KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN MENURUT FRANCIS BACON DAN JOHN LOCK SERTA PERBANDINGANNYA
A. Francis Bacon
- Kehidupan Francis Bacon
Bacon lahir pada tahun 1561 dan berasal dari keluarga
bangsawan Inggris. Ayahnya, Sir Nicolas Bacon, adalah seorang negarawan terkenal
pada masa pemerintahan Ratu Elizabeth, ia mengabdikan hidupnya pada pendidikan
dan merupakan seorang dermawan yang mendirikan sekolah dasar secara Cuma-cuma
serta beberapa lembaga pendidikan lainnya. Francis adalah seorang anak yang
cepat dewasa, umurnya baru 12 tahun pada waktu ia diterima di Trinity College,
Universitas Cambridge. Pada masa belajar di perguruan tinggi, ia menyimpulkan
bahwa ilmu-ilmu pengetahuan yang diajarkan di tempatnya berdasarkan metode yang
tidak mencukupi dan keliru, terutama logika deduktif serta pendangan
Aristoteles yang lebih berdasarkan teori dari pada kenyataan yang telah
dijadikan pokok ilmu pengetahuan pada masa pertengahan dan zaman modern. Bacon
mempelajari dan menulis secara fasih dalam bahasa latin, juga merupakan ahli
dalam prosa essei Inggris dan dapat dengan baik menyampaikan pandangannya
dengan kekuatan serta wibawa yang dimilikinya.
Pada tahun 1575 ia belajar hukum di Gray’s inn dan
tidak lama setelah itu sering terlibat dalam masalah-masalah politik. Ia
menjadi anggota Majelis Perwakilan Rendah, pada tahun 1591 berkenalan dengan
Earl of Essex, orang yang melindunginya. Pada waktu Essex
merencanakan untuk menjatuhkan Ratu Elizabeth,
Bacon mengecam dan menuntutnya, akibatnya Essex
di hukum mati karena penghianatannya. Dengan mengabaikan larangan Bacon untuk
tidak menentang ratu, tidak pada Essex, Bacom
dituduh penghianat oleh temannya tersebut. Kecamannya terhadap Essex menyebabkan ia segera diangkat sebagai penasehat
yang diercaya oleh Ratu Elizabeth.
Pada waktu itu Ratu meninggal pada tahun 1613, Bacon mengambil hati
pengantinya, yaitu raja James I, dan kepadanya pulalah Bacon mempersembahkan
karyanya yang paling berpengaruh, THE ADVANCEMENT OF LEARNING pada tahun 1605.
Untuk beberapa saat Bacon berhasil sukses menjadi Jaksa Agung Muda pada tahun
1607, Jaksa Agung pada tahun 1613, penasehat pribadi pada tahun 1618. Tetapi
pada tahun 1621 nasibnya berubah pada waktu itu ia dituduh oleh Majelis
Perwakilan Tinggi karena kasus penetapan sehubungan dengan tugasnya sebagai
penegak hukum. Ia mengaku, kemudian didenda dan dipenjarakan. Karir politiknya
rusak walaupun raja telah membatalkan dendanya, memebebaskannya dari tahanan
dan memberikan pengampuan. Lima
tahun setelah itu Bacon meninggal akibat bronchitis.
- Konsep Pemikiran Pendidikan
Bacon merupakan kritikus yang hebat terhadap
kekeliuran ilmu pengetahuan dan pendidikan. Ia mengtakan bahwa para ahli ilmu
pengetahuan pada dasarnya salah karena mereka mengabaikan kebenaran umum dan
percobaan yang kesemuanya merupakan metode yang berlaku untuk suatu penelitian
gejala alam. Ia mendesak agar pelajaran tentang alam itu sendiri –bukan
teori-teori yang tidak berdasarkan kenyataan atau logika deduktif Aristoteles
dan guru- harus dijadikan dasar begi semua jenis ilmu pengetahuan. Ia menulis suatu
risalah yang berjudul NOVUM ORGANUM (NEW METHOD) untuk menguraikan pandangannya
yang bertentangan dengan metode deduktif Aristoteles, untuk memperoleh
pengetahuan. Ia menekankan bahwa segala wewenang yang ada dalam hal-hal
intelektual dan secular harus ditolak, bahkan yang terdapat dalam gereja
sekalipun; semuanya itu harus digantikan dengan penelitian induktif tentang
alam secara bebas. Semua kebenaran harus diketahui secara pasti, disimpulkan,
dibandingkan dan dipakai sebagai satu-satunya patokan bagi suatu kesimpulan
atau dasar-dasar pengetahuan. Lebih jauh lagi ia menyatakan bahwa hal-hal
tersebut harus diuji, karena bila terdapat satu saja hasil yang negative, akan
dapat mengakibatkan tidak berlakunya suatu kesimpulan, walaupun terdapat fakta
berbagai fakta sekalipun. Metode semacam itu juga harus diterapkan dalam semua
bidang pelajaran. Tidak boleh ada pemakaian hal-hal alkimia, takhyul,
teori-teori atau penjelasan yang belum terbukti, dongeng atau hal-hal magis,
diskusi yang bertele-tele tentang suatu kebenaran mutlak, dan ketergantungan
terhadap buku-buku atau para ahli dalam bidang apapun. Seorang murid harus
percaya akan penelitian dan percobaannya sendiri dalam mencari
kebenaran-kebenaran yang nyata, hasil berlaku dan hal-hal yang ialah diamati,
bukannya teori-teori aneh tentang gejala alam.
Bacon juga mengatakan bahwa para pendidik harus
mengjarkan nilai-nilai pemikiran metode induktif; sedangkan dalam ilmu
pengetahuan, mereka hnaya harus mengajarkan kebenaran-kebenaran yang betul-betul
telah diuji melalui suatu percobaan dan penelitian. Jalan menuju ilmu
pengetahuan dimulai dari suatu kebenaran dengan pengertian yang diketahui
secara pasti melalui pengalaman. Apapun yang dipelajari harus terlebih dahulu
melalui ujian kebenaran melalui proses pengamatan dan percobaan manusia tentang
alam; kebenaran apapun yang didapat dari pengujian dan penelitian alam akan
memiliki nilai praktis serta akan meningkatkan kekuatan manusia terhadap alam
itu sendiri; akibatnya akan menambah kesejahteraan manusia.
Bacon mengatakan bahwa seorang murid harus sadar akan
adanya kelemahan dalam pikiran yang sering mengubah dan salah dalam menafsirkan
kejadian-kejadian alam yang sebenarnya. Ia harus menolak prasangka atau
gagasan-gagasan yang merugikan dan berbagai konsepsi tradisional yang belum
terbukti, jangan menganggap sesuatu telah benar bila belum diuji kebenarannya,
jangan sampai tersesat oleh hal-hal yang salah, berarti ganda, ragu-ragu,
dogmatis, kesimpulan yang tidak didasarkan pada kenyataan, dan penjelasan-penjelasan
salah tentang tentang suatu gejala, walaupun masuk akal. Ia tidak boleh hanya
menghafalkan kata-kata dan buku-buku milik para cendikiawan serta menganggapnya
sebagai kebenaran mutlakl tetapi harus melihat kepada alam sebagai
kebenaran-kebenaran yang dapat dibuktikan. Ia harus menghindari masalah-masalah
mistik yang sia-sia atau hal-hal yang tidak berguna dan persoalan-persoalan
yang tidak memiliki arti praktis dalam masyarakat. Bacon menulis sebuah karya
fiksi utopis berjudul THE NEW ATLANTIS (1926) yang melukiskan sebuah masyarakat
ideal dimana di dalamnya terdapat sekelompok ahli ilmu pengetahuan alam dan
ilmuwan yang telah menerapkan metode induktif sebagai alat pencapaian kebenaran
suatu ilmu pengetahuan, kebahagiaan dan penyelesaian. Ia tidak keberatan atau
menentang agama yang sudah ada, tetapi menyatakan bahwa pranata atau lembaga
agama tidak boleh turut campur dalam pemecahan masalah-masalah ilmiah. Ia
meminta agar agama harus berdiri di luar ilmu pengetahuan dan harus dihormati
hanya sebagai hal yang berhubungan dengan kepercayaan bukan sebagai alat bagi
pembuktian suatu kenyataan.
Gagasan ilmiah dan pendidikan yang dimiliki Bacon
kurang baik, sehingga ia tidak mengerti pentingnya hipotesa –teori sementara
yang belum dapat dipertanggung jawabkan terhadap suatu percobaan- sebagai
penjelasan yang memungkinkan bagi data-data yang telah diselidiki, dalam hal
ini, terlalu tergesa-gesa untuk menyalahkan penemuan-penemuan atau gagasan-gagasan
penting dari para ilmuwan besar seperti Copernicus, Galileo dan Harvey, sebagai
orang-orang yang telah merumuskan dan menguji berbagai teori yang masuk akal
tentang gejala alam yang telah mereka selidiki melalui penelitian-penelitian
yang lebih jauh atau, jika mungkin, percobaan-percobaan. Kenyataan bahwa tulisan-tulisannya
yang berpengaruh didasarkan pada hipotesa yang layak, bukan
percobaan-percobaan, membuktikan bahwa dan teori-teori yang ada di dalamnya
dapat memberikan kebenaran jauh sebelum buku-buku tersebut menjalani pengujian
terhadap percobaan dan pengalaman yang menentukan. Sebenarnya Bacon menghargai
buku-buku (tertulis dalam karyanya yang berjudul ESSAY’S bahwa “beberapa harus
diuji. . . . yang lainnya dikesampingkan . . . . dan beberapa lagi dikunyah dan
dicerna”), mengatakan bahwa “membaca membuat manusia menjadi sempurna”; hal
tersebut menunjuk pada kebenaran-kebenaran yang belum diselidiki melalui
induksi dan kesimpulan yang berdasarkan pemikiran-pemikiran dan
perasaan-perasaan para pemikir dan pencipta besar dalam bidang sastra.[1]
B.
John Locke
- Kehidupan John Locke
Locke lahir pada tahun 1632 di Lubeck, Jerman Utara. Ayahnya adalah seorang
pengacara yang bekerja sebagai juru tulis hakim di Somersetshire dan menjadi
kapten angkatan bersenjata di Long arliament selama pemerintahan Raja Charles
I. Ayah Locke adalah seorang puritan yang disiplin. Ia pecaya bahwa anak-anak
harus dibimbing selama masa kanak-kanaknya, dan setelah itu diberi kebebasan
setelah mereka menunjukkan penguasaan diri. Suatu ajaran yang oleh Lucke terus
dipertahankan sebagai prinsip pendidikan yang benar. Ayahnya juga percaya pada
kebebasan politik dan sistem pemerintahan parlementer. Suatu pandangan lainnya
yang diuraikan secara terperinci oleh Locke dalam karya-karyanya yang
berpengaruh.[2]
Pada usia 14 tahun, ia sekolah Westmenster untuk
persiapan ke Oxford.
Locke belajar Ilmu Alam dan Kedokteran serta mencapai gelar kesarjanaan tahun
1658. John Locke kemudian masuk dunia diplomasi dan ditempatkan di Brandenburg tahun 1665.
Karena profesi diplomatnya ini, ia lalu menunjungi banyak Negara. Dia pernah ke
Paris dan
Belanda pada masa Stadhouder Koning Willem III.
John Locke kemudian kembali ke Oxford, belajar lagi dan menjadi dokter. Ia
membaca tulisan-tulisan Descartes dan merasa sangat tertarik pada filsafatnya.
John Locke, disamping pernah menjadi diplomat dan dokter, juga pernah menjadi
dosen pribadi, filosuf dan penulis. Akibat kesibukannya itu kesehatannya
menjadi terganggu. John Locke meninggal pada tahun 1704.
- Konsep Pemikiran Pendidikan
John Locke adalah seorang filosuf empiris. Bagi dia,
empiris (empirisme, experience) atau pengalaman adalah sumber semua
pengetahuan. Dalam bidang pendidikan, ia menganjurkan pengamatan gejala-gejala
psikis.
John Locke menganut teori tabula rasa, teori kertas
putih, kertas tidak bertulis. Menurutnya, segala sesuatu yang ada dalam
pikirannya berasal dari pengalaman inderawi; tidak dari akal budi. Otak (dan
juga jiwa) seperti sehelai kertas yang masih putih, kosong dan pasif. Melalui
pengalaman inderawilah helai-helai kertas itu diisi. Artinya, pengamatan dengan
pancaindera akan mengisi jiwa dengan kesan-kesan (sensation) yang dengan
jalan sintesis, analisis dan perbandingan diolah menjadi pengetahuan (reflexion).
Sebagai pendidik, John Locke mengutamaka pendidikan
jasmani (ingat: dia adalah dokter dan lemah kesehatannya). Dia juga
menganjurkan pakaian yang cocok, tidak terlalu panas dan tidak terlalu sempit;
makanan sehat tanpa pedas, sering menghirup udara segar, melakukan gerak dan
olah raga, serta kepala dan kaki harus selalu dingin.
John Locke mengutamakan pendidikan di rumah daripada
sekolah, karena pendidikan di rumah memberi kesempatan mengenal dari dekat
kepribadian si anak. Ciri didaktik John Locke adalah: (a) belajar seperti
bermain, (b) mengajarkan mata pelajaran berturut-turut, tidak sama-sama, (c)
menutamakan pengalaman dan pengamatan, (d) mengutamakan pendidikan budi
pekerti.
Perihal pendidikan budi pekerti, John Locke menekankan
sola menahan diri dan membangkitkan rasa harga diri, pendapat orang harus
menjadi salah satu alasan penting untuk perbuatan-perbuatan susila. Selain itu,
anak harus memperhatikan apakah orang lain menyetujui atau mencela.
John Locke mementingkan kepatuhan si anak. Dari
permulaan, anak harus dibiasakan kepada yang baik-baik. Pendidik harus dapat
mempertahankan kewibawaannya. Ia menolak hukuman-hukuman dan hadiah. Ia pun
menolak pendidikan agama yang berlebi-lebihan. John Locke tidak setuju anak
diberi Kitab Injil (Bibel). Menurutnya, anak lebih disuruh membaca
cerita-cerita Bibel.[3]
Pendidikan Locke tentang jiwa, kebutuan intelektual
dan aktivitas seorang anak, telah memberikan dasar bagi psikologi empiris
modern, psikologi percobaan dan studi tentang anak. Tetapi kesimpulannya yang
menyatakan bahwa akal merupakan alat pasif yang hanya menerima impresif rasa,
ditolak para pakar psikologi. Para kritikus juga menyerang pandangannya yang
mengatakan bahwa setiap individu memiliki kemampuan jiwa atau perbedaan
kemampuan jiwa yang dapat dikembangkan melalui pelajaran matematik atau
pelajaran sejenisnya yang “rumit dan sukar” yang membutuhkan suatu “pemikiran
teliti dan latihan… cara berpikir” di mana manusia “akan dapat memindahkannya”
pada “bagian-bagian lain dari ilmu pengetahuan jika ada kesempatan”.
Penekanannya terhadap pengulangan, pembentukan kebiasaan dan kebenaran pengalihan
pendidikan, memiliki pengaruh besar terhadap pengajaran-pengajaran di sekolah
dalam abad 18 dan awal abad 19. Akibatnya, para guru cxenderung untuk
menekankan latihan kerja di dalam kelas dan sering mengabaikan ajaran Locke
yang menyatakan bahwa pemikiran dan pengertian tentang bahan-bahan pelajaran
secara jelas sama pentingnya seperti pengulangan. Sampai sekarang
pertentangan-pertentangan terus berlanjut mengenai apakah sejumlah anak atau
bahkan bangsa mewarisi peralatan mental lebih besar; apakah kemampuan jiwa
dapat atau tidak dapat dikembangkan secara baik melalui studi-studi tertentu
yang kemudian diterapkan (dialihan –oleh murid sepada studi-studi lain; apakah dorongan
alamiah anak-anak harus dikendalikan secara ketat –seperti yang dianjurkan
Locke- atau justru diberikan kebebasan, seperti yang dianjurkan ahli filsafat
dan pendidikan revolusioner Jean Jacques Rosseau, orang yang setuju dan
mempupolerkan gagasan pendidikan dan kemasyarakatan milik lainnya. Locke
seorang ahli psikologi terkenal abad 20, Edward Thorndike (1874-1949), telah
merumuskan dalil-dalil psikologi – dalil kesiapan, penggunaan dan pengaruh- yang
mencakup dan menambah prinsi-prinsip :ocke tentang minat, pengulangan dan
keberhasilan dalam pengetahuan.
Locke mengatakan bahwa orang tua dan pembimbing harus
menjadi contoh, memperlihatkan sifat-sifat kepribadian yang prima, seperti
misalnya kebaikan, kabijaksanaan, pendidikan yang baik, ketekunan dan
hal-hal-hal lain yang dihormati serta sering ditiru oleh anak-anak. Seorang anak
yang mencoba untuk mencontoh hal-hal di atas harus didorong, dipuji,
diperbaiki/ditegur atau dibimbing jika perlu, tetapi jangan terlalu dibebani
oleh kritik-kritik yang berlebihan atau tugas yang tak berguna. Locke
menganjurkan agar tidak mengisi kepala anak-anak “dengan sampah” karena mereka
tidak akan memikirkan hal tersebut lagi “selama hidupnya”. Pendidikan harus
praktis, berguna, berarti, menyenangkan, anak harus dihormati, “diperlakukan
sebagai orang dewasa”, dibiarkan untuk mengeluarkan pendapatnya, belajar dari
pengalaman, memperoleh pengetahuan, kemampuan dan berbagai keterampilan yang
akan berguna baginya. Biarkan ia memiliki waktu bermain dan istirahat yang
cukup, kata Locke, biarkan pula ia mengetahui pertimbangan-pertimbangan
peraturan dan studi, serta didorong untuk mengembangkan kemandirian dan
disipilin diri.[4]
C.
Perbandingan Konsep
Pendidikan antara Keduanya
John Locke dan Francis Bacon, merupakan dua tokoh
besar dalam dunia pendidikan, serta mempunyai berbagai macam gagasan-gagasan
dalam bidang pendidikan. Akan tetapi terdapat suatu perbedaan dalam pemikiran
mengenai konsep pendidikan diantara keduanya.
Francis Bacon adalag seorang tokoh pendidikan yang
lebih menekankan informasi atau pengetahuan yang diperoleh melalui pemikiran
induktif dan pengalaman para murid sendiri. Ia mengatakan bahwa seorang murid
harus sadar akan adanya kelemahan dalam pikiran yang sering mengubah dan salah
dalam menafsirkan kejadian-kejadian alam yang sebenarnya. Selain itu, kita juga
tidak boleh menganggap sesuatu telah benar bila belum diuji kebenarannya,
jangan sampai tersesat oleh hal-hal yang salah, berarti ganda, ragu-ragu,
dogmatis, kesimpulan yang tidak didasarkan pada kenyataan dan
penjelasan-penjelasan salah tentang suatu gejala, walaupun masuk akal. Pendapat
tersebut bertentangan dengan konsep yang dikemukakan oleh John Locke, Locke
lebih menekankan studi mata pelajaran yang akan melatih kemampuan, kecakapan
dan kebiasaan murid.
Menurut Locke, sasaran pendidikan adalah membentuk
akal sehat dalam tubuh yang sehat dan “gubuk tanah liat” dalam pikiran. Akal
dan tubuh saling berhubungan secara erat dan tidak dapat dipisahkan. Tubuh dan
pemkiran anak yang masih kecil membutuhkan bimbingan dan disiplin untuk
mengajarinya agar dapat menahan kesukaran atau ketidakpuasan dan membentuk
gabungan antara kebiasaan berpikir secara benar dan tingkah laku yang baik.
Setelah anak tersebut tumbuh besar dan menunjukkan kemampuannya dalam
mengendalikan dorongan alamiah serta keinginannya, ia harus diberi kebebasan
lebih besar untuk memutuskan segalanya dengan caranya sendiri. Tetapi dalam
membimbing anak-anak yang masih sangat kecil, disiplin tidak boleh keras karena
hal tersebut dapat menimbulkan dendam kebencian dalam diri mereka terhadap pembimbingnya,
atau akibat lainnya, yaitu akan menghambat minat mereka untuk belajar.
Pencelaan dan hukuman harus wajar, biarkanlah mereka melihat sendiri
akibat-akibat yang ditimbulkan oleh suatu kelakuan buruk.
DAFTRA PUSTAKA
Baihaqi, MIF, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan, Bandung: Nuansa, 2007
Smith, Samuel, Gagasan-gagasan Tokoh-tokoh Dalam
Bidang Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 1990
0 comments: