Agama dan Budaya
Struktur sosial
sebagai suatu tujuan pendefinisian dan alat operasional telah merupakan
sebagian dari sejumlah perhatian utama antropologi. Bahkan ada sejumlah tokoh
antropologi yang menganggap bahwa struktur sosial adalah satu-satunya perhatian
utama dalam antropologi, sehingga menjadikannya sebagai suatu kekuatan
pendorong bagi pembentukan teori-teori dalam antropologi.
Dalam kenyataannya para ahli antropologi telah
dihadapkan pada suatu tantangan, yaitu memberikan penjelasan mengenai berbagai
konsep yang nampaknya samar-samar tetapi selalu ada dalam setiap sistem sosial
dan kebudayaan, dan bahkan juga terwujud dalam berbagai kegiatan manusia pada
tingkat kenyataan sosial. Oleh para ahli antropologi, sistem-sistem konseptual
yang ada pada berbagai aneka ragam kehidupan manusia dilihat sebagai perwujudan
dari prinsip-prinsip struktur sosial; dan karenanya maka hasil pengkajian
mereka itu menjadi sistem-sistem konseptual dari para ahli antropologi.
Dalam tulisan ini akan saya coba untuk
mengkaji sistem konseptual mengenai struktur sosial dalam kaitannya dengan
agama dan dengan upacara; yaitu dengan cara membahas cara-cara yang telah
dilakukan secara berbeda oleh sejumlah ahli antropologi dalam melihat hubungan
fungsional antara struktur sosial, agama, dan upacara; dan dalam cara mereka
melihat hubungan antara struktur sosial dengan kenyataan sosial. Uraian akan
mencakup pembahasan mengenai: (1) agama sebagai sistem kebudayaan; (2)
kebudayaan sebagai sistem struktur; (3) struktur sebagai sistem antropologi;
dan (4) kesimpulan.
AGAMA SEBAGAI SISTEM KEBUDAYAAN
Karya-karya Clifford
Geertz mengenai agama, kebudayaan, dan upacara, memperlihatkan suatu perspektif
tersendiri berkenaan dengan pengkajian antropologi mengenai sistem-sistem
kognitif dan simbolik. Bagi Geertz, agama merupakan bagian dari suatu sistem
kebudayaan yang lebih meresap dan menyebar luas, dan bersamaan dengan itu
kedudukannya berada dalam suatu hubungan dengan dan untuk menciptakan serta
mengembangkan keteraturan kebudayaan; dan bersamaan dengan itu agama juga
mencerminkan keteraturan tersebut. Seperti dikatakannya (1973:90):
Agama adalah suatu sistem simbol yang
bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan (moods) dan motivasi-motivasi
secara kuat, menyeluruh, dan bertahan lama pada diri manusia, dengan cara
memformulasikan konsepsi-konsepsi mengenai hukum/keteraturan (order),
dan menyelimuti konsepsi-konsepsi tersebut dengan suatu aturan tertentu yang
mencerminkan kenyataan, sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi
tersebut, nampaknya secara tersendiri (unik) adalah nyata ada.
Walaupun pemikiran agama dikatakannya sebagai
tidak semata- mata menstrukturkan kebudayaan, tetapi agama juga dilihat sebagai
pedoman bagi ketepatan dari kebudayaan; suatu pedoman yang beroperasi melalui
sistem-sistem simbol pada tingkat emosional, kognitif, subyektif, dan
individual. Menurut Geertz (1973:89): Kebudayaan adalah pola dari
pengertian-pengertian atau makna yang terjalin secara menyeluruh dalam
simbol-simbol yang ditransmisikan secara historis, suatu sistem mengenai
konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengan cara
tersebut manusia berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan
sikap mereka terhadap kehidupan.
Pentingnya bentuk simbolik selalu
diulang-ulang penekanannya dalam tulisan Geertz, dan diusahakannya untuk
ditunjukkan sebagai suatu cara yang dengan cara tersebut kenyataan-kenyataan
sosial dan kejiwaan diberi suatu "bentuk konseptual yang obyektif"
(1973:93). Simbol-simbol adalah garis-garis penghubung antara pemikiran manusia
dengan kenyataan yang ada di luar, yang dengan mana pemikiran harus selalu
berhubungan atau berhadapan; dan yang dalam hal ini pemikiran manusia dapat dilihat
sebagai "suatu bentuk sistem lalu lintas dalam bentuk simbol-simbol yang
signifikan" (1973:362). Dengan demikian sumber dari simbol-simbol itu pada
hakekatnya ada dua, yaitu: (1) Yang berasal dari kenyataan luar yang terwujud
sebagai kenyataan-kenyataan sosial dan ekonomi; dan (2) Yang berasal dari dalam
dan yang terwujud melalui konsepsi-konsepsi dan struktur-struktur sosial. Dalam
hal ini simbol-simbol menjadi dasar bagi perwujudan model dari dan model
bagi dari sistem-sistem konsep dalma suatu cara yang sama dengan bagaimana
agama mencerminkan dan mewujudkan bentuk-bentuk sistem sosial.
Sistem kebudayaan dan sistem konsepsi dengan
demikian dilihat sebagai mempunyai persamaan struktur-struktur dinamik dan
begitu juga mempunyai persamaan dalam hal asal mulanya yaitu dalam
bentuk-bentuk simbolik. Peranan dari upacara (ritual) menurut Geertz,
adalah untuk mempersatukan dua sistem yang paralel dan berbeda tingkat
hierarkinya ini dengan menempatkannya pada hubungan-hubungan formatif dan
reflektif antara yang satu dengan yang lainnya dalam suatu cara sebagaimana
masing-masing itu dihubungkan dengan asal mula simboliknya dan asal mual
ekspresinya. Bentuk-bentuk kesenian dan begitu juga dengan upacara, adalah sama
keadaannya dengan perwujudan-perwujudan simbolik lainnya, yaitu "mendorong
untuk menghasilkan secara berulang dan terus menerus mengenai hal-hal yang amat
subyektif dan yang secara buatan dan polesan dipamerkan" (1973:451).
Dengan demikian, sebagai suatu keseluruhan,
upacara mempunyai kedudukan sebagai perantara simbolik, atau mungkin lebih
tepat kalau disebut sebagai perantara metafor, dalam kaitannya dengan
kebudayaan dan pemikiran subyektif yang memungkinkan bagi keduanya (yaitu
upacara dan kebudayaan) untuk dapat saling bertukar tempat dan peranan. Kesanggupan
dari upacara untuk bertindak dan berfungsi seperti ini, yaitu menterjemahkan
tingkat-tingkat lainnya yang lebih tinggi sehingga membuat manusia menjadi
sadar dengan melalui pancaindera serta perasaannya, dan mewujudkan adanya
kesamaan dalam ke-seia-sekataan yang struktural dalam bentuk simbolik, adalah
sebenarnya merupakan dasar utama dari pemikiran manusia. Seperti dikatakan oleh
Geertz (1973:94): "Dapatnya saling tukar menukar tempat dan peranan dari model
bagi dan model dari yang dalam mana formulasi simbolik dapat
dilakukan adalah ciri-ciri khusus dari mental kita sebagai manusia".
Dengan demikian, bila untuk Geertz kebudayaan
adalah "seperangkat teks-teks simbolik" (1973:452), maka kesanggupan
manusia untuk membaca teks-teks tersebut dipedomani oleh dan dalam
struktur-struktur upacara yang bersifat metafor, kognitif, dan penuh dengan
muatan emosi dan perasaan. Agama dan upacara adalah dua satuan yang secara
bersamaan merupakan sumber dan model keteraturan sosial (social order).
Secara keseluruhan terdapat suatu kesan bahwa
model dari Geertz tersebut melingkar-lingkar dan selalu berulang disana-sini.
Nampaknya hal ini disebabkan oleh: (1) Bahwa pembahasan mengenai masalah
tersebut memang seharusnya dilakukan demikian, yaitu bahwa sistem sosial adalah
"aliran bersama yang terdiri atas dua arus atau lebih yang masing-masing
menciptakan integrasi-integrasi yang bersifat sebagian atau mencakup hanya
bidang-bidang tertentu saja; yang secara keseluruhan terdiri atas: a)
bagian-bagian yang terlepas satu sama lainnya, dan b) bagian-bagian yang saling
berkaitan serta tergantung satu sama lainnya" (1973:408); dan bahwa
kesemuanya itu "tidak harus berada dalam suatu keadaan yang secara
menyeluruh dan mendalam saling berkaitan satu sama lainnya menjadi sistem-sistem"
(1973:407); dan (2) Bahwa model-model dari Geertz bersifat fleksibel, ilusif,
dan jauh dari sistem yang terstruktur secara kaku. Karena menurut Geertz,
"ide-ide memberikan informasi kepada..........hubungan-hubungan politik,
ekonomi, dan sosial di antara kelompok-kelompok dan individu-individu [yaitu
struktur sosial]" (1973:362).
Walaupun Geertz bukanlah seorang strukturalis
dalam arti yang sesungguhnya dari pengertian tersebut, tetapi banyak ide-ide
tergolong sebagai strukturalis. Sesungguhnya karya Geertz memang amat besar
artinya sebagai pegangan untuk orientasi mengenai hakekat hubungan-hubungan
yang bersifat umum dan mendasar. Penting juga dinyatakan dalam uraian
pembahasan ini bahwa sumbangan pikiran Geertz yang berupa pendekatan "emosional"
mempunyai fleksibilitas yang lebih besar dalam hal informasi dan konsep
teoritis, sehingga telah lebih banyak menghasilkan berbagai rumusan bila
dibandingkan dengan yang telah dicapai oleh para strukturalis lainnya; dan
akhirnya dapat pula dikatakan bahwa penggunaan dari "tujuan-tujuan emosi
dan kognitif" (Geertz, 1973:449) dari studinya adalah juga merupakan salah
satu ciri-ciri sosial yang ada dalam upacara yang ditunjukkannya.
KEBUDAYAAN SEBAGAI SISTEM DAN STRUKTUR
Dalam perbandingannya
dengan analisa kebudayaan dari Geertz, studi-studi mengenai organisasi sosia
yang telah dilakukan oleh para strukturalis mempunyai ciri yang lebih kaku
sifatnya; yang terwujud sebagai pendekatan rumus-rumus atau formula terhadap
sistem-sistem hubungan dan konseptual yang dipunyai oleh manusia. Sesungguhnya,
dengan menggunakan pendekatan struktural ini para ahli antropologi lebih mudah
untuk mendekati sistem-sistem hubungan tersebut dalam usaha mereka untuk dapat
memahaminya, dan menghindarkan mereka dari berbagai masalah seperti yang telah
dihadapi oleh Geertz sebagaimana terwujud dalam abstraksi-abstraksinya yang
mungkin dapat membingungkan seperti yang telah disebutkan dalam uraian
terdahulu.
Kemudahan ini telah juga menyebabkan
terwujudnya suatu kondisi yang mestimulasi para ahli antropologi untuk dengan
mudah terlibat dalam manipulasi data yang mencakup pengungkapan
konsepsi-konsepsi dari dan mengenai gejala-gejala sistematik yang ditelitinya
untuk saling dihubungkan dalam struktur-struktur. Dengan kata lain, dan dengan
menggunakan istilah dari Geertz, ide-ide yang memberi informasi mengenai
struktur sosial menjadi bersifat antropologi karena telah dimanipulasi oleh
ahli antropologi dan bukannya mengenai yang sebenarnya menjadi milik dari
masyarakat setempat yang memang mempunyai struktur sosial tersebut. Walaupun
demikian, strukturalisme tidak selalu dipandang sebagai suatu teori mengenai
seperangkat manipulasi yang telah dilakukan pada berbagai tingkat yang berbeda.
Tingkat-tingkat pendekatan struktural dibedakan oleh: (1) tingkat kapasitas
transformatif dan dinamik dari para ahli antropologi yang kemudian
ditransmisikan pada kebudayaan yang dikajinya; dan (2) Tingkat dimana model
struktural berkorelasi dan memberi tanggap atas hubungan-hubungan sosial dan
ekonomi.
Pembahasan mengenai model-model struktural
berikut ini akan mencakup: (1) model struktural yang statis; dan (2) model
struktural yang bersifat transformatif dan tiga dimensi. Dalam pembahasan
mengenai dua tipe model ini, penekanan akan diberikan pada pembahasan mengenai
empat pokok masalah: a) penggunaan simbol; b) struktur dari mediasi; c)
implikasi terhadap struktur-struktur konseptual yang dipunyai manusia; dan d)
kesanggupan untuk mengakomodasi perubahan dalam sistem sosial.
(1) Model Struktural yang Statis.
Model ini terwujud
berdasarkan atas prinsip dualisme atau oposisi binari, dan tetap menjadi
landasan kekuatan bagi teori struktural yang lebih mutakhir dan maju walaupun
model ini telah dibuktikan ketidak sempurnaannya melalui berbagai contoh yang
telah diperlihatkan. Landasan pokok dari pendekatan ini adalah bahwa
proses-proses pemikiran manusia didefinisikan berdasarkan atas adanya lawan
dari sesuatu yang dipikirkan, dan karena itu juga maka organisasi sosial
manusia pada dasarnya bersifat dualistik.
Tulisan Hertz (1909) mengenai keuniversalan
dari "kiri" dan "kanan" sebagai sistem-sistem keteraturan,
merupakan suatu kerangka dasar dari pendekatan ini. Bagi Hertz,
struktur-struktur yang bersifat dualistik itu mempunyai asal mulanya pada sifat
asimetrik dari organisme tubuh manusia (yaitu "kiri" sebagai lawan
dari "kanan"), yang mana sebagai akibat dan kelanjutannya telah
dijadikan sebagai replika dalam model pemisahan oleh Durkheim antara yang
konseptual dan yang sosial dan antara suci (sacred) dan yang duniawi (profane).
Menurut Hertz (1908:8), "dualisme merupakan sesuatu yang mendasar dan
penting dalam pemikiran orang-orang primitif, dan mendominasi organisasi
sosial", dan bahkan sebenarnya juga terdapat dalam masyarakat modern
sebagai hasil dari perkembangan evolusi manusia. Sesungguhnya, "seluruh
alam semesta ini terbagi dalam dua bidang atau bagian" (Hertz, 1909:19).
Dalam model Hertz tersebut, upacara dan agama,
dan dengan demikian juga mitos (yang dalam konteks pembahasan ini dilihat
sebagai agama), bertindak sebagai alat untuk memperketat struktur sosial dengan
melalui pengulangan-pengulangan yang terus menerus berkenaan dengan
kategori-kategori yang secara konseptual amat mendasar, yaitu: "kiri"
lawannya "kanan", pria lawannya wanita, suci lawannya duniawi, kita
lawannya mereka, dan sebagainya. Dengan demikian, hubungan antara upacara dan
agama di satu pihak dengan organisasi sosial di lain pihak adalah merupakan
hubungan yang langsung. Peranan simbol adalah untuk mewujudkan atau
mengekspresikan hubungan-hubungan yang ada, dan bukannya untuk menghubungkan
hubungan-hubungan ini dengan kehidupan manusia secara konseptual berikut segala
implikasinya.
Model yang kaku dari Hertz yang telah
ditunjukkan tersebut diatas mempunyai dua potensi yang dapat membahayakan. Pertama,
metode pengamatan yang paling sederhana dan kasar yang dapat dengan mudah
digunakan untuk mengumpulkan data mempunyai potensi atau kecenderungan untuk
dengan mudah dapat dimanipulasi guna memperoleh data pembuktian model oposisi
binari; dan kedua, kekurangan dalam hal adanya suatu proses dinamik
mengenai hubungan-hubungan di antara satuan-satuan yang bertentangan,
menyebabkan bahwa penyajian dari hasil studi struktural model ini hanya berupa
keseragaman-keseragaman gejala-gejala kebudayaan dan hanya secara samar-samar
memperlihatkan korelasinya dengan kekhususan- kekhususan kehidupan sosial dan
ekonomi. Dengan demikian, maka kontrol yang bersifat manipulatif amat penting
bagi para ahli antropologi penganut strukturalisme ini dalam hal sistem-sistem
konseptual yang mereka kembangkan.
Sesungguhnya, agak terlalu mudah untuk
mengkategorikan semua sistem-sistem simbolik dalam dua kategori atau dua bagian
saja, karena dengan demikian maka juga dengan cara ini struktur-struktur
transformatif yang bersifat vertikal dan mempersatukan berbagai tingkat
hierarki struktur sosial dan simbolik menjadi ditiadakan atau diabaikan begitu
saja. Definisi yang hanya bersifat satu atau tunggal ini dalam ruang lingkup
analitiknya dapat dibandingkan dengan cara melihat perbedaan antara teori-teori
berkenaan keturunan (descent) dan dengan pengelompokkan kekerabatan (alliance).
Teori-teori yang dikembangkan berkenaan dengan keturunan adalah bersifat
statis, sedangkan proses dinamik yang mempersatukan struktur-struktur paralel
di antara noktah-noktah yang tercakup dalam teori-teori mengenai keturunan
tersebut diatas dapat tercakup dalam teori-teori yang berkenaan dengan
pengelompokkan kekerabatan.
Perspekstif-perspektif yang lebih mutakhir
mengenai sistem agama atau sistem upacara simbolik telah berusaha untuk
mengatasi masalah yang dihadapi oleh model struktural yang statis sifatnya ini,
yaitu dengan cara menggunakan berbagai mediasi atau penghubung. Dua buah
pendekatan yang telah digunakan bagi dua bidang perwujudan struktur sosial yang
berbeda telah dilakukan oleh Cunningham dan Victor Turner.
Landasan dasar dari tesis Cunningham adalah
bahwa struktur rumah dengan berbagai bagiannya yang nyata dan yang simbolik dan
berikut dengan sistem pembagian ruang yang ada didalamnya, sebenarnya
mewujudkan dan mewakili suatu model kosmos orang Atoni, di Timor. Melalui data
etnografinya diperlihatkan oleh Cunningham akan adanya pertentangan binari
dalam rumah. Tetapi yang telah dilakukan oleh Cunningham adalah lebih dari dari
pada apa yang telah dilakukan oleh Hertz yang hanya terkungkung oleh pembatasan
pertentangan binari, yaitu dengan cara menggambarkan bahwa rumah itu sendiri
adalah semacam simbol penghubung yang melayani pengintegrasian model-model
pengklasifikasian supranatural dengan kegiatan-kegiatan sehari-hari pada orang
Atoni baik pria maupun wanita melalui struktur simbolik yang ada. Dengan cara
mendefinisikan bidang-bidang kegiatan yang bersifat pertentangan antara pria
dan wanita dan antara yang keluarga dan yang bukan keluarga, struktur rumah
orang Atoni yang mencakup pembedaan-pembedaan sosial di dalamnya tersebut
berada dalam suatu sistem yang lebih luas dan bersifat simbolik; yaitu kosmos
atau alam semesta.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa
Cunningham memandang simbol sebagai perwujudan penyatuan atau ekspresi-ekspresi
penyatuan yang bersifat integratif dimana kegiatan-kegiatan sekuler atau
sehari-hari merupakan kelanjutan dari dan berkaitan dengan
pengertian-pengertian kosmos atau alam semesta. Walaupun simbol-simbol itu
dihubungkan dengan kategori-kategori yang bersifat binari secara khusus, tetapi
simbol-simbol itu berada diatas dari perwujudannya yang secara analogi telah
dilakukan dengan secara langsung sebagaimana yang terdapat dalam modelnya Hertz;
yaitu dengan cara menyajikan secara aktif dalam hal menghubungkan
tingkat-tingkat struktural yang konseptual sifatnya.
Lebih lanjut, menurut Cunningham,
simbol-simbol tertentu yaitu wanita-wanita dalam konteks-konteks tertentu
berfungsi untuk menghubungkan kategori-kategori yang berbeda yang ada dalam
bidang yang satu saja. Jadi, mediasi atau penghubungan antara satuan-satuan
kosmos dengan satuan-satuan sekuler (seluruh rumah, bagian-bagian dan
sudut-sudut rumah), menurut Cunningham selalu harus melalui model-model
pengklasifikasian yang berlaku. Dengan cara membatasi analisa mengenai
struktur-struktur simbolik hanya pada tingkat pengklasifikasian saja, nampak
bahwa Cunningham telah mengabaikan arti penting dari proses dan perwujudannya;
sebagaimana dinyatakannya (1972:134): "yang penting adalah prinsip-prinsip
pengkategoriasasiannya dan bukannya ekspresinya".
Dengan cara hanya membatasi dan mengungkung
simbol-simbol penghubung pada model-model klasifikasi saja maka transformasi
yang dinamik dari konseptualisasi kebudayaan yang menciptakan dan mengaktifkan
sistem-sistem simbol menjadi ditentang atau hanya diberi peranan kecil saja.
Dengan demikian maka konsep Geertz yang menyatakan bahwa "ide" adalah
yang memberi informasi telah diabaikan dalam model mediasi dan model
pertentangan tersebut, sehingga mediasi di antara tingkat-tingkat struktur
sosial yang berbeda tetap bersifat statis. Model yang seperti ini mempunyai
kapasitas yang terbatas bila akan digunakan untuk melihat kaitan antara
klasifikasi simbolik dengan kenyataan-kenyataan sosial, kemanusiaan, dan
ekonomi; dan kaitan antara perubahan-perubahan kebudayaan dengan klasifikasi
simbolik yang memberi informasi kepada dan menjadi sumber bagi berbagai
perubahan dalam kehidupan yang nyata.
Yang telah dilakukan oleh Victor Turner dalam
melihat simbolisme dalam upacara dan agama telah memecahkan beberapa masalah
yang dihadapi oleh Cunningham seperti diuraikan tersebut diatas; tetapi secara
bersamaan telah juga menciptakan sejumlah masalah baru. Di antara sejumlah
analisa Turner mengenai struktur upacara dan isi simboliknya yang akan dikaji
adalah yang berkenaan dengan: (1) sistem dualisme dan triadisme; (2) dasar
fisiologi dari simbol; dan (3) liminalitas sebagai suatu konsep yang bersifat
akomodatif untuk transformasi.
Pada hakekatnya simbo-simbol itu dilihat oleh
Turner sebagai bersifat dualistik, tetapi "setiap bentuk dualisme diisi
dengan suatu model klasifikasi yang lebih luas lagi" (1967:54). Konteks
dari tempat atau kedudukan dari simbol dalam upacara menetukan corak
hubungannya secara konseptual dengan sistem simbolik dari upacara itu sendiri
sebagai suatu keseluruhan. Jadi, seperti ditunjukkan dalam contoh yang dibahas
dalam uraiannya, warna merah sebagai warna penghubung antara warna hitam dan
warna putih sebenarnya merupakan suatu sistem dualisme dalam sistemnya sendiri.
Dalam kenyataannya, warna putih dan warna hitam sebagai dua puncak warna yang
paling bertentangan, tetapi sebagai suatu sistem binari dipertentangkan dengan
warna merah sebagai dua satuan yang berbeda atau bertentangan karena warna
merah bersifat ambivalen; jadi dapat berfungsi sebagai penghubung karena
sifatnya sebagai simbol yang berciri ganda atau banci.
"Dalam abstraksi-abstraksi dari
situasi-situasi yang nyata, warna merah mempunyai kwalitas yang sama dengan
warna putih dan hitam, tetapi dalam konteks-konteks tindakan maka warna merah
biasanya selalu berpasangan dengan warna putih" (1967:74), dan keduanya
secara bersama-sama dengan demikian menjadi lawan dari warna hitam yang menjadi
penting artinya secara konseptual karena ketidak-hadirannya. Jadi menurut
Turner, sistem tersebut bersifat triadik atau segitiga dan bersifat
fleksibel menurut konteksnya. Secara konseptual simbol-simbol dilihat melalui
posisinya dalam struktur triadik, dan karenanya dapat dimanipulasi melalui ketidak-hadirannya
dan melalui sifat ambivalensi atau kebanciannya, yang ada dan yang memang
menjadi sifat hakekatnya, ke arah simbol-simbol lainnya yang berada di
sekelilingnya.
Menurut Turner, hakekat bentuk simbolik yang
mendasar dan kuat serta tersebar luas dalam kehidupan manusia adalah karena
simbol-simbol itu bersumber pada hakekat asal mula manusia itu sendiri yang
dinamakannya sebagai dan berasal dari dalam "pengalaman biologi yang
primordial" (1967:90). Organisme tubuh manusia yang bersama-sama dengan
"pengalamannya yang penting serta penuh dengan makna" (1967:90) itu
berfungsi sebagai semacam pola yang digunakan untuk menciptkan sesuatu secara
simbolik" (1967:107) bagi kepentingan untuk mengkomunikasikan isi upacara.
Dibalik kesemuannya ini maka yang paling mendasar dari hakekat primordial dan
kemanusiaan itu adalah sistem-sistem klasifikasi, dan yang secara simbolik
telah diperluas cakupan-cakupannya; seperti yang dikatakannya: "Tidak
hanya tiga warna yang mempunyai arti sebagai pengalaman-pengalaman manusia yang
mendasar yang berasal dari tubuhnya......ketiganya juga berfungsi sebagai
semacam klasifikasi primordial mengenai kenyataan.....Organisme manusia dan
pengalaman-pengalaman yang penuh dengan makna adalah sumber asal dari semua
klasifikasi" (1967:90).
Simbol-simbol dan struktur-struktur upacara
dengan demikian berfungsi sebagai jembatan untuk mengantarai satuan-satuan
kenyataan-kenyataan yang ada dan berbeda-beda dari pengalaman manusia. Hal ini
dapat mungkin terjadi karena kedudukan manusia sebagai makhluk hewan yang
tertinggi tingkatan kedudukannya dan karena ke-universalan dari motif-motif dan
dasar-dasar kognitif yang dipunyai oleh manusia.
Simbol-simbol dan struktur-struktur upacara
yang berfungsi untuk menghubungkan kenyataan-kenyataan yang dihadapi dan
pengalaman-pengalaman yang dipunyai oleh manusia dengan bentuk-bentuk hubungan
simbolik dan upacara yang secara khusus berlandaskan pada kebudayaan dan
kehidupan sosial dan ekonomi; yang dengan demikian meletakkan suatu kategori
yang lebih komprehensip ke dalam suatu konsensus primordial. Tubuh manusia
sebagai suatu hasil konstruksi hubungan-hubungan di antara organ-organnya,
secara konseptual dapat dilihat sebagai jembatan penghubung antara bentuk
upacara dengan simbolisme, dan dengan kategori-kategori sosial secara
struktural.
Sumbangan utama dari Victor Turner terletak
pada usaha pemahaman ekspresi agama yang berupa konsep mengenai proses yang ada
dalam upacara. Konsepnya mengenai liminalitas sebagai suatu jembatan
penghubung; yaitu yang tidak berstruktur, bersifat transisi, dan merupakan
suatu tingkat atau fase tanpa klasifikasi bagi yang diinisiasi, merupakan
pencerminan dari pandangannya mengenai upacara dan agama sebagai suatu sistem
yang bersifat formatif dan reflektif. Dengan melalui fase
liminalitas, upacara mendasari suatu proses transformasi dan yang secara
bersamaan mengabsahkan kembali (to reaffirm) kategori-kategori lama yang
bersifat struktural dan yang sementara itu juga berfungsi sebagai "pusat
kekuatan pendorong bagi berbagai kegiatan" (1974:273) bagi penciptaan
bentuk-bentuk baru dari konsep-konsep yang bersifat struktural.
Simbol-simbol yang ada dan yang berlaku selama
waktu liminal berasal dari konsep-konsep pendidikan yang kemudian dipisahkan
dari kategori-kategori yang terstruktur yang biasanya menyelimuti dan
mendefinisikan simbol-simbol tersebut. Konteks yang baru dari simbol-simbol ini
adalah "mengajarkan kepada para inisiandus mengenai lingkungan kebudayaan
mereka dan memberikan kepada mereka kerangka sandaran yang paling hakiki untuk
memahaminya" (1967:108), yaitu mengenai peranan mereka yang baru dalam
struktur sosial tersebut. Konsepsi-konsepsi simbolik yang dipunyai oleh
individu dengan demikian dirubah referensi dan orientasinya menjadi bersifat
kebersamaan dengan melalui proses-proses yang ada dalam berbagai upacara
lingkaran hidup yang mendefinisikan dirinya sebagai makhluk sosial.
Dengan demikian, hubungan antara upacara
dengan struktur sosial terletak pada kesanggupan dari upacara untuk dapat
menempatkan dirinya diatas kedudukan satuan struktur sosial dengan melalui fase
liminal atau fase anti-struktural. Sehingga, hubungan antara upacara dengan
struktur sosial tersebut memungkinkan bagi dapat tetap hidup dan menyerapnya
upacara tersebut dalam berbagai kegiatan sekuler yang terstruktur yang terletak
di luar konteks upacara itu sendiri. Dalam hal ini upacara berperan sebagai
pedoman bagi semua fase-fase dan semua aspek-aspek pengalaman kebudayaan dengan
melalui berbagai bentuk proses yang dilalui oleh setiap individu. Dengan kata
lain, upacara adalah juga suatu sumber bagi penciptaan ide-ide baru yang
didorong untuk dihidupkan pada masa liminal, maupun sebagai sumber bagi
terwujudnya status quo dalam pelaksanaannya. Manusia "berkembang
melalui anti-struktur atau liminalitas dan dilestarikan melalui struktur"
(1974:298).
Ada beberapa masalah yang harus dihadapi dan
dipikirkan dengan sungguh-sungguh berkenaan dengan model yang telah diajukan
oleh Victor Turner tersebut. Masalah-masalah tersebut adalah: (1) Bentuk
simbolik yang berlandaskan pada dasar primordial yang nampaknya sukar untuk
diterima karena hal itu hanya meninggalkan ruang yang amat kecil bagi adanya
kekhususan ekspresi-ekspresi kebudayaan yang bersumber atau berlandaskan pada
kenyataan-kenyataan sosial dan ekonomi yang ada setempat, dan juga yang
khususnya berkenaan dengan berbagai konsep sosial dan ekonomi warga masyarakat
setempat yang diselimuti oleh dan berada dalam cakupan pemikiran keagamaan; (2)
Nampaknya juga agak sukar untuk dengan begitu saja menerima pendapatnya bahwa
masa liminal dalam struktur upacara adalah bersifat destruktif terhadap
struktur tersebut. Karena simbol-simbol yang ada di dalam dan yang digunakan
untuk mendefinisikan masa liminal itu terstruktur secara ketat dan harus
dilihat dalam kaitannya dengan satuan-satuan struktural lainnya dimana si
inisiandus itu berasal dan kemana dia akan kembali lagi ke tempat asalnya
tersebut. Hakekat dari masa liminal sebenarnya bersifat reflektif dan formatif,
dan hal ini akan nampak lebih jelas bila diekspresikan dengan menggunakan
referensi-referensi transformatif yang konkrit yang berasal dari atau yang ada
dalam lingkungan struktural yang bersifat non-ritual atau yang bukan
upacara; (3) Bila simbol-simbol itu barulah mempunyai makna pada masa liminal
(yaitu setelah diisolasi dari sistem klasifikasinya yang bersifat struktural),
dan bila inti dari motif pemikiran simbolik itu sifatnya adalah organik dan
primordial, maka dalam hal ini sebenarnya Turner telah menyatakan bahwa sumber
fungsional dari bentuk simbolik dan pemikiran keagamaan serta tindakan upacara
itu berasal dari luar (kalau dilihat dalam kaitannya dengan kategori-kategori
dan tingkat-tingkat struktural yang ditransformasikan dan didefinisikannya).
Dengan demikian maka Turner melihat bahwa kekuatan-kekuatan yang mendorong dan
menciptakan unsur-unsur bagi penciptaan kebudayaan yang memberi keterangan atau
informasi secara struktural sebagaimana yang dikatakannya berasal dari luar
terhadap struktur itu sendiri, memberi kesan adanya pertentangan dalam konsep-
konsepnya. Seharusnya, baik proses mediasi atau perantaraan maupun pendorongan
bagi penciptaan dalam struktur-struktur itu secara struktural dan fungsional
ada dalam sistem itu sendiri.
Model-model yang telah dibahas tersebut di
atas, memperlihatkan adanya berbagai pendekatan terhadap analisa simbolik,
upacara, dan agama. Khususnya mengenai Cunningham dan Turner, karya-karya
mereka itu berkenaan dengan sistem-sistem pengekspresian kebudayaan sebagai
unsur-unsur yang terstruktur; tetapi belum atau tidak meluaskan analisa mereka
mengenai konsep-konsep dinamik dan yang mempunyai kekuatan pendorong bagi
penciptaan pada bentuk sistemik yang terwujud dalam model-model struktural
mereka itu.
Sebagai kesimpulan dapatlah dikatakan bahwa
masalah-masalah utama yang nampak berkenaan dengan model-model yang telah
dibahas tersebut di atas sebenarnya terletak pada: (1) Kurangnya mediasi atau
perantaraan dinamik di antara unsur-unsur yang ada dalam struktur itu sendiri
sebagaimana tercermin dalam karya-karya Hertz dan Cunningham; (2) Kegagalan
untuk memperhitungkan atau memasukkan konsepsi hakiki, simbolik, dan yang
bersifat dialektik dalam suatu cara khusus secara kebudayaan; sebagaimana
ditunjukkan dalam karya Turner; (3) Kesukaran dalam memahami perubahan sosial
dan ekonomi dengan menggunakan model-model struktural seperti tersebut di atas,
dengan perkecualian adalah modelnya Turner yang memasukkan konsep komunitas
atau "communitas" (1974:250-251); dan (4) Adanya kontrol manipulasi
yang besar dari para ahli antropologi terhadap bahan-bahan keterangan atau
materi yang dipunyainya, sebagaimana telah ditunjukkan dalam uraian-uraian yang
terdahulu. Disamping itu, dengan konsep-konsep dualisme, triadisme, bahkan juga
liminal, menampakkan adanya kecenderungan untuk menggeneralisasi konsep-konsep
sebagai bentuk-bentuk klasifikasi yang dapat menjadi suatu bentuk atau corak
metodologi yang membahayakan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri; karena,
seseorang dapat misalnya, melihat dan mengkaji pengalaman-pengalaman sosial
individu sebagai suatu liminalitas bila dia mau.
STRUKTURAL SEBAGAI SUATU SISTEM ANTROPOLOGI
Analisa secara
struktural mengenai pemikiran keagamaan selama ini telah ditekankan pada
bentuk-bentuk mitos dan ekspresinya yang terwujud sebagai rangkaian
rakitan-rakitan struktur sosial dan proses-prosesnya. Tokoh dari analisa
struktural ini adalah Levi-Strauss, yang model-model konseptualnya amat
kompleks dan luas; sehingga nampaknya hampir tidak mungkin untuk dapat secara
sewajarnya membahas keseluruhan model-modelnya tersebut dalam uraian pembahasan
ini. Karena itu, dalam pembahasan ini hanya akan mencakup berbagai masalah yang
berkaitan dengan yang telah dibahas seperti tersebut terdahulu.
Levi-Strauss menyatakan bahwa sistem-sistem
simbol adalah didasarkan pada adanya pembedaan yang bersifat universal antara
alam dan kebudayaan. Pertentangan secara dualistik ini ditunjukkan
bukti-buktinya baik secara sinkronik maupun secara diakronik, sebagaimana
terwujud dalam prinsip-prinsip statis dari alam dan kebudayaan yang
diperantarai oleh suatu prinsip transformasi yang bersifat dualistik; yaitu
kalau tidak berasal dari suatu transformasi alamiah maka akan berasal dari
suatu transformasi kebudayaan. Hal ini secara amat jelas diperlihatkan
contohnya dalam atau dari segitiga kuliner (culinary triangle) (1969),
dimana yang mentah menjadi matang dengan menggunakan transformasi kebudayaan
atau menjadijadi busuk dengan melalui transformasi alamiah. Simbol-simbol
perantara yang bersifat dinamik dalam pengertian terbatas bertindak sebagai
kekuatan pendorong yang pada dasarnya sama dengan oposisi binari, yaitu melalui
transformasi binari dan dengan demikian keseluruhan sistem tetap tinggal
bersifat dualistik yang statis pada kedua sumbunya. Kekuatan yang menyeluruh
dari simbol-simbol dan mediasi yang bersifat binari ini dalam struktur mitos
adalah suatu refleksi atau pencerminan dari "cara universal dalam
mengorganisasi pengalaman sehari-hari" (1972:225) dan berfungsi untuk
"menjadikan struktur mitos itu menjadi nampak" (1972:229).
Bentuk struktural dari mitos bercirikan
pembedaan-pembedaan yang bersifat dualistik pada unsur-unsurnya tetapi
unsur-unsur itu saling berkaitan. Landasan dasar dari mitos adalah seperangkat
metafor yang dualistik sifatnya, yang bersamaan dengan itu juga berlanjut pada
adanya pendefinisian mengenai mediasi atau perantaraan antara kedua dasar yang
dualistik tersebut. Satuan- satuan yang mendasar yang ada dalam struktur mitos
adalah kumpulan-kumpulan makna atau pengertian-pengertian, yang disebut sebagai
tema-tema mitos, yang mengandaikan satuan-satuan dalam unsur pokoknya
dan dilihat dalam dan merupakan bagian-bagian dari suatu satuan yang lebih luas
dan kompleks (1972:211).
Dengan demikian pada dasarnya struktur mitos
itu bersifat dua-dimensi yang melibatkan transformasi-transformasi baik pada
skala vertikal maupun pada skala horizontal di antara komponen-komponen atau
unsur-unsurnya yang bersifat dualistik sebagaimana telah ditunjukkan oleh
Turner dengan model triadiknya. Struktur mitos memperoleh keabsahan dan corak
simboliknya (yaitu sebagai sesuatu yang bebas dari pengertiannya atau artinya
yang tertempel pada masing-masing tema mitosnya) pada suatu tingkat ketidak
sadaran, oleh karena kesamaannya dengan struktur linguistik seperti yang
dikemukakan oleh Saussure (1961). Unsur-unsur dari mitos yang struktural
sifatnya adalah universal; dan ke-universalan ini dapat dilihat dengan cara
menggeneralisasi dari hasil-hasil studi mengenai variasi-variasi mitos baik
yang ada dalam masyarakat yang satu maupun dari berbagai masyarakat yang
berbeda-beda kebudayaannya.
"Mitos terdiri atas berbagai versi, yang
tercakup di dalamnya: dan ..... sebuah mitos akan tetap sama sebagaimana
dahulunya selama mitos itu dirasakan sebagaimana adanya" (1972). Dalam
mitos juga selalu terdapat pengulangan-pengulangan; dan fungsi dari
pengulangan-pengulangan tersebut (baik tema-tema mitosnya maupun strukturnya
yang ada dalam berbagai versi-versinya) adalah untuk membuat keseluruhan dari
bingkai struktur mitos tersebut baik secara sinkronik maupun secara diakronik
agar nampak jelas; dan dengan melalui dorongan-dorongan kekuatan yang terus
menerus ada, menyajikan "suatu model yang logis atau masuk akal yang dapat
berfungsi untuk mengatasi kontradiksi-kontradiksi" (1972:229).
Kontradiksi-kontradiksi yang ada adalah pada tingkat logika, dan mitos
bertindak sebagai perantara untuk mengatasi kontradiksi-kontradiksi ini.
"Walaupun pengalaman bertentangan dengan teori mengenai berbagai gejala
alamiah, dalam kenyataannya kehidupan sosial mengabsahkan berlakunya kosmologi,
yaitu melalui mitos, oleh karena persamaan dalam strukturnya. Oleh karena itu
maka kosmologi adalah suatu kebenaran yang sah" (1972:216).
Walaupun terdapat adanya pengulangan dan
variasi-varisasi dari struktur mitos tetapi peranan dari mitos seperti tersebut
di atas dapat terlaksana dengan cara melakukan penggeneralisasian dari:
"suatu jumlah bingkai yang secara
teoritis tidak terbatas.....yang masing-masing agak berbeda antara satu dengan
lainnya. Jadi mitos ditumbuhkan atau dikembangkan seperti spiral sampai
tercapainya suatu titik kejenuhan intelektual yang menyeluruh sehingga terhenti
proses pemproduksiannya. Pertumbuhan merupakan suatu proses yang berlanjut terus
menerus, tetapi strukturnya tetap atau tidak berkembang mengikuti pertumbuhan
tersebut" (1972:229).
Karenanya, kalau dilihat dari hakekat
eksistensinya dan dari struktur arusnya, sehingga mitos adalah suatu perantara
antara organisasi sosial sesuatu aggregate individu-individu di satu
pihak dengan struktur-struktur sosial dan kosmologi yang melingkupi
individu-individu tersebut di pihak lainnya.
Bagi Levi-Strauss, struktur mitos yang
tercakup dalam model- model strukturalnya dan struktur mitos dalam
konsep-konsep pemikiran manusia adalah sebuah satuan yang satu. Hal ini
dikarenakan struktur mitos dilihatnya sebagai berlandaskan pada proses-proses
dan pengkategorisasian secara linguistik yang universal dan denn demikian
secara analogi kegiatan konseptual manusia adalah bersifat universal.
"Mitos memberi makna yang penting bagi
pemikiran manusia yang bersangkutan dengan mitos itu sendiri dengan cara
menggunakannyaa dalam kehidupan yang nyata yang dengan demikian pemikiran itu
sendiri adalah sebagian dari mitos itu sendiri. Dengan demikian juga terdapat
suatu produksi mitos yang berjalan secara simultan, yaitu yang dilakukan oleh
pemikiran manusia yang mendorong bagi penciptaan dan penggunaannya dan oleh
mitos itu sendiri, mengenai gambaran tentang dunia yang memang telah menjadi
sebagian dari dan berada dalam pemikiran manusia" (1966:341).
Menurut Levi-Strauss, struktur-struktur sosial
yang terdapat di dalam berbagai masyarakat manusia memperlihatkan adanya
persamaan-persamaan dalam hal bentuk struktural dan unsur-unsurnya karena telah
didefinisikan, divalidasikan, dan diperantarai oleh proses-proses pemikiran
mitologi yang jalin menjalin dan yang ada dalam struktur mental manusia yang
bersifat universal. Dengan demikian maka tidak ada kaitan hubungan antara
struktur sosial yang berfungsi sebagai perantara bagi individu melalui struktur
mitos dengan kenyataan-kenyataan sosial dan ekonomi yang dihadapi secara nyata
dalam kehidupan manusia. Konsep-konsep struktural yang universal sifatnya ini
menciptakan sistem-sistem yang khusus, sehingga berbagai arus dari luar yang
berasal dari lingkungan yang dihadapi atau dari motif-motif sosial dan ekonomi
menjadi tercakup dalam kategori-kategori struktural yang deterministik
sifatnya. Dalam kaitannya dengan konsep-konsep tersebut di atas, Levi-Strauss
mempertanyakan "kenyataan dan otonomi dari konsep kebudayaan" dan
menganjurkan untuk memperlakukannya sebagai suatu "fragmen dari
kemanusiaan", atau sebuah bagian yang khusus atau yang dinamakannya sebagai
"isolate" (1972:35). Dengan kata lain, bagi Levi-Strauss konsep
Geertz mengenai kebudayaan sebagai "ide yang memberi informasi"
adalah omong kosong yang tidak dapat dipertahankan secara konseptual.
Dalam kepustakaan antropologi, masalah-masalah
yang terwujud yang berkaitan dengan modelnya Levi-Strauss telah diperdebatkan
secara tidak habis-habisnya; dan tidak sedikit yang menolaknya. Tetapi
pendekatannya mengenai struktur mitos dan mitologi telah mempunyai pengaruh
yang besar yang tidak mudah untuk dihapuskan begitu saja dari teori-teori yang
ada dalam antropologi. Masalah- masalah yang berkenaan dengan modelnya tersebut
dan yang memperlihatkan keseluruhan dari "dogma" strukturalisme
adalah: (1) Hakekat ke-universalan dari struktur sosial manusia, mitologi, dan
proses-proses pemikiran manusia. Metodologi ini secara garis besarnya dapat
dibantah seperti bantahan atau bahasan yang telah dikemukakan terhadap
model-modelnya Victor Turner. Memang benar bahwa struktur dari pemikiran yang
ada dalam otak manusia dan begitu juga proses primordial manusia, pada
tingkatnya yang sangat umum, adalah unsur-unsur yang kita punyai sebagai
manusia dan bahkan sebagai makhluk hidup. Tetapi kekhususan-kekhususan dari
perwujudan kebudayaan dan variasi-variasi dari bentuk-bentuk kehidupan sosial
dan masyarakat menuntut adanya suatu perangkat penjelasan yang lebih dinamik
sifatnya; bukannya yang kaku. (2) Membatasi gejala-gejala sosial hanya menjadi
garis-garis besar yang bersifat umum atau universal dan menolak adanya
pengakuan mengenai arus dan sumber dari perubahan sosial hanya akan menuju
kepada terwujudnya kontrol manipulatif dari para ahli antropologi terhadap data
sosial yang sifatnya adalah setempat dan unik. Nampak bahwa fungsi dari
pengulangan sebagaimana yang terdapat dalam model-modelnya Levi-Strauss adalah
untuk menolak atau meniadakan kehadiran struktur-struktur yang tidak statis
atau yang dinamis dan yang mempunyai corak hubungan sebab-akibat yang ada dalam
masyarakat yang dikaji. (3) Pendekatan strukturalnya menampakkan kecenderungannya
yang "dogmatik" dan mencerminkan struktur sosial sebagai suatu sistem
tertutup yang terbebas dari pengaruh-pengaruh kebudayaan dan
kenyataan-kenyataan sosial, ekonomi, dan dari lingkungan hidup.
KESIMPULAN
Dalam tulisan ini
telah ada saya coba untuk menunjukkan bagaimana sejumlah ahli antropologi
menggunakan cara-cara yang berbeda dalam melihat struktur sosial dalam
kaitannya dengan agama dan upacara. Penekanan yang telah diberikan adalah pada
hubungan-hubungannya yang dilihat secara konseptual, sehingga model-model
mengenai hubungan-hubungan tersebut nampak berbeda-beda di antara ahli-ahli
yang berbeda; yang mempunyai implikasi pada tingkat pembahasan yang mereka
lakukan serta pada tingkat pengertian yang mereka peroleh dengan menggunakan
model-model tersebut, dan yang mewujudkan adanya perbedaan antara yang satu
dengan yang lainnya.
Dengan demikian maka juga nampak bahwa
masing-masing model tersebut mempunyai relevansi dan validitas yang terbatas
sesuai dengan tujuan penggunaannya dalam hal mengkaji hubungan antara struktur
sosial di satu pihak dengan agama dan upacara di pihak lainnya. Secara umum
dapatlah dikatakan, bahwa masing-masing model yang telah dibahas tersebut dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Model-model dari Geertz yang berdasarkan pada
model bagi dan model dari, yang berlandaskan pada
konsep-konsepnya mengenai sistem-sistem simbol dan ide yang memberi informasi;
yang walaupun berbelit-belit tetapi memberikan suatu ketegasan penjelasan
mengenai arti kebudayaan dalam kaitannya dengan struktur dan dengan lingkungan
yang dihadapi oleh manusia. Geertz menyatakan bahwa studi mengenai agama, mitos
dan upacara adalah sebagai jalan untuk memahami bagaimana manusia memahami dan
menerima hakekat dari kedudukan dan peranannya dalam kehidupan sosial di
masyarakatnya; struktur sosial yang merupakan bagian yang terorganisasi dalam
kehidupan mereka menjadi dapat dipahami serta masuk akal secara sewajarnya bagi
mereka.
2. Analogi yang berlandaskan pada sistem
penggolongan yang dilakukan oleh Hertz dan Cunningham; yang walaupun
masing-masing berbeda dalam hal kedalaman dan luasnya cakupan dari model
klasifikasi yang digunakan, tetapi pada prinsipnya berlandaskan pada
model-model yang sama. Hertz melihat bahwa agama berperan terhadap adanya
semacam polarisasi dalam kehidupan sosial dari individu maupun bagi seluruh
warga masyarakat yang bersangkutan; yaitu dengan berlandaskan pada sistem
klasifikasi yang menjadi dasar dan yang ada dalam agama. Sedangkan Cunningham
memperlihatkan adanya suatu keteraturan (order), yaitu suatu sistem yang
menjadi pegangan bagi manusia pada waktu mereka mengklasifikasi dunia yang
mereka hadapi. Pada waktu pegangan yang berisikan aturan-aturan itu
diikuti/ditaati oleh manusia, maka sesungguhnya ide-ide yang terletak dibalik
aturan-aturan tersebut secara simbolik telah juga diterima. Upacara adalah
tempat bagi perwujudan ketaatan atas aturan-aturan yang diikuti tersebut dalam
bentuk berbagai tindakan yang dapat dilihat sebagai simbol dan metafor.
3. Model-model hubungan yang dibuat
berdasarkan atas prinsip- prinsip kesadaran kolektif dan primordial yang
dilakukan oleh Levi-Strauss dan Victor Turner; yang walaupun mempunyai landasan
model-model sendiri yang sesuai dengan perhatian yang dipunyai masing-masing
maka juga telah menghasilkan pengertian-pengertian yang berbeda-beda antara
yang satu dengan yang lainnya. Turner melihat bahwa upacara berperan untuk
membuat individu dapat menjadi cocok dengan masyarakatnya dan membuatnya dapat
menerima aturan-aturan yang berlaku. Levi-Strauss melihat struktur sosial bukan
sebagai kenyataan yang dapat diamati, tetapi sebagai model bagi kenyataan.
Model ini adalah suatu sistem yang mempunyai kesanggupan untuk memprediksi atau
meramalkan dan membuat kenyataan dapat menjadi masuk akal dan dipahami. Menurut
Levi-Strauss, sebagaimana juga dengan pendahulu-pendahulunya yaitu Durkheim dan
Radcliffe-Brown, agama adalah suatu bagian dari struktur sosial. Levi-Strauss
percaya bahwa dengan melalui studi mengenai agama dan mitos akan dapat
diperoleh suatu pemahaman mengenai pengertian struktur sosial yang ada dalam
masyarakat yang bersangkutan. Dalam perhatiannya mengenai mitos, Levi-Strauss
menyatakan bahwa mitos sebagai agama atau sebagai bagian dari agama, dapat
membantu usaha-usaha mengenai struktur sosial karena mitos selalu berhubungan
dengan masyarakat dan berbicara mengenai masyarakat tersebut baik mengenai masa
yang lampau, sekarang, maupun masa yang akan datang.
Yang sebenarnya patut diperhatikan dalam
pengkajian mengenai hubungan antara struktur sosial dengan agama dan upacara
adalah dalam hal kaitannya dengan kenyataan-kenyataan sosial dan ekonomi yang
ada dalam lingkungan hidup yang dihadapi oleh para pelakunya dalam masyarakat.
Sehingga pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan relevansi dari sesuatu
keyakinan keagamaan dan upacara yang dilihat sebagai struktur sosial ataupun
sebagai corak hubungan yang terwujud antara struktur sosial dengan agama dan
upacara, bukanlah harus dilihat dalam konteks struktur itu sendiri tetapi dalam
suatu konteks yang lebih luas dan berlandaskan pada kehidupan yang nyata yang
dihadapi oleh para pelaku yang bersangkutan. Karena, agama mempunyai berbagai
fungsi penting yang terwujud dalam berbagai cara yang berbeda dalam kehidupan
sosial manusia. Fungsi-fungsi tersebut antara lain adalah:
1. Membentuk dan mendukung berlakunya
nilai-nilai yang ada dan mendasar dari kebudayaan suatu masyarakat, yaitu etos
dan pandangan hidup, yang antara lain terwujud dalam penekanannya pada
bentuk-bentuk kelakuan yang wajar dan tepat menurut bidang atau arena sosial
yang ada.
2. Agama menyajikan berbagai penjelasan
mengenai hakekat kehidupan manusia dan lingkungan serta ruang dan waktu yang
dihadapi manusia dan yang dirinya sendiri adalah sebagian dari padanya;
sehingga kedudukan dan peranannya menjadi jelas dan penerimaannya atas berbagai
tahap dan keadaan kondisi kehidupan yang dihadapi dan dialaminya dapat diterima
secara masuk akal baginya. Salah satu dari peranannya yang jelas terlihat
adalah bahwa dalam keadaan kekacauan dan kesukaran, kebingungan dan jiwa
tertekan, agama memainkan peranan yang besar bagi individu-individu yang
bersangkutan karena agama menyajikan penjelasan dan bertindak sebagai kerangka
sandaran bagi ketentraman dan penghiburan hati dalam keadaan kesukaran dan
kekacauan yang dihadapi tersebut.
3. Agama mempunyai peranan untuk menyatukan
berbagai faktor dan bidang kehidupan ke dalam suatu pengorganisasian yang
menyeluruh, yaitu dalam rangkuman struktur sosial, yang dimungkinkan oleh
adanya peranan dari mitos dan upacara. Keduanya mempunyai peranan yang penting
dalam mengko-ordinasi titik temu antara struktur sosial dengan agama dan antara
agama dengan kehidupan yang nyata.
Sebagai akhir kata, dapatlah dikatakan bahwa
untuk dapat memperoleh pemahaman mengenai hakekat dan corak dari struktur
sosial; kita dapat mempelajari dan mengkaji agama, mitos dan upacara sehingga
dapat menemukan dan kemudian menentukan apa yang seharusnya dijelaskan,
dibenarkan, dan didukung dalam suatu masyarakat. Begitu juga sebaliknya kalau
kita ingin memahami hakekat dan corak dari agama yang diyakini oleh warga suatu
masyarakat. Model-model yang telah dibahas tersebut di atas dapat digunakan
secara terseleksi, yaitu tergantung pada masalah yang hendak dikaji dan
kenyataan kehidupan sosial dan ekonomi dalam masyarakat dimana pengkajian itu
hendak dilakukan.
Kepustakaan
Cunningham, Clark E.
1972 "Order in the Atoni House",
dalam Reader in Comparative Religion, oleh: William A. Lessa dan Evon Z.
Vogt (ed), New York: Harper & Row, pp.116-135.
Geertz, Clifford
1973 The Interpretation of Culture, New
York: Basic.
Hertz, Robert
1960 Death and the Right Hand,
penerjemah: Rodney dan Claudia Needham, Cohen & West.
Levi-Strauss, Claude
1972 Structural Anthropology, London:
Penguin.
1969 The Raw and the Cooked, New York:
Harper & Row.
Turner, Victor
1974 Dramas, Fields, and Metaphors,
Ithaca: Cornell University Press.
1967 The Forest of Symbols, Ithaca:
Cornell University Press.
Koentjaraningrat
1980 Sejarah Teori Antropologi I,
Jakarta: UI-Press
0 comments: