Amr artinya


 Pengertian Amr artinya suruhan, permintaan lisan untuk melakukan sesuatu yang keluar dari orang yang kedudukannya lebih tinggi kepada orang yang kedudukannya lebih rendah. Perintah lisan dapat menimbulkan makan yang berbeda-beda yaitu wajib, sunah, bahkan mubah maka para ulama berbeda pendapat tentang makna dari ketiganya. Diantaranya ada yang berpendapat bahwa Amr adalah sebuah istilah homonim (musytarok) yang mengandung semua makna ini. Yang lain juga berpendapat bahwqa Asmr adalah menyatakan suatu kebolehan untuk melakukan sesuatu dan itulah makna Amr yang paling luas.[1]
Namun ada yang mengartikan Amr adalah perintah dan perbuatan, sedangkan menurut istilah adalah perbuatan dari atasan kepada bawahan, dalam hal ini ada beberapa kaidah istinbati hukum:
  1. Amr menunjukkan kepada wajib
الأصل فى الأرض الأمر للوجوب
“Yang asal pada perintah untuk wajib”.
Ini menunjukkan manurut akal dan nakal, adapun yang menurut akal diketahui oleh para ahli bahasa, orang-orang yang tidak mematuhi kepada perintah dinamakan orang yang ingkar. Sedangkan menurut nakal seperti firman Allah:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخَالِفُوْنَ عَنْ اَمْرِهِ اَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ اَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ (النور: 63)
“Hendaklah takut orang-orang yang menentang perintah Tuhan akan fitnah yang bakal menimpa mereka/akan menimpa siksa yang pedih.”  (An-Nur:63)
اقيموا الصلوة واتوا الزكوة
“Kerjakanlah sembahyang dan bayarlah zakat.”
  1. Amr menunjukkan sunnah
الأمر فى الأمر للنذب
“Yang asal perintah itu sunnah.”
Sabda Rasulullah SAW.:
لولا ان أشق على امتى لامرتهم بالشوائ عند كل صلاة
“Jikalau tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan perintahkan kepada mereka menggosok gigi setiap akan melaksanakan sembahyang.” (H.R. Bukhari)
  1. Amr tidak menunjukkan untuk berulang-ulang
Amr tidak menghendaki berulang-ulang, hanya menghendaki hasilnya/mengerjakannya satu kali. Seperti firman Allah SWT.:
وَاَتِمُّوا الحَجَّ وَ العُمْرَةَ للهِ
“Dan sempurnakanlah olehmu haji serta umrah itu karena Allah.” (Al-Baqarah: 196).
  1. Amr tidak menunjukkan untuk bersegera
Amr di sini menghendaki kepada perbuatan yang segera dilaksanakan, tetapi boleh dikerjakan menurut situasi dan kondisi, seperti perintah Kepala Desa kepada bawahannya untuk mengerjakan suatu perbuatan dengan perkataan “Kerjakanlah ini!” Selama tidak ditambah Qarenah, menfaedahkan makna segera, jika ditambah dengan kalimat “sekarang”. Kalimat ini menunjukkan bersegera.
Firman Allah SWT.:
فَصِيَامُ ثَلاَثَةَ اَيَّامٍ
“Puasalah kamu tiga hari.”
  1. Amr dengan wasilah-wasilahnya
الأمر بالشيئ امر بوسائله
            “Menyuruh melakukan sesuatu berarti menyuruh segenap jalan-jalannya.”
Bila seseorang disuruh mengerjakan sembahyang berarti disuruh dengan segala syarat-syaratnya/disuruh menyempurnakan syarat-syarat sahnya sembahyang yang misalnya wudlu.
  1. Amr yang menunjukkan kepada larangan
الأمر بالشيئ نهي عن ضده
“Menyuruh dengan sesuatu melarang dari lawannya.”
Misalkan seseorang disuruh mengerjakan sesuatu perbuatan, mesti dia meninggalkan segala lawannya. Seperti disuruh beriman, berarti dia tidak boleh kafir. Ini merupakan satu lawan satu.
  1. Amr menurut masanya
اذا فعل المأمور به على وجهه يخرج المأمور عن عهدة الأمر
“Apabila dikerjakan yang diperintahkan itu menurut caranya, terlepas dia dari masa perintah itu.”
Seorang yang telah melaksanakan suatu perintah dengan sempurna pada masanya maka terlepas dari tuntutan masa itu. Seperti dalam keadaan musafir yang tidak memperoleh air hendaklah ia mengerjakan sembahyang dengan bertayamum ganti dari wudlu.
Jika telah selesai sembahyang kemudian memperoleh air, maka orang itu tidak wajib mengulang sembahyang.
  1. Qadha dengan perintah yang baru
القضاء بامر جديد
“Qadha dengan perintah yang baru.”
Memerintahkan sesuatu perbuatan dalam waktunya sendiri. Jika waktu tertentu telah berlalu (lewat), maka masih ada waktu lainnya untuk mengerjakannya.
Misalnya: Seorang wanita dalam keadaan haid pada waktu bulan Ramadhan ia boleh meninggalkan puasanya selama dalam keadaan haid, tetapi wajib mengqadhanya (membayarnya) pada bulan berikutnya.
  1. Martabat Amr
الأمر المتعلق على لإسم يقاضى الاقاصار على اوله
“Yang berhubungan dengan nama (isim) adalah menghendaki akan tersimpannya pada permulaannya.”
Sependek-pendeknya masa Amr, apabila dihubungkan dengan hukum menurut pengertian seluruhnya dalam bentuk yang berlainan tentang tinggi dan rendahnya, dipendekkan hukum tersebut menurut sekurang-kurangnya martabatnya untuk melaksanakan perintah itu. Seperti perintah Tuma’ninah dalam sembahyang, maka sel;ama masa yang dibutuhkan saja.
  1. Amr sesudah larangan
الأمر بعد النهي يضيد الاباحة
“Amr sesudah larangan memfaedahkan akan boleh.”
Perbuatan yang lebih mudah dimengerti ialah perbuatan yang dibolehkan, seperti Nabi melarang pada mulanya menziarahi kubur, maka sekarang dibolehkan oleh Nabi menziarahinya dengan memakai kalimat Amr. Kalimat Amr ini tidak menunjukkan wajib.[2]
B.     Nahi (Larangan)
طلب الترك من الأعلى الى الأدنى
“Larangan itu adalah sesuatu tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dari orang yang lebioh tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah.”[3]
Seperti Firman Allah:
وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا (الاسراء: 32)
“Dan janganlah kamu mendekati zina.” (QS. Al-Isra’: 32)
Sedangkan makna Nahi (larangan) menurut Jumhur ulama pada dasarnya menunjukkan kepada haram, seperti Firman Allah dalam surat Al-Isra’ ayat 32. kata-kata yang menunjukkan larangan itu ada kalanya dalam bentuk:
  1. Fiil Mudlarik yang disertai La Nahiyah, seperti Firman Allah:
لاَتُفْسِدُوا فِى الاَرْضِ (البقرة: 11)
“Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi.” (Al-Baqarah: 11)
  1. Lafadz yang memberikan pengertian haram atau perintah meninggalkan sesuatu perbuatan. Seperti Firman Allah:
وَاَحَلَّ اللهُ البَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا (البقرة: 275)
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Tetapi apabila ada lafadz yang menyertainya dan berua qarinah. Atas dasar itu maka makna larangan, itu tidak selalu menunjukkan haram tetapi bisa berubah sebagai berikut:
1.      Makruh
2.      do’a
3.      Kelangengan
4.      Menerangkan akibat
5.      Membuat putus asa
6.      Menghibur/menyenangkan
7.      Berangan-angan, seperti:
يا ليل طل يا نوم زل * يا صبح قف لا تطلع
“Wahai malam penjanglah, wahai nagntuk lenyaplah, wahai subuh berhentilah, jangan engku terbit.”
8.      Menjelaskan
9.      Menghardik seperti orang yang berkata pada pelayannya:
لا تطع امرى
“Jangan patuh perintahku.”
10.  Iltimas, sekedar mebgharap, seperti kita menyatakan kepada teman sendiri, jangan ganggu saya hari ini:
a.       Menuntut agar segera ditinggalkan
b.      Berlaku untuk selamanya
c.       Menuntut secara berulang-ulang
Karena larangan melakukan sesuatu perbuatan adalah berarti mengharamkan perbuatan itu, lantaran ada bahayanya, seperti surat Al-Isra’ ayat 17 yang artinya “Janganlah kamu mendekati zina”.
Ayat ini menuntut agar perbuatan zina itu segera ditinggalkan, berlaku untuk selamanya dan larangan tersebut berlaku berulang-ulang, karena tanpa demikian larangan itu tidak akan terealisir.[4]
Namun yang dipandang kuat adalah pendapat Jumhur. Hal itu disimpulkan dari keumuman sighat-sighat Nahi, dan juga didasarkan pada argumen-argumen di bawah ini:
  1. Akal yang sehat bisa menunjukkan bahwa larangan itu menunjukkan pada haram.
  2. Para ulama salaf memakai dalil untuk menunjukkan haram. Dan hal itu sudah disepakati sejak zaman para sahabat, Tabi’in dan para pengikutnya.
  3. Firman Allah dalam surat Al-Hasyr: 7, yang artinya: “Dan apa yang diperintahkan kepada kamu semua ta’atilah dan apa-apa yang dilarang kepada kamu semua jauhilah.”[5]
Larangan, seperti halnya perintah, membawa berbagai variasi makna, meskipun makna pokok dari Nahi adalah keharaman, atau tahrim, tetapi Nahi juga digunakan untuk sekedar menyatakan ketercelaan (karahiyah) atau tuntunan (irsyad) atau kesopanan (ta’dib) atau permohonan (do’a). contoh Nahi yang menyatakan ketercelaan adalah ayat Al-Qur'an yang meminta orang beriman untuk tidak mengharamkan makanan-makanan yang dihalalkan oleh allahy kepadamu (Al-Maidah: 87). Nahi yang membawa tuntunan moral bisa digambarkan dalam Al-Qur'an meminta orang-orang yang beriman agar tidak menanyakan msalah yang dijelaskan, tidak menimbulkan pertanyaan.
Nahi yang menyatakan ancaman adalah ketika seorang majikan berkata kepada pembantunya yang keras kepala: “Jangan ikuti apa yang aku katakan, tapi ikutilah apa yang kamu lihat.”
Nahi dalam Al-Qur'an yang menyatakan permohonan terdapat pada surat Al-Baqarah yang berbunyi: “Ya Tuhan kami, ampunilah apabila kami lupa” Oleh karena Nahi dapat membawa berbagai makna para ulama berbeda pendapat tentang menakah diantara makna-makna ini yang merupakan makna skunder dan makna pokok. Sebagian berpendapat bahwa keharaman (tahrim) adalah makna pokok Nahi, sementara yang lain menganggap ketercelaan (karahiyah) sebagai makna asal darinya. Tetapi menurut pendapat yang lain, Nahi adalah homonim. Contoh dari Nahi dalam Al-Qur'an yang mempertahankan makna pokoknya adalah frase ta taqtuluh dalam ayat yang menyatakan “jangan membunuh jiwa yang disucikan Allah”. Makna pokok dari Nahi bisa dipalingkan kepada makna kiasan apabila terdapat indikasi yang membenarkannya. Oleh karena itu frase la tuakhizna (jangan Engkau hukum kami) adalah menyatakan permohonan. Karena permintaan di sini ditujukan kepada Allah SWT dan merupakan permintaan dari orang yang kedudukannya lebih rendah, yang menunjukkan bahwa yang tepat dari Nahi adalah konteks ini adalah permohonan atau do’a.[6]

















DAFTAR PUSTAKA

Kamali M. Hasim, Prinsip Dan Teori-teori Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996)
.
Bakry Nazar, Fiqih Dan Ushul Fiqih (Jakarta: PT. Rajawali Press, 1993)

Al-Khudhori Beiki Syekh Muhammad, Terjemah Ushul Fiqih (Pekalongan: Raja Mutiara,   )

Arifin Miftahul, Haq H. Faishal, Ushul Fiqih Kaedah Penetapan Hukum Islam (Surabaya: Citra Medika, 1997)

Syafe’I Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999)


[1] M. Hasim Kamali, Prinsip Dan Teori-teori Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 180
[2] Nazar Bakry, Fiqih Dan Ushul Fiqih (Jakarta: PT. Rajawali Press, 1993), hal. 178-184
[3] Syekh Muhammad Al-Khudhori Beiki, Terjemah Ushul Fiqih (Pekalongan: Raja Mutiara,   ), hal. 101
[4] Miftahul Arifin, H. Faishal Haq, Ushul Fiqih Kaedah Penetapan Hukum Islam (Surabaya: Citra Medika, 1997)
[5] Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hal. 207
[6] M. Hashim Kamali, Prinsip-prinsip dan Teori-yeori Hukum Islam Lock. Cit., hal. 185

0 comments: