat yang abadi, yakni mengajarkan ilmu-ilmu akhirat atau ilmu-ilmu dunia yang diorientasikan pada tujuan akhirat, bukan tujuan duniawi. Adapun mengajar yang berorientasi pada tujuan duniawi, maka ia merupakan “kebinasaan” (halak) dan “pembinasaan” (ihlak).
Kedua; guru bersedia sungguh-sungguh mengikuti tuntunan Rasulullah SAW, sehingga ia tidak mengajar untuk mencari upah atau untuk mendapatkan penghargaan dan tanda jasa. Akan tetapi mengajar semata-mata mencari keridlaan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Tugas guru dalam mengajarkan ilmu, sama halnya dengan mendapatkan sewaan tanah, lalu kamu tanami. Sekiranya tidak ada orang yang menuntut ilmu, maka kamu tidak akan mendapatkan hasil tanam.
Ketiga; guru tidak boleh mengabaikan tugas memberi nasihat kepada para peserta didiknya. Ia memang peserta didik menggeluti tahap keilmuan tertentu sebelum waktunya, sebelum menyelesaikan studi keilmuan kongkrit-elementer (pengantar). Guru juga perlu mengingatkan peserta didiknya bahwa tujuan menuntut ilmu adalah mendekatkan diri kepada Allah, bukan mencari kedudukan, kekayaan an popularitas. Sedapat mungkin guru menanamkan sikap benci dalam diri peserta didik terhadap tujuan-tujuan duniawi semacam itu.
Keempat; termasuk ke dalam profesionalisme guru, adalah mencegah peserta didik jatuh terkjerembab ke dalam akhlak tercela melalui cara sepersuasif mungkin dan melalui cara penuh kasih saying, tidak dengan cara mencemooh dan kasar. Sebab, cara yang terakhir ini menyebabkan hilangnya kewibawaan guieu dan harga diri peserta didik, dan pada gilirannya peserta didik pun malah semakin kurang ajar. Penuturan kisah mereka agar dijadikan sebagai bahan pelajaran yang berguna. Di dalamnya berisi pengingatan secara santun yang sangat efektif menggugah jiwa dan pikiran yang sehat untuk menggali makna pesan normative, agar timbul kesadaran diri tidak dipaksakan.
Kelima; kepakaran guru dalam spesialisasi keilmuan tertentu tidak menyebabkannya memandang remeh disiplin keilmuan lainnya, semisal guru yang pakar dalam ilmu bahasa, tidak menganggap remeh ilmu fikih. Dan demikian pula sebaliknya. Sebab, sikap meremehkan adalah akhlak tercela bagi guru. Dengan demikian sudah seharusnya apabila guru memberi kelonggaran kepada peserta didiknya untuk menekuni disiplin ilmu lain yang tidak ia ajarkan.
Keenam; guru menyampaikan materi pengajarannya sesuai dengan tingkat pemahaman peserta didiknya. Ia tidak mengajarkan materi yang berada di luar jangkauan pemahaman peserta didiknya, karena dapat mengakibatkan keputus-asaan atau apatisme terhadap materi yang diajarkan. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi, “Kami para Nabi diperintahkan untuk menempatkan manusia sesuai dengan proporsinya, dan mendakwahi mereka sesuai dengan tingkat kecerdasannya”. Maka dari itu, perlu disampaikan kebenaran secara lugas sekiranya memang memungkinkan dicerna.
Ketujuh; terhadap peserta  didik yang berkemampuan rendah, guru menyampaikan materi yang jelas, kongkrit dan sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik dalam mencernanya. Jangan sampai guru menuturkan kepada peserta didik tersebut bahwa nanti akan ada materi yang sangat rumit dan kompleks, karena hal itu dapat berpengaruh buruk bagi minat belajarnya dan mengacaukab pikirannya.
Kedelapan; guru mau mengamalkan ilmunya, sehingga yang ada adalah menyatunya ucapan dan tindakan. Hal ini penting, sebab bagaimanapun ilmu hanya diketahui dengan mata hati (basha’ir), sedangkan perbuatan diketahui dengan mata kepala (abshar). Pemilik abshar jauh lebih banyak dibandingkan dengan pemilik basha’ir, sehingga bila terjadi kontradiksi antara ilmu dan amal, tentu akan menghambat keteladanan.
Demikianlah prinsip-prinsip umum yang dikemukakan Al-Ghazali berkenaan dengan teori pendidikannya dalam kitab ­Ihya’. Pemikirannya tersebut secara utuh merupakan suatu pandangan komprehensif tentang praktek pendidikan.

  1. Kewajiban Peserta Didik
Peserta didik memiliki sepuluh poin kewajiban, atau wadhifah menurut Al-Ghazali;
Pertama, memprioritaskan penyucian diri dari akhlak tercela dan sifat buruk, sebab, ilmu itu bentuk peribadatan hati, shalat rohani dan pendekatan batin kepada Allah. Sebagaimana shalat yang merupakan amaliah lahir saja tidak sah tanpa adanya thaharah (penyucian badan) dari hadats dan kotoran, demikian halnya ibadah batin pun tidak sah kecuali setelah dilakukan penyucian diri dari noda-noda akhlak. Nabi bersabda: “Agama ini ditegakkan atas dasar ‘kebersihan’ diri”, baik secara lahiriah maupun secara batiniah.
Tugas kedua, peserta didik menjaga diri dari kesibukan-kesibukan duniawi dan seyogyanya berkelana jauh dari tempat tinggalnya. Sebab, bergelut dengan kesibukan-kesibukan duniawi dapat memalingkan konsentrasi belajarnya, sehingga kemampuan menguasai ilmu yang dipelajari menjadi tumpul.
Tugas ketiga, tidak membusungkan dada terhadap orang alim (guru), melainkan bersedia patuh dalam segala urusan dan besedia mendengarkan nasihatnya. Sebab, pasien (analogi kondisi murid) sudah seharusnya mematuhi apa yang menjadi nasihat dokter (analogi posisi guru) yang menanganinya. Bagi murid, dianjurkan agar ia mau bersikap rendah dan berkhidmat kepada gurunya.
Tugas keempat, bagi penuntut ilmu pemula hendaknya menghindarkan diri dari mengkaji variasi pemikiran dan tokoh, baik menyangkut ilmu-ilmu duniawi maupum ilmu-ilmu ukhrawi.
Tugas kelima, penuntut ilmu tidak mengabaikan suatu disiplin ilmu apapun yang terpuji, melainkan bersedia mempelajarinya hingga tau akan orientasi dari disiplin ilmu dimaksud. Apabila usia dan kesempatan mengizinkan, ia bisa mendalaminya lebih lanjut. Namun jika tidak, ia perlu memprioritaskan disiplin ilmu yang terpenting untuk didalami. Meski demikian harus disadari bahwa ilmu-ilmu itu saling terkait, sehingga jangan sampai penuntut ilmu menutup mata meremehkan disiplin ilmu lain yang tidak digelutinya.
Tugas keenam, penuntut ilmu dalam usaha mendalami suatu disiplin ilmu tidak dilakukan secara sekaligus, akan tetapi perlu bertahap dan memprioritaskan yang terpenting. Sebab sekiranya usia tidak mencukupi untuk mempelajari aneka ragam disdiplin ilmu, maka sewajarnya bila semangatnya diarahkan pada disiplin ilmu yang terpenting dan terbaik, sehingga bisa menjadi mumpuni (pakar) dalam keilmuan yang termulia, yaitu ilmu-ilmu akhirat, baik ilmu mu’amalah maupun ilmu mukasyafah.
Tugas ketujuh, penuntut ilmu tidak melangkah mendalami tahap ilmu berikutnya hingga ia benar-benar menguasai tahap ilmu sebelumnya. Sebab, ilmu-ilmu itu bersinambung secara linier, satu sama lain saling terkait. Orang cerdik adalah orang sangat memperhatikan kesinambungan linier dan gradual.
Tugas kedelapan, penuntut ilmu hendaknya mengetahui factor-faktor yang menyebabkan dapat memperoleh ilmu yang paling mulia. Criteria kamuliaan dan keutamaan ilmu didasarkan pada dua hal; kemuliaan dan keutamaan ilmu didasarkan argumentasinya. Sebagai contoh ilmu agama dan ilmu kedokteran, dimana ilmu agama berdampak positif bagi kehidupan seseorang di akhirat, sedangkan ilmu kedokteran berdampak positif baginya di dunia.
Tugas kesembilan, tujuan belajar penuntut ilmu adalah pembersihan batin dan menghiasinya dengan keutamaan serta pendekatan diri kepada Allah serta meningkatkan maqam spiritualnya. Sebaliknya bukan bertujuan mencari kadudukan, kekayaan dan popularitas.
Tugas kesepuluh, penuntut ilmu mengetahui relasi ilmu-ilmu yang dikajinya dengan orientasi yang dituju, sehingga dapat memilah dan memilih ilmu mana yang harus diprioritaskan. Manakah dari sekian ilmu yang perlu lebih dipentingkan. Arti dipentingkan di sini adalah dalam hubungannya dengan urusan duniawi dan ukhrawi sekaligus.


[1] Abd. Salam Harun, Tahdhib Ihya Ulum Al-Din Juz I
[2] Al-Ghazali, Terjemah Ihya’ Ulum Al-Din juz I (Mesir: Dar Al-Kutub, 1993), 12
[3]

0 comments: