Masuknya Islam ke Nusantara
Warna Baru Masuknya Islam ke Nusantara
Judul: Runtuhnja Keradjaan Hindu Djawa dan Timbulnja
Negara-Negara Islam di Nusantara Penulis: Prof Dr Slamet Mulyana Penerbit:
Bhratara, Jakarta, 1968 Tebal buku: 271 halaman
DALAM literatur yang beredar
dan menjadi arus besar sejarah, masuknya Islam ke Indonesia selalu diidentikkan
dengan penyebaran agama oleh orang Arab, Persia ataupun Gujarat. Namun, buku
tulisan Prof Dr Slamet Mulyana ini berhasil memberikan satu warna lain, yaitu
bahwa Islam di Nusantara tidak hanya berasal dari wilayah India dan Timur
Tengah, akan tetapi juga dari Cina, tepatnya Yunan.
Dipaparkan bermula dalam
pergaulan dagang antara Muslim Yunan dengan penduduk Nusantara. Pada kesempatan
itu terjadilah asimilasi budaya lokal dan agama Islam yang salah satunya
berasal dari daratan Cina. Diawali saat armada Tiongkok Dinasti Ming yang
pertama kali masuk Nusantara melalui Palembang tahun 1407. Saat itu mereka
mengusir perompak-perompak dari Hokkian Cina yang telah lama bersarang di sana.
Kemudian Laksamana Cheng Ho membentuk Kerajaan Islam di Palembang. Kendati
Kerajaan Islam di Palembang terbentuk lebih dahulu, namun dalam perjalanannya
sejarah Kerajaan Islam Demak-lah yang lebih dikenal.
Buku Runtuhnja Keradjaan
Hindu Djawa dan Timbulnja Negara-negara Islam di Nusantara memaparkan hal
ini. Sebenarnya, buku ini merupakan salah satu dari beberapa buku proyek
penelitian tentang Kerajaan Majapahit. Buku tersebut pernah dipresentasikan di
depan International Congress of Orientalis di Ann Arbor, Amerika Serikat tahun
1967. Buku ini mendapat warna khas sebagaimana dituliskan dokumen Babad
Tanah Djawi, Serat Kanda, dan dokumen di Klenteng Sam Po Kong
Semarang sebagai sumbernya. Dari ketiga dokumen penulis merasa menemukan benang
merah yang menguatkan satu dan lainnya, dan sekaligus menunjukkan bahwa
beberapa Wali Songo ternyata keturunan Tionghoa.
***
SEJARAH masuknya Islam yang disebarkan oleh Muslim
Tionghoa dari Yunan tidaklah berbeda dengan sejarah masyarakat dunia yang
mengembara untuk mendapatkan kekayaan, penyebaran agama dan kemuliaan (Gold,
Gospel, and Glory). Hanya, orang-orang Tionghoa dari Yunan datang tidak
langsung secara besar-besaran dengan kekuatan militer, tetapi bergelombang
sebagai pedagang. Awalnya yang datang pertama kali hanyalah rombongan laki-laki
yang kemudian menikah dengan wanita setempat. Dari sinilah kemudian terbentuk
komunitas Tionghoa, kemudian muncul pemimpin di antara mereka, hingga merasa
perlu untuk membangun kekuatan pasukan.
Tidak diketahui dengan pasti
kapan pertama kali orang Cina datang ke Nusantara. Namun, salah satu informasi
yang diperoleh adalah ketika armada Tiongkok tersebut bersandar di Semarang
selama satu setengah bulan untuk perbaikan kapal, mereka shalat di masjid
Tionghoa. Artinya sejarah membuktikan bahwa komunitas Muslim Tionghoa sudah ada
di Jawa sebelum terbentuk Kesultanan Islam di Palembang sekitar tahun 1407.
Dari dokumen berusia lebih
dari 400 tahun di Klenteng Sam Po Kong, diperoleh kepastian bahwa Raden Patah
pendiri Kesultanan Islam Demak yang bergelar Panembahan Djimbun seperti
tertulis dalam Serat Kanda dan Babad Tanah Djawi adalah Djim-Bun
dalam masyarakat Tionghoa keturunan. Babad Tanah Djawi menceritakan
bahwa Raden Alit atau Prabu Brawidjaja VII (Raja Majapahit) menikahi putri Cina
(putri saudagar Tionghoa Muslim kawan baik sang Prabu) dan memiliki anak.
Selanjutnya anak tersebut
tidak dibesarkan di lingkungan keraton, melainkan dibesarkan oleh komunitas
Tionghoa muslim di Palembang. Jadi kerajaan Islam Demak sebenarnya dibangun
oleh komunitas Tionghoa asli dan keturunan yang menetap di Semarang. Raden
Patah atau Al Fatah menjadi Sultan Demak pertama (1475-1518) dengan julukan
Senapati Djimbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Saidin Panata Agama.
Babad Tanah
Djawi juga bercerita tentang Sunan Ngampel atau Raden Rahmat sebagai pendatang
dari Yunan (pertama kali datang tahun 1445 M), dengan nama asli Bong Swi Hoo,
cucu penguasa tertinggi di Campa, Bong Tak Keng. Dia menikah dengan wanita
peranakan Cina di Nusantara, dan membentuk masyarakat Islam Jawa di Pantai
Utara Jawa dan Pulau Madura. Pembauran dengan masyarakat sekitar terjadi
sekaligus melepaskan identitas asalnya akibat putra Sunan Ngampel yaitu Sunan
Bonang tidak bisa berbahasa Tionghoa. Dalam buku ini diceritakan pula bahwa Raden
Patah mendalami agama Islam pada Sunan Ngampel sebelum mengembangkan komunitas
Muslim Tionghoa di Demak. DI dalam kajiannya, Slamet Mulyana juga mengakui
adanya penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh wali dari Aceh dan Persia,
namun tidak dijelaskan bagaimana asal-usul wali tersebut. Pemaparan buku ini
tentang agama Islam yang disebarkan kaum muslim oleh Tionghoa Yunan mengundang
reaksi keras dari sebagian masyarakat muslim yang tidak dapat menerima bahwa
Islam dibawa oleh para pedagang Cina. Menanggapi reaksi masyarakat tersebut
pemerintah mengeluarkan larangan dengan menerbitkan surat bernomor 43/DA/
6/1971 tanggal 26 Juni 1971. Apa yang dipaparkan dalam buku
Slamet Mulyana ini berusaha menunjukkan kebinekaan jalan pengembangan Islam di
Indonesia. Pelarangan yang dikeluarkan jelas menghentikan riset sejarah khusus
bidang ini. Keberatan para kolega terutama pada metode pengungkapan fakta,
salah satu contohnya adalah agama yang dibawa dari Cina beraliran Islam Hanafi,
sedangkan Syi'ah dibawa oleh para pedagang Gudjarat, Persi, dan Arab pada
permulaan abad ke-12 (hlm 153). (Umi Kulsum/Litbang Kompas)
0 comments: