Hassan Hanafi: Islam Adalah Protes, Oposisi, dan Revolusi


Oleh E. Kusnadiningrat R
Hassan Hanafi adalah Guru Besar pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar, terutama di Universitas Al-Azhar. Meskipun lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang di sana sejak lama. Secara historis dan kultural, kota Mesir memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa moderen. Hal ini menunjukkan bahwa Mesir, terutama kota  Kairo, mempunyai arti penting bagi perkembangan awal tradisi keilmuan Hassan Hanafi    
Masa kecil Hanafi berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hidup di bawah penjajahan dan dominasi pengaruh bangsa asing. Kenyataan itu membangkitkan sikap patriotik dan nasionalismenya, sehingga tidak heran meskipun masih berusia 13 tahun, dia telah mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan perang melawan Israel pada tahun 1948. la ditolak oleh Pemuda Muslimin karena dianggap usianya masih terlalu muda. Di samping itu ia juga dianggap bukan berasal dari kelompok Pemuda Muslimin. Ia kecewa dan segera menyadari bahwa di Mesir saat itu telah terjadi problem persatuan dan perpecahan. .
Ketika masih duduk di bangku SMA, tepatnya pada tahun 1951, Hanafi menyaksikan sendiri bagaimana tentara Inggris membantai para syuhada di Terusan Suez. Bersama-sama dengan para mahasiswa ia mengabdikan diri untuk membantu gerakan revolusi yang telah dimulai pada akhir tahun 1940‑an hingga revolusi itu meletus pada tahun 1952. Atas saran anggota-anggota Pemuda Muslimin, pada tahun ini ini pula ia  tertarik untuk memasuki organisasi Ikhwanul Muslimin. Akan tetapi, di tubuh Ikhwan‑pun terjadi perdebatan yang sama dengan apa yang terjadi di Pemuda Muslimin. Kemudian Hanafi kembali disarankan oleh para anggota Ikhwanul Muslim untuk bergabung dalam organisasi Mesir Muda. Ternyata keadaan di dalam tubuh Mesir Muda sama dengan kedua organisasi sebelumnya. Hal ini mengakibatkan ketidakpuasan Hanafi atas cara ber­pikir kalangan muda Islam yang terkotak‑kotak. Kekecewaan ini menyebabkan ia memutuskan beralih konsentrasi untuk mendalami pemikiran-pemikiran keagamaan, revolusi, dan perubahan sosial. Ini juga yang menyebabkan ia lebih tertarik pada pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb, seperti tentang prinsip-prinsip Keadilan Sosial dalam Islam.
Sejak tahun 1952 sampai dengan 1956 Hanafi belajar di Universitas Cairo untuk mendalami bidang filsafat. Di dalam periode ini ia merasakan situasi yang paling buruk di Mesir. Pada tahun 1954 misalnya, terjadi pertentangan keras antara Ikhwan dengan gerakan revolusi. Hanafi berada pada pihak Muhammad Najib yang berhadapan dengan Nasser, karena baginya Najib memiliki komitmen dan visi keislaman yang jelas.
Kejadian‑kejadian yang ia alami pada masa ini, terutama yang ia hadapi di kampus, membuatnya bangkit menjadi seorang pemikir, pembaharu, dan reformis. Keprihatinan  yang muncul saat itu adalah mengapa umat Islam selalu dapat dikalahkan dan konflik internal terus terjadi.
Tahun‑tahun berikutnya, Hanafi berkesempatan untuk belajar di Universitas Sorborne; Perancis, pada tahun 1956 sampai 1966. Di sini ia memperoleh lingkungan yang kondusif untuk mencari jawaban atas persoalan‑persoalan mendasar yang sedang dihadapi oleh negerinya dan sekaligus merumuskan jawaban-jawabannya. Di Perancis inilah ia dilatih untuk ber­pikir secara metodologis melalui kuliah‑kuliah mau­pun bacaan‑bacaan atau karya-karya orientalis. Ia sempat belajar pada seorang reformis Katolik, Jean Gitton; tentang metodologi berpikir, pembaharuan, dan sejarah filsafat. Ia belajar fenomenologi dari Paul Ricouer, analisis kesadaran dari Husserl, dan bim­bingan penulisan tentang pembaharuan Ushul Fikih dari Profesor Masnion.
Semangat Hanafi untuk mengembangkan tulisan­-tulisannya tentang pembaharuan pemikiran Islam se­makin tinggi sejak ia pulang dari Perancis pada tahun 1966. Akan tetapi, kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel tahun 1967 telah mengubah niatnya itu. la kemudian ikut serta dengan rakyat berjuang dan membangun kembali semangat nasionalisme mereka. Pada sisi lain, untuk menunjang perjuangannya itu, Hanafi juga mulai memanfaatkan pengetahuan-pengetahuan akademis yang telah dia peroleh dengan memanfaatkan media massa sebagai corong perjuangannya. Ia menulis banyak artikel untuk menangggapi masalah‑masalah aktual dan melacak faktor kelemahan umat Islam.
Di waktu‑waktu luangnya, Hanafi mengajar di Universitas Kairo dan beberapa universitas di luar negeri. Ia sempat menjadi profesor tamu di Perancis (1969) dan Belgia (1970). Kemudian antara tahun 1971 sampai 1975 ia mengajar di Universitas Tem­ple, Amerika Serikat. Kepergiannya ke Amerika, sesungguh­nya berawal dari adanya keberatan pemerintah terhadap aktivitasnya di Mesir, sehingga ia diberikan dua pilihan apakah ia akan tetap meneruskan aktivitas­nya itu atau pergi ke Amerika Serikat. Pada kenyataannya, aktivitasnya yang baru di Amerika memberinya kesempatan untuk banyak menulis tentang dialog antar agama dengan revolusi. Baru setelah kembali dari Amerika ia mulai menulis tentang pembaru­an pemikiran Islam. la kemudian memulai penulisan buku Al‑Turats wa al-Tajdid. Karya ini, saat itu, belum sempat ia selesaikan karena ia dihadapkan pada gerakan anti‑pemerintah Anwar Sadat yang pro-Barat dan “berkolaborasi” dengan Israel. la terpaksa harus terlibat untuk membantu menjernihkan situasi melalui tulisan‑tulisannya yang berlangsung antara tahun 1976 hingga 1981. Tulisan­-tulisannya itulah yang kemudian tersusun menjadi bu­ku Al Din Wa AI‑ Tsaurah. Sementara itu, dari tahun 1980 sampai 1983 ia menjadi profesor tamu di Univer­sitas Tokyo, tahun 1985 di Emirat Arab. Ia pun diminta untuk merancang berdirinya Universitas Fes ketika ia mengajar di sana pada tahun‑tahun 1983‑1984.
Hanafi berkali‑kali mengunjungi negara‑negara Belanda, Swedia, Portugal, Spanyol, Perancis, Jepang, India, Indonesia, Sudan, Saudi Arabia dan sebagainya antara tahun 1980‑1987. Pengalaman pertemuannya dengan para pemikir besar di negara‑negara tersebut telah menambah wawasannya untuk semakin tajam memahami persoalan‑persoalan yang dihadapi oleh dunia Islam.
Maka, dari pengalaman hidup yang ia peroleh sejak masih remaja membuat ia memiliki perhatian yang begitu besar terhadap persoalan umat Islam. Karena itu, meskipun tidak secara sepenuhnya mengabdikan diri untuk sebuah pergerakan tertentu, ia pun banyak terlibat langsung dalam kegiatan‑kegiatan pergerakan-pergerakan yang ada di Mesir. Sedangkan pengalamannya dalam bidang akademis dan intelek­tual, baik secara formal maupun tidak, dan pertemuan­nya dengan para pemikir besar dunia semakin mempertajam analisis dan pemikirannya sehingga mendorong hasratnya untuk terus menulis dan mengembangkan pemikiran-pemikiran baru untuk membantu menyelesaikan persoalan‑persolan besar umat Islam.

Perkembangan Pemikiran dan Karya‑Karyanya

Untuk memudahkan uraian pada bagian ini, kita dapat mengklasifikasikan karya‑karya Hanafi dalam tiga periode seperti halnya yang dilakukan oleh beberapa penulis yang telah lebih dulu mengkaji pemikiran tokoh ini: Periode pertama berlangsung pada tahun‑tahun 1960‑an; periode kedua pada tahun‑tahun 1970‑an, dan periode ketiga dari tahun‑tahun 1980‑an sampai dengan 1990‑an.
Pada awal dasawarsa 1960‑an pemikiran Hanafi dipengaruhi oleh faham‑faham dominan yang ber­kembang di Mesir, yaitu nasionalistik‑sosialistik po­pulistik yang juga dirumuskan sebagai ideologi Pan Arabisme dan oleh situasi nasional yang kurang menguntungkan setelah kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel pada tahun 1967. Pada awal dasawarsa ini pula (1956‑1966), sebagaimana telah dikemukakan, Hanafi sedang berada  dalam masa-masa belajar di Perancis. Di Perancis inilah, Hanafi lebih banyak lagi menekuni bidang‑bidang filsafat dan ilmu sosial dalam kaitannya dengan hasrat dan usahanya untuk melakukan rekonstruksi pemikiran Islam.
Untuk tujuan rekonstruksi itu, selama berada di Perancis ia mengadakan penelitian tentang metode interpretasi sebagai upaya pembaharuan bidang Ushul Fikh (teori hukum Islam, Islamic legal the­ory) dan tentang fenomenologi sebagai metode untuk memahami agama dalam konteks realitas kontempo­rer. Penelitian itu sekaligus merupakan upayanya un­tuk meraih gelar doktor pada Universitas Sorbonne (Perancis), dan ia berhasil menulis disertasi yang berjudul Essai sur la Methode d' Exegese (Esai tentang Metode Penafsiran). Karya setebal 900 halaman itu memperoleh penghargaan sebagai karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961. Dalam karyanya itu jelas Hanafi berupaya menghadapkan ilmu Ushul Fikh pada mazhab filsafat fenomenologi Edmund Husserl.
Pada fase awal pemikirannya itu, tulisan‑tulisan Hanafi masih bersifat ilmiah murni. Baru pada akhir dasawarsa itu ia mulai berbicara tentang keharusan Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dan berdimensi pembebasan (taharrur, liberation). Ia mensyaratkan fungsi pembebasan jika memang itu yang di inginkan Islam agar dapat membawa masyarakat pada kebebasan dan keadilan, khususnya keadilan sosial, sebagai ukuran utamanya. Struktur yang populistik adalah manifestasi kehidupannya dan kebulatan kerangka pemikiran sebagai resep utamanya. Hanafi sampai pada kesimpulan bahwa Islam sebaiknya berfungsi orientatif  bagi ideologi populistik yang ada.
Pada akhir periode ini, dan berlanjut hingga awal periode 1970‑an, Hanafi juga memberikan perhatian uta­manya untuk mencari penyebab kekalahan umat Islam dalam perang melawan Israel tahun 1967. Oleh karena itu, tulisan‑tulisannya lebih bersifat populis. Di awal peri­ode 1970‑an, ia banyak menulis artikel di berbagai media massa, seperti Al Katib, Al-Adab, Al‑Fikr al-Mu’ashir, dan Mimbar Al‑Islam. Pada tahun 1976, tulisan‑tulisan itu diterbitkan sebagai sebuah buku dengan judul Qadhaya Mu’ashirat fi Fikrina al-Mu’ashir. Buku ini memberikan deskripsi tentang realitas dunia Arab saat itu, analisis tentang tugas para pemikir dalam menanggapi pro­blema umat, dan tentang pentingnya pembaruan pemi­kiran Islam untuk menghidupkan kembafi khazanah tradisional Islam. Kemudian, pada tahun 1977, kembali ia menerbitkan Qadhaya Mu`ashirat fi al Fikr al-Gharib. Buku kedua ini mendiskusikan pemikiran para sarjana Barat untuk melihat bagaimana mereka memahami persoalan masyarakatnya dan kemudian mengadakan pembaruan. Beberapa pemikir Barat yang ia singgung itu antara lain Spinoza, Voltaire, Kant, Hegel, Unamuno, Karl Jaspers, Karl Marx, Marx Weber, Edmund Husserl, dan Herbert Marcuse.
Kedua buku itu secara keseluruhan merangkum dua pokok pendekatan analisis yang berkaitan dengan sebab‑sebab kekalahan umat Islam; memahami posisi umat lslam sendiri yang lemah, dan memahami posisi Barat yang superior. Untuk yang pertama penekanan diberikan pada upaya pemberdayaan umat, terutama dari segi pola pikirnya, dan bagi yang kedua ia berusaha untuk menunjukkan bagaimana menekan superioritas Barat dalam segala aspek kehidupan. Kedua pendekatan inilah yang nantinya melahirkan dua pokok pemikiran baru yang tertuang dalam dua buah karyanya, yaitu Al-Turats wa al‑Tajdid (Tradisi dan Pembaruan), dan Al‑Istighrab (Oksidentalisme).
Pada periode ini, yaitu antara tahun 1971-1975, Hanafi juga menganalisis sebab‑sebab ketegangan antara berbagai kelompok kepentingan di Mesir, terutama antara kekuatan Islam radikal dengan pe­merintah. Pada saat yang sama situasi politik Mesir mengalami ketidak stabilan yang ditandai dengan beberapa peristiwa penting yang berkaitan dengan sikap Anwar Sadat yang pro-Barat dan memberikan kelonggaran pada Israel, hingga ia terbunuh pada Oktober 1981. Keadaan itu membawa Hanafi pada pemikiran bahwa seorang ilmuan juga harus mempunyai tanggung jawab politik terhadap nasib bangsanya. Untuk itulah kemudian ia menulis Al‑Din wa al‑Tsaurah fi Mishr 1952‑1981. Karya ini terdiri dari 8 jilid yang merupakan himpunan berbagai artikel yang ditulis antara tahun 1976 sampai 1981 dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1987. Karya itu berisi pembicaraan dan analisis tentang kebudayaan nasional dan hubungannya dengan agama, hubungan antara agama dengan perkembangan nasioanlisme, tentang gagasan mengenai gerakan "Kiri Keagamaan" yang membahas gerakan-gerakan keagamaan kontemporer, fundamentalisme Islam, serta "Kiri Islam dan Integritas Nasional". Dalam analisisnya Hanafi menemukan bahwa salah satu penyebab utama konflik berkepanjangan di Mesir adalah tarik-menarik antara ideologi Islam dan Barat dan ideologi sosialisme. Ia juga memberikan bukti‑bukti penyebab muncul­nya berbagai tragedi politik dan terakhir, menganali­sis penyebab munculnya radikalisme Islam.
Karya‑karya lain yang ia tulis pada periode ini adalah Religious Dialogue and Revolution dan Dirasat al-Islamiyyah.  Buku pertama berisi pikiran-pikiran yang ditulisnya antara tahun 1972‑1976 ketika ia berada di Amerika Serikat, dan terbit pertama kali pada tahun 1977. Pada bagian pertama buku ini ia merekomendasikan metode hermeneutika sebagai metode dialog antara Is­lam, Kristen, dan Yahudi. Sedangkan bagian kedua secara khusus membicarakan hubungan antara aga­ma dengan revolusi, dan lagi-lagi ia menawarkan feno­menologi sebagai metode untuk menyikapi dan menafsirkan realitas umat Islam.
 Sementara itu Dirasat Islamiyyah, yang ditulis sejak tahun 1978 dan terbit tahun 1981, memuat deskripsi dan analisis pembaruan terhadap ilmu‑ilinu keislaman klasik, seperti Ushul Fikh, ilmu‑ilmu Ushuluddin, dan filsafat. Dimulai dengan pendekatan historis untuk melihat perkembangannya, Hanafi berbicara tentang upaya rekonstruksi atas ilmu-ilmu tersebut untuk dise­suaikan dengari realitas kontemporer.
Periode selanjutnya, yaitu dasawarsa 1980‑an sampai dengan awal 1990‑an, dilatarbelakangi oleh kondisi politik yang relatif lebih stabil ketimbang masa‑masa sebelumnya. Dalam periode ini, Hanafi mulai menulis Al-Turats wa al‑Tajdid yang terbit pertama kali tahun 1980. Buku ini merupakan landasan teoretis yang memuat dasar‑dasar ide pembaharuan dan langkah-langkahnya. Kemudian, ia menulis Al- Yasar Al-lslamiy (Kiri Islam), sebuah tulisan yang lebih merupakan sebuah "manifesto politik" yang berbau ideologis, sebagaimana telah dikemukakan secara singkat di atas.
Jika Kiri Islam baru merupakan pokok‑pokok pikiran yang belum memberikan rincian dari program pembaruannya, buku Min Al‑Aqidah ila Al‑Tsaurah (5 jilid), yang ditulisnya selama hampir sepuluh tahun dan baru terbit pada tahun 1988. Buku ini memuat uraian terperinci tentang pokok-pokok pembaruan yang ia canangkan dan termuat dalam kedua karyanya yang terdahulu. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika buku ini dikatakan sebagai karya Hanafi yang paling monumental.
Satu bagian pokok bahasan yang sangat penting dari buku ini adalah gagasan rekonstruksi ilmu kalam. Pertama‑tama ia mencoba menjelaskan seluruh karya dan aliran ilmu kalam, baik dari sisi kemunculannya, aspek isi dan metodologi maupun perkembangannya. Lalu ia melakukan analisis untuk melihat kelebihan dan kekurangannya, terutama relevansinya dengan konteks modernitas. Salah satu kesimpulannya adalah bahwa pemikiran kalam klasik masih sangat teoretis, elitis dan statis secara konsepsional. Ia merekomendasikan sebuah teologi atau ilmu kalam yang antroposentris, populis, dan transformatif.
Selanjutnya, pada tahun‑tahun 1985‑1987, Hanafi menulis banyak artikel yang ia presentasikan dalam berbagai seminar di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Timor Tengah, Jepang, termasuk Indonesia. Kumpulan tulisan itu kemudian disusun menjadi sebuah.buku yang berjudul Religion, Ideology, and Development  yang terbit pada tahun 1993. Beberapa artikel lainnya juga tersusun menjadi buku dan diberi judul Islam in the Modern World (2 jilid). Selain berisi kajian‑kajian agama dan filsafat, dalam karya-karyanya yang terakhir pemikiran Hanafi juga berisi kajian‑kajian ilmu sosial, seperti ekonomi dan teknologi. Fokus pemikiran Hanafi pada karya karya terakhir ini lebih tertuju pada upaya untuk meletakkan posisi agama serta fungsinya dalam pembangunan di negara-negara dunia ketiga.                
Pada perkembangan selanjutnya, Hanafi tidak lagi berbicara tentang ideologi tertentu melainkan tentang paradigma baru yang sesuai dengan ajaran Islam sendiri maupun kebutuhan hakiki kaum muslimin. Sublimasi pemikiran dalam diri Hanafi ini antara lain di dorong oleh maraknya wacana nasionalisme-pragmatik Anwar Sadat yang menggeser popularitas paham sosialisme Nasser di Mesir pada dasawarsa 1970‑an. Paradigma baru ini ia kembangkan sejak paruh kedua dasawarsa 1980‑an hingga sekarang.
 Pandangan universalistik ini di satu sisi ditopang oleh upaya pengintegrasian wawasan keislaman dari kehidupan kaum muslimin ke dalam upaya penegakan martabat manusia melalui pencapaian otonomi individual bagi warga masyarakat; penegakan kedaulatan hukum, penghargaan pada HAM, dan penguatan (empowerment) bagi kekuatan massa rakyat jelata.
Pada sisi lain, paradigma universalistik yang diinginkan Hanafi harus dimulai dari pengembangan epistemologi ilmu pengetahuan baru. Orang Islam, menurut Hanafi, tidak butuh hanya sekadar menerima dan mengambil alih paradigma ilmu pengetahuan modern Barat yang bertumpu pada materialisme, melainkan juga harus mengikis habis penolakan mereka terhadap peradaban ilmu pengetahuan Arab. Seleksi dan dialog konstruktif dengan peradaban Barat itu dibutuhkan untuk mengenal dunia Barat dengan setepat-tepatnya. Dan upaya pengenalan itu sebagai unit kajian ilmiah, berbentuk ajakan kepada ilmu-ilmu kebaratan (al-Istighrab, Oksidentalisme) sebagai imbangan bagi ilmu-ilmu ketimuran (al-Istisyraq, Orientalisme). Oksidentalisme dimaksudkan untuk mengetahui peradaban Barat sebagaimana adanya, sehingga dari pendekatan ini akan muncul kemampuan mengembangkan kebijakan yang diperlukan kaum muslimin dalam ukuran jangka panjang. Dengan pandangan ini Hassan Hanafi memberikan harapan Islam untuk menjadi mitra bagi peradaban-peradaban lain dalam penciptaan peradaban dunia baru dan universal.

Sekitar Pandangan Hassan Hanafi tentang Teologi Tradisional Islam

Di muka telah kita lihat, meskipun dalam beberapa hal menolak dan mengkritik Barat, Hanafi banyak menyerap dan mengonsentrasikan diri pada kajian pemikir Barat pra-modern dan modern. Oleh karena itu, Shimogaki mengkatagorikan Hanafi sebagai seorang modernis‑liberal, karena ide‑ide liberalisme Barat, demokrasi, rasionalisme dan pencerahan telah banyak mempengaruhinya.
Pemikiran Hanafi sendiri, menurut Isaa J. Boulatta dalam Trends and lssues in Contemporary Arabs Thought bertumpu pada tiga landasan: I) tradisi atau sejarah Islam; 2) metode fenomenologi, dan; 3) analisis sosial Marxian. Dengan demikian dapat dipahami bahwa gagasan semacam Kiri Islam dapat disebut sebagai pengetahuan yang terbentuk atas dasar watak sosial masyarakat (socially contructed) berkelas yang merupakan ciri khas tradisi Marxian.
Dalam gagasannya tentang rekonstruksi teologi tradsional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks sosial‑poli­tik yang terjadi. Teologi tradisional, kata Hanafi, lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman sistem kepercayaan, yakni transendensi Tuhan, diserang oleh wakil-wakil dari sekte‑sekte dan budaya lama. Teolo­gi itu dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan untuk memelihara kemurniannya. Dialektika berasal dari dialog dan mengandung pengertian saling menolak; hanya merupakan dialektika kata­-kata, bukan dialektika konsep‑konsep tentang sifat masyarakat atau tentang sejarah.
Sementara itu konteks sosio‑politik sekarang sudah berubah. Islam mengalami berbagai kekalahan di berbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonisasi. Karena itu, lanjut Hanafi, kerangka konseptual lama masa‑masa permulaan, yang berasal dari kebudayaan klasik harus diubah menjadi kerangka konseptual baru, yang berasal dari kebudayaan modern.
Teologi merupakan refleksi dari wahyu yang me­manfaatkan kosakata zamannya dan didorong oleh kebutuhan dan tujuan masyarakat; apakah kebutuhan dan tujuan itu merupakan keinginan obyektif atau semata-mata.manusiawi, atau barangkali hanya meru­pakan cita‑cita dan nilai atau pernyataan egoisme murni. Dalam konteks ini, teologi merupakan basil proyeksi kebutuhan dan tujuan masyarakat manusia ke dalam teks-teks kitab suci. Ia.menegaskan, tidak ada arti‑arti yang betul‑betul berdiri sendiri untuk seti­ap ayat Kitab Suci. Sejarah teologi, kata Hanafi, ada­lah sejarah proyeksi keinginan manusia ke dalam Kitab Suci itu. Setiap ahli teologi atau. penafsir melihat dalam Kitab Suci itu sesuatu yang ingin mereka lihat. Ini menunjukkan bagaimana manusia menggantungkan kebutuhan dan tujuannya pada naskah‑naskah itu.
Teologi dapat berperan sebagai suatu ideologi pembebasan bagi yang tertindas atau sebagai suatu pembenaran penjajahan oleh para penindas. Teologi memberikan fungsi legitimatif bagi setiap perjuangan kepentingan dari masing‑masing lapisan masyarakat yang berbeda. Karena itu, Hanafi menyimpulkan bah­wa tidak ada kebenaran obyektif atau arti yang berdi­ri sendiri, terlepas dari keinginan manusiawi. Kebe­naran teologi, dengan demikian, adalah kebenaran korelasional atau, dalam bahasa Hanafi, persesuaian antara arti naskah asli yang berdiri sendiri dengan kenyataan obyektif yang selalu berupa nilai‑nilai manusiawi yang universal. Sehingga suatu penafsiran bisa bersifat obyektif, bisa membaca kebenaran obyektif yang sama pada setiap ruang dan waktu.
Hanafi menegaskan bahwa rekonstruksi teologi tidak harus membawa implikasi hilangnya tradisi‑tradisi lama. Rekonstruksi teologi untuk mengkonfrontasikan ancaman-ancaman baru yang datang ke dunia dengan menggunakan konsep yang terpelihara murni dalam sejarah. Tradisi yang terpelihara itu menentukan lebih banyak lagi pengaktifan untuk dituangkan dalam realitas duniawi yang sekarang. Dialektika harus dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan, bukan hanya terdiri atas konsep‑konsep dan argumen‑argumen antara individu‑individu, melainkan dialektika berbagai masyarakat dan bangsa di antara kepentingan‑kepentingan yang bertentangan.
Rekonstruksi itu bertujuan untuk mendapatkan keberhasilan duniawi dengan memenuhi harapan-harapan dunia muslim terhadap kemendekaan, kebe­basan, kesamaan sosial, penyatuan kembali identitas, kemajuan dan mobilisasi massa. Teologi baru itu ha­rus mengarahkan sasarannya pada manusia sebagai tujuan perkataan (kalam) dan sebagai analisis percakap­an. Karena itu pula harus tersusun secara kemanu­siaan.
Asumsi dasar dari pandangan teologi semacam ini adalah bahwa Islam, dalam pandangan Hanafi, ada­lah protes, oposisi dan revolusi. Baginya, Islam me­miliki makna ganda. Pertama, Islam sebagai ketunduk­an; yang diberlakukan oleh kekuatan politik kelas atas. Kedua, Islam sebagai revolusi, yang diberlakukan oleh mayoritas yang tidak berkuasa dan kelas orang miskin. Jika untuk mempertahankan status-quo suatu re­zim politik, Islam ditafsirkan sebagai tunduk. Sedang jika untuk memulai suatu perubahan sosial politik melawan status‑quo, maka harus menafsirkan Islam sebagai pergolakan.
Secara generik, istilah aslama adalah menyerahkan diri kepada Tuhan, bukan kepada apa pun yang lain. Pengertian ini secara langsung menyatakan sebuah tindakan ganda; Yaitu menolak segala kekuasaan  yang tidak transendental dan menerima kekuasaan transendental. Makna ganda dari kata kerja aslama dan kata benda Islam ini, menurut Hanafi, dengan sengaja disalahgunakan untuk mendorong Islam cenderung pada salah satu sisinya, yakni tunduk. Maka rekonstruksi teologi tradisional itu berarti pula untuk menunjukkan aspek lain dari Islam yang, menurutnya, sengaja disembunyikan, yakni penolakan, oposisi den pergolakan yang merupakan kebutuhan aktual masyarakat muslim. Di dalam hal ini, karena selalu terkait dengan masyarakat, refleksi atas nilai‑nilai universal agama pun mengikuti bentuk dan struktur kemasyarakatan, struktur sosial dan kekuatan politik.
Bagian II
Kiri Dalam Pemikiran Agama:
Mengenal Kiri Islam Hassan Hanafi
  Istilah Kiri pertama kali dikenal dalam sejarah parlemen Inggris. Pada waktu itu - entah kebetulan atau sengaja - kelompok yang berkuasa (pemerintah) mengambil tempat duduk di sebelah kanan, sementara kelompok oposan mengambil tempat duduk di sebelah kiri. Selanjutnya, tingkat konflik yang semakin tinggi menjadikan segala identitas keduanya - termasuk tempat duduk - sebagai preseden dikotomi dalam dunia politik. Sejak saat itu kelompok oposan selalu diidentikkan dengan Kiri, sementara kelompok pendukung status quo selalu diidentikkan dengan Kanan. Pada perkembangan selanjutnya istilah Kiri sempat lekat dengan komunisme, sehingga muncul istilah Left Comunist atau Left Marxist.
Secara umum, Kiri diartikan sebagai partai yang cenderung radikal, sosialis, 'anarkis', reformis, progressif dan liberal. Dengan kata lain, Kiri selalu menginginkan sesuatu yang bernama kemajuan (progress), yang memberikan inspirasi bagi keunggulan manusia atas sesuatu yang bernama 'takdir sosial'.
Meskipun istilah Kanan dan Kiri pertama kali digunakan dalam dunia politik, namun keduanya sebenarnya adalah juga merupakan dua sikap (orientasi) yang berlawanan dalam dunia pengetahuan dan ilmu-ilmu sosial secara khusus, serta dalam kehidupan sehari-hari secara umum, termasuk di dalamnya - tentu saja - adalah agama bila dipandang sebagai kajian ilmu sosial (pemikiran agama). Kiri dalam agama - kurang lebih (walau pun tidak harus identik) - sama dengan Kiri dalam politk. Jika Kiri dalam politik berarti segala pemikiran politik yang beroposisi dengan paham politik pemegang status quo, maka Kiri dalam agama adalah segala aksi dan wacana keagamaan yang berseberangan dengan aksi dan wacana keagamaan resmi.
Kalau kita gunakan kategori ini, maka Kiri dalam Islam memiliki cakupan yang sangat luas, tidak terbatas pada Kiri Islam Hassan Hanafi saja. Namun tampaknya Kiri Islam (al-Yasâr al-Islâmî) sudah menjadi trade mark tersendiri bagi proyek yang digarap oleh Hassan Hanafi, meskipun terma Kiri Islam itu sendiri bukan murni ciptaannya. Di kalangan para pemikir liberal (yang sering dikategorikan sebagai Kiri pun) proyek Hassan Hanafi banyak menjadi sasaran kritik. Makanya tak heran kalau lantas Nashr Hâmid Abû Zaid mengklasifikasikan gerakan kebangkitan Islam kontemporer - yang biasa disebut juga dengan shahwah - ke dalam tiga orientasi, dengan Islam Kiri Hassan Hanafi sebagai satu bagian tersendiri yang berada di antara orientasi Kanan konservatif dan orientasi sekuler (‘ilmâniyah). Lebih jauh lagi, Nashr berpandangan bahwa apa yang dilakukan oleh Hassan Hanafi dengan proyek Kiri Islamnya tak lebih dari sekedar talwîn, yang membuatnya tak banyak beranjak dari posisi Kanan konservatif.
Dipilihnya Kiri Islam - sebagai nama jurnalnya - menurut Hassan Hanafi adalah alternatif terbaik dari sekian banyak alternatif nama yang ada. Kiri Islam adalah kelanjutan dari majalah Al-‘Urwah al-Wusthâ dan koran Al-Manâr, bila dipandang dari keterkaitannya dengan proyek Islam seperti yang dirumuskan oleh Al-Afghânî: melawan imperialisme dan keterbelakangan, menyeru kepada kemerdekaan dan keadilan sosial, menyatukan umat Islam dalam blok Islam atau blok Timur. Oleh karena itu, Kiri Islam tidak berangkat dari kekosongan, bukan pula merupakan bid‘ah dalam gerakan Islam. Hanya saja - berbeda dengan gerakan Al-Afghânî - Kiri Islam ingin menekankan adanya pengelompokkan dalam tubuh umat Islam antara yang kaya dan yang miskin, yang kuat dan yang lemah, yang berkuasa dan yang dikuasai, yang memiliki segalanya dan yang tidak memiliki apa pun. Dalam hal ini Kiri Islam berkonsentrasi pada kelompok keduaHassan Hanafi sadar bahwa dipilihnya nama ini akan banyak menimbulkan protes, terutama dari kelompok 'ikhwah filLâh' dan pendukung status quo.
Dalam memilih syi'ar (kredo), Kiri Islam cenderung menggunakan ayat-ayat Al-Qur'an. Hanya saja, menurutnya, ayat-ayat Al-Qur'an itu dalam banyak hal saling bertolak-belakang, sehingga perlu dipilih ayat-ayat yang sesuai dengan kebutuhan umat Islam saat ini. Oleh karena itu, dalam menafsirkan Al-Qur'an Kiri Islam tidak tertarik untuk melakukannya ayat per ayat, tapi dengan cara memprioritaskan ayat-ayat yang diharapkan mampu memberi jalan keluar bagi problematika umat.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa Kiri Islam bertopang pada tiga pilar dalam mewujudkan revolusi Islam. Ketiga pilar ini tercermin dalam proyek Kiri Islam yang disebut oleh Hassan Hanafi sebagai Proyek Khazanah dan Pembaharuan (al-Turâts wa al-Tajdîd): sikap kita terhadap khazanah Islam klasik, sikap kita terhadap khazanah Barat, dan sikap kita terhadap realitas umat Islam kontemporer.
Dalam pilar yang pertama, Kiri Islam menekankan perlunya revitalisasi khazanah Islam klasik. Dalam hal ini rasionalisme memegang kunci utama. Rasionalisme merupakan keniscayaan untuk kemajuan dan kesejahteraan muslim serta untuk memecahkan situasi kekinian di dalam dunia Islam. Karena khazanah klasik kita mengandung dua muatan: positif dan negatif, maka Kiri Islam menegaskan perlunya pemilah-milahan dalam melakukan revitalisasi ini. Dalam ilmu Ushûl al-Dîn Kiri Islam cenderung pada madzhab Mu‘tazilah yang merupakan gerakan revolusi akal, alam dan kebebasan manusia. Dalam bidang fikih dan Ushûlnya, Kiri Islam mengikuti paradigma madzhab Hanafi dengan al-mashâlih al-mursalahnya. Dalam bidang filsafat, Kiri Islam lebih memilih filsafat Ibnu Rusyd karena menolak faham iluminasi (al-isyrâq). Sementara tasawwuf, tampaknya tidak mendapatkan tempat dalam Kiri Islam, bahkan dituduh sebagai penyebab kemunduran umat Islam.
Dalam pilar ke dua, Kiri Islam menekankan perlunya menentang peradaban Barat dengan imperialisme budayanya yang cenderung membasmi kebudayaan bangsa-bangsa yang secara kesejarahan kaya. Dalam hal ini Kiri Islam menawarkan 'oksidentalisme' sebagai tandingan 'orientalisme' dalam rangka mengakhiri mitos peradaban Barat.
Sedangkan dalam pilar ke tiga, Kiri Islam menekankan pentingnya analisis terhadap realitas dunia Islam. Untuk analisis ini Kiri Islam mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks (nash), dan mengusulkan suatu metode tertentu, agar realitas dunia Islam dapat berbicara bagi dirinya sendiri. Dunia Islam saat ini sedang menghadapi dua macam ancaman. Pertama, ancaman dari luar, berbentuk imperialisme, zionisme dan kapitalisme. Dan kedua, dari dalam, berupa kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan. Permasalahan-permasalahan inilah yang menurut Kiri Islam perlu segera dicarikan jawabannya. Demikian, sedikit tentang Kiri Islam Hassan Hanafi.

J ARINGAN    ISLAM LIBERAL

1. Apa Islam liberal itu ?
Islib adalah suatu bentuk penafsiran baru-tetapi juga tidak benar-2 "baru"- atas agama Islam dengan wawasan berikut:
  1. Keterbukaan pintu ijtihad pada semua bidang
 Islam Liberal percaya bahwa "ijtihad" atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. ISLAM LIBERAL percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam hampir semua segi, baik segi Islam Liberalahiyyat (teologi), ubudiyyat (ritual), atau --apalagi-- muamalat (interaksi sosial). Ruang ijtihad dalam bidang ubudiyyat memang lebih sempit dibanding dengan ijtihad di dua bidang yang lain.
 b. Penekanan pada semangat religio etik, bukan pada makna literal sebuah teks
Ijtihad yang dikembangkan oleh ISLAM LIBERAL adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik Qur'an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan "membunuh" Islam. Hanya dengan penafsiran yang mendasarkan diri pada semangat religio-etik, Islam akan dapat hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari "peradaban kemanusiaan" universal.
c. Kebenaran yang relatif, terbuka dan plural
IS LIB mendasarkan diri pada gagasan tentang "kebenaran" (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang "relatif", sebab sebuah penafsiran adalah "kegiatan manusiawi" yang terkungkung oleh konteks tertentu; "terbuka", sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; "plural", sebab sebuah penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.
d. Pemihakan pada yang minoritas dan tertindas
ISLAM LIBERAL mendasarkan diri pada suatu penafsiran keislaman yang memihak kepada "yang kecIslam Liberal", minoritas, tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan praktek ketidakadilan Islam Liberalan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, budaya, politik, ekonomi, orientasi seksual, dll. KeadIan Islam Liberalan jender adalah satu masalah yang kami anggap penting, sebab struktur sosial kita masih didadasarkan pada gagasan patriarkal yang berlawanan dengan ide kadIslam Liberalan dalam Islam. Penafsiran-penafsiran keagamaan yang tidak memperhatikan soal keadIslam Liberalan jender, kami anggap tidak sesuai dengan prinsip keadaan Islam Liberal Islam.
e. Kebebasan beragama dan berkepercayaan
ISLAM LIBERAL menganggap bahwa urusan "beragama" dan "tidak beragama" adalah hak perorangan yang harus Islam Liberalindung. ISLAM LIBERAL tak bisa membenarkan prosekusi atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.
f. Pemisahan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik
ISLIB percaya pada keniscayaan pemisahan antara kekuasaan keagamaan dan politik. ISLAM LIBERAL tidak membenarkan gagasan tentang negara agama di mana otoritas seorang ulama atau kiai dipandang sebagai kekuasaan tertinggi yang tak bisa salah. Bentuk negara yang sehat untuk pertumbuhan agama dan politik adalah suatu negara di mana dua wewenang itu dipisahkan. Agama adalah sumberi inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak serta merta mempunyai "privelese transedental" yang tak bisa disangkal untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Pada akhirnya, agama adalah bekerja pada ruang privat dan perorangan. Urusan publik haruslah diselenggarakan melalui proses "ijtihad kolektif", di mana pelbagai pihak boleh saling menyangkal, di mana kebenaran ditentukan secara "induktif" melalui adu dan uji pendapat.
2. Mengapa Namanya Islam Liberal
 Nama "Islam liberal" menggambarkan prinsip-prinsip yang kami anut, yaitu Islam yang menekankan "kebebasan pribadi" (seusai dengan doktrin kaum Mu'tazilah tentang "kebebasan manusia"), dan "pembebasan" struktur sosial-politik dari dominasi yang tidak sehat dan menindas. Ajektif "liberal" di sana mempunyai dua makna sekaligus: "kebebasan" (being liberal) dan "pembebasan" (liberating). Sebagai catatan: kami tidak percaya pada Islam "as such", Islam tanpa embel-embel seperti dikemukakan sebagai orang. Islam tidak mungkin tanpa "ajektif", tanpa kata sifat, sebab pada kenyataannya Islam mengalami penafsiran yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penafsirnya. Kami memilih satu jenis tafsir, dan dengan demikian kami memilih salah satu "kata sifat" atau ajektif untuk Islam, yaitu "liberal".
3. Apa misi utama jaringan ini
Misi Islam Liberal adalah:
1.      Mengembangkan penafsiran-penafsiran Islam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang kami anut, serta menyebarkannya kepada seluas mungkin khalayak.
2.      Mengusahakan ruang-ruang dialog yang terbuka dan bebas dari tekanan konservatisme. Hanya dengan tersedianya ruang yang terbuka buat dialog seperti inilah, perkembangan pemikiran dan aksi Islam bisa berlangsung dengan sehat.
3.      Mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi. Sistem demokrasi kami percayai sebagai salah satu sistem yang "saat ini" dapat memenuhi kebutuhan itu. Pada kapitalisme, kami percaya ada kebajikan-kebajikan yang patut disokong, tetapi juga ada segi-segi di dalamnya yang patut dikritik.
Kerajaan Ternate
Ternate cuma merupakan kota kecil yang terletak di lereng gunung Gamalama. Keliling gunung  ini  cuma  42  km.  Radiusnya  tak lebih dari 10 km. Kendati demikian, dengan populasi  120.000 jiwa ini, Ternate termasuk kota paling ramai di  Maluku  sesudah Ambon. Karena itu, sejak Maluku Utara menjadi propinsi tersendiri pada Oktober 1999, Ternate terpilih sebagai ibukotanya. Maluku Utara adalah daerah kepulauan yang terdiri dari  353 pulau, dengan luas daratan 32.000 km persegi,serta di atas perairan seluas 107.382 km persegi. Wilayah ini di bagian utaranya berbatasan dengan Samudra Pasifik, selatan  dengan  Laut  Seram,  timur  dengan  Laut  Halmahera,    dan  barat  dengan  Pulau Sulawesi.(1)
 Kendati kecil, Ternate pernah memainkan peran penting di kawasan Timur  Nusantara dari abad ke-13 sampai abad ke-17. Sebagai kerajaan primus interpares dari kerajaan-kerajaan  Islam  di Maluku ---bersama kerajaan Tidore, Bacan, dan Jailolo, wilayah kekuasaan  Ternate  pada  era  Sultan Baabullah (1570-1583) pernah membentang dari Mindanao  (sekarang  bagian  dari  Filipina)  di  utara  sampai  Bima  di  selatan.  Ke  barat meliputi Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara.(2) 
 Mayoritas penduduk Ternate menganut Islam Sunni. Namun tak bisa dipungkiri, terdapat pula sejumlah praktik keagamaan  yang berakar dari tradisi Syi'ah. Dalam hal ini, Syi'ah memiliki arti kelompok, partai, atau pengikut. Kata ini merujuk pada pengikut Ali bin Abi  Thalib  sebagai  pemimpin  pertama  Ahl  al-Bait. Kecuali masalah    imamah,  antara kaum  Syi'ah  dan  Ahl Sunnah Wal  Jama'ah hampir tak terdapat perbedaan. Tak diketahui siapa dan kapan praktik-praktik Syi'ah ini, seperti ta'ziah  dan perayaan 'asyura, masuk ke sana. Artikel ini mencoba menelusuri  jejaknya  berdasarkan  catatan sejarah dan pengalaman sendiri sebagai orang Ternate. Kajian ini  tentu  saja  belum memadai, tapi mudah-mudahan berguna sebagai langkah awal menuju penelitian lanjutan yang lebih komprehensif.
                                                       ***
Umumnya  disepakati  bahwa  proses  Islamisasi di Nusantara berlangsung seiring dengan kegiatan  dagang  antara  berbagai komunitas yang mendiami pulau-pulau di Indonesia dengan orang Arab, Persia, Gujarat, dan Cina. Ini telah berlangsung sejak berabad-abad lalu.(3)  Prof  L.W.C. van den Berg menyatakan, kepulauan Indonesia telah didatangi orang Arab dari Teluk Persia dan Laut Merah sebelum zaman Islam. Tapi Nusantara baru mencapai puncak keramaian pada zaman Kerajaan Bani  Abbas  (sekitar    800-1300  M). Jalur perdagangan yang ditempuh waktu itu adalah Teluk Persia, Cina , dan Indonesia.(4) G.R. Tibbets mengatakan, pada abad VIII dan  IX    terdapat  laporan  pedagang  Arab Muslim yang menunjukkan adanya rute pelayaran yang pasti melalui pelabuhan laut Asia Tenggara,  terus  bersambung  hingga  ke negeri Cina. Seorang ahli sejarah Muslim mencatat bahwa hubungan timbal balik  antara orang Cina dan Arab paling awal terjadi pada abad ke-5.(5) Prof. Wan Hussein Azmi, guru  besar  Universitas  Kebangsaan Malaysia,  mengatakan  sekitar  abad  VII,  saudagar  Arab  hilir  mudik  berniaga  di  Jazirah Nusantara. Ia menegaskan Islam telah masuk ke Nusantara sejak abad  ke-1  Hijrah, langsung dari tanah Arab.(6) Barang-barang Indonesia seperti emas, lada, kapas, madu, rotan,  serta  kayu  cendana,  dibeli  para  pedagang  Muslim  untuk  dijual  di  pasar  Timur Tengah, Laut Tengah, dan Cina. Memang pada abad ke-15, jaringan perdagangan Asia, dengan Malaka  sebagai pusat, merupakan kawasan perdagangan yang canggih dan luas.
Tapi Malaka tak cuma berperan sebagai sentra perdagangan Asia. Ia juga  dianggap sebagai pusat penyebaran Islam di Asia Tenggara. Dari sini kemudian Islam menyebar ke daerah  utara,  pantai  timur  hingga  selatan  Pulau  Sumatera,  terus  ke  pesisir  utara  Pulau Jawa dan Kalimantan. Maluku atau spice islands, dengan Ternate sebagai sentrum, baru menjadi bagian dalam jaringan perdagangan Malaka  pada  abad  ke-15.(7)  Cengkeh  dan pala merupakan komoditas yang diincar para pedagang  Jawa, Melayu, Arab, Cina, dan Persia untuk dijual di pasar Malaka, Jawa, atau dilego langsung ke pasar Timur Tengah dan Laut Tengah. Fenomena ini kemudian menimbulkan spekulasi para sejarawan bahwa Islam mulai masuk ke Ternate pada abad ke-15,  saat  kejayaan  Malaka  mencapai puncaknya.  Antonio  Galvao (1536-1539),(8) kapten benteng  Portugis di Ternate, mencatat bahwa Ternate memeluk Islam yang  disebarkan  dari  Malaka  pada  1460, mengingat terdapat jalur perdagangan melalui utara, yaitu jalur Ternate-Sulawesi Utara-Sulu-Brunei-Malaka.  Di  sini Galvao memperoleh keterangan langsung dari masyarakat Ternate sendiri.
 Rijali, pencatat peristiwa pada awal zaman Maluku yang hidup di Ambon pada awal abad ke-17,  menyusun sebuah dokumen dalam bahasa Arab berdasarkan kisah-kisah tradisional. Pada mulanya (sekitar abad ke-13), demikian Rijali,  Ternate  dihuni  orang-orang dari Jailolo (Halmahera Utara). Selama  250  tahun  berikutnya,  masih  menurut Rijali, suku Molematiti di Ternate, dan dinasti dari 20 penguasa berikutnya, memimpin transformasi bertahap penduduk Ternate dari manusia kafir tak beradab menjadi pengikut Nabi Muhammad saw.(9) Kemajuan besar pertama terjadi  pada masa  kekuasaaan Raja Gapi Baguna (1432-1465), yang mengundang saudagar   Cina,  Arab,  dan  Jawa  untuk menetap  di  Ternate  dan  memanfaatkan pengetahuan serta keterampilan mereka yang unggul. Ia lalu terpesona oleh seorang saudagar Muslim dari Jawa, Maulana Husein, yang kemudian membimbingnya bersama pejabat Istana lain, masuk Islam.(10) Menurut  Cesar Adib Majul,(11) Islam masuk ke Ternate pada tahun 1478,  yakni  berbarengan  dengan jatuhnya kerajaan Majapahit. Selanjutnya ia mengatakan bahwa Islam dibawa para muballigh dari  Jawa. Dari  keterangan  di  atas  terlihat ada perbedaan pendapat mengenai asal  usul  masuknya  Islam  ke  Ternate. Galvao mengatakan, Islam yang masuk ke sana berasal dari Malaka. Sementara Rijali dan Cesar berpendapat dari Jawa. Namun periode masuknya kurang lebih sama, yaitu paro pertama abad VX.
 Namun, Naidah dalam sejarah Ternate-nya menyatakan, kawasan ini telah masuk Islam sejak abad ke-13. Pembawanya adalah Ja'far Shodiq yang tiba di Ternate dari Jawa pada Senin, 6 Muharram 643 H/1250M. Ja'far Shadiq yang  nasabnya  dihubungkan  dengan Imam Ali b. Abi Thalib, kawin dengan putri setempat bernama Nur Sifa. Sebelumnya, Ja'far  Shadiq pernah kawin di Jawa dan memperoleh 10 anak. Dari perkawinan dengan Nur  Sifa,  ia memperoleh empat putra dan empat putri. Salah satu putranya, Mansur Malamo, di tetapkan sebagai raja pertama Ternate, setelah berhasil mempersatukan empat kelompok masyarakat Ternate yang suka berperang itu. Raja  pertama  ini  memerintah sejak 1257-1277. Tiga putra lainnya berkuasa di pulau Tidore, Bacan, dan Jailolo.(12)
 Laporan  Naidah  ini  terbilang  menarik  lantaran  ia  mempresentasikan  Ja'far  Shadiq, Muharram, dan 'Ali b. Ali Thalib, yang kesemuanya  merupakan  bagian  dari  wacana Syi'ah.  Namun  ini  pun   harus di pandang secara kritis berdasarkan kenyataan berikut. Pertama, laporannya  tidak bersumber dari bahan tertulis atau didukung hipotesis yang logis.  Kedua, ia bekerja sebagai pejabat istana Ternate yang, dengan sendirinya, menjaga kepentingan kerajaan. Sebagaimana diketahui,  persaingan  memperebutkan hegemoni di antara empat kerajaan Maluku itu melibatkan pula agama dan Ahl  al Bait. Kedua unsur ini agaknya menjadi faktor legitimasi bagi kepemimpinan politik di Maluku, bahkan juga di kerajaan-kerajaan Islam lain di nusantara  seperti  Aceh,  Jawa,  dan Kalimantan. Dalam hal ini, klaim sebagai pihak yang lebih dulu masuk Islam serta faktor Ahl  al Bait  menjadi  sumber legitimasi tersebut. Toh, Tidore, Bacan, dan Jailolo juga mengklaim  sebagai  pihak  yang paling duluan masuk Islam serta menghadirkan tokoh keturunan Nabi Muhammad.
 Dalam laporan lain, berdasarkan tradisi lisan setempat, pada abad VIII empat  orang Syeikh dari Irak tiba di Maluku Utara. Mereka merupakan pemeluk Islam Syi'ah. Kedatangan mereka dikaitkan dengan pergolakan politik di Irak, di mana golongan Syi'ah dikejar-kejar  penguasa  Bani  Umayyah maupun Bani Abbasiyah. Mereka terdiri dari Syaikh Mansur yang kemudian menyiarkan Islam di Ternate dan  Halmahera  muka, Syaikh  Yakub  yang  mengislamkan Tidore dan Makian, serta Amin dan Yakub yang berdakwah di Halmahera Tengah.(13) Akan tetapi, isi laporan ini pun  harus  pula dicermati secara kritis, terutama lantaran sulit dibuktikan. Di puncak gunung Gamalama dan Gunung Kie Besi (Pulau Makian), memang terdapat kuburan-kuburan keramat yang dikatakan sebagai makam Mansur dan Yakub. Namun, bagaimana bisa dipastikan bahwa makam-makam tersebut milik kedua tokoh tersebut? Amin dan  Umar,  yang  tak meninggalkan jejak apapun, disebut-sebut kembali ke Irak.
 Adanya  laporan  berbeda ini memaksa kita untuk mendefinisikan pengertian masuknya Islam ke suatu daerah. Paling tidak, terdapat tiga pengertian sekaitan dengan masalah ini. Pertama, suatu daerah dikatakan telah masuk Islam bila di dalamnya terdapat satu atau lebih  orang  asing  beragama  Islam.  Kedua, bila di daerah tersebut sudah terdapat  satu atau lebih penduduk asli menganut Islam. Ketiga, bila Islam telah melembaga di daerah tersebut. Berdasarkan definisi ini, kita dapat merekonstruksi proses Islamisasi di Ternate ke  dalam  tiga  periode. Periode awal berlangsung sejak pertengahan abad VIII, di mana orang Arab dan Persia Muslim Syi'ah membeli cengkeh dan pala  di Maluku untuk dijual ke Eropa melalui pelabuhan Baghdad. Orang Muslim Perlak  yang menganut Syi'ah pun sudah berperan dalam periode ini. Sebagai masyarakat sebuah kerajaan yang  sedang berkembang, tentunya cengkeh dan pala menjadi komoditas yang  dicari  di  pelabuhan Perlak, yang hingga abad ke-9 merupakan kerajaan Syi'ah. Masuknya mereka ke Maluku, setidaknya memberi pengaruh kepada penduduk setempat. Periode kedua dimulai  sejak abad ke-12, di mana penyiaran Islam telah disampaikan ke kalangan penduduk. Yang ikut berperan  dalam  periode  ini  adalah  orang  Muslim  Cina,  selain  Arab  dan  Persia.  Ini ditandai dengan mulai digunakannya nama-nama Arab-Islam oleh para raja di  Maluku Utara. Periode ketiga yang dimulai pada abad ke-15 berlangsung sejak penerimaan Islam oleh pihak elite kesultanan. Zaenal Abidin adalah Sultan ke-19 yang  menukar  agama jahiliyah dengan Islam.(14) Yang  paling banyak memainkan peran penting dalam periode ini adalah para muballigh Jawa yang menganut faham Aswaja. Kedatangan orang Muslim Arab dan Persia berfaham Ahl al Bait ini berkaitan dengan terjadinya pergolakan sosial-politik di wilayah daulah Umayah dan kemudian daulah Abbasiyah.
 Ini bukan sesuatu yang mustahil, sebab sejak awal Syi.ah telah  masuk  ke  Nusantara. Sebuah monumen ditemukan di Champa, Vietnam, yang terdiri dari batu nisan yang dibuat tahun 1039 serta sebuah tiang batu dengan aksara Arab bertarikh 1025-1035. M.P. Ravaisse  yang  menyelidiki  tulisan tersebut mengatakan bahwa tampaknya isi dokumen ini menunjukkan bahwa di tempatnya ditemukan, sejak abad XI  terdapat  sebuah masyarakat kota. Mereka lain dari penduduk asli. Paham keagamaan dan adat istiadatnya juga  berbeda. Kakek moyang mereka mestinya tiba satu abad sebelumnya. Menurut Dr. S.Q.Fatimi,  mereka  adalah  orang  Arab  Syi'ah.(15)  Ini  lebih  jelas  dikemukakan  Wan Hussein  Azmi.(16)  Menurutnya,  semenjak kerajaan Islam berdiri di Taj Jihan pada pertengahan abad ke VII, Islam makin berkembang di Sumatera Utara  setelah saudagar Muslim Arab datang ke Nusantara. Di samping itu, dengan dibukanya negeri Persia oleh kaum Muslimin pada 650H, orang-orang Persia dengan penuh suka cita berduyun-duyun masuk Islam dan banyak darinya yang hijrah ke Nusantara. Di antara keluarga Persia yang berimigrasi ke Nusantara terdapat keluarga Javani, Lor, Sabankarah, dan Asyraf.
 Di samping itu terdapat satu faktor utama yang menyebabkan saudagar Muslim Arab dan Persia  bercokol  di  Sumatera  Utara  pada abad ke-7, yaitu terhalangnya jalur pelayaran yang mereka tempuh melalui Selat Malaka akibat disekat armada  Budha  Sriwijaya sebagai balasan serangan tentara Islam ke kerajaan Hindu di Sind, India,  pada  zaman pemerintahan Khalifah al-Hadi (775-785 M). Maka, terpaksa kapal-kapal Arab dan Persia menempuh pelayaran melalui Sumatera Utara terus ke pesisir barat Sumatera, kemudian masuk Selat Sunda melalui Singapura menuju Kanton, Cina.
 Perlak sebagai sebuah pelabuhan dagang yang maju dan  aman  di  abad  VIII menjadi tempat  persinggahan  kapal  dagang  Muslim  Arab  dan  Persia.  Dengan  demikian, masyarakat Muslim di daerah ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama sekali lantaran banyak terjadinya perkawinan di antara saudagar Muslim dengan wanita-wanita setempat, sehingga melahirkan keturunan Muslimin  dari percampuran darah Arab dan  Persia dengan  putri-putri  Perlak. Dan ini membawa pada berdirinya kerajaan Islam Perlak pertama, yakni pada hari selasa bulan Muharram, 840 M. Sultan pertama kerajaan ini  merupakan  keturunan  Arab  Quraisy  bernama Maulana Abdul Azis  Syah, bergelar Sultan  Alaiddin  Sayyid  Maulana  Abdul Azis Syah. Menurut Wan Hussein Azmi, pedagang Arab dan Persia tersebut termasuk dalam golongan Syi'ah. Mereka menguasai  Perlak hingga muncul pergolakan antara golongan Syi'ah dan Ahl Sunnah Wal Jama'ah (Aswaja) pada tahun 928 M.
 Wan Hussein Azmi mengaitkan kedatangan mereka dengan Revolusi Syi'ah yang terjadi di  Persia  tahun  744-747.  Revolusi  ini  di  pimpin  Abdullah  bin  Mu'awiyah  yang  masih keturunan Ja'far b. Abi Thalib. Bin Mu'awiyah telah menguasai kawasan luas selama dua tahun (744-746) dan mendirikan istana di Istakhrah sekaligus memproklamirkan dirinya sebagai raja Madian, Hilwan, Qamis, Isfahan, Rai, dan bandar besar lainnya. Akan tetapi ia kemudian dihancurkan pasukan Muruan  di bawah pimpinan Amir b. Dabbarah tahun 746  dalam  pertempuran  Maru  Sydhan. Kemudian banyak pengikutnya  yang melarikan diri  ke  Timur  Jauh. Para ahli sejarah berpendapat, mereka terpencar di semenanjung Malaysia,  Cina,  Vietnam,  dan  Sumatera, termasuk ke Perlak. Bisa jadi, ada di antara mereka yang kemudian meneruskan perjalanan ke Ternate. Pendapat Wan Hussein Azmi itu  diperkaya dan diperkuat sebuah naskah tua berjudul Idharul  Haqq  fi  Mamlakatil Ferlah  w'l-Fasi,  karangan Abu Ishak Makarni al-Fasy, yang dikemukakan Prof. A. Hasjmi.(17)    Dalam  naskah  itu  diceritakan  tentang  pergolakan  sosial-politik  di lingkungan Daulah Umayah dan Abbasiyah yang kerap menindas partai Syi'ah.  Pada masa pemerintahan Khalifah Makmun b. Harun al-Rasyid (813-833), seorang keturunan Ali b. Abi Thalib, bernama Muhammad b. Ja'far Shadiq b. Muhammad Baqr  b. Zaenal Abidin  b.  Husein  b.  Ali  b.  Abi  Thalib,  memberontak  terhadap  Khalifah    yang berkedudukan  di  Baghdad  dan memproklamirkan dirinya sebagai khalifah yang berkedudukan di Makkah. 
Khalifah Makmun berhasil menumpasnya. Tapi Muhammad b. Ja'far Shadiq dan para tokoh pemberontak lainnya tidak dibunuh, melainkan diberi ampunan. Malah Makmun menganjurkan pengikut Syi'ah itu meninggalkan negeri Arab  untuk  meluaskan  dakwah Islamiyah  ke  negeri  Hindi,  Asia  Tenggara, dan Cina. Anjuran itu pun lantas dipenuhi. Sebuah Angkatan Dakwah beranggotakan 100 orang pimpinan Nakhoda  Khalifah  yang kebanyakan tokoh Syi'ah Arab, Persia, dan Hindi ---termasuk Muhammab  b.  Ja'far Shadiq--- segera bertolak ke timur dan tiba di Bandar Perlak pada waktu Syahir Nuwi menjadi  meurah    (raja)  Negeri  Perlak. Syahir Nuwi kemudian menikahkan  Ali b. Muhammad b. Ja'far Shadiq dengan adik kandungnya, Makhdum Tansyuri.  Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama  Sayyid Abdul 'Aziz, dan pada  1 Muharram 225  H  dilantik  menjadi  Raja  dari kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin  Sayyid Maulana Abdul 'Azis Syah.
 Yang Menarik dari kisah ini adalah munculnya nama Ali b. Muhammad b. Ja'far Shadiq. Mungkin tokoh inilah yang dikaitkan secara serampangan oleh Naidah dalam karyanya, berkaitan dengan proses pengislaman Ternate. Naidah hidup di abad ke-18, periode mana penulisan sejarah masuknya Islam ke Nusantara belum banyak ditulis orang. Atau jangan-jangan ia sengaja memanipulasi informasi dengan maksud menyaingi Perlak. Kesultanan Ternate sampai sekarang masih mempertahankan pendapat bahwa Ternate lebih dulu masuk Islam ketimbang negeri-negeri Islam di Aceh. Para sejarawan yang dikutip di atas mengatakan, Ali bin Muhammad b. Ja'far Shadiq kawin dengan putri Perlak, dan putranya kemudian menjadi raja Perlak pertama. Sementara Naidah dengan hanya menyebut nama Ja'far Shadiq mengatakan ia kawin dengan putri Ternate, Nur Sifa, dan putranya menjadi raja Ternate pertama.
  Bisa jadi kiprah pengikut Ahl al-Bait di Ternate bukan hanya berlangsung pada periode awal  ---setelah mempertimbangkan laporan Naidah, tapi  juga  pada  periode  ke-2. Sedangkan pada periode ke-3, seiring kejatuhan kekuasaan Syaikh Perlak pada abad ke-10, jelas orang-orang Sunni-lah yang memainkan peran penting .
                                                            ***
 Bukti bahwa Syi'ah pernah berpengaruh kuat di Ternate dapat dilihat dari beberapa tradisi Islam yang bercorak Syi'ah. Di sini hanya disebutkan beberapa tradisi  yang  paling menonjol.  Pertama, tradisi Asyura berupa ta'ziahdan  bubur  asyura.  Ta'ziah adalah adegan dramatis massal yang mencerminkan  seluruh  episode  kematian  Imam Husein b. Ali b. Abi Thalib di Karbala, termasuk penyesalan  dan  kesiapan berkorban.(18) Di Ternate, ritus /ta'ziah/, disebut /badabus/, dilakukan secara demikian: Setelah  narasi  dilakukan  di suatu rumah atau gedung, para hadirin lalu menghujamkan benda tajam semacam gardu ke dadanya secara berulang kali hingga  mencapai  kondisi ekstase. Ritus ini dilakukan pada  1 Muharram atau pada  haul  seseorang  di  hari  ke-44. Orang Ternate memang tak melakukan ta'ziah  selama  sepuluh  hari  (1-10  Muharram), namun sepanjang sepuluh hari itu, yang dipandang sebagai hari musibah, orang Ternate dilarang melakukan berbagai hal yang mengandung risiko. Anak-anak misalnya, dilarang naik pohon atau memainkan permainan "berbahaya". Mereka lebih dianjurkan berdiam di rumah. Seluruh keluarga lalu membuat bubur asyura  yang  akan  dibagikan  kepada tetangga dan kerabat dekat. Bubur asyura adalah  bubur  santan  berisi  berbagai macam bahan seperti sayur, jagung, ikan, telur ayam, kacang-kacangan, dan kentang. Pesan yang terkandung sebenarnya cukup jelas, bubur itu sendiri yang berwarna putih melambangkan kesucian dan kemurnian hari asyura, sementara berbagai bumbu tersebut melambangkan rentetan peristiwa yang terjadi pada hari itu.(19) Keduaritus lailatulkadarTiga hari sebelum lebaran Iedul Fitri, tiap malam rakyat membakar api unggun atau obor di depan rumah masing-masing. Tradisi ini jelas berasal dari  Persia  kuno.  Dalam  kitab  -kitab Persia kuno mengenai Naw Ruz ( tahun baru), diceritakan bahwa perayaan api unggun merupakan adat masyarakat, khususnya pada malam tahun baru. Api unggun yang secara tradisional  dinyalakan  orang Iran pada hari Rabu di akhir tahun berasal dari kebiasaan purba. Orang Persia menghormati api karena diyakini dapat  menjernihkan  udara.  Pada zaman Daulah Umayah khususnya, segala hal yang berkaitan dengan Naw Ruz dilarang. Tapi tradisi ini sanggup bertahan karena konon mendapat pembenaran  dari  Nabi Muhammad  dan  Imam  Ali.  Pada  zaman  Islam,  Muslim  Iran  menyalakan  lilin  sebagai simbol penghormatan pada api dan meletakkan  Al-Qur'anul  Karim  di  antara  Haft-Sin (tujuh jenis sajian dengan huruf  's' di meja) untuk menunjukkan penghormatan pada kitab suci tersebut.
 Ketiga, orang Ternate akrab dengan khasanah kebudayaan Syi'ah. Ini bisa dilihat dengan populernya  nama-nama yang berkaitan dengan keluarga Nabi dan Imam Ali, seperti Ibrahim,  Qasim,  Umi  Kalsum  (atau  kalsum  saja),  Fatmah  (Fatimah),  Zainab,  Ruqayah, Khadijah, Muhammad, Ali, Hasan, dan Husein.  Juga  kisah-kisah  mengenai  kekuatan supranatural  Imam Ali. Misalnya, dikisahkan bahwa suatu hari minyak yang baru dibeli seorang anak tumpah di jalan berpasir. Ia menangis karena takut dimarahi orang tuanya. Kebetulan Imam Ali lewat. Beliau lalu mengambil pasir tempat tumpahnya minyak dan memerasnya. Hasilnya, seluruh minyak yang tertumpah itu bisa diperoleh kembali secara utuh. Jelas, ini merupakan tradisi Syi'ah.
 Tradisi  Syi'ah  yang  dikatakan di atas ternyata masih dipraktikkan sebagian masyarakat sampai  sekarang.  Namun  sejak kerajaan di sana pada pertengahan abad ke-15 mulai menganut  faham  Aswaja, pengaruhnya berangsur-angsur pudar, malah popularitasnya makin  redup  sejak  gerakan  pembaruan Islam, terutama yang dipelopori gerakan Muhammadiyah dan Wahabisme, masuk ke Ternate pada abad ke-20 ini. Kalau tak ada gerakan kebangkitan kembali dan pelestarian segenap budaya Islam tersebut, nampaknya tradisi-tradisi semacam itu cepat atau lambat akan sirna seiring dengan perjalanan waktu.

MENEMUKAN INDONESIA
INDONESIA adalah bangsa yang muncul dan terbentuk melalui dialog. Sebagai bangsa, Indonesia benar-benar merupakan entitas baru, bukan sekedar pelanjut kisah kerajaan-kerajaan yang ada di masa lalu. ’’Kita selalu membayangkan dri pernah bersatu pada zaman Majapahit, Sriwijaya. Siapa bilang? “kata ahli sejarah Anhar gonggong, suatu kali.
Menurut Anhar, kata Indonesia adalah sesuatu yang baru, yang terformulasikan melalui dialog yang sangat panjang. Sebelum 1900, bangsa yang bernama Indonesia nyaris tak ada. Padahal, penduduk yang klak bernama Indonesia ini, dalam keadaan terpecah belah, dan telah lama berjuang melawan imprialis Belanda dengan segenap kekuatan.
Telah ada berbagai perang selama ratusan tahun. Tapi, tak ada yang bisa mengakhiri penjajahan. “Kemenangan” baru datang setelah pada tahun 1945, bangsa ini merampungkan dialog dan merumuskan diri dalam bentuk baru. Kemenangan muncul ketika para pmimpin pergerakan mampu memberi pencerahan kepada warga kawasan ini untuk mengenal diri mereka sebagai bangsa baru, “Indonesia”.
Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia—tanda lahirnya Negara sekaligus bangsa Indonesia—pada 17 Agustus 1945. Tapi, sebelum menjadi nama dan identitas bangsa Indonesia, kata “Indonesia” telah menempuh perjalanan panjang. Penelitian, misalnya, menunjukan, istilah “Indonesia” telah ditemukan dan muncul pada 1850.
Kata ”Indonesia” muncul pertama kali dalam tulisan James Richardson Skotlandia yang tinggal di Penang Malasyia, “The Etnologi of the Indian Archipelago: Embracing enquiries into thr ContinentalRelations of the Indo-Pacific Islanders”. Tulisan itu muncul dalam jurnal of the Indian Archipelagoand Eastern Asian  jilid 4, tahun 1850, halaman 252-347.
Dalam artikelnya itu, James Richardson Logan menolak istilah “Indu-nesians” dan “Melayu-nesians”, yang digunakan George Samuel Windsor Earl untuk menyebut penduduk kepulauan Malayan.
“…..saya lebih menyukai istilah geografis yang lebih murni: Indonesia, yang merupakan sinonim pendek dari kepulauan Hindia,” tulisnya.
Sebelumnya, wilayah yang kini dikenal sebagai Indonesia ini memiliki beragam nama. Dalam kitab Jataka, manuskrip kuno India, kawasan ini disebut dengan nama Suvannabhumi (tanah emas). Sementara dalam kitab Ramayana, ia disebut sebagai Yavadvipa (tanah perak dan emas) dan juga Suvarnadvipa (tanah emas).
Tak hanya di India, negeri yang kelak bernama Indonesia ini pun sudah muncul dalam literatur kuno bangsa-bangsa Eropa. Kepulauan ini muncul pertama kali dalam buku navigasi Periplous tes Erythras yang di tulis Strabodan Plinius. Juga muncul dalam buku Geographike hyphegesis karya Claudius Ptolomaeus yang terbit pada 2 Masehi.
Buku terakhir  ini mencatat tempat bernama Argryre Chora (negri perak), Chryse Chore (negri emas), Chryse Chersonesos (semenanjung Emas). Dalam buku yang sama, tercantum pula iaba-diou (iaba=yawa, diou=dvipa=pulau). Istilah “iaba” ini sangat mirip dengan “yawa” yang ditemukan pada prasasti Cangal, Jawa Tengah.
Antara 320 dan 455 Masehi, literature kuno Hindu menggunakan istilah Dvipantara untuk menamai kawasan yang kelak dikenal sebagai Indonesia ini. Dvipa berarti kepulauan. Jadi, dvipantara berarti kepulaun yang berada di antara anak benua India dan Cina. Pada masa terpaan pengaruh India yang besar di Jawa, Dvipantara di terjamahkan menjadi Nusantara.
Istilah ini sebenarnya sangat populer. Kitab sejarah Malaya, misalnya, menyebut kawasan ni dengan Nusa Tamara. Sementra Manuel Elgodinho de Eredia, kartografer terkemuka Portugis. Mengunakan nama Nusantara dalam peta dunia yang di terbitkannya pasa 1610. Tetapi, secara politis, istilah ini kemudian harus memberi tempat bagi istilah ’’Indonesia”.
Sejak di populerkan oleh Profesor Adolf Bastian dari Universitas Berlin dalam Indonesien oder die Inseln des Malayichen Archipels (1884), istilah Indonesa menjadi pilihan para intelektual untuk menggantikan ’’Hindia Belanda’’. Indische Vereeniging  mengklam sebagai organsasi pertama yang menggunakan kata Indonesia dalam pengertian politk setelah berganti nma menjadi Indonesische Vereeniging pada 1908.
Perlahan-lahan, kata Indonesia mulai menjadi pilihan identitas diri bagi warga negeri jajahan Belanda di Nusantara. Pada November 1917, nama Indonesia, misalnya telah  dipakai oleh organisasi pelajar atau mahasiswa Indonesia, peranakan Tionghoa, Indo-Belanda yang belajar di Belanda, Indonesisch Verbond van studerenden.
Setahun kemudian Soewardi Soerjanimgrat mendirikan Indonesisch Persbure, sewaktu ia di buang di Den Haag. Kegiatan kantor berita ini dibidang penerbitan brosur, monograf, dan mengadakan ceramah. Pemakaian ’’Indonesa’’ sebagai penggunaaan istilah ’’Hindia-Belanda’’ diformulasi secara tegas oleh Soewardi Surjaningrat pada peringatan ke-10 Budi Utomo di Amsterdam, Mei 1918.
Sejak itu, pemakaian “Indonesia” sebagai penanda sebuah bangsa tak lagi bisa dibendung. Pada 1926, Mohammad Hatta selaku Ketua Perhimpunan Indonesa (organisasi yang sebelumnya bernama Indonesische Vreeniging) memipin delegasi ke Konggres Demokrasi Intelektual untuk Perdamaian di Briville, Prancis. Tujuannya, antara lain, memperkenalkan nama “Indonesia”.
Tanpa banyak pertentangan, “Indonesia” secara resmi diakui oleh Kongres. Artinya, sejak saat itu, nama “Indonesia” untuk menyebutkan wilayah Hindia-Belanda telah benar-benar di kenal oleh klangan organisasi Internasional. Tapi, proses menumbuhkan kesadaran akan “Indonesia” adalah proses yang lebih dalam dari sekedar munculnya pengakuan Internasional.
Boleh jadi, tak ada yang lebih tepat dari Soekarno dalam menggambarkan proses pencarian penduduk Nusantara yang menemukan “Indonesia” sebagai nama diri yang indah.
“Ketika kami merasa perlunya menggabungkan pulau-pulau kami menjadi satu kesatuan yang besar, kami memegang teguh nama ini dan mengisinya dengan pengertian-pengertian politik, Sehingga ia pun menjadi pembimbing dari kepribadan nasional kami …. Bila mendengar anak-anak tertawa, akan mendengar Indonesia. Manakala aku menghirup bunga-bunga, berarti aku sedang menghirup Indonesia. Inilah arti Tanah Air bagiku”. Tetapi kini, 59 tahun sejak bangsa Indonesia lahir, masikah “Indonesia” bisa dimaknai seindah itu? Bukankah tak lagi bisa dimungkiri bahwa setelah merdeka, bangsa ini mengalami berbagai proses yang mencabik-cabik makna Indonesia. Untuk apa orang Aceh menjadi bangsa Indonesia kalau terus di gebukin? Untuk apa menjadi Indonesia kalau terus dimiskinkan? Untuk apa?
Perlahan , kata Indonesia mengalami pemaknaan baru. Indonesia menjadi wakil sesuatu yang “kalah, lesu, dan kuyu”. Tetapi, benarkah tak ada lagi peluang untuk memberi makna lain bagi “Indonesia” masa kini? Begitu sulitkah “Indonesia” dimaknai sebagai kata yang menggambarkan “kerja keras, tekad baja, ketekunan, dedikasi, prestasi, dan keunggulan.
Bukankah di masa lalu, bangsa yang sekarang menyebut diri sebagai Indonesia pernah memiliki La Galigo ? bukankah karya sastra  terpanjang dalam sejarah manusia itu bahkan punya kompleksitas alur cerita dan dunia metodologi yang lebih kaya dari Mahabarata sekalipun? Bukankah temuan TE’MPE’  yang tampak sederhana itu menyimpan terobosan ilmu yang  sangat dasyat?
Kami percaya, selalu ada alasan untuk berbangga pada Indonesia. Meskipun selintas tak tampak benar wujud alasan itu !!!!                           

Menggagas Islam Progresif
Ahmad Fawaid Sjadzili, Alumnus Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta

FENOMENA mutakhir yang tergelar di jagat semesta ini memperlihatkan dan menampilkan sebuah fenomena yang cukup mengerikan. Mengerikan, karena kekerasan hampir menjadi potret tunggal yang dipentaskan. Penindasan satu kelompok atas kelompok lainnya juga menjadi tontonan paling dramatis dan santapan sehari-hari. Kemanusiaan tempat keadilan dipertaruhkan pun raib, dan yang bertahan adalah logika rimba, atau apa yang digambarkan Hobbes sebagai homo homini lupus. Agama pun kehilangan elan vital untuk mendakwahkan moralitas perennia-lnya. Alih-alih mengharapkan kedamaian dan keadilan yang menjadi muatan utama agama, malah sebaliknya, sakralitas agama pun dinodai oleh umatnya demi menuruti ambisi sesaatnya. Agama pun, sebagaimana didedahkan Charles Kimball dalam bukunya, When Religion Becomes Evil (Harper San Francisco, 2002), menjadi semacam 'makhluk' menakutkan yang hanya menebar kejahatan (evil). Jika demikian, apa yang dapat diharapkan dari agama dan umatnya? Adilkah menudingkan dan melimpahkan kesalahan pada agama? Bukankah agama-agama, termasuk Islam, sama sekali tidak menuturkan apa-apa, tetapi umatnyalah yang bertindak dan bertingkah? Islam says nothing, muslims do (Omid Safi, 2003).
Di pihak lain, modernitas yang menjanjikan objektivitas ilmu pengetahuan dan universalitas moral dan hukum pun tidak lagi mampu melapangkan impian utopis itu. Apa yang oleh Habermas disebut dengan 'patologi modernitas' menjadi bukti konkret bualan sekaligus arogansi modernitas yang berhasrat menghadirkan 'dunia tak bertepi' dengan segala ketunggalannya. Hibriditas terberangus dan diberangus atas nama universalitas. Demikianlah dunia hadir dengan mengikuti sekaligus menuju kemajuan peradaban Barat modern. Barat ditampilkan sebagai 'wajah agung' peradaban, atau dalam istilah Fukuyama sebagai The End of History. Barat menjadi semacam logosentrisme peradaban.
Dalam perkembangannya, agama kemudian dikawinkan dengan modernitas dengan asumsi bahwa agama compatible dengan modernitas. Agama kemudian ditarik dan diulur mengikuti logika modernisme berikut derivasinya, liberalisme. Munculnya apa yang dikenal dengan Islam liberal, misalnya, merupakan aktualisasi perkawinan tersebut. Dengan mendengungkan slogan-slogan demokrasi dan slogan-slogan gagah lainnya, Islam liberal berhasil mewarnai, atau lebih tepatnya memoles, modernisme berikut idiom-idiom yang terkandung di dalamnya dengan Islam. Hasilnya, jadilah Islib sebagai Islamic vaneer yang hendak melapisi modernisme dan liberalisme dengan Islam.
Sementara di pihak lain, persoalaan umat menjadi 'komoditas intelektual' yang hanya diperbincangkan di kafe-kafe yang jauh panggang dari api. Perbincangan yang bernuansa elitis dan intelektualis ini belum menyentuh 'persoalan sesungguhnya' (real problem) umat yang begitu menderita akibat struktur dan kultur yang tidak adil. Ketidakadilan struktural dan kultural itulah yang ingin dijamah 'Islam progresif' sekaligus menjadikan beragam problem sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang mendera umat sebagai locus theologicus-nya.
Epistemelogi Islam progresif
Kehadiran genre baru Islam yang kemudian mengidentifikasi dirinya sebagai Islam progresif ini dilatari oleh ketidakpuasan epistemis terhadap kelompok-kelompok Islam semisal tradisionalisme konservatif dan rejeksionisme. Kalau yang pertama secara membabi buta mengekor pada masa lalu sebagai masa gemilang yang tak dapat dibantah dan digugat, yang kedua malah secara gegabah menolak (reject) segala sesuatu yang berbau masa lalu, bahkan berupaya menampik --sebagaimana paradigma modernis--kehadiran beragam aliran dan madzhab. Pada dua model ini, historisitas tidak lagi dihargai dan berharga. Realitas hanya milik masa lalu, atau sebaliknya, hanya milik masa kini. Dan, Islam progresif berupaya menampik dua kecenderungan tersebut, yang sebenarnya, sama-sama ahistoris.
Progresif, sebagaimana ditunjukkan Omid Safi dalam buku Progressive Muslims on Juctice, Gender, and Pluralism (Oneworld, 2003), merujuk pada upaya memperjuangkan keadilan dan tidak ada lagi penguasaan individu atau kelompok yang satu pada individu atau kelompok lainnya dan masing-masing memiliki hak dan ruang yang sama untuk mengaktualisasikan perannya. Dengan demikian, perjuangan ini lebih diarahkan pada wilayah aksi atau praksis ketimbang perbincangan kritis di hotel-hotel yang itu tidak lebih sebagai bentuk 'bualan akademik' (academic illusion) yang sama sekali tidak membumi. Selain itu, Islam progresif tidak hanya memikirkan Alquran dan kehidupan Muhammad sebagai pijakannya, melainkan juga realitas yang tergelar dan umat manusia melakoni kehidupannya. Ini penting karena dengan mencermati realitas konkret dan tantangan yang dihadapi umat kita diharapkan mampu menuntaskan carut-marut dan problem kehidupan umat manusia secara keseluruhan.
Pada level wacana, Islam progresif memberikan perhatian yang cukup besar pada persoalan-persoalan yang meliputi 'penghargaan terhadap tradisi' (engaging tradition), keadilan sosial (social justice), keadilan gender (gender justice), dan pluralisme. Dalam konteks penghargaan terhadap tradisi, Islam progresif berusaha mengawinkan beragam tradisi, termasuk tradisi Islam, yang demikian kaya yang membentang dari masa lalu hingga kini. Kegagalan membaca Islam adalah karena kita melupakan masa lalu. Padahal, dengan menyelami masa lalu secara kritis, kita dapat melampauinya dengan mengusulkan formulasi-formulasi baru yang lebih segar sesuai dengan tantangan masanya sekaligus lebih mendekati jantung persoalan umat. Bukankah setiap tradisi, termasuk tradisi Islam, merupakan tradisi yang terus berproses untuk menjadi (tradition-in-becoming)?
Keadilan sosial dan keadilan gender juga menjadi fokus perhatian gerakan Islam progresif ini. Pesan-pesan Alquran yang mendesakkan pentingnya keadilan dan berbuat baik untuk semua (QS.16:90) tanpa membedakan jenis kelamin, asal-usul ras, agama, dan etnik tertentu sejatinya diterjemahkan dan ditransformasikan dalam kerangka aksi. Struktur, kultur, dan otoritas yang menindas yang ditampilkan para 'firaun baru' (new pharanoic) dengan segala upaya dehumanisasinya harus dengan segera dilawan.
Selain itu, pluralisme --yang juga menjadi konsentrasi gerakan Islam progresif--belum secara masif disadari oleh umat manusia. Penindasan dan kekerasan yang dilakukan satu kelompok atas kelompok lainnya dengan mengusung simbol otoritas dan agama tertentu belum juga ada tanda-tanda berakhir. Raibnya kesadaran akan pluralisme ini ditengarai menjadi salah satu faktor penyebabnya. Oleh karena itu, sudah saatnya bagi kita untuk mendengungkan kemanusiaan, the totality of humanity, dengan mengabaikan segala bentuk perbedaan dan keunikannya.
'Quo vadis?'
Jika demikian kenyataannya, mungkinkah kehadiran Islam progresif bisa dijadikan alternatif pemikiran dan action sekaligus? Islam progresif, sebagaimana dinyatakan Omid Safi, tidak mendakwakan diri sebagai model pembacaan dan gerakan yang kanonik. Islam progresif hadir sebagai bentuk pertukaran gagasan yang terus berubah dan berkembang sekaligus pengakuan terhadap spektrum interpretasi terhadap pengalaman Islam dan umatnya yang demikian kaya.
Dengan mengusung dan membumikan gagasan-gagasan besar semisal keadilan sosial dan pluralisme, gerakan Islam progresif mengidentifikasi diri sebagai gerakan yang tidak hanya bergagah-gagah dengan slogan yang sebenarnya tak bergereget, tak bermakna, meaningless. Slogan-slogan yang lebih berkesan apologetik ketimbang memberikan solusi konkret itulah yang hendak dilampaui (beyond apologetics) oleh gerakan ini. Pesan-pesan agama tidak perlu dislogankan dan dipamfletkan seolah-olah problem umat manusia yang demikian kompleks dengan mudah dituntaskan dengan slogan-slogan dan brosur-brosur. Persoalan-persoalan umat harus diselesaikan dengan melibatkan diri secara aktif dalam kehidupan riil mereka. Dengan demikian, Islam progresif tidak hanya menawarkan dan mengobral gagasan-gagasan dan program-program, melainkan yang terpenting adalah aplikasi praksis dalam menggapai keadilan. Shafi menandaskan, "Vision and activism are both necessary. Activism without vision is doomed from the start. Vision without activism quickly becomes irrelevant". Dengan memadukan dimensi visi dan aktivisme sekaligus, Islam progresif hadir dalam wajah yang populis, merakyat, dan jauh dari kesan elitis, intelektualis, dan utopis.***


Gerakan Modernisme Islam di Indonesia 
Syafruddin Azhar : Pemerhati sosial-keagamaan; Editor IB van Hoeve Jakarta
 
PADA akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, dunia Islam menghadapi Munculnya gerakan modernisme. Gerakan modernisme Islam pada dasarnya berusaha menyesuaikan ajaran Islam dengan perkembangan modern. Gerakan ini berawal dari Timur Tengah lalu menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam, termasuk di Kepulauan Nusantara. Gejala modernisme Islam di Nusantara dapat dilihat sebagai gerakan pembaruan Islam. Akar pembaruan Islam di Nusantara sesungguhnya sudah dimulai pada abad ke-17, yang dimotori tiga ulama intelektual besar, yakni Nuruddin ar-Raniri, Syekh Abdur Rauf Singkel, dan Muhammad Yusuf Makassar. Tokoh ulama intelektual abad ke-19 yang membawa gerakan modernisme di Nusantara adalah Syekh Ahmad Khatib Minangkabau.
Pemikiran pembaruan Islam di Nusantara kembali mengemuka pada era 1970-an, yang antara lain dimotori Nurcholish Madjid, Munawir Sjadzali, Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Dawam Rahardjo, Ahmad Syafi'i Ma'arif (Al-Munawar, 2001). Mereka --sebagai intelektual modern-- berperan dalam peningkatan kualitas atau pencerahan kajian keislaman di Indonesia, serta menyumbangkan pembentukan pemikiran dan gagasan pemahaman keagamaan baru. Tokoh-tokoh pembaruan pemikiran Islam era 1970-an ini sangat berjasa bagi pengembangan etos ilmiah dan pendorong gerbong pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Mereka adalah sebagian dari intelektual Indonesia yang posisinya menjadi inner power atau kekuatan intelektual umat Islam --yang sangat berjasa dalam menumbuhkan tradisi pemikiran 'Islam rasional' dan Islamic studies-- sebagai pusat unggulan di Indonesia.
Tampilnya Nurcholish Madjid (Cak Nur) di pentas pemikiran pembaruan Islam pada era 1970-an menandai bangkitnya tradisi intelektualisme Islam Nusantara di penghujung abad ke-20 oleh modern intellectual sebagai reviving effects --Taufik Abdullah (2002) menyebutnya sebagai keinginan 'membangkitkan batang terendam'-- dari mata rantai tradisi intelektualisme Islam Nusantara yang terputus. Cak Nur ketika itu sangat menonjol di antara intelektual muda. Ia melontarkan gagasan mengenai modernisasi dan sekularisasi pemikiran Islam, yang kemudian terkenal dengan slogan Islam Yes, Partai Islam No. Sejak masa itu, kajian keislaman tidak lagi terbatas pada persoalan normative keagamaan, tetapi juga pemikiran yang mengaitkan ajaran Islam dengan berbagai persoalan sosial kontemporer dan kemanusiaan seperti isu masyarakat madani, demokrasi, HAM, keadilan, gender, dan pluralisme. Pengayaan pendekatan dalam memahami Islam sejak saat itu melahirkan wacana baru dalam pemikiran keislaman yang semakin luas dan beragam. Yang juga merupakan reaksi terhadap pemikiran Barat seperti sekularisme, radikalisme, fundamentalisme Islam, komunisme sebagai 'musuh bersama', nasionalisme yang chauvinistic, dan eksploitasi manusia yang berlebihan. Wacana baru ini ikut membuka khazanah intelektualisme, etos ilmiah, pemerataan pendidikan, peningkatan sumber daya manusia, dan penghargaan atas hak-hak dasar kemanusiaan. Dalam konteks situasi bangsa Indonesia sekarang ini, dimensi intelektual dan kemanusiaan semacam ini menjadi sangat penting. Terlebih ketika Indonesia berada dalam krisis multidimensi –kumulasi dari krisis finansial, ekonomi, dan politik-- yang mem-blow-up dan bahkan krisis moral. Para intelektual muslim Nusantara selama berabad-abad telah menyumbangkan pemikiran yang berarti bagi perkembangan Islam. Karya-karya mereka telah memberi warna yang amat berarti bagi pergumulan pemikiran keislaman. Islam dan perubahan zaman Umat Islam kini seolah dihadapkan pada realitas dilema yang kompleks --antara das Sein dan das Sollen-- dengan sekian banyak pertanyaan beruntun dan saling berkaitan. Dinamika Islam abad ke-21 bagi kalangan Barat dianggap sebagai public enemy setelah runtuhnya komunisme, yang oleh Francis Fukuyama, penulis The End of History and the Last Man, menyebutnya sebagai 'pungkasan sejarah' peradaban itu sendiri. Sejarah memasuki peradaban baru dengan pasar bebas sebagai doktrin kapitalisme yang keluar menjadi pemenangnya. Dari sinilah kesan Islam sebagai antitesa kapitalisme mulai membias sebagai sebuah fenomena global. Islam kemudian dijadikan musuh bersama, menggantikan komunisme yang kehilangan raison d'etre-nya. Bagaimana Islam sesungguhnya? Islam adalah 'agama perdamaian', tetapi mengapa dengan mudah dianggap sebagai agama yang melahirkan terorisme? Mengapa dengan mudah orang melihatnya sebagai pasangan antagonistik Barat dalam apa yang disebut Samuel P Huntington sebagai clash of civilizations? Padahal, Islam adalah sebuah agama yang sangat heterogen yang tidak menyepakati kehadiran sebuah lembaga pemilik otoritas atas interpretasi doktrin. Antitoleransi dan fundamentalisme adalah salah satu bentuk pilihan bagi kalangan muslim, tetapi Islam tetap harus menjawab persoalan sekularisme dan kebutuhan terhadap toleransi antaragama, seperti terlihat dari gejolak reformasi yang sedang menggelora di negara penganut toleransi seperti Iran.
Salah satu implikasi dari pendapat ini adalah keniscayaan bahwa Serangan teror 11 September 2001 lalu, dan reaksi balik koalisi internasional Yang dipimpin Amerika Serikat harus dilihat sebagai bagian dari benturan Antara peradaban Islam dan Barat. Dalam konteks ini benar prognosis yang dikemukakan oleh Karen Armstrong (2001), bahwa benturan itu akan sangat mengerikan dan membahayakan. Implikasi lain adalah bahwa apa yang dinilai
Barat sebagai hak asasi manusia (HAM) yang universal hanyalah produk lanjutan dari kebudayaan Eropa, yang tidak dapat diterapkan pada kebudayaan lain yang tak memiliki tradisi serupa.***

Orientalis Terbalik
Oleh Luthfi Assyaukanie

SEORANG aktivis Islam pernah mengatakan bahwa pluralisme bertentangan dengan semangat ajaran Islam. Di mata aktivis yang berafiliasi pada sebuah lembaga dakwah di Tanah Air ini, Islam jelas-jelas ber-sikap tegas dan keras terhadap kaum non-muslim. Kata dia, gagasan pluralisme hanya akan membuat Islam semakin lemah.
Seorang pemimpin Islam lainnya, yang mengetuai sebuah gerakan Islam yang belakangan sering disorot media, juga menegaskan: demokrasi tak sesuai dengan Islam. Sebab, sistem ini ciptaan manusia dan karenanya bertentangan dengan ajaran Islam, yang sepenuhnya berasal dari Allah. Ada juga tokoh Islam lainnya yang mengatakan bahwa sekularisasi bertentangan dengan Islam.
Mereka semua bisa disebut berpandangan orientalisme terbalik (al-istisyraq al-ma'kus, orientalism in reverse). Istilah ini pertama kali digunakan oleh Sadik Jalal al-Azm, intelektual Suriah. Al-Azm memakainya untuk mengkritik Edward Said dan bukunya, Orientalism, yang menurut dia-sama seperti kaum orientalis-berangkat dari prasangka budaya dan penjelasan reduksionis. Oleh beberapa intelektual Arab lainnya seperti Dr. Mona Abaza, istilah "orientalisme terbalik" lalu dipakai untuk melihat gejala serupa pada para tokoh Islam yang anti-pembaruan.
Seperti para orientalis, mereka menganggap Islam tak sejalan dengan demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, dan sekularisasi. Islam agama unik yang berbeda dengan agama-agama dunia lainnya. Islam tak bisa disamakan dengan agama lain, khususnya Kristen, yang bisa menerima konsep-konsep modernitas.
Saya kira fenomena orientalis terbalik tak hanya terjadi di dunia Arab. Di Indonesia, para orientalis terbalik juga semakin mewabah. Mereka memang bukan orientalis dalam pengertian sesungguhnya, yakni ahli dari Barat yang mengkaji masalah-masalah ketimuran dan keislaman. Tapi, seperti orientalis, mereka ahli masalah keislaman dan membela secara membabi-buta autentisitas Islam.
Bagi para orientalis Barat, Islam yang sesungguhnya adalah Islam yang arkaik, Islam yang punya aura arkeologis, yang eksotis, yang lampau. Sedangkan Islam yang baru adalah bukan Islam, seperti diungkapkan Lord Cromer, komisionaris Inggris di Mesir, "Islam reformed is Islam no longer." Pun bagi sebagian pemimpin Islam, Islam yang benar hanya satu, yakni Islam yang autentik, Islam yang orisinal, Islam masa silam. Islam modern adalah Islam palsu, Islam yang jauh dari autentisitas.
Lalu, apa bedanya para aktivis dan tokoh Islam itu dengan Donald Eugene Smith, ahli India dan Islam? Mereka juga menyebut sekularisasi dan sekularisme sebagai konsep yang bertentangan dengan Islam dan karenanya "tidak relevan berbicara sekularisme dalam Islam" (Smith, India as a Secular State, 1963). Apa bedanya para tokoh Islam itu dengan Samuel Huntington, pengamat politik asal Harvard? Dia pernah bilang, Islam adalah sebuah anomali dari demokrasi Barat (Huntington, The Clash of Civilizations, 1993).
Para orientalis beneran yang secara membabi buta menyerang Islam tak punya dasar yang cukup kuat dari sisi historis dan sosiologis. Demikian pula para orientalis terbalik. Mereka pasti menolak argumen sosiologis dan historis. Sebab, menurut mereka, hal ini bertentangan dengan autentisitas Islam. Tapi, tentu saja kelemahan dari penolakan itu adalah meletakkan Islam dalam ruang hampa. Mengandaikan Islam selalu orisinal, antik, dan autentik sama artinya dengan membuang sebagian besar sejarah Islam.
Mereka tak bisa menjelaskan bagaimana unsur-unsur sekuler berkelindan dalam peradaban Islam pada rentang sejarah yang panjang. Bagaimana menjelaskan realitas sosiologis umat Islam modern yang berusaha menerapkan konsep-konsep baru yang di dalam "Islam autentik" tak pernah disebutkan?
Saya cenderung meyakini realitas sosiologis dan historis sebagai upaya umat Islam menafsirkan ajaran-ajaran Islam yang progresif dan dinamis. Realitas sosiologis dan historis merupakan tafsir hidup terhadap Islam autentik yang ada dalam imajinasi setiap kaum muslim.
Tak ada yang salah dari realitas sosiologis. Ketika sebuah negara muslim berusaha menerapkan demokrasi, menjunjung tinggi pluralisme, dan mengakui deklarasi hak asasi manusia, ini tidak serta-merta negara tersebut sedang menjauh dari autentisitas (al-ashalah). Upaya ini merupakan sebuah tafsir terhadap "Islam autentik" dan sebuah upaya untuk selalu menjaga-apa yang disebut oleh Muhammad Iqbal, filsuf asal Pakistan-prinsip dinamika Islam.
Para orientalis terbalik menganggap bahwa sejarah merupakan mata rantai deviasi terhadap autentisitas dan terhadap Islam klasik. Ia tak akan pernah menjadi model ideal bagi umat Islam. Sejarah adalah kumpulan penyimpangan terhadap apa yang sudah digariskan oleh al-sabiquna al-awwalun (orang-orang pertama dulu) dan al-salaf al-shalih (orang-orang salih). Saya kerap merasa, orientalis sungguhan dan orientalis terbalik sama-sama berbahaya bagi keberlangsungan modernisme Islam.

Penulis adalah Dosen Universitas Paramadina,
 kini tengah menyelesaikan progam Ph.D di Universitas Melbourne,

"Meluruskan" Sejarah Masuknya Islam di Nusantara

Judul: Islam Sufistik: "Islam Pertama" dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia, Penulis: Dr Alwi Shihab, Penerbit: Mizan, April 2001, Tebal: (xxviii + 320) halaman.

SESUNGGUHNYA "Islam nontoleran" atau "Islam berwajah sangar" tidak memiliki akar sejarah yang kukuh di Indonesia. Justru sebaliknya, Islam sufistik atau Islam tasawuf yang lembut, yang mula-mula berkembang dan mewarnai Islam di Indonesia pada tahap-tahap awal.Tesis itulah yang ingin dielaborasi oleh Dr Alwi Shihab lewat buku ini. Menurut Shihab, hampir mayoritas sejarawan dan peneliti mengakui bahwa penyebaran Islam yang berkembang secara spektakuler di negara-negara Asia Tenggara berkat peranan dan kontribusi tokoh-tokoh tasawuf.
Hal itu disebabkan oleh sifat-sifat dan sikap kaum sufi yang lebih kompromis dan penuh kasih sayang. Tasawuf memang memiliki kecenderungan yang tumbuh dan berorientasi kosmopolitan, tak mempersoalkan perbedaan etnis, ras, bahasa, dan letak geografis. (hlm 13)
Itulah sebabnya misionarisasi yang dilakukan kaum sufi berkembang tanpa peran. Keberhasilan itu terutama ditentukan oleh pergaulan dengan kelompok-kelompok masyarakat dari rakyat kecil dan keteladanan yang melambangkan puncak kesalehan dan ketekunan dengan memberikan pelayanan-pelayanan sosial, sumbangan, dan bantuan dalam semangat kebersamaan dan rasa persaudaraan murni.
Kaum sufi itu ibarat pakar psikologi yang menjelajahi segenap penjuru negeri demi menyebarkan kepercayaan Islam. Dari kemampuan memahami spirit Islam sehingga dapat berbicara sesuai dengan kapasitas (keyakinan dan budaya) audiensnya itulah, kaum sufi kemudian melakukan modifikasi adat istiadat dan tradisi setempat sedemikian rupa agar tidak bertentangan dengan dasar-dasar Islam.
Dengan kearifan dan cara pengajaran yang baik tersebut, mereka berhasil membumikan kalam Tuhan sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW.
Misalnya, mengalihkan kebiasaan "begadang" penduduk yang diisi dengan upacara ri-tual tertentu, saat itu menjadi sebuah halaqah zikir. Dengan kearifan serupa, para dai membolehkan musik tradisional gamelan yang merupakan seni kebanggaan kebudayaan klasik Indonesia dan paling digemari orang Jawa untuk mengiringi lagu-lagu pujian kepada Nabi Muhammad SAW.
Maka tak salah bila HAR Gibb menyebut keberhasilan metode dakwah pembauran yang adaptif dan bukan konfrontatif itu sebagai keberhasilan paling spektakuler di kawasan Asia Tenggara. (hlm 40)

***

SEMULA buku ini merupakan disertasi doktoral Alwi Shihab di Universitas 'Air Syams, dengan judul: Al-Tashawwuf Al-Islami wa Atsaruhu fi Al-Tashawwuf Al-Indunisi Al'Mu' ashir. Dengan menggunakan pendekatan analisis historis komparatif, buku ini hendak merevisi berbagai penelitian orientalis yang selama ini sudah kadung dianggap "primbon tanpa lubang cela", seperti tulisan Marcopollo, AH Jhons, Winsendt, dan Snouck Hur-gronje.
Misalnya saja pertanyaan tentang kapan persisnya Islam pertama kali masuk ke Indonesia? Sebagian besar orientalis berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 H dan 13 H.
Pendapat itu didasarkan pada dua asumsi: pertama, bersamaan dengan jatuhnya Baghdad pada 656 M di tangan penguasa Mongol yang sebagian besar ulamanya melarikan diri hingga ke Kepulauan Nusantara, kedua, ditemukannya beberapa karya sufi pada abad ke-7 H.
Menurut Alwi Shihab, asumsi itu tak bisa diterima. Bagi dia, justru Islam pertama kali masuk ke Nusantara pada abad pertama Hijriyah. Yakni, pada masa pedagang-pedagang sufi-Muslim Arab memasuki Cina lewat jalur laut bagian barat.
Kesimpulan itu didasarkan Alwi pada manuskrip Cina pada periode Dinasti Tang. Manuskrip Cina itu mensyaratkan adanya permukiman sufi-Arab di Cina, yang penduduknya diizinkan oleh kaisar untuk sepenuhnya menikmati kebebasan beragama.
Cina yang dimaksudkan da-lam manuskrip pada abad pertama Hijriyah itu tiada lain adalah gugusan pulau-pulau di Timur Jauh, termasuk Kepulauan Indonesia. (hlm 6)
Dari laporan jurnalistik Cina itu pula kita mendapati informasi baru bahwa ternyata jalur penyebaran Islam mula-mula di Indonesia bukanlah dari tiga jalur emas (Arab, India, dan Persia) sebagaimana tertulis dalam buku-buku sejarah selama ini, melainkan dari Arab langsung.
Itu seperti dinyatakan kedua orientalis terkemuka, GH Niemn dan PJ Velt bahwa orang-orang Arab-lah pelopor pertama memperkenalkan Islam di Kepulauan Nusantara. Yakni dari keturunan Ahmad ibn Isa al-Muhajir Alawi. (hlm 24)
Tasawuf sunni versus tasawuf falsafi
Namun dalam sejarah, seperti dicatat Alwi Shihab, Islam tasawuf sendiri tidak sepi konflik, khususnya antara tasawuf sunni dan tasawuf falsafi, tatkala pada akhir abad ke-6 H bermunculan tarekat-tarekat yang sebagian besar mulai mengorientasikan pandangannya pada fiqih dan syari'at.
Tasawuf sunni dengan tokoh pertamanya yang menonjol, Ar-Raniri, menolak dan mencela tasawuf falsafinya Hamzah Fansuri. Dengan fatwa yang menyeramkan ia menjatuhkan veto kafir atas ajaran Fansuri.
Menurut Ar-Raniri, tasawuf falsafi tak lebih sebagai ajaran kebatinan dan kejawen, dan bahkan Nasrani yang berbaju Islam.
Dalam babakan sejarah peradaban Islam awal, tasawuf falsafi tak ubahnya anak haram; selalu dikejar-kejar dan disingkirkan seperti anjing kurap penyebar virus berbahaya bagi akidah. Puncak dari perseteruan itu tatkala Sitti Jenar dieksekusi mati oleh dewan wali (Wali Songo) karena dianggap telah keluar dari rel ajaran Islam murni.
Benarkah tasawuf falsafi telah menyimpang? Tampaknya tidak. Dari sinilah kita melihat bagaimana Alwi Shihab dengan jenial dan piawai melakukan rangkaian pembelaan dan anotasi kesalahan persepsi Ar-Raniri atas ajaran tasawuf Fansuri.
Menurut Alwi, Ar-Raniri menyerang Fansuri dengan tidak mengikuti pendekatan "ilmiah obyektif" melainkan cara-cara propaganda apologetik. Ia menghujat penganut tasawuf falsafi sebagai murtad yang kemudian dihalalkan darahnya dan menyebabkan jatuhnya ribuan korban yang tak berdosa.
Adalah benar, kata Alwi, Ar-Raniri cukup berjasa dalam menancapkan akar tasawuf sunni, tetapi jasa baik itu tak lantas membuat kita menutup mata dari kesewenang-wenangan fatwanya yang menyeramkan. (hlm 264)
Kesalahan fatal penganut tasawuf sunni adalah kesimpulan mereka bahwa ajaran Ronggowarsito merupakan diaspora dari tasawuf falsafi. Padahal dalam karya-karya sosok yang disebut-sebut Bapak Kebatinan Indonesia ini, seperti Suluk Jiwa, Serat Pamoring Kawula Gusti, Suluk Lukma Lelana, dan Serat Hidayat Jati, yang sering diaku-aku Ronggowarsito berdasarkan kitab dan sunnah, menyimpan beberapa kesalahan tafsir dan transformasi pemikiran yang sangat mencolok.
Bahkan, Alwi menemukan bahwa Ronggowarsito hanya mengandalkan terjemahan buku-buku tasawuf dari bahasa Jawa dan tidak melakukan perbandingan dengan naskah asli bahasa Arab. Lagi pula Ronggowarsito sendiri belum pernah bersentuhan langsung dengan karya-karya Al-Hallaj maupun Ibn 'Arabi yang merupakan maestro tasawuf falsafi.
Boleh dibilang Ronggowarsito memang tak berhasil memahami ajaran "murni" tasawuf. (hlm 266)
Maka bagi Alwi adalah aneh bila tasawuf falsafi dipresepsi sebagai aliran kebatinan dalam ajaran Hindu dan Buddha, seperti dituduhkan kalangan tasawuf sunni. Justru, seperti pengantar yang ditulis KH Abdurrahman Wahid untuk buku ini, reaksi atas perkembangan tasawuf falsafi yang rasional inilah orang Jawa mengembangkan kebatinan, doktrin-doktrin yang sinkretik, yang justru bisa diatasi ketika ajaran "panteisme" Al-Hallaj masuk lewat perantaraan Sitti Jenar. (hlm xxvi)
Belum lagi doktrin-doktrin wahdah al wujud Ibn 'Arabi dan ilmu hudhuri (iluminasi) Suhrawardi, yang juga menjadi rujukan utama tasawuf falsafi, mampu menampung kebutuhan sementara kaum kebatinan atau kaum sinkretik Hindu dan Buddha.
Oleh karena itu, sungguh tak arif rasanya bila kemudian kita mengatakan bahwa perkembangan tasawuf sunni merupakan satu-satunya variabel yang menyemarakkan aktivitas keagamaan di Nusantara. Kita juga harus menerima bahwa orang-orang berpaham kebatinan yang merupakan tetesan penerus tasawuf falsafi yang dibawa Al-'Arabi dan Al-Hallaj dan diperkenalkan Fansuri dan Sitti Jenar sebagai bagian dari penyebaran Islam.

***

KARYA Alwi Shihab ini boleh dibilang sebagai karya paling brilyan dan tajam untuk merevisi berbagai penyimpangan manuskrip sejarah tentang masuknya Islam pertama di Nusantara. Selain itu sungguh buku ini merupakan rekaman sejarah "obyektif" yang belum ada duanya tentang perseteruan tasawuf berorientasi fiqih (tasawuf sunni) dengan tasawuf rasional (falsafi) yang selama ini masih kabur.
Oleh karena itu, buku ini penting untuk dibaca oleh siapa saja, terutama para sejarawan (Islam), peneliti, terlebih lagi para pendidik (sejarah) di sekolah Islam maupun umum, agar sejarah yang diajarkan adalah yang benar, "bersih", dan mencerahkan. Sebab, hanya dari sejarah yang tertutur secara benar pulalah yang nantinya bisa menjadi obor risalah bagi keberlanjutan peradaban manusia.

0 comments: