Kekerasan Itu Mode Kontemporer
Syafi’i
Anwar:
Kekerasan Itu Mode Kontemporer
Masyarakat luas masih banyak yang senang
kepada tindakan yang sifatnya moderat dan inklusif. Ada resistensi besar dari
masyarakat terhadap kelompok agama yang memakai jalur kekerasan. Demikian
analisis Syafi’i Anwar, kandidat doktor di Melbourne University yang mengambil
tema Taksonomi Politik Kelompok Modernis dalam disertasinya. Mantan Pemred
Majalah Ummat (almarhum) yang juga pernah aktif di Majalah Panjimas dan Jurnal
Ulumul Quran ini memprediksi cepat atau lambat mereka akan runtuh dengan
sendirinya bila memakai kekerasan. Berikut petikan perbincangannya dengan Ulil
Abshar-Abdalla dari Kajian Islam Utan Kayu:Kekerasan Itu Mode Kontemporer
Bagaimana peta gerakan Islam secara umum di Indonesia dewasa ini?
Berdasarkan riset lapangan, terutama yang berkaitan dengan
disertasi saya, saya memfokuskan pada kalangan modernis sebagai kategori
sosial, bukan dalam hal pemikiran. Saya melihat beberapa varian yang cukup
menarik di kalangan modernis itu sendiri yang saya bagi perilaku politiknya
sekitar empat.
Apa saja itu?
Pertama, varian pragmatis. Pragmatis dalam artian
mereka non-puritan, non-asketik, kemudian juga lebih kepada (unsoft term)
di dalam langkah-langkah politiknya dan tidak terlalu mementingkan kepentingan
konstituennya. Kedua, kelompok akomodatif. Artinya memperhitungkan
kepentingan konstituen, tapi juga dia bisa melakukan akomodasi terhadap negara,
Ketiga, kelompok yang disebut idealis-kritis. Mereka sangat concern dalam
pengembangan civil society dan cukup kritis terhadap sepak terjang
negara. Yang terakhir, kelompok yang disebut radikal-strukturalis. Dalam hal
ini, terminologi Barat mungkin menyebutnya fundamentalis. Mereka sangat concern
menegakkan Islam kaffah, syariat Islam dan sejenisnya.
Kita fokus pada gerakan yang terakhir, yaitu radikal-strukturalis.
Apa kira-kira pikiran dan agenda politik mereka?
Data-data penelitian lapangan saya, melalui serangkaian wawancara,
mengatakan bahwa akar-akar sosial-keagamaan kelompok radikal-skripturalis
kebanyakan berasal dari kalangan modernis.
Modernis di sini konkritnya siapa? Kalangan kota, kalangan urban?
Ada yang Muhammadiyah, kemudian ada juga yang menyepi di HMI dan
sebagainya. Ada juga yang mungkin di luar itu. Saya lihat mereka ada dari unsur
habaib, meski secara logika politik maupun juga pandangan-pandangan
keagamaannya sebenarnya lebih condong kepada perilaku modernis. Itu yang saya
amati. Karena dalam pengamatan saya, meskipun namanya, taruhlah ahlusunah
waljamaah, praktik-praktik ritual cenderung modernis.
Apa agenda politik mereka yang paling menonjol?
Terus terang, saya belum tahu persis agenda politiknya seperti
apa. Tapi saya lebih melihat ini sebagai suatu proses alienasi dan juga faktor
psikologis mungkin dari deprivasi sosial, dan sebagainya. Kemudian juga
faktor-faktor yang sifatnya ekonomis, dan sebagainya. Itu yang saya amati. Tapi
agenda mereka yang paling pokok adalah implementasi syariat Islam. Hanya
masalahnya bagaimana pengertian syariat Islam menurut mereka itu belum jelas.
Siapa yang menginterpretasikan? Modelnya seperti apa? Apakah seperti Taliban
yang ternyata juga gagal? Ini juga yang harus dipikirkan. Hasil Penelitian
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) menunjukkan mayoritas masyarakat
kita ini memahami syariat Islam sebagai sebuah nilai (value), bukan sebagai
hukum (law).
Apa alasan yang menimbulkan bentuk atau warna-warna Islam?
Saya kira itu tidak bisa lepas dari dinamika persoalan. Saya
menggunakan terminologi yang agak strukturalis: tidak bisa terlepas dari
persoalan ekonomi politik. Maksud saya adalah bahwa ketika terjadi negara tanpa
hukum (lawless society), kemudian ekonomi tidak karuan, orang lantas
mencari agama sebagai pelarian dari persoalan ini. Termasuk faktor perasaan
teralienasi dan juga deprivasi sosial yang akut. Saya merasa, oleh orang-orang
seperti ini agama kemudian menjadi tempat yang paling aman dan paling
menjanjikan ketika melakukan sebuah reinterpretasi terhadap kegagalan yang
dilakukan ini.
Jadi serbuan budaya modern memicu mereka kembali kepada ajaran
lama?
Saya setuju dengan Luthfi Assyaukanie yang memakai kerangka Karen
Armstrong dalam melihat hal ini. Radikalisme itu adalah anak kandung langsung
dari modernitas. Sebagai anak kandung dari modernitas, ia merupakan respon
langsung dari keadaan modernitas yang oleh orang-orang radikal ini kemudian
dianggap sebagai sebuah keadaan yang bertolak belakang dengan kondisi keimanan
yang dianggapnya sebagai anti-tuhan, sebagai gerakan yang terlalu mendunia.
Kemudian muncul self defense mechanism, ada mekanisme pertahanan dari
diri sendiri untuk menjaga keimanan mereka dari kondisi sosial yang begitu. Itu
kan semacam resistensi terhadap modernitas itu sendiri, karena modernitas dalam
pandangan mereka, sepanjang yang saya amati dan saya wawancara, modernitas itu
sangat destruktif. Mereka menyebut efek dari modernitas sebagai jahiliyah
modern. Itu adalah pandangan-pandangan praksis mereka sebenarnya. Tetapi saya
sangat setuju sekali bahwa modernitas sendiri juga memang melahirkan efek-efek
yang negatif. Masalahnya adalah bagaimana merespon yang negatif itu, apakah
dengan berpikir secara jernih dan berpikir ulang. Atau kalau perlu kita
melakukan sebuah dekonstruksi terhadap modernitas itu sendiri tanpa harus
menggunakan klaim-klaim kebenaran agama yang kemudian ditafsirkan secara
radikal.
Ini tampaknya ada semacam kaitan antara gerakan radikal agama,
juga Islam di dalamnya, dengan penggunaan kekerasaan. Kenapa itu terjadi?
Saya termasuk orang yang menghargai pendapat kalangan seekstrim
manapun dan pandangan sekonvensional apapun sepanjang tidak memakai kekerasan.
Doktrin keagamaan yang dianut oleh sebagian besar kita adalah menyoal
penggunaan fisik dalam dakwah. Tuhan berfirman: (ud’u ila sabili rabbika bi
al-hikmati wa al-mauidhatil hasanah … wajadilhum billati hiya ahsan). Saya
kira kita semua ingin islah. Dan menurut saya, kalau kita menggunakan
kekerasasan, kita justru melakukan distorsi terhadap ajaran Islam itu sendiri.
akibatnya imej kita menjadi buruk. Saya kira soal penggunaan kekerasan ini
karena aparat sipil di Indonesia, polisi, dan tentara, tidak bisa menegakkan
hukum sehingga kelompok ini makin merasa bebas menggunakan kekerasan.
Menurut Anda, kecenderungan satu-dua tahun mendatang apakah
kelompok ini makin tertampung dalam frame work demokrasi yang sudah ada
di sini?
Saya agak ragu seperti yang saya katakan soal lawless society tadi.
Lawless society itu berat sekali, karena menurut saya kalau terjadi
masyarakat tanpa hukum itu memicu misalnya tindakan sweeping. Itu bukan hanya
bertentangan dengan agama, tetapi bertentangan dengan rule of law. Dari
pemerintah saya kira tidak tegas. Tetapi yang aneh adalah bahwa di sini
tindakan itu, secara logika maupun secara akal sehat, bisa dibenarkan. Itu yang
menjadi pertanyaan besar bagi saya.
Sekarang ini ada satu berita yang berkembang bahwa kelompok
Lasykar Jihad di Ambon dan Poso, misalnya, menggunakan kekerasan untuk melawan
orang-orang Kristen. Dari pihak Kristennya juga melakukan hal yang sama.
Ini sedihnya. Saya kita mengalami set-back yang luar biasa
di dalam hubungan antar-agama. Memang perlu dicari, diusut, dan diinvestigasi
secara tuntas, kenapa sekarang hubungan antar agama dan toleransi antar agama
mengalami suatu kemunduran yang luar biasa sekali. Saya barusan
berdialog dengan seorang kawan yang Katolik dan juga Cina; mereka menunjukkan concern
yang sama. Kita bahkan kalau di luar negeri juga malu dengan perkembangan
ini. Di Australia misalnya, image Indonesia itu jelek sekali dengan
keadaan seperti ini.
Pertanyaan yang mungkin penting juga adalah bagaimana sikap yang
baik untuk menghadapi kelompok radikal dalam agama ini, baik dari pihak
pemerintah sendiri maupun pihak masyarakat?
Pertama, hukum harus ditegakkan dengan jalan apapun. Jangan sampai
terjadi lawless society. Kedua, perbaikan tingkat ekonomi itu
berpengaruh sekali, karena sepanjang pengetahuan saya faktor itu sangat
menentukan penelitian saya. Karena di sini radikalisasi terhadap penafsiran dan
radikalisasi terhadap teks dan juga aksi, itu bisa lepas dari kepentingan
ekonomi politik. Ketiga, faktor pendidikan. Saya kira kita perlu
pergaulan sosial. Tetapi saya percaya kalau mereka, kawan-kawan yang radikal
itu, suatu saat mengalami suatu pencerahan kembali, mereka juga bisa dialog.
Saya percaya ini karena saya sudah melakukan sekian banyak wawancara dan mereka
juga dalam pengakuannya juga ada kesan bahwa belum tentu kita menempuh jalan
yang terus menerus radikal. Jadi, radikal itu kadang-kadang saya lihat juga
temporal, apalagi dengan kekalahan Taliban seperti sekarang ini; tidak ada yang
bisa dijadikan model lagi.
Jadi Anda melihat kehancuran Taliban di Afgan itu membuat
teman-teman yang radikal ini kehilangan contoh, begitu?
Bukan kehilangan contoh, tapi ternyata terbukti bahwa cara-cara
atau model seperti itu tidak bisa dipertanggungjawabkan secara apapun dan juga
tidak mengajarkan suatu imej yang baik tentang Islam.
Kalau Anda melihat kecenderungan sampai pemilu 2004, bagaimana
wajah dari kelompok radikal ini. Apakah mereka makin radikal lagi atau akan
mengalami moderasi, makin ke tengah dan bisa menerima, bergaul dengan orang lain?
Ada dua kemungkinan. Tadi saya tetap bertahan pada cases; sepanjang
terjadi lawless society kelompok itu akan semakin menguat. Karena itu
perlu penegakan hukum yang tegas di dalam implementasinya. Yang kedua, tadi
ekonomi tetap menjadi sumber selama tidak terjadi perubahan yang cukup
signifikan di dalam ekonomi. Kelompok itu juga akan menguat. Tetapi kalau
terjadi penegakan hukum ini saya kira akan kurang.
Soal perbaikan mutu kehidupan dan segala macam itu kan jangka
panjang, sementara kita sekarang berhadapan dengan situasi yang mendesak yaitu
bagaimana menciptakan kembali suasana yang kira-kira damai supaya kita bisa
mengkonsolidasikan demokrasi. Kalau ada orang yang melakukan kekerasan semacam
itu kan malah mengganggu. Bagaimana mengatasi keadaan yang mendesak semacam
itu?
Saya tetap percaya bahwa mereka bisa dialog. Dan saya sudah
melakukan banyak wawancara dan juga, termasuk dengan kalangan mereka. Jadi,
saya melihat bahwa kekerasan ini saya kira mode yang temporer. Selama ini yang
terjadi jelas kan tidak mendapat simpati dari masyarakat luas kecuali beberapa
orang yang tentu saja jumlahnya sangat terbatas.
0 comments: