Pedagogik
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual, keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta kecerdasan yang diperlukan dirinya
dan masyarakat. pendidikan juga adalah satu usaha mengatur pengetahuan untuk menambahkan lagi pengetahuan yang
semulan tidak tahu menjadi tahu.
Dalam
proses tidak tahu menjadi tahu tersebut manusia mengalami sebuah rangkaian
proses pembelajaran. Di mulai dari pembelajaran pertama yang datang dari
lingkungan mikro yaitu lingkungan keluarga, kemudian beralih di sekolah dan
pada akhirnya mereka akan mengaplikasikan ilmu nya di lingkungan masyarakat,
Semua itu merupakan salah satu unsur pendidikan yaitu Lingkungan pendidikan.
Dalam proses tersebut manusia senantiasa berinteraksi dan bergaul dengan
sesamanya di dalam lingkungan pendidikan
tersebut. Dalam interaksi tersebut terdapat proses saling mempengaruhi
antar manusia yang satu dengan yang lainnya sehingga akan menimbulkan suatu
situasi pergaulan pendidikan tertentu. Pergaulan pendidikan ini tentunya hanya
terjadi antara orang dewasa dan anak.
Oleh
karena itu, kami disini akan berusaha mengkaji tentang hal-hal mengenai
pergaulan pendidikan, lingkungan pendidikan, kedudukan manusia sebagai mahluk
pendidikan, serta kewibawaan kita sebagai tenaga pendidik.
1.2
Rumusan Masalah
Mengenai
Pembahasan Masalah kami mencoba memfokuskan dan mengerucutkan permasalahan
dalam bentuk pertanyaan yang bersifat menuntun kepada materi ini.
Adapun
Rumusan Masalah yang coba kami rumuskan adalah sebagai berikut:
·
Bagaimana pergaulan yang mendidik itu ?
·
Seperti apa lingkungan pendidikan yang baik dan
kondusif itu ?
·
Bagaimana menentukan kewibawaan kita sebagai
tenaga pendidik ?
·
Seperti apa kedudukan kita sebagai makhluk yang
berpendidikan ?
1.3
Tujuan
Dalam penyusunan makalah ini ada
beberapa tujuan yang hendak kami capai yaitu:
a.
Memberikan gambaran tentang bagaimana pergaulan yang
mendidik, lingkungan pendidikan yang kondusif, menentukan kewibawaan kita, jika
kita berprofesi sebagai tenaga pendidik, serta kedudukan kita sebagai mahluk
berpendidikan
b.
Dengan mengetahui pentingnya hal-hal tersebut semoga
para mahasiswa calon tenaga pendidikan dapat mengimplementasikannya dalam
kehidupan mendatang.
c.
Tak dipungkiri, pembuatan makalah ini ditujukan untuk
memenuhi tugas mata kuliah Pedagogik.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang dapat diambil
dari pembuatan makalah ini adalah:
a.
Semoga makalah ini dapat menjadi referensi dalam
pembuatan makalah selanjutnya
b.
Dapat menjadikan mahasiswa terutama Administrasi
Pendidikan menjadi lebih mengetahui dan mengerti akan aspek-aspek yang terdapat
dalam lingkungan pendidikan
c.
Dapat memberikan pengetahuan lebih terutama dalam mata
kuliah Pedagogik
BAB II
KAJIAN TEORI
ñ
PERGAULAN PENDIDIKAN
A.Perlunya
sebagai Tempat Fenomena Pendidikan atau Situasi Pendidikan
Manusia sebagai makhluk social.
Manusia adalah makhluk social. Di dalam pergaulan tersebut tiap orang melakukan
tindakan-tindakan social tertentu,
sehingga terjadi saling pengaruh mempengaruhi antara manusia yang satu terhadap
manusia lainnya.
Jenis pergaulan.
Berdasarkan pelakunya,
pergaulan dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu ;
a. Pergaulan antara orang
dewasa dengan orang dewasa.
b. Pergaulan antara orang
dewasa dengan anak (orang yang belum dewasa)
c. Pergaulan antara anak
dengan anak.
Situasi
pergaulan.
Dalam seiap jenis pergaulan terkandung
suatu situasi tertentu, yaitu suatu keadaan yang mempunyai bentuk dan tujuan
tertentudari pergaulan yang bersangkutan. Dari pengalaman hidup sehari-hari
dapat disimpulkan dua macam situasi yaitu :
a. Situasi pergaulan biasa
atau situasi pergaulan bukan pendidikan.
b. Situasi pendidikan.
Fenomena
pendidikan berada di dalam pergaulan. Semua pergaulan termasuk fenomena pendidikan (situasi pendidikan) akan
tetapi fenomena pendidikan (situasi pendidikan) hakikatnya berada di dalam
pergaulan
B. Fenomena
Pendidikan Berlangsung dalam Pergaulan Orang Dewasa dengan Anak.
Menurut M.J. Langeveld (1980:20) bahwa
“lingkungan tempat kita melihat fenomena pendidikan terlaksana terdapat dalam
pergaulan orang dewasa dengan anak”. Maka,
pendidikan atau kegiatan mendidik hanya akan berlangsung dalam pergaulan antara
orang dewasa dengan anak (orang yang belum dewasa).
C. Sifat-sifat Pergaulan Pendidikan.
Tidak setiap pergaulan antara orang dewasa
dengan anak mengandung situasi pendidikan, sehingga dengan demikian tidak
setiap pergaulan antara orang dewasa
dengan anak dapat tergolong kedalam pendidikan.
Pengaruh orang dewasa kepada anak
dikatakan mendidik hanya jika tindakan atau pengaruh itu diberikan secara
sengaja dan bersifat positif. Artinya, bahwa pengaruh itu secara disadari
diciptakan atau diberikan oleh orang dewasa kepada anak; selain itu bahwa isi tindakan atau pengaruhnya itu
bersifat membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri
atau terarah kepada pencapaian kedewasaan. Sejalan dengan pernyataan ini M.J.
Langeveld (1980:20-21) mengemukakan adanya dua sifat pergaulan dalam rangka
pendidikan, yaitu:
a. Bahwa dalam pergaulan berusaha
mempengaruhi
b. Pengaruh itu datangnya dari orang dewasa
yang ditunjukan kepada anak agar mencapai kedewasaan.
D. Kemungkinan dan Sifat Perubahan Situasi
Pergaulan Biasa Menjadi Situasi Pendidikan.
Situasi pergaulan biasa pada saat tertentu
dapat diubah menjadi situasi pendidikan. Sebaliknya, pada saat tertentu pula
situasi pendidikan dapat berubah menjadi situasi pergaulan biasa. “Pergaulan itu
seakan-akan disediakan untuk memungkinkan munculnya gejala pendidikan dan …
yang setiap waktu pula bersedia “menyimpan kembali” gejala pendidikan itu”
(M.J. Langeveld. 1980:29).
1.
Sifat
yang harus dipenuhi dalam mengubah situasi pergaulan biasa menjadi pergaulan
pendidikan. Menurut M.J. Langeveld (1980:30-31) ada dua sifat yang harus
diperhatikan apabila pendidik akan mengubah situasi pergaulan biasa menjadi
situasi pendidikan, yaitu :
a. Kewajaran
(wajar)
Perlunya kewajaran dalam mengubah situasi pergaulan biasa
menjadi situasi pendidikan hendaknya dilakukan secara wajar sehingga tidak
tampak jelas dan tidak dirasakan kesengajaannya oleh anak didik, walaupun
sesungguhnya pengubahan situasi pergaulan itu secara sengaja diciptakan oleh
pendidik. Dalam keadaan seperti ini anak biasanya hampir tidak menyadari bahwa
situasi pergaulan yang sedang berlangsung telah berubah menjadi situasi
pendidikan, sehingga dengan demikian anak menerima pengaruh pendidik secara
wajar pula.
b.Ketegasan (tegas)
Perlunya
ketegasan dalam mengubah situasi pergaulan biasa menjadi situasi pendidikan.
Tegas disini maksudnya harus menunjukan kejelasan perbedaan antara pengetahuan,
sikap, nilai-nilai, dan perbuatan yan benar atau baik dengan yang salah atau
tidak baik.
2.
Kepercayaan
sebagai syarat teknik pendidikan. M.J. Langeveld (1980:33) menyatakan bahwa “perhubungan yang berdasarkan percaya
mempercayai merupakan syarat teknik bagi pendidikan”.
3.
Lingkungan
pendidikan.Secara umum lingkungan pendidikan dibedakan kedalam 3 jenis yaitu ;
a.
Lingkungan pendidikan informal (Keluarga)
b.
Lingkungan pendidikan formal (Sekolah)
c.
Lingkungan pendidikan nonformal (Masyarakat)
4.
Sifat
pendidikan. Pergaulan pendidikan yang tujuan, isi, mode, dan alat pendidikannya
tidak sesuai dengan kodrat, martabat dan nilai-nilai kemanusiaan tidak dapat
disebut sebagai pendidikan. Oleh sebab itu dinyatakan bahwa pendidikan bersifat normatif. Selain
itu, bahwa dalam rangka bertindak di dalam pergaulan pendidikan, pendidik harus
memperhatikan dan mempertimbangkan aspek pribadi anak didik. Pendidik juga
harus mempertimbankan bahwa anak didik bukan hanya tumbuh dan berkembang
sehingga memiliki kecenderungan untuk menjadi “besar”, melainkan juga
“ketidakmampuan dan ketergantungannya” yang menuntut asuhan, bimbingan,
pengajaran dari pendidik. Selain itu, pendidik pun harus sadar bahwa anak didik
pada dasarnya memiliki kebebasan dan keinginan untuk menjadi dirinya sendiri.
Semua itu harus diperhatikan sebab,
“pergaulan yang tidak menghormati keanakan itu menunjukan kekurangan dan
ketidaksempurnaan pedagogis” (M.J. Langeveld, 1980:34)
ñ
KEWIBAWAAN DAN TANGGUNGJAWAB PENDIDIKAN
A.
Kewibawaan Pendidikan.
Dalam pergaulan antara anak
dengan anak tidak mungkin muncul situasi
pendidikan, sebab di dalam pergaulan tersebut tidak akan terdapat hubungan berdasarkan
kewibawaan. Kewibawaan pendidikan adalah kekuatan pribadi pendidik yang diakui
dan diterima secara sadar dan tulus oleh anak didik, sehingga dengan
kebebasannya anak didik mau menuruti pengaruh positif dar pendidiknya.
B.
Faktor-faktor
penentu kewibawaan pendidik.
Menurut M.J.Langeveld (1980:40-65) dalm hubungannya dengan anak didik,
kewibawaan pendidikan akan tertentukan oleh berbagai factor, yaitu:
a.
kasih sayang terhadap anak didik
b.
kepercayaan bahwa anak akan mampu dewasa
c.
kedewasaan
d.
identifikasi terhadap anak didik, dan
e.
tanggung jawab pendidikan.
C.
Faktor
penentu kepenurutan anak didik kepada pendidik dalam hubungan kewibawaan.
M.J. Langeveld (1980)
menjelaskan bahwa kepenurutan anak didik kepada pendidik akan akan tertentukan
oleh factor sebagai berikut :
a. kemampuan anak didik dalam menyadari
“diri/aku” dan memahami bahasa.
b. kepercayaan anak didik kepada pendidik
c. identifikasi
d. imitasi dan simpati
e. kebebasan
anak untuk menentukan sikap, perbuatan, dan masa depannya.
D.
Pengalihan
tanggungjawab bipolaritet kewibawaan dan implikasinya terhadap batas-batas
pendidikan.
a.
Pengalihan
tanggung jawab dalam pendidikan.
Dalam
situasi pendidikan yang berlangsung dalam pergaulan antara pendidik dngan anak
didik, pada awalnya tanggung jawab berada pada pendidik. Namun seiring dengan
perkembangan anak dalam menuju kedewasaannya, lambat laun tanggung jawab itu
harus dialihkan oleh pendidik kepada anak didik. Apabila pendidik tidak
mengalihkan tanggung jawab kepada anak didiknya, dan apabila anak didik tidak
berupaya manerima atau merebut tanggung jawab yang harus diembannya, maka anak
didik tidak akan mencapai kedewasaan.
b.
Bipolaritet Kewibawaan.
Kewibawaan
bersifat bipolaritet atau berada pada ketegangan
polair (M.J. Langeveld, 1980:61). Maksudnya, di satu pihak pendidik
menuntut kepenurutan dari anak didik, di pihak lain pendidik mengakui bahwa
anak didik harus mampu berdiri sendiri.
c.
Implikasi
kewibawaan dan tanggung jawab terhadap batas-batas pendidikan.
Ada dua alasan berkenaan
dengan keharusan adanya kewibawaan dalam pergaulan pendidikan :
1. Bila kewibawaan tidak ada, maka suatu
perintah, ajakan, petunjuk, dan tindakan-tindakan lainnya dari pendidik akan
dituruti oleh anak hanya atas dasar “pengaruh keterikatan anak kepada
pendidiknya”. Karena itu anak didik tidak akan pernah menjadi dewasa, ia akan
tetap tak terdidik.
2. Bila kewibawaan tidak ada, maka kepenurutan
anak akan terjadi berkat pemahaman anak atas pengalamannya sendiri. Jika
demikian halnya berarti anak sudah mampu berdiri sendiri (sudah dewasa), dan
hal ini bertentangan dengan keadaan anak yang sebenarnya.
Berdasarkan alasan itu M.J.
Langeveld (1980:60-61) mengemukakan bahwa “adanya kewibawaan itu menciptakan
kemungkinan orang dewasa memberikan bantuan kepada orang yang masih belum
dewasa”, karena itu “kewibawaan ialah syarat mutlak untuk pendidikan”
ñ
LINGKUNGAN PENDIDIKAN
Lingkungan adalah segala
sesuatu yang ada di luar diri individu. Lingkungan dapat dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu lingkungan alam dan lingkungan social-budaya.
Lingkungan pendidikan
adalah suatu tempat dengan situasi dan kondisi sosial budaya yang ada dimana
pergaulam pendidikan berlangsung. Secara garis besar, lingkungan pendidikan
dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu :
1.
Keluarga
Dalam arti sempit keluarga adalah unit social yang terdiri atas dua
orang (suami-istri) atau lebih (ayah, ibu dan anak) berdasarkan ikatan
pernikahan. Sedeangkan dalam arti
luas keluarga adalah unit social berdasarkan hubungan darah atau keturunan,
yang terdiri atas beberapa keluarga dalam arti sempit.
a.
Jenis-Jenis keluarga
Menurut Kamanto Sunarto
(1993:159-160) keluarga dapat dibedakan dalam berbagai macam bentuk, yaitu :
·
Berdasarkan keangotaannya
·
Berdasarkan garis keturunannnya
·
Berdasarkan pemegang kekuasaannya
·
Berdasarkan bentuk perkawinan
·
Berdasarkan status social ekonominya
·
Berdasarkan keutuhannya
b.
Fungsi keluarga
Keluarga memiliki berbagai
fungsi, antara lain fungsi biologis, fungsi ekonomi, fungsi edukatif, fungsi
religius, fungsi sosialisasi, fungsi rekreasi, fungsi orientasi dll. Peter
Murdock (Sudardja Adiwikarta, 1988:67) mengemukakan 4 fungsi keluarga yang
bersifat universal yaitu :
·
Sebagai
pranata yang membenarkan hubungan seksual antara pria dan wanita dewasa
berdasarkan pernikahan.
·
Mengembangkan keturunan
·
Melaksanakan pendidikan
·
Sebagai kesatuan ekonomi
c.
Orang tua
sebagai pengemban tangung jawab pendidikan anak
Salah satu fungsi keluarga
yang yang bersifat universal adalah melaksanakan pendidikan. Dalam hal ini
orang tua adalah pengemban tanggung jawab pendidikan bagi anak-anaknya. Orang yang
berperan sebagai pendidik bagi anak di dalam keluarga utamanya adalah ayah dan
ibu.
d.
Keluarga
merupakan lingkungan pendidikan yang bersifat wajar atau informal.
Pendidikan di dalam
keluarga dilaksanakan atas dasar tanggung jawab kodrati dan atas dasar kasih
sayang yang secara naluriyah muncul pada diri orang tua. Sejak anaknya lahir
orang tua sudah terpanggil untuk menolongnya, melindunginya, dan membantunya.
Di dalam keluarga pelaksanaan pendidikan berlangsung tidak dengan cara-cara
yang artificial, melainkan bersifat wajar.
e.
Keluarga
sebagai peletak dasar pendidikan anak
Pendidikan yang dilakukan
si dalam keluarga sejak anak masih kecil akan menjadi dasar bagi pendidikan dan
kehidupannya di masa datang. Hal ini sebagaimana dikemukakan M.I. Soelaeman (1985)
bahwa : “pengalaman dan perlakuan yang didapat anak dari lingkungannya masih
kecil dari keluarganya menggariskan semacam pola hidup bagi kehidupan
selanjutnya.
f.
Tujuan
dan isi pendidikan dalam keluarga.
Tujuan pendidikan dalam
keluarga adalah agar anak menjadi pribadi yang mantab, beragama, bermoral, dan
menjadi anggota masyarakat yang baik dan bertanggung jawab. Adapun isi
pendidikan dalam keluarga biasanya meliputi nilai agama, nilai budaya, nilai
moral dan keterampilan.
g.
Fungsi pendidikan dalam keluarga
1. Sebagai peletak dasar pendidikan anak,
2. Sebagai persiapan kearah kehidupan anak dalam
masyarakatnya.
h.
Faktor-faktor
yang menentukan kualitas pendidikan di dalam keluarga.
Jenis keluarga, gaya kepemimpina orang tua, kedudukan anak dalam
urutan keangotaan keluarga, fasilitas yang ada dalam keluarga, hubungan
keluarga dengan dunia luar, status social ekonomi orang tua, akan turut
mempengaruhi perkembangan pribadi anak.
i.
Karakteristik
pendidikan di dalam keluarga
· Pendidikan di dalam keluarga lebih menekankan
pada pengembangan karakter
·
Peserta didiknya bersifat heterogen
· Isi pendidikannya tidak terprogram secara
formal/tidak ada kurikulum tertulis
·
Tidak berjenjang
· Waktu pendidika tidak terjadwal secara
ketat, relative lama.
·
Cara pelaksanaan pendidikan bersifat wajar
· Evaluasi pendidikan tidak sistematis dan
incidental
· Credentials tidak ada dan tidak penting.
2.
Sekolah
Sekolah adalah salah satu
pranata social yang memiliki tugas khusus untuk menyelenggarakan pendidikan.
a.
Komponen sekolah
Komponen
sekolah antara lain terdiri atas :
1.tujuan pendidikan
2.Sumber daya manusia seperti
guru/pendidik, murid/siswa, laboran, pustakawan, tenaga administrasi, petugas
kebersihan, dst.
3.kurikulum (isi pendidikan)
4.Media pendidikan dan teknologi pendidikan,
5.sarana, prasarana, dan fasilitas
6.pengelola sekolah
Tiga komponen utama sekolah
yaitu :
1.
peserta didik
2.
guru
3.
kurikulum
b.
Fungsi pendidikan sekolah
1.
Fungsi transmisi (konservasi) kebudayaan masyarakat
2. Fungsi sosialisasi (memilih dan
mengajarkan peranan social)
3.
Fungsi integrasi social
4.
Fungsi mengembangkan kepribadian anak didik
5. fungsi mempersiapkan anak didik untuk
suatu pekerjaan
6. Fungsi inovasi/mentransformasi masyarakat
dan kebudayaannya.
c. Tujuan dan fungsi pendidikan sekolah
Secara umum sekolah
memiliki tujuan pendidikan sejalan dengan fungsi-fungsi sekolah. Implikasinya,
maka isi pendidikan di sekolah akan disesuaikan dengan jenjang dan jenis
sekolah yang bersangkutan. Adapun tujuan dan isi pendidikan masing-masing
sekolah tentunya telah terumuskan secara tertulis (formal) di dalam kurikulumnya.
d.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan
formal
Sekolah merupakan kesatuan kegiatan-kegiatan
menyelenggarakan pembelajaran yang dilakukan oleh para petugas khusus dengan
cara-cara terencana dan teratur menurut tatanan nilai dan norma yang telah ditentukan
untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
e. Formalitas sekola merembes ke dalam
kurikulum dan pembelajaran
Formalitas
sekolah berakar pada status para individu yang menjadi komponennya, serta
system nilai dan norma yang serba resmi. Perlu kita sadari bahwa selanjutnya
formalitas tersebut merembes ke dalam kurikulum dan cara-cara pembelajaran.
f.
Karakteristik pendidikan di sekolah
1. Secara factual, pendidikan di sekolah
lebih menekankan kepada pengembangan kemampuan intelektual
2.
Peserta didiknya bersifat homogen
3. Isi pendidiknya terprogram secara
formal/kurikulumnya tertulis
4.
Berjenjang dan berkesinambungan
5. Waktu pendidikan terjadwal secara ketat,
relative lama.
6. Cara pelaksanaan pendidikan bersifat
formal dan artificial
7.
Evaluasi pendidikan dilaksanakan secara sistematis
8.
Credentials ada dan penting.
3.
Masyarakat
Masyarakat adalah sekelompok manusia yang
berintegrasi secara terorganisasi, menempati daerah tertentu, dan mengikuti
suatu cara hidup atau budaya tertentu. Masyarakat dapat dibedakan menjadi 2, yaitu : masyarakat pedesaan dan
masyarakat perkotaan.
a. Fungsi masyarakat sebagai lingkungan
pendidikan
Di
dalam lingkungan masyarakat, anak akan memperoleh pengalaman tentang berbagai
hal, antara lain berkenaan dengan lingkungan alamnya, seperti flora dan fauna.
Di lingkungan masyarakat anak pun akan memperoleh pengaruh dari orang-orang
yang ada di sekitarnya, baik dari teman sebaya, maupun orang dewasa. Anak juga
akan memperoleh pengaruh dari hasil karya masyarakat. Di dalam masyarakat anak belajar tentang nilai-nilai dan
peranan-perana yang seharusnya mereka lakukan. Anak memperoleh pengalaman
bergaul dengan teman-temannya di luar rumah dan di luar lingkungan Sekolah.
Karena itu pendidikan anak dalam lingkungan masyarakat dapat berfungsi sebagai
pelengkap, penambah, dan mungkin juga pengembang pendidikan di dalam keluarga
dan sekolah, bahkan dapat berfungsi sebagai pengganti pendidikan di sekolah.
b.
Tanggung
jawab pendidikan di lingkungan masyarakat.
Selain menjadi tanggung jawab pemerintah, pendidikan di lingkungan
masyarakat harus menjadi tangung jawab bersama para orang dewasa yang ada di
lingkungan masyarakat yang bersangkutan.
c.
Pendidikan informal dalam masyarakat
Pendidikan informal dalam
masyarakat antara lain dapat berlangsung melalui adapt kebiasaan, pergaulan
anak sebaya, upacara adat, pergaulan di lingkungan kerja, permainan, pagelaran
kesenian, dan bahkan percakapan biasa sehari-hari. Dalam konteks ini pendidikan
merupakan pewaris social yang berfungsi untuk melestarikan nilai-nilai budaya masyarakat.
d.
Pendidikan nonformal di dalam masyarakat
Definisi. Pendidikan
nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat
dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang (Pasal 1 ayat (12) UU RI No. 20
Tahun 2003).
Fungsi. Pendidikan nonformal
berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasan
pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan
kepribadian professional.
Lingkup. Pendidikan
nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini,
pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan
keaksaraan, serta pendidikan lain yang ditunjukan untuk mengembangkan kemampuan
peserta didik.
Satuan Pendidikan. Satuan
pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, pelatihan, kelompok belajar,
pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim serta satuan pendidikan
yang sejenis.
e.
Karakteristik pendidikan di masyarakat.
1.
Secara
factual tujuan pendidikannya lebih menekankan pada pengembangan keterampilan
praktis
2.
Peserta didiknya bersifat heterogen
3.
Isi
pendidikannya ada yang terprogram secara tertulis, ada pula yang tidak
terprogram secara tidak tertulis.
4.
Dapat
berjenjang dan berkesinambungan dan dapat pula tidak berjenjang dan tidak
berkesinambungan.
5.
Waktu
pendidikan terjadwal secara ketat atau tidak terjadwal, lama pendidikannya
relative singkat
6.
Cara pelaksanaan pendidikan mungkin bersifat artificial
mungkin pula bersifat wajar.
7.
Evaluasi
pendidikan mungkin dilaksanakan secara sistematis dapat pula tidak sistematis
8.
Credentials mungkin ada dan mungkin pula tidak ada.
ñ
MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK PENDIDIKAN
A.
Keharusan Manusia untuk menjadi Manusia Dewasa
Manusia dihadapkan kepada suatu kenyataan bahwa ia
harus melanjutkan keberadaannya (eksistensinya). Hakikatnya manusia harus
menjadi manusia idea yang bersumber dari Tuhan yang diketahui melali ajaran
agama yan diturunkanNya, bersumber dari sesama dan budayanya bakan dari diri
manusia itu sendiri. Manusia ideal adalah manusia yang telah dan mampu
mewujudkan berbagai potensinya secara optimal, sehingga beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat dan cerdas, berperasaan, berkemauan,
dan mampu berkarya; mampu memenuhi berbagai kebutuhannya secara wajar, mampu
mengendalikan hawa nafsunya; berkepribadian, bermasyarakat dan berbudaya.
Manusia ideal disebut sebagai manusia yang telah
mencapai kedewasaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa keharusan manusia adalah
untuk menjadi manusia dewasa atau untuk mencapai kedewasaan.
B.
Eksistensi
dan Perkembangan Manusia bersifat Terbuka
1.
Eksistensi
Manusia bersifat Terbuka
Manusia
bersifat terbuka artinya bahwa dalam eksistensinya manusia adalah makhluk yang
belum selesai mengadakan dirinya sendiri. Ia harus merencanakan dan terus
menerus mengupayakan ”mewujudkan” apa yang telah direncanakanya itu, untuk
menjadi seseorang pribadi tertentu sesuai pilihannya (bereksistensi).
2.
Perkembangan
manusia bersifat terbuka
Blok telah
mengemukakan teori retardasi (teori perlambatan dan perkembangan). Teorinya
menunjukan bahwa perkembangan hewan bersifat terspesialisasi (tertutup), sedangkan perkembangan manusia bersifat
belum terspesialisasi (terbuka).
Manusia bersifat terbuka artinya manusia memiliki berbagai potensi untuk mampu
menjadi manusia, misalnya : potensi untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
YME, potensi untuk dapat berbuat baik, potensi cipta, rasa, karsa.
C.
Manusia
sebagai Makhluk yang Perlu Bantuan
Dalam
perjalanan hidupnya, anak manusia masih harus belajar untuk ”hidup”, adapun hal
tersebut mengimplikasikan adanya ketergantungan dan perlunya anak memperolah
bantuan dari orang dewasa. Bagi anak manusia, insting, nafsu, dan semua potensi
itu belum mencukupi untuk dapat langsung menjalani dan mengahadapi kehidupan
serta untuk dapat mengatasi semua masalah dan tantangan dalam hidupnya. Untuk
dapa mewujudkan semua potensinya itu, anak manusia mempunyai ketergantungan
kepada orang dewasa.
D.
Manusia
sebagai Makhluk yang Perlu dididik dan Perlu Mendidik Diri
Manusia
belum selesai menjadi manusia, ia dibebani keharusan untuk menjadi manusia,
tetapi ia tidak dengan sendirinya menjadi manusia, untuk menjadi manusia ia
perlu dididik dan mendidik diri. ”Manusia
dapat menjadi manusia hanya melalui pendidikan”, demikian kesimpulan
Immanuel Kant dalam teori pendidikannya (Henderson, 1959). Peryataan tersebut
sejalan dengan hasil studi M.J. Langeveld yang memberikan identitas kepada
manusia dengan sebutan ”animal Educandum”
atau hewan yang perlu didik dan
mendidik diri (M.J.Langeveld, 1980)
4 Prinsip
yang menjadi alasan mengapa manusia perlu mendidik.
1. Manusia
belum selesai mengadakan dirinya sendiri
2. Keharusan
manusia untuk menjadi manusia dewasa
3.
Perkembangan manusia bersifat terbuka
4.Manusia
sebagai makhluk yang lahir tak berdaya, memiliki ketergantungan dan memerlukan
bantuan
E.
Manusia
sebagai Makhluk yang Dapat Dididik
N.
Drijakarya S.J. (1986) menyatakan bahwa manusia mempunyai atau berupa dinamika
(manusia sebagai dinamika), artinya manusia tidak pernah berhenti selalu dalam
keaktifan, baik dalam aspek fisiologik maupun spiritualnya. Dinamika mempunyai
arah horisontal (ke arah sesama dan dunia) maupun kearah transedental (kearah
Yang Mutlak).Karena itu dinamika manusia mengimplikasikan bahwa ia akan dapat
dididik.
Manusia
(anak didik) hakikatnya adalah makhluk sosial, ia hidup bersama dengan
sesamanya ini akan terjadi hubungan pengaruh timbal balik dimana setiap
individu akan menerima pengaruh dari individu yang lainnya. Sebab itu, maka
sosialitas mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik.
5 prinsip
antropologis yang melandasi kemungkinan manusia akan dapat dididik, yaitu :
1. Prinsip Potensialitas
2. Prinsip Dinamika
3. Prinsip Individualitas
Prinsip Sosialitas
F.
Batas-batas
Pendidikan
1.
Masalah
Batas Pendidikan
Sebagaimana
dikemukakan oleh M.I. Soelaeman (1988:42-51) mengenai batas-batas pendidikan
ini terdapat dua permasalahan, yaitu :
1.
Batas
pendidikan
2.
Batas
kemungkinan untuk mendapatkan pendidikan atau untuk dididik
2.
Jenis
Batas Pendidikan
Batas
pendidikan dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu :
1.
Batas
bawah pendidikan
2.
Batas
atas pendidikan
3.
Batas
pendidikan berkenaan dengan pribadi anak didik.
3.
Batas
bawah dan Batas atas pendidikan
Batas bawah
adalah ketika anak didik mengenal kewibawaan yaitu kurang lebih sekitar usia
3,5 tahun. Batas atas pendidikan adalah ketika tujuan pendidikan telah tercapai
atau ketika anak mencapa kedewasaan.
4.
Batas
Pendidikan berhubungan dengan pribadi anak didik.
Praktek
pendidikan hendaknya dilaksanakan dengan memperhatikan dan mempertimbangkan
anak didi. Pendidik dalam melaksanakan peranan-peranannya hendaknya tetap
menghormati pribadi anak didik. Jangan sampai anak pendidik mengorbankan
pribadi anak didik. M.J.Langeveld (1980:34) pernah mengingatkan bahwa ”pergaulan yang tidak menghormati keanakan
itu tidak menunjukan kekurangan dan ketidaksempurnaan pedagogis”.
5.
Batas
Kemungkinan dididik
Batas
pendidikan hanya berurusan dengan potensi atau bakat mana yang harus
dikembangkan, bagaimana cara mengembangkannya, dan sejauhmana potensi atau
bakat yang ada pada diri anak didik telah dikembangkan. Selain itu, batas
kemungkinan dididik berhubungan dengan jenis kelamin anak didik, yaitu
bagaimana mengembangkan anak laki-laki menjadi laki-laki dan anak prempuan
menjadi perempuan.
6.
Batas
pendidikan bersifat individual
Batas
pendidikan tidak bisa disamaratakan untuk anak yang satu dengan anak lainnya.
7.
Dasar
dan ajar
Pembawaan/dasar (nature) atau pendidikan/ajar memiliki 3 aliran pokok, yaitu:
1.
Nativisme
Tokoh aliran nativisme adalah Schoupenhauer. Penganut teori ini berasumsi
bahwa setiap individu (anak) dilahirkan kedunia dengan mmbawa bakat atau
potensi yang merupakan faktor turunan yang berasal dari orang tuanya. Bakat
atau potensi ini diyakini menjadi faktor penentu perkembangan individu
selanjutnya setelah ia dilahirkan. Teori ini dikenal sebagai teori yang pesimistik
terhadap peranan ajar/pendidikan (nature).
2.
Empirisme
Tokoh aliran empirisme antara lain John Locke dan J.B. Watson. Mereka
berasumsi bahwa setiap anak dilahirkan ke dunia dalam keadaan bersih ibarat papan
tulis yang belum ditulisi. Mereka tidak percaya kepada faktor bakat atau
potensi yang merupakan turunan atau hereditas sebagai penentu perkembangan
individu (anak didik).
Implikasi teori empirisme terhadap pendidikan yakni memberikan kemungkinan
sepenuhnya bagi pendidik (pendidikan/ajar/nurture) untuk dapat membentuk
kepribadian anak didik, tanggung jawab pendidikan sepenuhnya ada di pihak
pendidik
3.
Konvergensi
Tokoh aliran ini antaralain, William
Stern. Penganut aliran ini berasumsi
bahwa perkembanga individu ditentukan baik oleh faktor bakat/potensi yang
merupakan turunan maupun oleh faktor lingkungan/pengalaman. Implikasi teor ini
terhadap pendidikan yakni, bahwa perkembangan anak didik mendapat pengaruh baik
dari bakat bawaan maupun dari lingkungan, termasuk dari pendidik
BAB III
PEMBAHASAN
A. PERGAULAN PENDIDIKAN.
Sebelum kita mengkaji lebih lanjut tentang pergaulan
pendidikan, terlebih dahulu kita harus mengetahui arti dari pendidikan itu
sendiri. Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar
pesrta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta kecerdasan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Pendidikan adalah berlainan
dan berubah mengikut tujuan,tugas dan tempat Dalam Bahasa Inggeris . “education”
atau pendidikan dikatakan berasal dari perkataan Latin “educare”
yang bermakna memelihara dan mengasuh anak . Walau bagaimanapun ramai ahli
pendidik tidak menghadkan proses ini kepada kanak-kanak tetapi memikirkannya
sebagai suatu proses pemeliharaan Mengikut John Dewey, Pendidikan adalah satu
proses pertumbuhan dan perkembangan. Beliau memandangkan pendidikan sebagai
satu usaha mengatur pengetahuan untuk menambahkan lagi pengetahuan semulajadi
yang ada pada seseorang individu itu . Bagi James Mill pula, pendidikan adalah
satu proses memberi pertolongan maksimum kepada setiap anggota satu-satu
masyarakat supaya hidup dengan penuh keselesaan serta kegembiraan Manakala
menurut John Macdonald, dalam bukunya “A Philosophy Of Education”
makna pendidikan jelas dilihat dengan membandingkan masyarakat primitif
dengan masyarakat moden. Dalam masyarakat primitif, makna pendidikan ialah
latihan vokasional. Kanak-kanak dalam masyarakat primitif perlu diajar
bagaimana menggunakan alat-alat serta senjata kuno, bagaimana menangkap ikan
dan mempertahankan diri supaya dapat mengekalkan taekonomi puaknya. Dalam
masyarakat moden, unsur-unsur asas pendidikan masih sama, apa yang berbeza
dalam masyarakat ini pengetahuan disampaikan secara langsung, Seorang guru yang
tinggi ilmu pengetahuan serta kemahiranya adalah amat diperlukan. Oleh itu
jelaslah bahawa pendidikan adalah merupakan satu proses menolong dan memajukan
pertumbuhan dan perkembangan seseorang individu dari semua aspek iaitu Jasmani
, akal , emosi, sosial , seni dan juga moral untuk mengembangkan individi
supaya hidup dengan sempurna serta memperkembangkan bakatnya untuk kepentingan
diri dan menjadi ahli masyarakat yang berguna.
Pendidikan yang sebenarnya
berlaku dalam pergaulan antara orang dewasa dan anak. Pendidikan memang
kita dapati dalam pergaulan antara orang dewasa dan anak. Pergaulan
antara orang dewasa dan orang dewasa tidak disebut pergaulan
pendidikan(pergaulan pedagogis) sebab didalam pergaulan itu orang dewasa
menerima dan bertanggung jawab sendiri terhadap pengaruh yang terdapat
dalam pergaulan itu.
Jadi, pergaulan pedagogis
hanya terdapat antara orang dewasa dan anak ( orang yang belum dewasa). Tetapi,
kita harus ingat bahwa tidak tiap-tiap pergaulan antara orang dewasa dan anak
bersifat pendidikan. Banyak pergaulan dan hubungan yang bersifat netral saja,
yang bersifat pedagogis, misalnya, orang tua menyuruh mengambil kaca mata bukan
karena bermaksud mendidik, melainkan karena ia sendiri enggan mengambil.
Misalnya lagi, seorang yang berproganda untuk menjual buku-bukunya yang
bersifat cabul kepada anak-anak, tidak dapat dikatakan pergaulan pedagogis.
Satu-satunya pengaruh yang
dapat dinamakan pendidikan ialah pengaruh yang menuju kdewasaan anak: untuk
menolong anak menjadi orang yang kelak dapat dan sanggup memenuhi tugas
hidupnya atas tanggung jawab sendiri.
Pergaulan
pedagogis itu bersifat :
1. Di dalam
pergaulan ini ada pengaruh yang sedang dilaksanakan;
2. Ada maksud
bahwa pengaruh itu dilaksanakan oleh orang dewasa (dalam berbagai bentuk,
misalnya, berupa sekolah, pengajian, buku-buku, pelajaran, dan sebagainya)
kepada orang yang belum dewasa.
3. Pengaruh ini
diberikan atau dilaksanakan dengan sadar dan diarahkan pada tujuan yang berupa
nilai-nilai atau norma-norma yang baik yang akan ditanamkan dalam diri anak
didik atau orang yang belum dewasa.
Pergaulan itu disebut
pergaulan pedagogis jika orang dewasa atau si pendidik sadar akan kemampuannya
sendiri dalam tindakannya terhadap anak yang “tidak mampu apa-apa” itu, tetapi
disamping itu, ia masih ada percaya bahwa anak memiliki kemampuan untuk
membantu dirinya sendiri. Lebih jelas lagi: dalam pergaulan dengan
anak-anak, orang dewasa menyadari bahwa tindakannya yang dilakukan terhadap
anak-anak itu mengandung maksud, ada tujuan untuk menolong anak yang masih
perlu ditolong untuk membentuk dirinya sendiri.
Dari keterangan di atas
berarti pula bahwa pergaulan bisa sekoyong-koyong dapat berubah menjadi
pergaulanpedagogis, seperti sekoyong-koyong pendidik terpaksa
memperlihatkan suatu sikap sengaja (misalnya, memarahi memperingatkan, dan
lain-lain) karena anak berbuat sesuatu yang terlarang atau tidak pantas. Tetapi
pada umumnya, perubahan pergaulan biasa ke pergaulan pedagogis tidak disadari
oleh anak-anak dan diterima dengan sewajarnya oleh anak. Ini suatu bukti bahwa
pada dasarnya anak itu memerlukan dan suka akan pimpinan dari orang dewasa.
® Iplementasi Pergaulan pendidikan terhadap
kehidupan nyata
Jika kita mengamati
pendidikan di Indonesia maka kita akan mendapatkan beberapa fenomena dan
indikasi pergaulan pendidikan yang sangat tidak kondusif untuk mewujudkan
Indonesia menjadi negara maju dalam bidang pendidikan apalagi dalam bidang ekonomi fenomene dan indikasi tersebut
antara lain :
1. Rendahnya mutu dan
tingkat pendidikan para tenaga pengajar di semua jenjang pendidikan.
Fenomena ini dapat
ditangkap dengan mudah oleh siapa saja yang memiliki sedikit wawasan mengenai
kependidikan. Walaupun tentunya penelitian ilmiah mengenai masalah ini sangat
perlu dilakukan agar kesimpulan yang diambil lebih bernilai objektif. Namun
secara sederhana dapat kita ketengahkan beberapa indikasi umum yang diketahui
oleh banyak orang. Berdasarkan jenjang pendidikan yang telah diselesaikan oleh
para pendidik, dapat kita temukan kondisi berikut ini: para guru di tingkat
pendidikan dasar di Indonesia sangat jarang diantara mereka yang memiliki
ijazah strata satu (S1). Rata-rata adalah tamatan sekolah menengah atau sarjana
muda. Untuk tingkat pendidikan menengah pertama dan atas, maka akan kita
temukan juga kondisi yang hampir sama. Tenaga pengajar ditingkat ini kebanyakan
sarjana muda dan sedikit sekali yang merupakan sarjana penuh. Dan bisa
dikatakan tidak ada diantara mereka yang tamatan S2. Selanjutnya untuk tingkat
perguruan tinggi secara umum, dan jenjang S1 secara khusus, masih banyak sekali
dosen yang hanya tamatan S1.
Sementara itu kalau
ditinjau dari segi kesiapan mereka secara ilmiah dalam aktifitas belajar
mengajar, maka mayoritas dari sarjana atau tenaga pengajar yang terjun kebidang
pendidikan ini tidak memiliki spesialisasi dalam bidang pendidikan. Artinya
bukan lulusan dari fakultas pendidikan dan sejenisnya. Terutama untuk tingkat
pendidikan menengah ke bawah. Padahal ilmu-ilmu pendidikan sangat perlu
dimiliki oleh siapa saja yang menggeluti aktifitas mendidik. Karena mendidik
bukanlah sekedar transfer ilmu pengetahuan dari guru kepada murid atau siswa,
tetapi ia merupakan aktifitas yang komplek dan integral yang mempunyai metode
dan seni tersendiri.
2. Rendahnya
kemampuan sarjana-sarjana Indonesia
Gejala yang kedua ini
merupakan akibat logis dari fenomena yang kita sebutkan di atas. Karena
kapasitas dan kapabilitas para pendidik (dosen) akan berakibat lansung terhadap
mutu yang mahasiswanya, baik secara positif maupun secara negatif. Dengan arti
kata apabila seorang dosen memiliki tingkat akademis yang tinggi kemudian ia
juga memiliki wawasan yang cukup dalam ilmu pendidikan maka besar peluang ia
akan menghasilkan mahasisiwa dan mahasisiwi yang yang unggul dan lebih baik
dibandingkan dengan dosen lain yang tidak memilki kriteria tersebut. Ini dapat
kita ambil contoh pada beberapa perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang
memilki kemampuan finansial yang kuat yang memungkinnya untuk mendatangkan
tenaga dosen yang qualified. Dibandingkan dengan perguruan tinggi yang lain
yang kebanyakan para dosennya hanya lulusan S1, maka prestasi mahasisiwanya
akan sangat jauh berbeda. Apalagi ketika bersaing dalam mendapatkan peluang
kerja
3. Dekadensi moral
dikalangan mahasiswa dan pelajar
Gejala yang ketiga ini sudah menjadi rahasia umum. Bahkan tidak dapat lagi dikatakan sebagai gejala.
Tapi telah menjurus kepada fenomena. Kalau dulu di awal-awal 90-an kita sudah
terbiasa mendengar tawuran antara sesama pelajar dan mahasisiwa. Baik antara
sekolah dan perguruan yang sama atau pun yang berbeda. Kadang penyebab dari
tawuran tersebut adalah hal yang sangat sepele, seperti persaingan nama,
persaingan cinta (pacaran), kesenggol di bis atau di jalan dan lain sebagainya.
Kita tidak memungkiri adanya faktor eksternal yang sangat kuat yang
menyebabkan kondisi ini. Tapi minimal ini merupakan indikator yang
sangat nyata betapa jeleknya kondisi internal mereka (baca pendidikan dengan
segala isinya). Karena apa yang mereka pelajari dan siapa yang mengajari mereka
sudah tidak mampu lagi memberikan imunitas kepada mereka dari bahaya- bahaya
luar. Sehingga ketika mereka dirasuki oleh racun-racun eksternal mereka
® LINGKUNGAN PENDIDIKAN
Pendidikan di masyarakat adalah pendidikan nonformal yang dibedakan yang
dibedakan dari pendidikan keluarga (informal) dan pendidikan sekolah (formal). Sesuai dengan UU RI No. 20 tahun 2003 tentang
sisdiknas pasal 26, pendidikan nonformal diselenggarakan bagi masyarakat yang
memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, atau
pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan
penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta
pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
Pendidikan nonformal yang terdapat di masyarakat meliputi :
A. Pendidikan kecakapan hidup yaitu program pendidikan yang berpotensi mengembangkan dan mengaktualisasikan potensi sesuai dengan minat dan bakat peserta didik, dan juga kondisi, potensi, kebutuhan sekolah dan daerah.
A. Pendidikan kecakapan hidup yaitu program pendidikan yang berpotensi mengembangkan dan mengaktualisasikan potensi sesuai dengan minat dan bakat peserta didik, dan juga kondisi, potensi, kebutuhan sekolah dan daerah.
B. Pendidikan Anak Usia Dini adalah
jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya
pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun
yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan
dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
C. Pendidikan kepemudaan adalah program pendidikan yang diselenggarakan
untuk mempersiapkan kader pemimpin bangsa, seperti organisasi pemuda,
pendidikan kepanduan/kepramukaan, keolahragaan, palang merah, pelatihan,
kepemimpinan, pecinta alam, serta kewirausahaan. Pendidikan pemberdayaan perempuan
adalah program pendidikan yang diselenggarakan menunjang dan mempercepat
tercapainya kualitas hidup dan mitra kesejajaran laki-laki dan perempuan.
D. Pendidikan keaksaraan untuk meningkatkan kompetensi keaksaraan pada
semua tingkatan (dasar, fungsional, dan lanjutan) bagi penduduk buta aksara
dewasa secara meluas, adil dan merata untuk mendorong perbaikan kesejahteraan
dan produktivitas penduduk.
E. Pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja untuk meningkatan
keterampilan dan produktivitas tenaga kerja serta mengurangi angka
pengangguran.
® Adapun dalam ruang lingkup pendidikan
terdapat Satuan pendidikan nonformal yang terdiri atas:
a)
Lembaga
kursus yaitu lembaga yang memberikan pengajaran kepada masyarakat tentang suatu
pelajaran tertentu agar lebih fokus dan mendalami mata pelajaran/keterampilan
yang dimaksud.
b)
Lembaga
pelatihan yaitu lembaga yang khusus mempersiapkan calon-calon tenaga kerja di
bidang perusahaan tertentu.
c)
Kelompok
belajar yaitu pendidikan masyarakat yang difasilitasi oleh Pemerintah untuk
siswa yang belajarnya tidak melalui jalur sekolah, atau bagi siswa yang belajar
di sekolah berbasis kurikulum non pemerintah seperti Cambridge, dan IB
(International Baccalureate).
d)
Pusat
kegiatan belajar masyarakat yaitu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang
bergerak dalam bidang pendidikan. PKBM ini masih berada di bawah pengawasan dan
bimbingan dari Dinas Pendidikan Nasional. PKBM ini bisa berupa tingkat dusun,
desa ataupun kecamatan.
e)
Majelis
taklim yaitu pendidikan nonformal yang bertujuan untuk membina dan mengmbangkan
ajaran islam dalam rangka membentukmasyarakat yang
bertaqwa kepada Allah SWT.
bertaqwa kepada Allah SWT.
® Pendidikan Jalur Formal, Nonformal, dan
Informal
Selain pendidikan yang dapat dikategorikan ke dalam pendidikan formal,
nonformal, dan informal, ada pendidikan yang dapat diselenggarakan baik formal,
nonformal, meupun informal. Macam-macam pendidikan itu adalah :
a) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan sekolah
dasar agar anak memiliki kesiapan yang lebih matang untuk memasuki jenjang
pendidikan selanjutnya.
Pendidikan anak usia pada jalur formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
Pendidikan anak usia pada jalur formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
2. Pendidikan anak usia dini berjalur
nonformal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau
yang lainnya.
3. Pendidikan keagamaan, diselenggarakan
oleh pemerintah dan kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Pendidikan keagamaan berbentuk Pendidikan Diniyah,
pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
4. Pendidikan khusus/layanan khusus merupakan
pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam proses
belajar mengajar karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, atau
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
® Hubungan di antara Tripusat Pendidikan
Tripusat pendidikan saling berhubungan dan berpengaruh. Tidak hanya
hubungan positif yang menuntut kerjasama tetapi hubungan negatif juga dapat
menimbulkan persaingan. Keterkaitan ketiga pusat pendidikan yaitu keluarga,
sekolah, dan masyarakat masing-masing memiliki fingsi tersendiri dengan satu
tujuan yaitu menolong pertumbuhan dan perkembangan peserta didik secara optimal
untul mencapai tujuan pendidikan yaitu menjadikan manusia yang seutuhnya,
berjatidiri, memiliki integritas, dan martabat.
Tuntutan perkembangan zaman dan IPTEKS, telah menjadikan persaingan baik sadar maupun tidak sadar. Sekolah semula memperoleh otritas mendidik, karena sekolah hanyalah sebagian dari masyarakat, dan pendidikan hanyalah salah satu pranata sosial disamping pranata ekonomi, politik, teknologi, dan moral atau etika.
Tuntutan perkembangan zaman dan IPTEKS, telah menjadikan persaingan baik sadar maupun tidak sadar. Sekolah semula memperoleh otritas mendidik, karena sekolah hanyalah sebagian dari masyarakat, dan pendidikan hanyalah salah satu pranata sosial disamping pranata ekonomi, politik, teknologi, dan moral atau etika.
Agar fungsi pendidikan dapat tercapai dengan baik, harus terjadi kerjasama
yang harmonis antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sejalan dengan UU No.
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menggariskan peran serta masyarakat dalam pendidikan.
Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam
peningkatan mutu pelayanan pendidikan pertimbangan, arahan, dan dukungan. Untuk
itu telah terbit Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002,
tanggal 12 April 2002.
®
Lingkungan Makro Pendidikan
Lingkungan makro pendidikan yaitu
lingkungan yang lebih besar atau lebih luas yang berpengaruh terhadap semua
lingkungan mikro tersebut dan bersifat global. Lingkungan makro pendidikan
mempunyai arti luas terhadap :
a)
Ideologi
Ideologi berpengaruh terhadap dunia pendidikan karena ideologi menjadi landasan sekaligus tujuan setiap bentuk pendidikan. Sebagai contoh :
Bahasa Indonesia dengan Pancasila sebagai ideologi, falsafah, pandangan hidup, jatidiri, kepribadian pasti akan menjadikan Pancasila sebagai landasan tujuan pendidikan nasional.keyakinan atau agama akan melandasi dan menjadi tujuan setiap upaya pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat, dan dijamin oleh undang-undang.
Ideologi berpengaruh terhadap dunia pendidikan karena ideologi menjadi landasan sekaligus tujuan setiap bentuk pendidikan. Sebagai contoh :
Bahasa Indonesia dengan Pancasila sebagai ideologi, falsafah, pandangan hidup, jatidiri, kepribadian pasti akan menjadikan Pancasila sebagai landasan tujuan pendidikan nasional.keyakinan atau agama akan melandasi dan menjadi tujuan setiap upaya pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat, dan dijamin oleh undang-undang.
b)
Politik
Politik suatu negara berpengaruh terhadap dunia pendidikan. Pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kepentingan politik, karena kebijakan-kebijakan pendidikan ditentukan oleh golongan politik di lembaga legislatif. Pendidikan yang dikaitkan dengan pembentukan warga negara jelas tak terlepas dari kepentingan politik, hal ini karena terdapat aliran pikiran “statalisme” yang artinya menundukkan kepentingan anak didik sepenuhnya kepada negara.
Politik suatu negara berpengaruh terhadap dunia pendidikan. Pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kepentingan politik, karena kebijakan-kebijakan pendidikan ditentukan oleh golongan politik di lembaga legislatif. Pendidikan yang dikaitkan dengan pembentukan warga negara jelas tak terlepas dari kepentingan politik, hal ini karena terdapat aliran pikiran “statalisme” yang artinya menundukkan kepentingan anak didik sepenuhnya kepada negara.
c)
Ekonomi
social
Kesejahteraan masyarakat dan pendanaan pendidikan
berpengaruh besar terhadap pendidikan salah satu masalah besar pendidikan
Indonesia disamping masalah pemerataan dan mutu pendidikan. Tingkat
ekonomi yang rendah menyebabkan banyak orang tidak mampu meraih pendidikan
sebagaimana mestinya. Tingkat kesejahteraan memiliki korelasi terhadap
kesejahteraan hidup. Dengan demikian timbullah deferensiasi sosial bahkan
cenderung menjadi diskriminasi.
d)
Budaya
Pendidikan bermula dari budaya dan berakhir pada budaya. Karena budaya yang menjiwai seluruh proses pendidikan. Kebudayaan menuntun pendidikan. Makin tinggi pendidikan seseorang maka makin berbudaya.
Pendidikan bermula dari budaya dan berakhir pada budaya. Karena budaya yang menjiwai seluruh proses pendidikan. Kebudayaan menuntun pendidikan. Makin tinggi pendidikan seseorang maka makin berbudaya.
e)
Militer
dan Pertahanan
Proses pendidikan memerlukan ketahanan dan
keamanan fisik (lahir) maupun batin (mental). Dalam keadaan kacau pada sebuah
negara seperti peperangan, pendidikan tidak dapat berjalan secara wajar tapi
dalam keadaan kacau tersebut dapat menjadi pelajaran yang bermakna. Pertahanan
dan keamanan suatu bangsa menjadi materi pendidikan kewarganegaraan dalam
rangka membentuk warga negara yang baik.
f)
Era
globalisasi
Era globalisasi telah menimbulkan dehumanisasi dan
memperkuat materialisme. Perkembangan teknologi yang canggih di sisi lain
membuat anak didik diperalat seperti robot. Sekolah tidak lagi bersifat
edukatif dan kreatif melainkan hanya menyiapkan tenaga atau mesin industri. Era
globalisasi sebagai lingkungan pendidikan di satu sisi menimbulkan modernisasi,
tetapi di sisi lain dapat menimbulkan dominasi negara maju terhadap negara
berkembang.
Demikian lingkungan global tehadap dunia
pendidikan. Hal ini menjadi tantangan yang tidak ringan bagi dunia pendidikan
di Indonesia, maka dalam rangka menghadapi era modernisasi dan postmodernisme
pendidikan harus bangkit dan kembali pada jalur yang benar.
BAB IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Manusia sebagai makhluk Tuhan adalah
makhluk pribadi sekaligus makhluk sosial, susila, dan religius. Sifat kodrati
manusia sebagai makhluk pribadi, sosial, susila, dan religii harus dikembangkan
secara seimbang, selaras, dan serasi. Perlu disadari bahwa manusia hanya
mempunyai arti dalam kaitannya dengan manusia lain dalam masyarakat. Manusia
mempunyai arti hidup secara layak jika ada diantara manusia lainnya. Tanpa ada
manusia lain atau tanpa hidup bermasyarakat, seseorang tidak dapat
menyelenggarakan hidupnya dengan baik.
Guna meningkatkan kualitas hidup,
manusia memerlukan pendidikan, baik pendidikan yang formal, informal maupun
nonformal. Dalam kenyataannya, manusia menunjukkan bahwa pendidikan merupakan
pembimbingan diri sudah berlangsung sejak zaman primitif. Kegiatan pendidikan terjadi dalam hubungan
orangtua dan anak.
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rohani HM. 2004. Pengelolaan Pengajaran. Jakarta:
Rineka Cipta.
Arby, Sutan Santi dan
syahrun, Syahmar. 1991/1992. Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta:
Depdikbud
Arikunto, suharsimi. 1991. Dasar-dasar
Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Buchari Muchtar, 1980. Teknik-teknik
Evaluasi dalam Pendidikan. Bandung: Jemmars.
Faisal Sanapiah & Hanafi Abdillah. 1983. Pendidikan Non-Formal.
Surabaya. Usaha Nasional
Mudyahardjo Redja. 2001. Pengantar
Pendidikan. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada
Nasution S. 2003. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta. PT Bumi
Aksara
Purwanto, Ngalim. 2006. Ilmu
Mendidik Teoritis dan Praktis. Jakarta: Remaja Rosda karya.
Sadulloh Uyoh. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung.
Alfabeta
Sahabudding. 1985. Pendidikan Non-Formal Suatu Pengantar Ke Dalam
Pemahaman Konsep Dan Prinsip Pengembangan. Ujung Pandang. IKIP Ujung
Pandang
Sudiyono, Anas, 1996. Pengantar evaluasi pendidikan. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Syah, Muhibbin. 2003. Psikologi Beajar. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Syahrun, Syahmiar. 1991. Dasar-dasar
Kependidikan. Jakarta: Depdikbud.
Tirtarahardja Umar & S. L. La Silo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta. PT Rineka Cipta
Tirtarahardja, Umar. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta:
Rineka Cipta.
Sumber Asli:
http://fatamorghana.wordpress.com/2009/04/11/esensi-pendidikan
0 comments: