Ide Pergerakan Ali Syari’ati


Banyak pelopor dan pemikir dunia yang telah dibicarakan, salah satunya bisa jadi Syari’ati. Memahami proporsi Syari’ati tidak cukup hanya lewat gerakan sosial dan aktivitas politiknya saja, tetapi juga dari pergerakan idenya. Pikiran Syari’ati multi visi sehingga multi tafsir namun tetap saja di dalamnya ditemukan satu paradigma yang konsisten. Pandangan dunia paling menonjol Syari’ati adalah hubungan agama dengan politik sebagai dasar idiologi pergerakan. Shari’ati adalah pemikir politik keagamaan[1].
Tema sentral idiologi politik-keagamaan Syari’ati adalah Islam. Islam memiliki fungsi revolusioner membebaskan yang tertindas, secara kultural atau politik. Menurutnya, Nabi-nabi adalah manusia dengan kesadaran lebih dalam sejarah yang mampu mengubah masyarakat beku menjadi kekuatan kreatif. Kreatifitas yang berujung menjadi peradaban, kebudayaan, dan perlawanan. Nabi datang bukan sekedar mengajarkan do’a, mereka datang bersama idiologi pembebasan[2].
Pergerakan intelektual Syari’ati telah mematangkan sebuah teori tentang ideologi Islam. Teori yang akhirnya berhadapan dengan Barat atau dengan mayoritas muslim sendiri. Shari’ati diposisikan sebagai pemikir kiri karena bertentangan dengan maenstream. "kiri" dan "kanan" dalam pemikiran dikaitkan dengan karakter wacana yang dikembangkan. Kiri bersifat revolusioner, radikal, anti-kemapanan, solider terhadap minoritas dan kaum tertindas. Sedangkan kanan biasanya pro-status quo, mayoritas, tidak revolusioner dan tidak radikal Agama menjadi kanan sejak Marx mengatakan bahwa agama itu opium.
Islam adalah revolusi berabad-abad bagi umat manusia. Islam menjadi penanda perubahan di semua aspek kehidupan, teologi, sosial, dan ekonomi. Namun, setelah Muhammad meninggal, sejarah Islam berstatus quo, kehilangan daya revolusioner. Kenapa? Karena teologi Islam telah kehilangan konteks sosial. Semangat teologi pembebasan adalah membebaskan manusia dari segala macam belenggu. Jika Marx panjang umur, agama macam ini mungkin tidak opium?
Di sinilah Islam dan sosialisme bertemu. Tapi, afiliasi ini hanya terjadi pada tingkat analisis sosial, tidak pada dasar filsafatnya. Dasar filsafat Islam dengan sosialisme berbeda. Sosialisme melihat sosialitas sebagai fakta, sedangkan Islam melihatnya sebagai potensi. Titik temu pada tingkat analisis sosial adalah kesamaan pembebasan.
         

Makna Ideologi

Ideologi menurut Shari’ati sangat erat dengan intelektualitas masyarakat (Raunshanfikr)[3]. Seorang yang intelek dituntut memiliki pengertian yang jelas mengenai ideologi yang akan menjelaskan pola pemikiran. Inilah ideologi yang “ideo” berarti gagasan, dan “logi” berarti logika. Ideologi adalah ilmu tentang gagasan. Seorang ideolog adalah seorang pembela gagasan tertentu. Ideologi terdiri dari berbagai keyakinan dan cita-cita yang dipeluk oleh kelompok tertentu, suatu kelas sosial tertentu[4].
Shari’ati membedakan ideologi dengan ilmu atau filsafat. Ilmu merupakan pengetahuan tentang alam kongkrit. Merupakan penemuan beberapa hubungan, prinsip, kualitas, dan karakter kehidupan manusia dan benda-benda. Sama dengan ilmu, filsafat adalah perbincangan tentang sesuatu yang umum yang tidak terjangkau ilmu berupa kemungkinan-kemungkinan ideal, kebenaran, atau substansi melalui konsep dalam pikiran. Ideologi menuntut seseorang untuk memihak. Ideologi adalah kepentingan mutlak. Setiap ideologi dimulai dengan kritis, kritis terhadap status quo. filsafat dan ilmu tidak mempunyai komitmen semacam itu. Keduanya hanya menggambarkan realitas apa adanya tanpa keputusan menolak atau menerima realitas itu.
Shari’ati mengatakan, ilmu atau filsafat tidak dapat melahirkan revolusi. Ideologilah yang mengarahkan perubahan karena hakikat ideologi adalah keyakinan, tanggung jawab, keterlibatan, dan komitmen.

Islam Ideologis
Syari’ati melihat problem besar bagi masa depan Iran. Persoalan kolonialisme dan neo-kolonialisme[5] menjadi negatif bagi perkembangan politik dan ekonomi Iran. Di saat seperti itu, Islamlah yang akan menyelamatkan Iran menuju kemerdekaan dan keadilan, bukan liberlisme, kapitalisme ataupun bahkan sosialisme[6]. Islam satu-satunya ideologi penyelamat Iran.
Islam seperti ini berbeda dengan Islam yang dipahami secara umum. Islam Syari’ati bukan Islam yang hanya spiritual individual, tetapi Islam ideologis yang emansipatif dan membebaskan[7].
Shari’ati melihat dua macam Islam, Islam ideologis dan Islam kultural. Islam ideologis adalah Islam Abu Dzarian[8], dan Islam kultural adalah Ibnu Sinaian. Islam ideologis melahirkan mujahid (pejuang dalam menegakkan agama Allah), Islam kultural melahirkan mujtahid (ulama). Raushanfikr membentuk Islam sebagai Ideologi, para ulama membentuk Islam sebagai budaya.  
Syari’ati berkata, “saya melihat Islam tidak sebagai kebudayaan yang melahirkan ulama bukan pula Islam tradisi, tetapi Islam gaya Abu Dzar[9].” Islam lahir progresif meresponi problem-problem masyarakat untuk mencapai tujuan. Islam adalah pandangan dunia yang akhirnya berguna bagi rencana untuk merealisasikan potensi manusia sepenuhnya, secara perseorangan atau kolektif[10]. Di sini Islam menjadi ideologi pembebasan.
Islam ideologis yang membebaskan dapat dipraktikan. Pertama, pandangan tauhid adalah pandangan dasar. Kehidupan merupakan bentuk tunggal tentang organisme yang hidup dan sadar, memilki kehendak, intelejen, perasaan, dan tujuan. Berbeda dengan dunia dalam katagori berpasangan; fana dan kekal; fisik dan ghaib; substansi dan arti; rohani dan jasmani[11]. Bentuk tunggal tanpa perbedaan, tnpa diskriminasi manusia atas dasar ras, kelas, darah, kekayaan, dan  kekuatan. Kedua, mengevaluasi pemahaman sosial dan mental. Bagi Syari’ati Islam adalah pandangan dunia melalui al-Qur’an sebagai kumpulan ide dan sejarah Islam. Islam adalah kemajuan yang dialami Nabi sampai sekarang. Al-Qur’an melihat sejarah sebagai konflik kekuatan-kekuatan. Ketiga, merumuskan cara praktis menciptakan perubahan berdasarkan kondisi masyarakat.
Ideologi mengejawantah menjadi amanat dan gerakan yang dihidupkan kembali untuk membangkitkan yang menderita, bodoh dan lamban, agar bangun dan menegaskan hak-hak serta identitasnya.
Sebagai produksi pengetahuan, Islam dan sosialisme sama. Hanya berbeda saat Islam melihat sosialitas sebagaimana seharusnya, sedangkan sosialisme melihat sosialitas sebagaimana adanya. Sosialisme dihidupkan Islam dengan perasaan sedangkan Islam di dukung sosialisme dengan pemahaman. Islam dapat menjadi candu atau menjadi kekuatan revolusi. Bersama Islam, Syari’ati mengadopsi beberapa prinsip ilmu pengetahuan sosial modern sebagai upaya menciptakan ideologi yang revolusioner.
           




[1]  Azyumardi Azra,  “Akar idiologi Revolusi Iran : “Filsafat Pergerakan Ali Shari’ati”  dalam M. Dede Ridwan (ed) Melawan Hegemoni Barat,  Jakarta, 1999.  Hal, 51
[2]  Jalaluddin Rahmat, Ali Shari’ati ; Panggilan Untuk Ulil Albab” Pengantar dalam Ali Shari’ati. Ideologi Kaum Intelektual Suatu Wawasan Islam (ter) Syafiq Basri dan Haidar Baqir (Bnadung, Mizan, 1994, hal 13

[3]  Raushanfikr adalah bahasa Persia yang artinya “Pemikir yang teserahkan.”  Dalam terjemahan Inggris terkadang disebut intelektual atau free thinkers. Raushanfikr berbeda dengan ilmuwan. Seorang ilmuwan menemukan kenyataan, seorang raushanfikr menemukan kebenaran. Ilmuwan hanya menampilkan faktasebagaiman adanya, Raushanfikr memberikan penilaian seharusnya. Ilmuwan berbicara dengan bahasa universal, Rausahnfikr seperti para Nabi – berbicara dengan bahasa kaumnya. Ilmuwan bersikap netral dalam menjalankan pekerjaannya, Raushanfikr harus melibatkan diri pada ideologi Jalaluddin Rahmat, “Ali Syaria’ti ; panggilan untuk Ulil Albab”  Pengantar dalam Ali Shari’ati. Ideologi Kaum Intelektual Suatu Wawasan Islam,  (ter) Syafiq Bashri dan Haidar Baqir (Bandung : Mizan, 1994, hal 14 – 15 
[4]  Ali Shari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim. (ter) M. Amin Rais, (Jakarta; Lentera, 1996) 156 – 157
[5]  Ali Shari’ati What Is to be done. The EnlightenedThinkers and an Islamic Renaisance. Dalam John L. Esposito. Houston, Texas, The Institut for researc and Islamic Studies, 1986, 2 – 3 dan 29 – 31 
[6]  Yan richard, Contemporery shi’l thuogh’t dalam nikki R. Keddie, Roots of Revolution… 21
[7]  Ali Shariati, “Intizar, The Religion of Protest” dalam John J. Donohue dan John L. Espoio (ed) Islam in Transition, Muslim Prespective (New York, Oxford University Press, 1983, 297.
[8] Abu Dzar adalah salah seorang dari tiga sahabat Ali,  telah memilih jalan berperang untuk memperjuangkan Ali sebagai “Amirul  Mukminin” dan satu-satunya pengganti Nabi yang sah.
[9] Shari’ati . “Return to the self” dalam John J. Donohue dan Jhon L. Esposito, Islam … 305
[10]  Ashgar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, (ter) Agung Prihantono, Yogyakarta, Pistaka Pelajar, 1999, hal 33
[11] Muhammad Wahyuni Nafis, “dari Cengkraman Penjara Ego Memburu Revolusi : Memahami “Kemelut”  tokoh pemberontak, dalam Ridawan (ed) melawan Hegemoni …. 85, dikutip dari Ali Shari’ati , on Sosiology of Islam trans. Hamid Algar, (Berkeley, Mizan Press, 1979, hal 82

0 comments: