Jilbab; Antara Kesucian dan Resistensi
Wacana publik tentang jilbab seringkali
berputar-putar pada pertanyaan: Apakah ia sebuah ekspresi kultural Arab ataukah
substansi ajaran agama; Apakah ia sebuah simbol kesalehan dan ketaatan seseorang
terhadap otoritas agama ataukah simbol perlawanan dan pengukuhan identitas
seseorang? Banyak feminis “beraliran” Barat memandangnya sebagai sebuah
bias kultur patriarkhi serta tanda keterbelakangan, subordinasi dan penindasan
terhadap perempuan. Fatima Mernissi, misalnya, menggugat bahwa jilbab hanya
menjadi penghalang yang menyembunyikan kaum wanita dari ruang publik (Pemberontakan
Wanita: 1996). Tapi di sisi lain, jilbab dianggap sebagai pembebas dan
ruang negosiasi perempuan.
Pada titik ini, jilbab sebenarnya masuk pada arena
kontestasi —sebuah permainan makna dan tafsir. Relasi-kuasa bermain dan saling
tarik antara kalangan agamawan normatif dan feminis liberal; antara
atas nama kepentingan norma (tabu, aurat, kesucian, dan privasi) dan atas nama
kebebasan perempuan (ruang gerak, persamaan dll).
Menurut penelitian Stern (1939a: 108), “Nabi Muhammad tak memperkenalkan
kebiasaan berjilbab.” Hansen juga berpendapat (1967: 71), “pemingitan dan
jilbab merupakan fenomena asing bagi masyarakat Arab dan tak diketahui pada
masa Nabi.” Asal-usul jilbab dibahas oleh banyak orang pada tahun 1970-an dan
1980-an (lihat misalnya Marsot 1978: 261-276; Dengler 1978: 229-244; El Guindi
1983: 79-89). Jilbab telah umum diakui keberadaannya di wilayah
Mesopotamia/Mediterania. (Fadwa el-Guindi: 1996). Al-Zarkasyi juga telah mengemukakan bukti bahwa beberapa kota penting di
zaman Romawi dan Yunani sudah menggunakan kostum yang menutupi seluruh anggota
badan, kecuali satu bola mata untuk melihat (al-Zarkasyi: 1970).
Pandangan yang lebih moderat lahir dari seorang penulis Iran, Navabakhsh:
“Semula Alquran sendiri tak menetapkan kapan wanita harus dihijab dari
lingkungan laki-laki. Tak dikenal sebagai suatu fenomena sosial historis pada
masa Nabi. Hijab ketika itu lebih sering diasosiasikan dengan gaya hidup kelas
atas di kalangan masyarakat petani dan para pendatang, yang merupakan tradisi
pra-Islam di Syria dan adat di kalangan orang-orang Yahudi, Kristen, dan
Sasania.” (Mustafa Hashem Sherif: 157).
Kewajiban berjilbab biasanya didasarkan Q.s al-Nur [24]:
31 dan al-Ahzab [33]: 59). Kedua ayat itu melegitimasi kesucian para pemakai
jilbab di ruang privat maupun publik. Sayangnya, jarang sekali diungkap konteks
sosial dibalik turunnya ayat-ayat tersebut. Bagi para mufasir, kedua ayat itu
turun setelah peristiwa fitnah keji terhadap Aisyah. Fitnah perselingkuhan
Aisyah ini sangat menghebohkan umat Islam di Madinah. Fitnah keji itu berakhir
setelah turun ayat Q.s al-Nur: 31, khusus untuk membersihkan nama Aisyah.
Sejak peristiwa itu turun ayat lain yang cenderung
membatasi ruang gerak keluarga Nabi, khususnya dalam Q.s al-Nur dan al-Ahzab di
mana ayat-ayat jilbab itu ditemukan. Dilihat dari konteks ayat-ayat jilbab,
hijab dan kecenderungan pembatasan perempuan, khususnya kepada keluarga Nabi,
seolah merupakan refleksi dari suatu situasi khusus yang terjadi di Madinah
ketika itu.
Riwayat lain mengukuhkan bahwa suasana masyarakat
Madinah ketika itu tak tentram, dalam situasi perang berkepanjangan. Apalagi,
umat Islam saat itu baru saja mengalami kekalahan dalam perang Uhud, yang
membengkakkan populasi janda dan anak yatim. Janda dan anak-yatim-perempuan
ketika itu sering kali menjadi objek pelecehan seksual dari laki-laki nakal.
Hanya kaum perempuan bangsawanlah yang terhindar dari pelecehan itu karena
mereka mengunakan jilbab. Maka, seruan untuk berjilbab pada saat itu adalah
salah satu srategi budaya atau tindakan preventif atas terjadinya pelecehan
terhadap perempuan.
Dalam konteks kekinian, jilbab juga menjadi simbol identitas, status, kelas dan kekuasaan. Menurut
Crawley, misalnya, pakaian adalah ekspresi yang paling khas dalam bentuk
material dari berbagai tingkatan kehidupan sosial sehingga jilbab menjadi
sebuah eksistensi sosial, dan individu dalam komunitasnya (Al Guindi 117). Di
Afrika Utara, jilbab menjadi pembungkam perempuan dalam wilayah publik secara
umum. Namun, kadangkala juga kerap digunakan oleh perempuan pedesaan bepergian
di luar wilayah mereka.” (Sharma 1978: 223-4).
Di Yaman, jilbab sebagai simbol status yang terstratifikasi. Bagi perempuan
bangsawan memakai syarsyaf, jenis jilbab yang terbuat dari
sutera. Sementara perempuan dari status ekonomi yang lebih rendah cenderung
memakai sitara. Makhlouf menyatakan bahwa “jilbab, walaupun jelas-jelas
merupakan pembatasan komunikasi … [dia juga merupakan sebuah simbol] alat
komunikasi … [dan] berjilbab tentunya menciptakan suatu perintang bagi ekspresi
bebas wanita sebagai seorang pribadi … [tapi jilbab juga meningkatkan] ekspresi
diri dan femininitas” (Makhlouf 1979: 31-32).
Lebih dari itu, jilbab juga menjadi simbol pembebasan dan resistensi. Sebagai gerakan resistensi, ia tak hanya
berhenti pada masyarakat Timur Tengah, melainkan terejawantah dalam masyarakat
muslim modern di berbagai belahan dunia. Resistensi adalah sebuah perlawanan
atau strategi untuk mengukuhkan eksistensi seseorang atau suatu komunitas.
Cudjoe dan Harlow mendefinisikan resistensi sebagai sebuah tindakan yang
dirancang untuk membebaskan masyarakat dari penindasnya, dan ia sepenuhnya
memasukkan pengalaman hidup dibawah penindasan itu, yang kemudian menjadi
prinsip estetik yang otonom (Cudjoe dan Harlow: 2000).
Di Aljazair, misalnya, jilbab mempunyai peran penting
dalam proses kemerdekaan negara ini. Kolonial Perancis tidak hanya mengontrol
hukum Islam —perkara-perkara pidana tapi juga menghancurkan kebudayaan mereka—
memberangus adat setempat, dan melarang warga mempelajari bahasa mereka
sendiri. Para pendatang Perancis mendominasi wilayah Aljazair dan memegang
posisi-posisi fungsionaris publik, dan mengontrol pos-pos subordinat di
bawahnya. Strategi lainnya adalah mem-Perancis-kan wanita Aljazair dengan
mencabut akar budayanya. Jilbab menjadi target kolonial untuk mengontrol dan
melepaskan— untuk mempengaruhi wanita Aljazair agar melepaskan jilbabnya dengan
alasan untuk memodernisir Aljazair. Namun, budaya tradisional
Arab–Aljazair memandang keluarga adalah pusat di mana dunia sosial moral itu
berada; wanita adalah pusat identitas sakral keluarga dan penjaga harga diri
dan reputasi keluarga Arab. Keibuan dipandang sakral. Maka, menyerang wanita
Muslim, berarti mendestabilisasikan inti sistem sosial-spiritual dan memperkosa secara literal maupun
figuratif akar budaya mereka. Dan salah satu bentuk perlawanan Aljazair
terhadap apa yang dilakukan oleh Perancis itu adalah memperkuat jilbab sebagai
bagian dari simbol nasional dan kultural perjuangan wanita Aljazair (El Guindi:
1996).
Di tanah air, jilbab tidak hanya dipakai orang tua, tapi juga para remaja,
pekerja di kantor, instansi maupun pemerintahan, para artis, bahkan para
pelacur sekalipun. Tentu, ia pun sarat makna. Di satu sisi, jilbab menjadi
simbol pakaian muslimah santri, terutama yang berasal dari pesantren. Di sisi
lain, ia dijadikan busana yang lazim dikenakan hanya pada momen-momen kerohanian
—salat, pengajian, berkabung, bahkan saat menghadiri pesta pernikahan;
sebaliknya tak dipakai pada berbagai aktivitas kesehariannya.
Pada akhir 1980-an, ribuan mahasiswi dan pelajar berjilbab membanjiri
jalanan di berbagai kota besar. Mereka memprotes kebijakan Mendikbud yang
melarang jilbab di sekolah-sekolah umum. Mereka ingin mengukuhkan identitas
kemuslimahannya dengan mentradisikan berjilbab. Jilbab lebih dari sekadar
kewajiban, tapi simbol kultural yang membedakan komunitas mereka (santri)
dengan komunitas lainnya (abangan dan non-muslim).
Kalangan selebritis sibuk menutupi kepalanya yang biasa terbuka itu dengan
jilbab di bulan Ramadhan. Jelas pemakaian jilbab tak ada hubungan dengan
kesalehan maupun ketaatan beragama. Sebab, begitu bulan suci itu usai,
jilbabnya pun dilepas. Bagi mereka, berjilbab hanyalah tuntutan pasar; strategi
untuk meraup keuntungan material dengan penampakan spiritual.
Begitu pula para pelacur. Di Nangroe Aceh Darussalam, mereka menyembunyikan
identitasnya dengan memakai jilbab (Lily Munir, 2002). Mengingat posisinya
sebagai pekerja seks dalam ruang sosial dianggap hina, kotor, dan melecehkan
moralitas, mereka harus mencari simbol sebagai alibi stereotip itu. Dengan
memakai jilbab, mereka ingin eksistensi dan identitas mereka diakui dan
dihormati di tengah-tengah masyarakat.
Dengan demikian, tidaklah layak jika kita menggeneralisir bahwa perempuan
berjilbab itu berarti suci, sopan, dan saleh. Begitu pula sebalikya, perempuan
tidak berjilbab dicitrakan sebagai perempuan kotor, kurang sopan, dan tidak
taat beragama.
Pendek kata, jilbab secara historis mempunyai banyak makna. Jilbab lebih
dari sekadar cita rasa berbusana religius. Jilbab terkadang tampil sebagai
simbol ideologis dari suatu komunitas tertentu, menjadi fenomena bagi suatu
lapisan elit sosial, menjadi simbol segregasi jender, menjadi simbol komunitas
patriarki, menjadi simbol “keterbatasan” peran wanita, dan lain-lain. Jilbab
adalah sebuah fenomena majemuk, memiliki tingkat-tingkat makna dan beragam
konteks. Persoalan jilbab tak lagi wajib-mubah, haram-halal, etis-tidak etis.
Ia menyiratkan simbol sarat makna dan kepentingan, tergantung siapa
pemakainya[]
Sri Rahayu
Arman, Aktivis FAJAR (Front Advokasi dan Jaringan Perempuan),
Jakarta
0 comments: