CIVIL SOCIETY DI INDONESIA


CIVIL SOCIETY DI INDONESIA:
TRANSPLANTASI ATAUKAH TRANSFORMASI
Salman Alfarisi

SEKILAS TENTANG CIVIL SOCIETY
            Sejak kolonialisme Belanda selain tidak cukup  menyediakan infrastruktur sosial yang memadai terhadap kemungkinan tumbuhnya institusi sosial sukarela, pluralisme dan pransaksi sosial lintas kultural, juga ada upaya sistematik menghambat munculnya civil society. Meski setelah politik etis, ada banyak muncul pribumi terdidik, selain hanya sedikit yg mempunyai gagasan-gagasan politik kebangsaan Indonesia (kecuali kesadaran nasionalisme 1928 dan gagasan nasionalisme generasi kedua (1945) situasinya tidak kondusif yang memungkinkan elemen-elemen manjemuk dalam civil society berinteraksi dalam kerangka negara bangsa (nation state) yang modern.
            Tahun 1950-1958 ada indikasi ada interaksi antar elemen-elemen majemuk dalam rakyat dalam ruang publik yang amat dinamis karena melibatkan proses-proses negosiasi-renegosiasi dan posisi-reposisi di antara nilai-nilai lokal, partikular dan universal. Namun, terhambat oleh  kehendak negara dan demokrasi terpimpin (1959-1965), sebagai akibat konflik aliran idiologi (Islam, tradisional ortodoks, nasionalis, sosial-demokrat dan komunis).
            Hadirnya rejim Orde Baru telah amat menghancurkan kemungkinan elemen-elemen penting dalam civil society di Indonesia untuk melanjutkan proses pertumbuhannya.
Dari kesejarahan bangsa-bangsa yang telah maju dan demokratis, keberadaan civil society yang kuat merupakan salah satu landasan pokok bagi ditegakkannya sistem politik demokrasi di Indonesia (Hikam, 1999; Suseno, 1996).
            Pada akhir 1980-an, perbincangan civil society mulai marak, dapat dilihat dari adanya sejumlah terbitan, forum-forum publik; dan kini wacana civil society telah menular ke lingkungan pemerintahan dan institusi-institusi penting seperti Lemhanas, Bappenas. Pada awalnya hanya kelompok ilmuwan, LSM dan para mahasiswa. Mereka ini banyak diilhami oleh berbagai peristiwa politik di negara blok Soviet dimana berbagai gerakan berhasil menumbangkan  rezim totaliter dengan damai (Hikam, 1996; Raharjo, 1999). Mereka ini juga melihat gerakan civil society merupakan inti dari  di dalam gerakan-gerakan sebagaimana dicontohkan dalam karya-karya Vavlak Havel, Vavlak Benda, Adam Michink serta para pemimpin prodemokrasi di Eropa Tengah dan Timur.
            Sejak 1990-an, berbagai publikasi dan diskusi dilakukan untuk membahas civil society semakin meningkat.
Konsep
            Ralf Dahrendorf, menyatakan bahwa: “Masyarakat sipil bercirikan tegaknya rule of law  secara mantap disatu pihak dan berkembangnya sektor antara (intermediate) institusi–institusi otonom  di lain pihak yang institusi-institusi yang tidak dikuasasi oleh negara, atau yang tidak diatur secara sentral oleh otoritas kekuasaan, tetapi merupakan organisasi-organisasi yang bekerja sebagai agen kemajuan rakyat” (Baso, 1999: 88).        
            Civil society sebagai “bentuk masyarakat masa depan yang paling ideal” dan sebagai “alternatif terbaik masa depan” bukan hanya digerakkan oleh keinginan untuk “tetap survive,” tetapi juga untuk mempertahankan eksistensi sebuah identitas yang dinyatakan harus menyimpang dari Barat, identitas yang harus diberi “oportunitas,” “kesempatan untuk bergerak dalam suatu fair competition dan masing-masing boleh mengajukan gagasan-gagasan tentang pembangunan.” Namun, dalam mengaktualisasikan dirinya -- dengan ungkapan “kita”-- identitas ini, yang punya nilai dan sejarahnya sendiri yang panjang, harus berhadapan dengan kenyataan yang ambigu: disatu sisi bentuk masyarakat ideal yang disambutnya itu berasal dari “halaman” tradisi Barat, sedang bentuk liberalisme politik dan ekonomi yang ditolaknya itu disisi lain juga berasal dari sumber yang sama, tempat bersemainya bentuk masyarakat yang didambakannya.
            Civil Society  adalah suatu model masyarakat ideal yang didalamnya hidup manusia-manusia partisipan yang masing-masing diakui sebagai warga-warga dengan kedudukan mereka yang serba setara dan sama dalam soal pembagian hak dan kewajiban. Indivividu-individu terbebas dari afiliasi-afiliasi lama untuk bersetia kepada kolektiva-kolektivanya yang semula, yang primordial dan/atau yang patrimonial sifatnya. Kehidupan civil society bersifat translokal dan berazaskan prinsip teritorialitas yang terbuka dan inklusif (dengan karakternya yang netral dan dalam suasana yang serba publik dan egalitarian), menjauhi domestisitas yang tertutup dan eksklusif (dengan suasananya yang serba privat dan personal serta hirarkhik) (Wignyosoebroto, 2000:21)
            Civil society bercirikan kemandirian, pluralisme dimana berbagai kelompok bisa bekerjasama, tunduk pada hukum dan semua warga berkedudukan sama di depan hukum. Pengembangan civil society memerlukan ruang publik (public sphere) dimana setiap warga bebas menyampaikan pendapatnya mengenai masalah-masalah kemasyarakatan. Meski  posisi pemerintah tidak harus berseberangan dengan civil society, namun selama ini ruang publik yang ada selalu dimonopoli pemerintah sehingga hampir sulit membedakan mana public dan mana private life (Dwiyanto, 1999: 86).
            Civil society adalah lebih dari campuran berbagai bentuk asosiasi. Pengertian civil society juga mencakup kualitas civility (keadaban, madaniyah): (1) toleransi, kesedian pribadi-pribadi untuk menerima berbagai macam pandangan politik dan tingkah laku sosial, (2) kesedian untuk menerima pandangan yang sangat penting bahwa tidak selalu ada jawaban yang benar atas suatu masalah dan (3) kualitas hubungan antar asosiasi dan serikat-serikat. Jika tanpan civility lingkungan hidup sosial akan hanya terdiri dari faksi-faksi, klik-klik dan serikat-serikat rahasia yang saling menyerang (Madjid, 1997:296)
            Civil society hanya akan tumbuh dalam suatu masyarakat yang terbuka (open society). Masyarakat terbuka pada hakikatnya bukan suatu sistem, tetapi suatu oportunitas. “… dalam suatu masyarakat terbuka, institusi-institusi di atas diciptakan berdasarkan asumsi bahwa tidak ada satu pun kelompok yang boleh memonopoli kebenaran dan bersikap solipstik serta berhak menentukan arah perkembangan masyarakat. Sebaliknya, dalam masyarakat terbuka, setiap kelompok masyarakat diberi kesempatan untuk bergerak dalam suatu fair competition  dan masing-masing boleh mengajukan gagasan-gagasan tentang pembangunan (Rais, 1991; Hikam, 1996)
            Kondisi civil society di Indonesia terdapat elemen-elemen universal dan partikularistik. Hal ini yang semestinya disintesiskan dan dicangkokkan. Di Amerika sendiri perkembangan civil society cenderung mengarah ke partikularisrik, berorientasi pada identitas (seperti gerakan black movement, gerakan enviromentalis dan indeginous movement (Baso, 1999:13). Civil society seharusnya merupakan identitas yang ditransedensikan, yakni beyond class dan beyond etnhicity. Di Indonesia sendiri perlu mencoba memperluas identitas primordial menuju identitas nasional, dan inilah civil society.
            Model civil society seperti itulah yang mengubah secara transformatif tatanan lama menuju tatanan baru yang dibangun dan berbasiskan pada hasil kesepakatan-kesepakatan kehendak para subyek warga sendiri yang dituangkan dalam wujud charta dan produk-produk legislatif lainnya. Hubungan-hubungan antar warga yang privat (non-publik) itu pun dibangun atas dasar kesepakatan-kesepakatan internal antar-subyek yang warga itu, tertuang dalam wujud apa yang kini dikenali sebagai kontrak-kontrak. Tatanan normatif seperti itulah yang memungkinkan terwujudnya satuan-satuan kehidupan yang inklusif yang netral dan sekuler, bukan lagi tatanan kehidupan yang eksklusif yang berbasiskan religi sebagaimana yang selama ini dipraktekkan untuk menegakkan kehidupan masyarakat feodal dan negara monarki yang teokratik luar (Wignyosoebroto, 2000:29)
            Civil society lebih berkonsentrasi pada jalur bawah, berupa pemberdayaan; bukan jalur konvensional (jalur atas) berupa pembentukan institusi dan struktur politik demokratis seperti distribusi kekuasaan, pemerintahan perwakilan, struktur kepartaian, pemilu dan sejenisnya. Demokratisasi dalam wacana civil society lebih mengutamakan proses ketimbang hasil cepat (Madjid, 1997:31-32). Hal ini memperkuat dugaan bahwa civil society sesungguhnyalah sebagai fenomena transformatif, dari pada transpalatif yang mengesankan pewujudannya direkayasa dari atas, negara (Wignyosoebroto, 1999:11).
            Secara teoritis, menurut Hikam (1996:18) pemahaman Habermas, Ost, Arato dan Cardoso dalam melihat civil society sebagai jaringan pengelompokan dan asosiasi yang mencakup mulai dari keluarga, organisasi-organisasi sukarela, sampai pada organisasi yang mungkin di bawah bentukan negara tetapi berperan sebagai perantara antara negara dan individu, pribadi dan publik. Ini jelas berbeda dengan pemahaman Hegel dan Marx.  Civil society is to follow Larry Diamond :the realm of organized social life that is voluntary, self generating, (largerly) self supporting, autonomous from the state, and bound by legal order or set shared rules (Hikam, 1995: 32).

PENTINGNYA Civil Society
            Untuk mengurangi dan mengantisipasi ekses-ekses tersebut civil society menjadi penting. Ia dapat menjadi benteng yang menolak intervensi negara yang berlebihan melalui berbagai asosiasi, organisasi dan pengelompokan bebas di dalam rakyat serta keberadaan ruang-ruang publik yang bebas (the free public sphare). Melalui kelompok-kelompok mandiri itulah rakyat dapat memperkuat posisinya vis-à-vis negara dan melakukan transaksi-transaksi wacana sesamanya. Sedangkan melalui ruang publik bebas, rakyat sebagai warga negara yang berdaulat (baik individu  maupun kelompok) dapat melakukan pengawasan dan kontrol terhadap negara. Pers dan forum-forum diskusi bebas yang dilakukan para cendekiawan, mahasiswa, pemimpin agama, dan sebagainya ikut berfungsi sebagai pengontrol kiprah negara.
            Civil society yang didalamnya bermuatan nilai-nilai moral tertentu, akan dapat membentengi rakyat dari gempuran sistem ekonomi pasar. Nilai-nilai itu adalah kebersamaan, kepercayaan, tanggung jawab, toleransi, kesamarataan, kemandirian dan seterusnya.
            Civil society baik pada tataran institusional maupun nilai ideal menjadi landasan kuat bagi bangunan demokrasi partisipatoris dan substantif, bukan hanya demokrasi prosedural dan formal belaka (Suseno, 1996). Civil society yang kuat akan mampu mendorong proses politik bukan sebatas ritual atau rutinitas yang hampa makna, karena ia bukan selalu mempertanyakan substansi dari setiap proses. Civil society juga akan mendorong terciptanya sistem ekonomi yang peka terhadap distibusi bukan hanya pertumbuhan, kesejahteraan umum bukan kesejahteraan perseorangan atau kelompok tertentu, kelestarian bukan kehancuran ekosistem, dan tanggap terhadap pengembangan si lemah ketimbang hanya mendukung pengembangan si kuat (Hikam, 1999).
            Prasyarat Civil Society: Keberadaan civil society di dalam rakyat modern tentu tak lepas dari hadirnya komponen-komponen struktural dan kultural inheren di dalamnya. Komponen  pertama termasuk terbentuknya negara yang yang berdaulat, berkembangnya ekonomi pasar, tersedianya ruang-ruang publik bebas, tumbuh dan berkembangnya kelas menengah, dan keberadaan organisasi-organisasi kepentingan dalam rakyat. Pada saat yang sama, civil society akan berkembang dan menjadi kuat apabila komponen-komponen kultural yang menjadi landasannya juga kuat. Komponen tersebut adalah pengakuan terhadap HAM dan perlindungan atasnya , khususnya hak berbicara dan berorganisasi, siakp toleran antar individu dan kelompok dalam rakyat, adanya tingkat kepercayaan publik (publik trust) yang tinggi terhadap pranata-pranata sosial dan politik, serta kuatnya komitmen terhadap kemandirian pribadi dan kelompok.

Problematika
            Latar belakang sejarah kelahiran civil society di negara Erpa Barat tak lebih merupakan model kehidupan masyarakat yang terlahir sebagai hasil transformasi dan reformasi yang terjadi sepanjang sejarah kehidupan bangsa-bangsa barat.
            Berkembangnya civil society (societas civilis) di negeri-negeri asalnya telah berlangsung tidak hanya melalui banyak pergulatan pemikiran –mulai dari Cicero dan Paus Gregorius VII sampai Rousseau dan Marx—akan tetapi juga telah berlangsung sepanjang sejarah reformasi bangsa-bangsa barat dengan berbagai krisisnya
            Masih terbuka untuk diperdebatkan; persoalan serupa juga sempat mencuat ketika konsep civil society itu di sandingkan dengan civil society yang bernuansakan Islami (Gellner, 1994; Raharjo, 1991; Rais, 1991; Hikam, 1996; Dakhidae, 1991).
            Ada perbedaan-perbedaan substansial (antara di Eropa dan Indonesia) berkaitan dengan persoalan-persoalan politik, idiologis dan historis
            Konsep atau teori tentang civil society lebih merupakan persoalan modern. Konsep itu sebenarnya baru tumbuh dan mengikuti perkembangan dari negara-negara modern. Karena itu studi strategis untuk mengetahui lahirnya civil society harus dilihat berdasarkan proses evolusi dan pertumbuhan negara (Ali, 1991).
            Sementara itu, untuk konteks Indonesia, saya ragu apakah kebudayaan kita sudah mampu mengabsorb atau menerima dan memahami civil society… . Bahkan Dhakidae dengan tegas mengatakan hanya di barat-lah konsep negara itu tumbuh dan berkembang …karena itu pembicaraan tentang civil society ini tampaknya lebih bersifat teoritis dan data empirisnya tidak ada … tradisi kita belum mengenal apa yang disebut civil culture”.
            Ketika konsep civil society dicoba untuk dibumikan di Indonesia, ia akan segera dihadapkan oleh hambatan kultural maupun konstitusional.  Sebab, civil society memerlukan prasyarat sosial budaya yang memadai untuk menopang perwujudannya (Madjid, 1999:8).
            Harus diakui bahwa civil society  untuk masyarakat Indonesia masih sebagai wacana baru dan tahap awal sehingga memerlukan upaya-upaya rekonstruksi, penambahan dan bahkan dekonstruksi atas pikiran-pikiran baik dari barat sendiri maupun dalam proses pengembangannya di Indonesia (Hikam, 1999:9).
            Meski pemikiran mengenai civil society serta peran yang dimainkannya dalam pemberdayaan proses demokratisasi sama-sama disepakati dikalangan intelektual di Indonesia, namun masih tetap ada perbedaan-perbedaan pendapat berkaitan dengan konseptualisasi serta implementasinya. Hal ini bisa dimengerti oleh karena konsep civil society masih merupakan hal baru bagi kalangan intelektual dan aktifis di Indonesia, sehingga masih memerlukan waktu untuk mengembangkan kerangka kerja konseptual yang koheren yang sesuai dengan konteks keindonesiaan (Hikam, 1999: 17; 1995)
            Memperhatikan bahwa proses-proses politik yang berlangsung di tingkat negara akan banyak diserap oleh kebutuhan di satu pihak melakukan konsolidasi kelembagaan dan ideologis dan di pihak lain menciptakan balance of power yang baru, hampir dapat dikatakan tidak banyak yang dapat disumbangkan oleh negara dalam proses penciptaan infrastruktur sosial penting dalam civil society. Masyarakat sendirilah yang akan menentukan perkembangan civil society di Indonesia. Kekerasan yang amat mudah berkembang dalam masyarakat jelas memperlihatkan betapa seriusnya masalah yang dihadapi oleh civil society di Indonesia (Sparringa, 2000).
            Masa depan di Indonesia tidak lagi ditentukan oleh apa yang berkembang pada tingkat negara tetapi terutama oleh apa yang sedang terjadi dalam dinamika internal masyarakat (civil society). Kita memang sedang di persimpangan jalan yang amat menentukan : menuju Civil Society Indonesia yang terbuka ataukah Civil Society  Indonesia yang terbelah menurut garis komunal.
            Sejak sepuluh tahun terkahir, banyak kalangan, baik  di tingkat global maupun nasional, mengkaji civil society. Dari berbagai kajian yang muncul terlihat ada beragam dan berbagai perbedaan konsep, pengertian, kepentingan bahkan motivasi serta minat yang saling konstradiktif antar mereka yang tengah membahas civil society  tersebut. Bahkan dari berbagai seminar-seminar yang dilakukan kelihatan adanya perbedaan agenda politik dan alasan ideologis dalam membahas civil society.

Persamaan Barat – Indonesia
            Ada persamaan-persamaannya, antara lain adanya kekuasaan negara yang sangat kuat di satu sisi, dan lemahnya posisi masyarakat sama-sama sebagai penghalang paling esensial dalam demokrasi. Semangat membangkitkan civil society dimana otonomi masyarakat/rakyat menempati posisi sentral juga sama-sama menjadi tujuan utamanya (Hikam, 1999: 16; Rahardjo, 1999: 26))
            Karena itu, wajar kalau muncul dan berkembangnya civil society berbeda-beda di setiap masyarakat suatu negara. Di Eropa Timur misalnya, civil society dipandang sebagai perjanjian demokratis untuk membebaskan warga negara dari sistem totaliter dari bentuk sistem sosial, politik dan ekonomi baru untuk memungkinkan bagi pengembangan sebuah rakyat yang mandiri (Hikam, 1996). Di Singapura civil society –sebagaimana dikemukakan Goh Tjok Tong di awal pemerintahannya-- sebagai antisipasi atas kuatnya tuntutan kebebasan rakyat yang lebih besar terutama kebebasan politik (Ismiyatun, 2000). Namun, gerakan civil society yang dicoba bangun oleh pemerintahan Goh Tjong Tong di Singapura dikritik berbagai kalangan karena civil society tidak dipandang sebagai sebuah power sharring, tetapi hanya sebagai perubahan gaya pemerintahan yang berusaha membuat keseimbangan terhadap perkembangan tuntutan keterbukaan yang lebih luas (Chua Beng Huat, 1997). Sementara itu, munculnya civil society di Indonesia sebagai bentuk gerakan kebangkitan rakyat melawan dominasi militer di era orde baru (Hikam, 1996:35; Faqih, 1999:3; Rahardjo, 1999:14).
            Untuk melihat fenomena Civil society di Indonesia mestinya tidak berhenti atau terbatas pada tataran wacana konseptual dan tekstual (realitas maya), melainkan diperlukan penelitian mengenai kekuatan-kekuatan kongkrit dalam masyarakat (power struggle) yang menjadi basis empiris  dari Civil society itu sendiri (Madjid, 1999: 8; Laporan Kegiatan PP Lakspesdam  1998-1999: 37).
            Berdasar dari pemikiran seperti inilah mengapa kesimpulan desertasi Suwondo tentang kemunculan civil society di daerah pedesaan Jawa dalam era orde baru lebih sebagai transpalatif dari pada  transformatif. Artinya, munculnya civil society sesungguhnya lebih sebagai proses internal dalam dinamika sosial masyarakat yang alami dari pada hasil intervensi politik dan motif-motif eksternal dari luar.  (Wignyosoebroto, 2000:21; Hikam, 1999)
            Oleh karena itu, sesungguhnya pada era globalisasi kapitalisme dewasa ini dan khususnya dalam menghadapi krisis sistem yang masih  mendominasi saat ini, diperlukan usaha untuk membangkitkan civil society dalam perspektif kritis: menjadi dewasa ini menjadi arena perebutan oleh mereka yang menghendaki status quo, dan melanggengkan formasi sosial dan hegemoni dominan.
            Berbagai upaya dilakukan, tumbuhnya civil society secara paksaan (coersion) maupun dengan cara penjinakkan, yakni melalui kurikulum pendidikan formal maupun informal, melalui berbagai kesenian dan kebudayaan, bahkan melalui interpretasi keagamaan. Pesimisme terhadap lahir dan semakin menguatnya gerakan civil society ini, memang lebih didasarkan pada perhitungan empirik rasional terhadap ancaman dan kesempatan untuk membangkitkan civil society dalam realitas globalisasi, khususnya pada masa krisis.

POTENSI DAN KONDISI EKSISTING
            Jika dilihat kondisi di negeri Indonesia, maka jelas kedua komponen tersebut sudah ada walaupun tidak setara, pertumbuhan dan perkembangannya, bahkan terdapat komponen–komponen yang mengalami hambatan. Misalnya, pertumbuhan negara dan ekonomi pasar yang sudah begitu pesat tetapi pada saat yang sama ruang publik bebas yang masih lemah. Pada tataran kultural, sejatinya telah memiliki landasan yang kuat. Pengakuan atas pentingnya perlindungan ha-hak dasar secara eksplisit telah termaktub dalam konstitusi. Begitu pula dengan berbagai ajaran agama-agama yang dipeluk oleh bangsa Indonesia dan tradisi-tradisi yang dipraktekkan dalam hal toleransi dan penghormatan terhadap kemajemukan.
            Konsep civil society  dalam konteks ilmu sosial sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan pengertian masyarakat tanpa pengaruh militer sebagaimana dianggap banyak kalangan di Indonesia di awal reformasi. Konsep civil society  dalam ilmu sosial banyak dihadapkan dengan “masyarakat politik” (yang secara umum dipahami sebagai negara). Konsep civil society  muncul di era pencerahan (enlightment) yang dimunculkan oleh tokoh-tokoh ilmu sosial seperti Hobbes, Locke, Montesquieu dan Rousseau.
            Tentang persoalan pemberdayaan civil society di Indonesia, maka yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana kita mempetakan secara gamblang elemen-elemen mana yang harus ditunjang, baik pada tataran struktural maupun kultural (Hikam, 1996). Dalam hal pemberdayaan elemen struktural, perlu memulainya dari pemahaman akan kekuatan dan kelemahan sruktur yang mendasari proses perubahan melalui pembangunan dan modernisasi. Sementara itu pemberdayaan elemen kultural berarti melakukan penemuan kembali (recovery) dan penafsiran ulang (reinterpretation) terhadap khazanah nilai-nilai dan tradisi milik rakyat serta melakukan pengambilan khazanah kultural dari luar yang relevan sesuai dengan keperluan.
            Strategi pemberdayaan civil society di Indonesia dapat dikembangkan melalui beberapa tahapan (Hikam, 1996; 1999). Tahap Pertama adalah pemetaan atau identifikasi permasalahan dasar menyangkut perkembangan civil social, khususnya kelompok-kelompok strategis di dalamnya yang harus mendapat prioritas. Pada tahap ini diupayakan penelitian atau kajian yang begitu mendalam baik secara umum maupun khusus terhadap potensi yang ada dalam rakyat untuk menumbuh-kembangkan civil society. Umpamanya pemetaan terhadap segmen-segmen kelas menengah yang dianggap menjadi basis bagi tumbuhnya civil society berikut organisasi di dalamnya. Kajian dan penelitian semacam ini sangat penting agar dapat dengan segera dilakukan proses recovery dan penetaan kembali setelah munculnya kesempatan karena jatuhnya rezim otoriter di bawah Soeharto (Hikam, 1999).

0 comments: