Membayangkan Dunia Baru yang Lebih Baik


Membayangkan Dunia Baru yang Lebih Baik
Kita semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang, karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru, maka KEMAJUAN sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia.-----------Minke pada Goenawan Mangoenkoesoemo di RUMAH KACA

Dari Djawa Dipa ke Hindia Dipa
Dalam sejarah Indonesia perdebatan kebudayaan yang berlangsung pada paruh pertama abad ke 20 tidak bisa dipisahkan dari perkembangan gerakan sosial-politik melawan feodalisme dan kolonialisme. Walaupun pemrakarsa perdebatan itu kaum intelektual atau orang-orang yang dekat dengan dunia "tulis-menulis", dengan segera barang yang diperdebatkan menjadi kepunyaan masyarakat banyak, dan tumbuh menjadi suatu gerakan kebudayaan.
Salah satu perdebatan yang cukup signifikan terjadi antara pegawai rendahan dengan priyayi Jawa yang bekerja untuk pemerintah kolonial. Para pegawai rendahan yang bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan pada masa itu berniat menghapuskan hirarki kebudayaan Jawa yang sangat feodalistis. Membongkar dan menghancurkan seluruh hirarki bukanlah pekerjaan yang mudah. Apalagi mereka menyadari bahwa pemerintah kolonial Belanda mengambil keuntungan dari langgengnya feodalisme ini. Maka, langkah pertama yang mereka lakukan adalah menolak penggunaan bahasa Jawa Krama dan adat-istiadat yang membedakan status sosial dalam pekerjaan maupun kehidupan sehari-hari.
Pada 1914 lahirlah gerakan kebudayaan yang mendukung niat para pegawai negeri rendahan ini yaitu Gerakan Djawa Dipa. Dipelopori oleh seorang anggota redaksi suratkabar Oetoesan Hindia, Tjokrosoedarmo, gerakan ini melibatkan pula kaum intelektual pergerakan yang berasal dari kalangan priyayi tinggi, seperti Soerjopranoto, Sosrokardono, Tjipto Mangoenkoesoemo, Siti Larang, Soewardi Soerjaningrat [belakangan berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara], dan lain-lain. Gerakan ini mempopulerkan penggunaan bahasa Djawa Ngoko, yang seharusnya hanya dipakai oleh majikan ke bawahannya atau di kalangan orang-orang yang dianggap setara status sosialnya. Diharapkan dengan pemakaian bahasa yang mengandung semangat kesetaraan akan tumbuh keberanian kaum kromo untuk mengungkapkan ekspresi ketidak-adilan yang selama ini mereka terima.
Gerakan ini dengan sendirinya mendapatkan tentangan dari kalangan pejabat pemerintah kolonial dan priyayi tinggi. Penghapusan bahasa "halus" dan adat istiadat ini bukan saja dianggap sebagai penghinaan terhadap kebudayaan Jawa yang adhiluhung, tetapi juga akan mengganggu tatanan sosial yang telah mereka pertahankan selama ratusan tahun. Selain itu mereka juga merasa kedudukannya sebagai patron kebudayaan Jawa di dalam birokrasi kolonial terancam. Untuk menghadapi ancaman ini, pada 1918 mereka selenggarakan Konggres Keboedajaan Djawa yang menyatakan bahwa Gerakan Djawa Dipa merupakan gerakan yang tidak nasionalis Jawa dan mengganggu hubungan kawula-gusti.
Tentangan dari kaum ambtenaar tidak menyurutkan gerak Jawa Dipa. Ia terus berkembang ke seluruh pergaulan kehidupan, baik di bidang belajar-mengajar maupun dalam hubungan kerja. Pada 1918 terjadi pemogokan para siswa Holland Inlandsche School (HIS) di Semarang yang menuntut para gurunya untuk tidak menggunakan bahasa Jawa rendahan, tetapi bahasa Jawa Ngoko, Melayu atau Belanda. Pemogokan yang berlangsung dua hari itu telah membuat para guru yang rata-rata orang Belanda untuk melaporkannya kepada pihak Het Kantoor Voor Inlandsche Zaken (Kantor Urusan Bumiputra). Dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa para murid yang mayoritas keturunan priyayi kecil dianggap telah melawan kekuasaan kolonial karena menurut aturan seorang bumiputra yang hanya keturunan priyayi kecil, atau bahkan tanpa mempunyai ikatan darah bangsawan samasekali, tidak mempunyai hak untuk berbicara dalam bahasa Belanda atau Melayu; mereka harus berbicara dalam bahasa Jawa Kromo yang berbelit-belit.
Di bidang lain, yaitu perburuhan, seorang tokoh pergerakan yang dikenal dengan sebutan Staking Koning (Si Raja Mogok), Soerjopranoto, juga sangat mendukung Gerakan Djawa Dipa. Menurutnya, dengan mengubah adat bahasa secara radikal, ada dua hal yang hendak dicapai oleh gerakan ini, yaitu agar terjalin persahabatan yang demokratis dan bebas diantara sesama teman sependeritaan dan seperjuangan, dan agar ada kebersamaan yang wajar di kalangan rakyat kecil untuk menghadapi majikan, kaum ningrat, dan pemerintah kolonial yang memegang kekuasaan.
Walaupun awalnya gerakan ini berkonsentrasi melawan feodalisme Jawa, setelah melalui perdebatan serius, ia meluas menjadi Gerakan Hindia Dipa pada 1921. Arti Hindia Dipa adalah "cahaya yang menyinari Hindia" atau Hindia yang telah memperoleh penerangan. Sebagaimana tercantum dalam surat kabar gerakan ini, Hindia Dipa, 18 April 1921, "Hindia Dipa berarti Hindia terang, setuju dengan cita-cita kita akan membersihkan kecemaran yang ada di Hindia supaya awan yang gelap musnah, tinggal terangnya. Perluasan gerakan ini terutama mendapat dukungan dari Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat, yang melihat bahwa ada kaitan erat antara gerakan ini dengan hubungan-hubungan yang bersifat kolonial. Mereka melihat bahwa memperjuangkan kemajuan rakyat merupakan perjuangan seluruh rakyat Hindia, bukan hanya rakyat Jawa saja. Di samping itu, mereka menganggap mempersoalkan kebudayaan Jawa tidak relevan lagi; yang harus menjadi tumpuan gerakan ini bukanlah serangan yang diarahkan pada para priyayi saja, tetapi juga pada penguasa kolonial yang mempergunakan kebudayaan Jawa untuk kepentingan mereka. Perluasan gerakan ini menunjukkan tumbuhnya kesadaran kebangsaan di kalangan pergerakan di Jawa; dari semangat anti feodalisme ke anti kolonialisme.
Meskipun gerakan Hindia Dipa mengalami kemandegan pada 1922, gagasan yang dikumandangkan terus berkembang sebagai gerakan emansipasi dan gerakan kebudayaan pada periode selanjutnya.
Taman Siswa dan "Polemik Kebudayaan"
Gagasan vital Hindia Dipa yaitu menentang feodalisme dan kolonialisme melalui pendidikan secara massal memberi inspirasi bagi Ki Hadjar Dewantara untuk mendirikan sekolah liar (Wilde Schoolen) -- kemudian lebih dikenal dengan nama Taman Siswa -- bagi kaum pribumi pada 1922. Melalui sekolah ini Ki Hadjar mempertahankan sikap penolakan terhadap Nasionalisme Jawa dan mengembangkan ide kebangsaan yang internasionalis. Menurut hematnya, pembebasan manusia dari cengkeraman keruntuhan moral bisa terwujud hanya kalau kebudayaan Jawa lenyap dan orang Jawa menjelma menjadi manusia Hindia yang sanggup berinteraksi dengan masyarakat internasional. Namun, Ki Hadjar pun menyadari bahwa memusnahkan suatu kebudayaan yang berusia ratusan tidak bisa dilakukan serta merta. Kaum intelektual yang mendapat akses lebih luas pada ilmu pengetahuan dan bersinggungan dengan kebudayaan lain di dunia mungkin tak menghadapi banyak kesulitan mengintegrasikan konsep-konsep baru. Sedangkan rakyat negeri agraris yang masih terkungkung dan tertindas oleh struktur masyarakat feodal memiliki logika pemahaman sendiri tentang gerak pembebasan.
Berangkat dari pemandangan ini Ki Hadjar mencoba menerapkan sistem pendidikan yang pada dasarnya merupakan perkawinan antara konsep pengajaran tradisional, dalam hal ini kebudayaan Jawa, yang menekankan segi spiritual dan moral dengan pendidikan modern yang lebih memberikan ketrampilan teknis. Usaha Ki Hadjar ini segera mengundang kritikan dari berbagai pihak, termasuk dari kawan seperjuangannya, Tjipto Mangoenkoesoemo. Tjipto melihat bahwa ide Ki Hadjar memasukkan kebudayaan Jawa dalam sistem pendidikan hanya akan melemahkan gerakan anti-kolonialisme. Jawa sebagai entitas budaya dan politik sedang sekarat sehingga lebih baik membuangnya sama sekali dan berkonsentrasi pada gerakan politik karena tanpa kemerdekaan di bidang politik tak ada artinya perjuangan di wilayah kebudayaan. Ki Hadjar berargumen bahwa ada segi-segi kebudayaan Jawa yang tidak feodalistis yang perlu dihidupkan agar rakyat memiliki rasa percaya diri yang lebih besar. Baginya kemerdekaan politik tak akan bertahan apabila bangsa ini masih terjajah di bidang kebudayaan. Lebih jauh lagi, ketika Tjipto mengatakan bahwa begitu Hindia Belanda merdeka, perkawinan budaya Indonesia dan Eropa akan terjadi dengan sendirinya, Ki Hadjar menihilkannya. Tak akan terjadi suatu perkawinan budaya yang demokratis apabila kedudukan pihak-pihak yang berasimilasi tidak setara. Yang terjadi nantinya bukanlah suatu sintesa, tetapi penjajahan satu budaya oleh budaya lainnya.
Perdebatan antara Tjipto dan Ki Hadjar boleh dikatakan mengawali perdebatan panjang dan sengit di bidang kebudayaan yang berlangsung pada pertengahan 1930an. Dikenal dengan nama "Polemik Kebudayaan", silang pendapat yang terjadi di kalangan pemikir kebudayaan pada saat itu seringkali dipahami sebagai debat antara kubu modernis dan tradisionalis, atau kubu pro-Barat dan pro-Timur. Penyederhanaan peristiwa ini secara langsung maupun tidak mempengaruhi cara pandang umum tentang kebudayaan Indonesia. Pembaca sejarah dibuat memilih salah satu dan mengabaikan yang lainnya, seakan-akan kebudayaan Indonesia bergerak dalam bidang linear yang dibagi tegas antara sisi Timur dan Barat, atau sisi modern dan tradisional. Padahal ketika diperhatikan dengan baik tampak jelas bahwa semua pihak yang terlibat dalam polemik itu boleh dibilang kaum modernis, mereka menerima ilmu pengetahuan modern dan toleran terhadap apa yang mereka pahami sebagai "kebudayaan barat". Lebih jauh lagi, mereka sama-sama menentang tradisi "feodal" Jawa kolonial. Tak satu pun percaya bahwa kebudayaan "Indonesia Baru" harus sepenuhnya diambil dari kebudayaan elit tradisional, atau pun bulat-bulat dari kebudayaan rakyat.
Perbedaan mendasar justru muncul ketika konsep-konsep yang beradu ini dikaitkan dengan gerakan pembebasan nasional melawan kekuasaan negara kolonial. Seperti pernah dinyatakan Tjipto Mangoenkoesoemo, "(p)ertentangan fundamental itu bukan antara Timur dan Barat atau antara orang-orang Hindia dan non-Hindia tetapi antara dominasi dan subordinasi, apapun bentuknya". Diwakili oleh pandangan Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dan Ki Hadjar Dewantara (KHD), posisi berseberangan ini kelak menentukan arah perkembangan kebudayaan nasional Indonesia dan masalah yang dihadapinya.
Posisi STA jelas. Pemujaannya pada segala yang dianggap Barat disertai dengan keyakinan bahwa nilai-nilai itu netral, atau bebas nilai. Akibatnya ia tidak bisa, atau menolak, melihat kepentingan kekuasaan yang bermain dalam kebijakan pemerintah kolonial Belanda di bidang kebudayaan. Sebagai bagian dari kampanye politik kaum ethisi, pemerintah bersedia memberi sesuap pengetahuan Barat bagi para buruh pribumi yang akan melancarkan mesin birokrasi kolonial Hindia-Belanda. Tak mengherankan bila Takdir dan Pudjangga Baru-nya tidak pernah melontarkan sikap kritis terhadap kolonialisme Belanda. Sikap yang didasari pada keyakinan bahwa kebudayaan tiada bersangkut paut dengan politik. (Posisi yang dia yakini seumur hidup seperti terlihat dalam Konggres Kebudayaan 1951 di Solo maupun Kongres Kebudayaan 1991 di Jakarta.)
Posisi KHD berbeda. Ia menyadari bahwa pendidikan Barat yang sering mengklaim humanis ternyata dalam penerapannya di Hindia Belanda justru mendorong proses dehumanisasi. Ada keterbatasan-keterbatasan yang tidak menguntungkan kaum pribumi. Pertama, pendidikan tersebut bersifat elitis sehingga tidak menjangkau rakyat jelata. Kedua, pendidikan yang berorientasi ke negeri Belanda menjauhkan elite Indonesia dari seluruh bangsanya dan menumpulkan langkah pembentukan kesadaran kolektif sebagai suatu bangsa. Ketiga, sebagai akibat logisnya, elite terdidik Indonesia yang sudah ke-Belanda-belandaan dalam artian berpenampilan, berbahasa sehari-hari Belanda, lebih suka menjadi Belanda berkulit sawo matang. Tanpa kebanggaan dan terutama pengetahuan yang cukup tentang masa lalu dan kebudayaan sendiri, apa yang bisa diharap selain ketundukan dan kekaguman berlebihan pada kebudayaan yang lebih berkuasa, kebudayaan sang penjajah?
Jelas bahwa yang jadi keprihatinan utama dalam perdebatan di masa 1930an ini sebenarnya adalah persoalan demokrasi. Apakah tradisi tertentu perlu dibawa serta atau dibuang dalam perkembangan suatu bangsa, erat hubungannya dengan bagaimana para pemikir kebudayaan membayangkan kehidupan yang lebih demokratis dan bagaimana mereka rumuskan visi politik dan moral bangsa yang diharapkan akan lahir. Sejarah menunjukkan bahwa upaya perumusan konsep kebudayaan nasional senantiasa "terganggu" oleh pergolakan politik di jamannya: pendudukan Jepang, diikuti dengan pertempuran paska-kemerdekaan, dan pertarungan ideologis yang berakhir dengan tragedi berdarah 1965.
Tim Media Kerja Budaya: Alex. Supartono, Ayu Ratih, Bambang Agung, John Roosa, Razif

0 comments: