Ayat-ayat al Qur’an yang berkenaan dengan Nikah


Ayat-ayat al Qur’an yang berkenaan dengan nikah banyak sekali di antaranya adalah yang berkenaan dengan:

A.     Ayat-ayat  berkenaan dengan Makna Nikah Dan Penafsiranya

 a) Nikah berarti menjalin hubungan ikatan, aqad, jodoh terdapat pada:

1. Surat Al Baqarah 221 :


وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُون َ(221)[1]

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahi orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.mereka mengajak ke neraka, sedang Alloh mengajak ke surga dan ampunan dengan seizin-Nya. Dan Alloh menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”[2]

Ayat tersebut turun di Madinah kronologis turunnya ayat tersebut adalah sebagai berikut :

a.       Menurut riwayat Muqatil bin Hayyan (seperti yang telah di kutip oleh al Hasan Ali bin Ahmad al Wahidi An Nisaburi): Ayat tersebut turun pada Abu Martsad al Ghanawi, dimana dia meminta izin kepada Nabi untuk menikahi anak seorang wanita Quraisy yang miskin dan cantik jelita namun dia seorang yang musyrik sedangkan Abu Martsad seorang muslim. Abu martsad berkata: Wahai nabi Allah sesungguhnya si anak adalah wanita yang cantik. Lalu Allah menurunkan surat al Baqarah 221.
b.      Menurut riwayat Ibn Abbas (seperti yang telah diriwayatkan oleh Abu al Hasan Ali al Wahidi al Nisaburi): Ayat di atas turun pada Abdullah bin Rawahah, dimana dia mempunyai hamba sahaya perempuan. Kemudian Abdullah marah kepadanya (si budak itu) lalu menamparnya kemudian Abdullah (merasa) takut akan perbuatan itu, lantas mendatangi Nabi lalu menceritakan peristiwa itu kepadanya (Nabi). Setelah itu Nabi bersabda kepadanya (Abdullah): Apa yang telah dikerjakan oleh si budak tersebut yang berakibat kamu merasa takut setelah menamparnya? “Abdullah berkata: Si budak melakukan puasa, sholat, dan memperbaiki wudlu, dan bersyahadat (bersaksi) bahwa tiada tuhan selain Allah dan engkau adalah utusan-Nya, wahai Rasulullah”. Nabi bersabda : Wahai Abdullah, dia (si hamba itu) adalah seorang perempuan yang mukmin. Abdullah berkata: “Demi dzat yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, sungguh aku akan memerdekakannya dan menikahinya.” Setelah itu Abdullah bin Rawahah melakasanakan sumpahnya, tetapi perbuatannya itu dicela oleh sekelompok orang Islam, dimana mereka berkata: “Abdullah telah menikahi seorang yang budak, mereka berkeinginan untuk menikahi wanita-wanita musyrik. Pernikahan mereka dengan wanita-wanita musyrik, itu mereka lakukan karena gemar pada nasab mereka.[3]
Quraish Syihab menafsiri ayat tersebut sebagai berikut: Setelah ayat yang lalu menjawab pertanyaan tentang anak yatim, yang tinggal bersama di rumah dan menuntut para wali dan setiap muslim agar memperlakukan mereka sebagai salah satu anggota keluarga maka ayat-ayat berikutnya mengandung tuntunan menyangkut pembinaan keluarga. Keluarga minimal terdiri dari suami istri, maka tuntunan pertama adalah menyangkut pemilihan pasangan (suami atau istri)
Pemilihan pasangan adalah batu pertama (pondasi bangunan rumah tangga) Ia harus sangat kuat karena kalau tidak, bangunan tersebut akan roboh kendati hanya dengan sedikit goncangan, apalagi jika beban yang ditanggungnya semakin berat dengan kelahiran anak-anak. Pondasi kokoh tersebut bukan kecantikan atau ketampanan karena keduanya bersifat relatif sekaligus cepat pudar, bukan juga harta, karena harta mudah didapat sekaligus mudah lenyap, bukan pula status sosial atau kebangsawanan karena inipun hanya sementara, bahkan dapat lenyap seketika. Pondasi yang kokoh adalah yang bersandar pada iman kepada Alloh Yang Maha Esa, Maha Kaya, Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. Karena itu wajar jika pesan pertama kepada mereka yang bermaksud membina rumah tangga adalah: Dan janganlah kamu, wahai pria-pria muslim menikah yakni menjalin ikatan (perkawinan) dengan wanita-wanita musyrik, para penyembah berhala sebelum mereka beriman dengan benar kepada Allah SWT, dan beriman pula kepada Nabi Muhammad SAW. Sesungguhnya wanita budak, yakni yang berstatus sosial rendah menurut pandangan masyarakat, tetapi yang mukmin, lebih baik daripada wanita musyrik walaupun wanita-wanita yang musyrik itu, menarik hati kamu, karena ia cantik, bangsawan, kaya, dan lain-lain. Dan janganlah kamu wahai para wali, menikahkan orang-orang musyrik para penyembah berhala dengan wanita-wanita mukmin, sebelum mereka beriman dengan iman yang benar. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik walaupun dia menarik hati kamu karena ia gagah, bangsawan atau kaya dan lain lain.[4] Setelah menjelaskan larangan di atas, ayat ini melanjutkan uraian dengan menjelaskan lebih jauh sebab larangan itu, yakni karena mereka mengajak kamu, dan anak-anak kamu yang lahir dari buah perkawinan, ke neraka dengan ucapan atau perbuatan dan keteladanan mereka, sedang Allah mengajak kamu dan siapapun menuju amalan-amalan yang dapat mengantar ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.[5]
Hamka (w 1973 M) menerangkan maksud ayat 221 dari surat Al Baqarah sebagai berikut: Apabila Islam telah menjadi keyakinan hidup, hendaklah hati-hati memilih jodoh, sebab istri akan menjadi teman hidup dan akan menegakkan rumah tangga bahagia yang penuh dengan iman, menurunkan anak-anak yang shaleh. Islam melarang memilih jodoh orang-orang yang musyrik maka jika seseorang tertarik kepada wanita musyrik karena kecantikkannya tentu tertarik kepada laki-laki musyrik karena keturunannya atau karena kekayaannya, inipun dilarang, sebab larangan ditegaskan: mereka itu adalah mengajak kamu pada neraka. sebab pendirian berlain-lain. Kamu umat yang bertauhid, sedang mereka masih mempertahankan kemusyrikan. Dan yang kamu perjuangkan selama ini, sampai  kamu meninggalkan kampung halaman dan pindah ke Madinah ialah karena keyakinan agamamu itu kamu tidak boleh terpikat oleh kecantikan perempuan kalau mereka masih musyrik. Kamu tidak boleh terpikat pada laki-laki karena kayanya atau karena keturunannya kalau ia masih musyrik. Karena pada kedua rumah tangga itu tidak ada keamanan karena berlainan pilihan, mereka akan mengajak kamu masuk neraka saja baik neraka dunia karena kacaunya pikiran di rumah tangga atau neraka akhirat karena ajakan-ajakan mereka yang tadak benar, apalagi kalau dari perkawinan beroleh putra-putri. Tidak akan sentosa pertumbuhan jiwa anak itu di bawah asuhan ayah dan bunda yang berlainan haluan. Dengan ayat ini tegaslah dari aturan kafaah atau kufu’ di antara laki-laki dan perempuan. Pokok kufu yang penting adalah persamaan pendirian,   persamaan pendirian dan anutan agama. Rumah tangga wajib dibentuk dengan dasar yang kokoh, dasar iman dan tauhid, bahagia di dunia dan surga di akhirat. Maghfiro atau ampunan Tuhanpun melimpahi rumah tangga demikian. Alangkah bahagia suami istri karena persamaan pendirian dalam menuju Tuhan. Alangkah bahagia sebab dengan izin Tuhan mereka akan bersama-sama menjadi isi surga. Inilah yang wajib diingat, jangan hanya melihat kecantikkan perempuan, karena kecantikkan itu tidak berapa lama akan luntur. Dan jangan terpesona oleh kaya orang laki-laki karena kekayaan yang dipegang oleh orang musyrik tidaklah akan ada berkahnya. Dengan ayat ini dijelaskan bahwa orang Islam tidak kufu dengan segala orang yang mempersekutukan Tuhan dengan yang lain.[6]
Muhammad Ali al Shabuni menafsiran surat Al Baqarah ayat 221: Allah berfirman: Wahai orang-orang mukmin janganlah kalian menjalin hubungan dengan wanita-wanita musyrik sehingga mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Sungguh hamba sahaya perempuan yang beriman lebih utama daripada wanita merdeka yang musyrik walaupun kecantikan, harta, keturunan, dan kedudukan wanita musyrik menggiurkan kalian. Janganlah kalian para wali menikahkan (wanita-wanita) kalian yang mukmin dengan pria-pria yang musyrik sehingga mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sungguh jika kalian menikahkan wanita-wanita kalian dengan hamba sahaya laki-laki yang mukmin maka hal itu lebih baik bagi kalian dari pada mengawinkan mereka dengan laki-laki yang musyrik, walaupun keturunan dan kemulyaan menggiurkan kalian. Sebab mereka (orang-orang musyrik) adalah orang-orang yang haram menikah dengan mereka dan berbesan dengan mereka. Mereka mengajak kalian pada hal-hal yang menjerumuskan pada api neraka sedangkan Allah mengajak untuk hal-hal yang menyebabkan masuk surga.
Allah menjelaskan dalil dalilnya kepada manusia agar mereka mau mengambil pelajaran sehingga mereka menjadi orang-orang yang mengerti mana yang baik dan mana yang jelek.[7]
Jalaluddin al Syuyuti (w 911 H) menafsirkan Firman Allah tersebut merupakan larangan orang-orang mukmin beraqad dengan wanita-wanita musyrik kecuali jika wanita itu Ahli Kitab. Allah telah berfirman dalam surat  Al Maidah ayat 5, hal ini berdasarkan riwayat dari Ibn Abbas dan ditakhrij oleh ibn Jarir, Ibn al Mundar, Ibn Hatim dan al Nahhas atau Baihaqi, Ibn Abbas berpendapat: Bahwa ayat 221 surat al Baqarah telah dihapus oleh ayat 5 surat al Maidah, sehingga diperbolehkan kawin dengan wanita-wanita ahl kitab, tetapi wanita-wanita muslim diharamkan kawin dengan pria-pria ahl kitab.
Sa’id bin Jubair beropini maksud wanita-wanita yang musyrik yang dilarang untuk dinikahi adalah para menyembah berhala.
Mujahid meriwayatkan: maksud wanita-wanita musyrik yang dilarang untuk dinikahi adalah wanita-wanita musyrik Mekkah, sedangkan wanita-wanita ahl kitab mereka diperbolehkan menikahinya.
Qatadah berkata: maksud wanita-wanita musyrik adalah wanita-wanita Arab yang tidak memiliki kitab.
Ibrahim berkomentar: maksud wanita-wanita musyrik adalah wanita-wanita Majusi dan para penyembah berhala.[8]
Muhammad an Nawawi al Jawi menerangkan tafsiran ayat 221 dari surat al Baqarah: Janganlah kalian orang-orang yang beriman menikahi wanita-wanita yang menyekutukan Allah sampai mereka beriman yaitu bersyahadat dan menetapi hukum-hukum Islam. Larangan ini terfokus pada wanita-wanita musyrik saja bukan wanita-wanita ahli kitab. Sungguh menikahi hamba sahaya yang mukmin lebih baik daripada menikahi wanita musyrik walaupun kecantikkannya, hartanya, kebebasan dan nasabnya menggiurkan kalian (orang-orang beriman). Dan janganlah kalian (orang-orang yang beriman) menikahkan orang-orang kafir walaupun mereka dari Ahl kitab dengan wanita-wanita mukmin sehingga mereka mau beriman. Sungguh menikahkkan mereka (wanita-wanita beriman) dengan hamba sahaya laki-laki itu lebih baik daripada menikahkan mereka (wanita-wanita beriman) dengan pria-pria kafir walaupun hartanya, ketampanan serta kekuatannya menggiurkan kalian. Mereka (orang-orang musyrik) mengajak pada hal-hal yang dapat menjerumuskan kepada neraka karena perkawinnan adalah pusat percintaan dan hal itu dapat menyebabkan persetujuan pada beberapa tujuan bahkan sering menyebabkan pindah agama karena menyetujui sang kekasih. Allah menjelaskan beberapa hukum, baik larangan ataupun kebolehan. Barangsiapa yang berpegang teguh pada hukum-hukum itu maka ia berhak mendapatkan surga dan ampunan Allah. Itu semua dapat diperoleh dengan dipermudahnya seseorang untuk mengerjakan aktivitas-aktivitas yang bisa memperoleh surga dan ampunan Allah. Allah menjelaskan perintah-Nya dan larangan-Nya perihal pernikahan kepada manusia agar mereka mau mengambil pelajaran dari akibat menjauhi larangan dan menjalankan perintah.[9]
Abdul Wadud Yusuf menta’wili Ayat 221 dari surat al Baqarah sebagai berikut: Orang-orang beriman dilarang mengawini wanita-wanita musyrik sampai mereka mau beriman. Sungguh hamba sahaya yang beriman itu lebih baik daripada wanita musyrik walaupun wanita musyrik tersebut menggiurkan mereka. Orang-orang mukmin juga dilarang mengawinkan pria-pria musyrik dengan wanita yang beriman, sungguh hamba sahaya laki-laki yang mukmin lebih baik daripada para pria musyrik walaupun pria musyrik itu menggiurkan mereka. Orang-orang musyrik itu mengajak ke hal-hal manusiawi yang tidak benar yang dapat menjerumuskan ke dalam api neraka.[10]
Abu al Hasan Ali bin Ahmad al Wahidi (w 468) berkata: tafsiran ayat 221 dari surat al Baqarah adalah orang-orang mukmin dilarang mengawini wanita-wanita musyrik sehingga mereka beriman. Wanita-wanita musyrik pada ayat tersebut bersifat universal pada setiap orang yang mengingkari Allah dan nabi Muhammad SAW. Allah melarang dengan ayat ini menikahi wanita-wanita musyrik kemudian Allah mengecualikan wanita merdeka dari ahl kitab dengan ayat 5 surat al Maidah dari pengharaman. Sungguh hamba sahaya perempuan yang mukmin itu lebih baik daripada wanita musyrik walaupun wanita musyrik itu menggiurkan mereka (orang laki-laki yang beriman) baik dari segi kecantikkannya atau hartanya. Tidak boleh orang-orang yang beriman mengawinkan wanita muslimah dengan pria musyrik karena pria musyrik mengajak untuk melakukan perbuatan-perbutan yang mengakibatkan masuk ke dalam neraka sedangkan Allah mengajak orang beriman melakukan perbuatan yang mengakibatkan masuk ke surga dan mendapatkan ampunan. Orang-orang yang beriman akan mendapat surga dan ampunan Allah karena perintah Allah yang mengajaknya.[11]

2. Surat Al Ahzab ayat 49:


يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا(49)[12]

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu nikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya  maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskan mereka dengan cara yang sebaik-baiknya” (Al Ahzab: 49) [13]

Ayat tersebut diturunkan di Madinah dan tidak memiliki asbab an nuzul.
Muhammad Ali al Shabuni menafsiri ayat tersebut dengan: Allah berfirman kepada hambanya: wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian melakukan aqad (nikah) dengan wanita-wanita yang beriman dan kalian menikah dengan mereka dan kemudian kalian mencerai mereka  sebelum mereka disetubuhi maka mereka (para wanita yang beriman itu) tidak ada iddah yang mesti dijalani sebab para wanita tadi dicerai dalam kondisi belum disetubuhi. Menceraikan para wanita dalam kondisi belum disetubuhi tidak menjadikan mereka harus berdiam di dalam rumah (untuk melaksanakan iddah) karena tidak ada kemungkiinan untuk hamil.
Ayat-ayat dari surat al Ahzab ada hubungan dengan ayat-ayat sebelumnya.  Pada ayat-ayat sebelumnya menjelaskan tentang isstri-istri nabi dan apa yang selayaknya dilakukan istri-istri nabi tersebut yaitu taat pada Allah dan rasul-Nya, zuhud di dunia menjaga kesucian , dan kesempurnaan sebab mereka tidaklah sama dengan wanita lain. Allah menghendaki istri Nabi untuk menjaga kemuliaan itu yaitu menjadi istri-istri rasul dan menjadi ibu bagi orang-orang beriman. Setelah juga disebutkan kisah Zaid bin Haritsah dan perceriaannya dengan Zainab yang kemudian nabi mengawininya sebagaimana Allah telah memerintahkan hal tersebut kepada nabi Muhammad. Perbuatan itu mengandung hikmah yang besar yaitu meniadakan bid’ah yaitu tradisi pengangkatan anak, kemudian ayat ini (al Ahzab 49) disebutkan untuk menjadi khitob (pembicaraan) yang tertuju kepada orang-orang yang beriman perihal hukum istri yang dicerai sebelum disetubuhi dan bagaimana kewajiban yang harus dilaksanakan oleh para suami bagi orang-orang yang beriman jika mereka melakukan percerian tersebut. Dan apa hukum-hukum syara’ yang semestinya dipegangi oleh mereka (para suami) dalam kasus seperti itu.[14]
Muhammad an Nawawi al Jawi berkata: tafsiran ayat 49 surat al Ahzab: Wahai orang-orang yang beriman apabila kalian mengawini wanita-wanita yang beriman atau wanita dari ahl kitab yang belum disetubuhi maka wanita tersebut tidak diharuskan beriddah dengan dengan datangnya haid berbulan-bulan (sebagai waktu pelaksanaan iddah) maka hendaklah para suami yang menceraikan istri sebelum disetubuhi) memberikan pemberian yang benilai wajib karena telah terjadi perceraian baik setelah disetubuhi ataupun belum disetubuhi. Pemberian tersebut sebagai ganti rugi setelah dicerai. Keluarkan mereka (para istri tersebut) dari rumah kalian tanpa disakiti dan tetap diberikan hak-hak mereka.[15]
Menurut Abdul Wadud Yusuf, tafsiran ayat 49 surat al Ahzab yaitu: wahai orang-orang yang beriman apabila kamu kawin dengan wanita-wanita kemudian kemudian kamu menceraikan mereka sebelum adanya persetubuhan maka tidak ada iddah bagi wanita-wanita tersebut bahkan ada kemungkinan mereka menikah lagi dengan segera.[16]
Hamka berkata: tafsiran ayat 49 surat al Ahzab: wahai orang-orang yang beriman apabila kamu menkahi wanita-wanita yang beriman kemudian kamu menceraikan mereka sebelum kamu jamah. Tamassuhunna dalm arti yang asli ialah menjamah, atau menyentuh atau memegang, tetapi yang dimaksud dengan kalimat itu adalah menyetubuhi. Firman Allah: maka tidak ada bagi kamu oleh mereka itu iddah manapun yang akan kamu hitung-hitung,  artinya kalau perempuan itu hanya dinikahi saja, belum sempat dicampuri lalu diceraikan maka tidak ada iddahnya. Sehabis ditalak itu ia boleh saja ia kawin dengan lelaki lain. Sebab guna iddah itu adalah untuk mengetahui adanya “benih” suami yang menceraikan itu yang akan jadi kandungan perempuan yang telah disetubuhi. Kalau belum disetubuhi maka airnya atau benihnya belum ada dalam perempuan itu. Yang dikecualikan hanya iddah wafat, artinya sebelum perempuan itu disetubuhi kemudian dia (suami) meningggal, bisa saja kejadian di zaman modern ini, setelah seorang laki-laki menikah ketika dia akan pulang ke rumahnya sebelum iia bercampur dengan istrinya atau pengantin laki-laki belum seketiduran dengan pengantin perempuan. Maka meskipun mereka belum bercampur siperempuan dikenakan juga iddah 4 bulan 10 hari, yaitu iddah wafat, atau iddah berkabung. Firman Allah: maka berilah mut’ah dan lepaskanlah mereka dengan kelepasan yang sebaik-baiknya (ujung ayat 49) artinya ialah bahwa setelah talak dijatuhkan atas istrinya yang belum dicampuri itu hendaklah segera bayar mut’ahnya. Mut’ah ialah harta pengobat hati bagi perempuan karena dia ditalak.
Adapun maksud ujung ayat “dan lepaslah dengan kelepasan yang sebaik-baiknya” yaitu karena talak sudah dilafadzkan tentu saja artinya bahwa sesudah talak dilepaskan sesaat itu juga perempuan itu tidak boleh lagi ditahan berdiam dalam rumah lelaki yang yang menceraikannya. Sebab sehari itu juga, misalnya ada laki-laki lain yang datang meminang dia sehari itu juga ia sudah boleh menikah. Sebab itu lepaslah dia baik-baik.[17]
Quraish Shihab tafsiran ayat 49 surat al Ahzab, sebagai berikut: dengan selesai kelompok yang lalu, selesai juga uraian tentang adopsi, dengan menempatkan anak angkat pada tempat yang semestinya. Kini surat al Ahzab kembali berbicara tentang masalah lain yang juga berkaitan dengan masalah perkawinan. Uraian ayat yang dikemukakan pada awal surat selain adopsi adalah masalah zhihar, yang pada akhirnya dapat menimbulkan adanya perceraian. Nah, ini dibicarakan masalah lain yang juga berkaitan denngan masalah perceraian. Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman apabila kamu menikahi yakni melakukkan aqad (nikah) dengan perempuan mukminah yang telah mantap imannya, kemudian walau berlalu waktu yang lama baru kamu ceraikan sebelum engkau menyentuhnya yakni sebelum kamu melakukan hubungan suami istri dengannya (jima’), maka sekali-kali tiada kewajiban iddah atas mereka terhadap kamu, yang dapat kamu minta pada mereka untuk menyempurnakannya. Maka karena itu lakukan perceraian secara baik-baik dan berilah mereka mut’ah yakni imbalan material sebagai penghibur mereka atas perceraian itu dan lepaskanlah mereka yakni talaklah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya melalui ucapan dan tingkah laku kamu, dan biarkan mereka menempuh jalan yang mereka inginkan.[18]
Ali bin Ahmad bin Wahidi (w 468)) menginterpretasikan: Allah berfirman: Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu mengawini mereka wanita-wanita yang beriman sebelunkalian menceraikan mereka sebelum terjadinya persetubuhan maka tidak ada iddah bagi wanita-wanita yang telah dicerai tersebut. Hitungan iddah mereka biasanya beberapa suci/haid dlm beberapa bulan, sebab wanita yang dicerai sebelum disetubuhi tidak ada iddah baginya. Berilah mereka oleh kalian sesuatu yang dapat menyenangkan mereka. Perintah Allah tersebut adalah sunah karena yang wajib adalah memberikan hak mereka yaitu separuh dari maskawin. Cerailah mereka dengan layak sebagaimana perintah Allah.[19]
        b) Nikah berarti kedewasaan terdapat pada:
1. Surat an Nisa ayat 6
وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ ءَانَسْتُمْ مِنْهُمْ رُإِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِشْدًا فَادْفَعُوا فْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا(6)[20]

“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barang siapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu)” (An Nisa’:6)[21]

Ayat tersebut diturunkan di Madinah. Menurut Abi al Hasan bin Ahmad bin al Wahidi (468 H), sebab nuzul turun ayat itu: Bahwa Rifa’ah meninggal dunia dan meninggalkan putranya yaitu Tsabit sedangkan dia masih kecil lalu paman Tsabit mendatangi nabi seraya berkata: sesungguhnya keponakanku adalah yatim dan dia berada pada asuhanku maka apakah hartanya halal bagiku? dan kapan aku akan menyerahkan hartanya? kemudian Allah menurunkan ayat 6 dari surat an Nisa.
Menurut Quraish Shihab tafsiran ayat 6 dari surat an Nisa: kepada para wali diperintahkan: ujilah anak yatim itu dengan memperhatikan keadaan mereka sampai hampir mencapai umur yang menjadikan mereka mampu memasuki gerbang perkawinan (kedewasaan) maka ketika itu, jika kamu telah mengetahui kecerdasan, yakni kepandaian memelihara harta serta kestabilan mental, maka serahkanlah kepada mereka harta-harta mereka karena harta itu adalah milik mereka, karena ketika itu tidak ada alasan lagi untuk menahan harta mereka.[22]
Hamka berkata tafsiran ayat tersebut sebagai berikut: Allah berfirman: hendaklah kamu selidiki atau kamu uji atau kamu tinjau dengan seksama “anak-anak yatim itu, hingga sampai waktunya untuk menikah”. Di uji dia apakah telah sanggup memegang hartanya sendiri atau belum. Misalnya diberikan kepadanya sebagian, disuruh dia memperniagakan, sudah pandaikah dia atau belum. Kalau belum jangan dahulu diserahkan semua. Didalam ayat ini disebutkan ayat itu sebelum menikah karena setelah menikah berarti ia telah berdiri sendiri, mengatur pula istri dan rumah tangganya. “Jika kamu lihat pada mereka telah ada kecerdikan serahkanlah harta mereka kepada mereka” artinya lepaslah kamu dari tanggung jawab, sebab harta itu memang harta mereka sendiri.
Dengan ayat itu jelaslah, bahwa menjadi perintah wajib dari Tuhan  bagi si wali untuk mnyerahkan harta itu seluruhnya setelah semuanya jelas, bahwa dia telah pandai atau telah sanggup mengatur sendiri hartanya(dewasa). Kalau mereka dua, tiga orang laki-laki dan perempuan, niscaya ada yang tertua antara mereka dan ada yang mengatur sendiri adik-adiknya itu, lebih baik diserahkan padanya semua, sebab dialah yang paling akrab kepada adik-adiknya itu. Tetapi kalau dia baru dapat mengatur hartanya sendiri, maka masihlah kewajiban si wali mengatur harta adik-adiknya yang belum dewasa itu. Dalam hal ini yang dilihat bukanlah umur tetapi bergantunh pada kecerdikan atau kedewsaan pikiran. Karena ada juga anak usianya belum dewasa tetapi dia telah cerdik dan ada pula usianya agak lanjut tetapi belum matang.[23]
Muhammmad Ali Al Shabuni menafsiri ayat tersebut: Allah memerintahkan untuk menguji anak-anak yatim sehingga mereka diketahui baik agamanya dan dapat menjaga harta mereka (kedewasaan). Mereka (para wali) wajib menyerahkan harta benda milik anak yatim, tanpa ditunda-tunda. Para wali tersebut tidak boleh menghambur-hamburkan dan berbuat boros dalam hal menginfakkan harta anak yatim. Dan barangsiapa yang kaya maka hendaklah menahan diri dari harta anak yatim tersebut tetapi barangsiapa yang fakir maka hendaklah makan menurut kadar krfakirannya. Kemudian ketika para wali menyerahkan harta anak-anak yatim itu kepada mereka maka hendaklah mendatangkan para saksi agar mereka tidak mengingkari penyerahan terebut. Dan cukuplah Allah sebagai penghitung (amal-amal manusia) dan sebagai pengawas.[24]
Muhammad Nawawi al Jawi beropini: Maksud ayat 6 dari surat an Nisa adalah Allah berfirman: wahai para wali anak yatim, ujilah anak-anak yatim yang belum jelas bodoh atau pandainya sebelum mencapai dewasa dalam urusan agama mereka (anak-anak yatim) dan dalam hal penyerahan harta benda mereka  kepada mereka sendiri. Di uji dengan cara yang layak pada kondisi mereka. Seperti menguji anak pedagang dengan cara jual beli dan bea cukai. Anak petani diuji dangan cara menanam dan memberikan upah kepada orang-orang yang mengurusi tanamannya dan lain-lain. Ujian tersebut sampai anak yatim itu mencapai usia dewasa. Masa dewasa adalah masa dimana seseorang dapat memikul tanggung jawabnya sendiri dia bisa terkena beberapa undang-undang. Masa terebut ditandai dengan keluarnya sperma di waktu tidur. Keluar sperma tersebut dapat dikatakan layak untuk menikah karena menikah adalah suatu sarana yang dapat mengeluarkan sperma saat melakukan hubungan suami istri. Kemudian jika para wali sudah mengetahui adanya indikasi adanya kepantasan dan kekufuan untuk bisa mengurusi harta mereka maka berikan harta mereka yang ada pada kalian (para wali) tanpa ditunda lagi. Janganlah kalian  (para wali) memakan harta anak yatim secara berlebihan dan tergesa-gesa menginfakkannya karena khawatir anak yatim akan menjadi dewasa. Barangsiapa (para wali atau orang yang diwasiati itu) orang kaya (tidak memerlukan harta anak yatim) maka hendaklah menahan diri dan menahan diri dari harta tersebut dan bersifat qana’ah atas rizki Allah pada mereka (wali). Karena merasa kasihan dan menetapkan harta mereka. (anak-anak yatim). Tetapi barangsiapa yang fakir (memeliharakan harta anak yatim tersebut) hendaklah memakan sesuai kadar/ukuran upah pelayanannya terhadap anak yaim dan penjagaannya pada hartanya pula. Kemudian jika para wali/orang diwasiati menyerahkan harta anak yatim maka hendaklah didatangkan para saksi walaupun sifatnya hanya sunah karena persaksian dapat meniadakan persengketaan. Dan cukup Allah sebagai saksi.[25]
Muhammad bin Jarir at Thabari (w310 H) menafsiri ayat  dari surat an Nisa dengan: firman Allah (وَابْتَلُوا الْيَتَامَى): ujilah akal anak yatim kalian dalam hal pemahamn mereka dan baiknya mereka dalam hal mereka dan bisa menjaga harta mereka. Hal ini berdasarkan beberapa riwayat dari Qatadah al Hasan, al Suddi, Mujahid, Ibn Abbas.
Firman Allah ( حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاح  ): sudah mencapai usia dewasa,  yang mulai dengan keluarnya sperma. Hal ini berdasar pada riwayat Ibn Zaid, Mujahid, Ibn Abbas.[26]        
       c) Nikah berarti kawin yakni bukan hanya sekedar aqad melainkan dukhul (hubungan sex), terdapat pada:
1. Surat al Baqarah ayat 230
يُقِيمَا فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ230)[27]
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”

Quraish Shihab menafsiri dan tuntunan dan tuntutan ayat ini memberi pelajaran yang sangat pahit bagi suali istri yang bercerai untuk ketiga kalinya. Kalaulah perceraian pertama terjadi maka peristiwa itu hendaklah menjadi pelajaran bagi keduanya untuk intropeksi diri dan melakukan perbaikan, kalaupun terjadi perceraian untuk kedua kalinya maka kesempatan tersebut harus dapat menjaminkelangsungan perkawinan, sebab kalau tidak, perceraian itu terjadi lagi untuk ketiga kalinya, maka tidak ada jalan lain untuk kembali menyatu, kecuali memberi kesempatan kepada istri untuk kawin dengan pria lain. Di sini peran mantan suami sudah habis karena dengan perkawinan bekas istri dengan pria lain, suami itulah yang berperan, kehormatn suamipun kini sedikit tersinggung_jika masih ada cinta dalam hatinya_karena perkawinan bekas istrinya dengan pria lain itu bukan sekedar performa, atau sekedar pencatatan dan persaksian tentang terlaksananya ijab qabul harus saling menyatu dan dalam bahasa hadis Rasulullah Saw merasakan madu masing-masing dan tentu saja untuk dapat merasakan dibutuhkan persebadanan yang mengharuskan dalam istilah halus para ulama “masuknya pedang ke dalam sarungnya”[28]
Jalaluddin al Syuyuti menafsirkan ayat tersebut berdasarkan riwayat Ibn Jarir, Ibn al Mundzir, abi Hatim da Baihaqi dari Ibnu Abbas berkata: jika suami mencerai sang istri sampai tiga kali maka si istri tadi tidak halal baginya sehingga si istri tersebut kawin dengan pria lain.
Qatadah berkata: cerai yang ketiaga yang telah disebutkan oleh Allah, dijadikan sanksi atas suami yang menceraikaan istri sampai tiga kali dimana sang istri tidak halal sampai menikah dengan suami lain.
Ibnu Umar: apabila hamba sahaya mencerai istri dua kali maka istrinya tersebut haram baginya sehingga kawin dengan suami lain. Baik istri tersebut merdeka atau hamba sahaya.
Ibn abbas berkata: si istri tidak halal sehingga kawin dengan suami yang lain dan sudah di dukhul.[29]
2. Surat an Nisa ayat 22
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ ءَابَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا(22)[30]

”Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)” (An Nisa’:22) [31]

Ayat ini diturunkan di Madinah dan sebab nuzul yaitu: Ayat tersebut turun pada Hishn bin Abi Qais dimana dia menikahi istri ayahnya bernama Kabisyah bin Ma’n. Dan ayat tersebut juga turun pada Aswad bin Khalaf yang menikahi istri ayahnya bernama Fakithah bint al Aswad bin al Muthalib. Ayat ini turun juga pada mansyur bin Madzan yang mengawini istri ayahnya bernama Malikah binti Kharijah.
Asy’ats bin Sawwar berkata: Abu Qais wafat, dia termasuk sahabat al Anshar yang baik. Tidak lama kemudian putranya bernama Qais meminang istri ayahnya. Kemudian istri ayahnya berbicara: Aku mengganggap kamu seorang anak, tetapi aku akan datang kepada Nabi untuk meminta pendapatnya. Lalu wanita tersebut datang kepada Nabi dan menceritakan kisah tersebut. Setelah itu Allah menurunkan ayat itu.[32]
Quraish Shihab berkaata: Tafsiran ayat 22 dari surat an Nisa adalah ayat ini masih merupakan kelanjutan dari pembatasan dan pelarangan adat buruk sebagian masyarakat jahiliyah. Bemula dari ayat 19 hinnga 21 yang Allah telah melarang mempusakai wanita dengan jalan paksa dan menyusahkan mereka untuk mengambil kembali maskawin yang telah mereka berikan. Kali ini larangan lebih tegas dan bersinambung diarahkan pada adat buruk ini, yakni menikahi mantan istri ayah sendiri, yakni ibu tiri baik setelah kematian sang ayah maupun akibat perceraian hidup baik berkawin itu dengan paksaan atau suka sama suka. Tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan paksa tidak juga menikahi bekas istri ayahmu, karena itu wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu melakukan praktek buruk yang dilakukan masyarakat jahiliyah, yaitu mengawini apa yang yakni wanita-wanita yang telah kawin walau baru terbatas dalam bentuk aqad nikah yang sah dan belum digauli sebagai suami istri oleh ayahmu, baik ayah langsung maupun kakek, baik dari sisi ayah maupun ibu. Praktek pernikahan semacam itu mengakibatkan murka Tuhan dan siksa atas para pelakunya, kecuali apa yakni yang telah lampau, yakni masa jahiliyah dan sebelum datangnya larangan ini, maka murka dan siksa itu tidak menyentuhnya dan Allah mengampuni perbuatan itu.[33]
Muhammad Ali Al Shabuni menta’wili ayat di atas: Allah mengharamkan seorang laki-laki mengawini istri ayahnya. Hal itu (seorang laki-laki mengawini istri ayahnya) menjadi tradisi orang Arab jahiliyah. Setelah Islam datang tradisi tersebut dibatalkan sebab perbuatan itu adalah perbuatan yang buruk. Sesuatu yang buruk dan keji adalah sesuatu yang dilarang. Menikahi istri ayah bagi seorang anak adalah suatu perbuatan yang sangat jelek dan buruk karena bagaimana pantas seorang anak mengawini istri ayahnya dan menggagahinya setelah wafat ayahnya padahal istri ayahnya adalah seperti ibunya?
Pada ayat-ayat yang lalu mulai awal surat an Nisa, Allah melarang kebanyakan tradisi orang Arab jahiliyah perihal anak yatim, harta dan menikahi wanita yatim tanpa adanya maskawin, dari kezhaliman yang terjadi perihal harta warisan dimana wanita dan anak kecil tidak mendapatkan harta warisan dengan alasan bahwa mereka (wanita dan anak-anak) mampu membela keluarga, tidak mampu membawa senjata. Dan kezhaliman- kezhaliman yang lain. Kemudian ayat 22 dari surat an Nisa datang untuk menjelaskan macam kezhaliman yang lain yaitu eksistensi para wanita seperti barang dagangan yang dapat berpindah dari seseorang ke orang lain sebagai warisan. Yang mana orang-orang Jahiliyah mewarisi istri ayahnya yang wafat seperti mereka mewarisi harta ayah. Kemudian Allah mengharamkan hal itu dan memerintahkan memperlakukan istri-istri ayah dengan baik.[34]
Hamka menerangkan maksud ayat 22 surat an Nisa adalah Allah berfirman: Jangan kamu nikahi perempuan- perempuan yang telah dinikahi ayahmu (pangkal ayat 22). Ada riwayat bahwa setelah Islam datang, pada zaman rasul sebelum ayat ini turun masih ada anak yang menikahi ibu tirinya sendiri sesudah ayahnya mati seperti halnya Aswad yang menikahi janda ayahnya. Maka setelah ayat ini diturunkan sebagai larangan keras, tinggallah nikah mereka semuanya kecuali (kejadian masa lalu) artinya yang telah terlampui pada zaman dahulu, maka hal itu tidak perkatakan lagi. Namanya adat jahiliyah yang sekarang dihapuskan. Kemudian dijelaskan bahwa menikahi perempuan bekas ayah kandung sendiri adalah perbuatan yang hina. Sesudah dijelaskan bahwa perbuatan itu amat keji dan dimurkai Tuhan sehingga di zaman jahiliyah sendiripun orang yang berbuat begitu diberi gelar “si Muqit” aartinya si durhaka.[35]
Muhammad Nawawi al Jawi menjelaskan tafsiran ayat 22 dari Surat an Nisa: Allah berfirman: Janganlah kalian mengawini istri-istri yang telah dinikahi ayah kalian sebab hal itu menimbulkan siksaan kecuali pada masa yang terdahulu sebelum turun ayat itu. Perbuatan yang dilakukan sebelum turun ayat itu dimaafkan. Ada pendapat lai maksud ayat itu adalah: Janganlah kamu menikah seperti nikah ayah-ayah kalian sebab nikah ayah-ayah kalian tanpa wali dan tanpa saksi dan pernikahan mereka dibatasi waktu dan dilakukan dengan paksaan. Penafsiran ini diriwayatkan dari Muhammad bin Thabari (w 310 H). Menurut pendapat lain tafsiran ayat itu: Janganlah kalian mengawini wanita-wanita yang telah disetubuhi oleh ayah kalian diluar nikah (berzina) kecuali pada masa dahulu dimasa jahiliyah dimana seorang ayah pada masa itu berzina dengan wanita kemudian sang anak menikahi wanita itu. Panafsiran ini diriwayatkan oleh Ibn Zaid dan sebagaimana Abu Hanifah berpendapat: haram seorang laki-laki menikahi wanita yang telah berzina dengan ayahnya karena surat an Nisa: 22. Tetapi Syafi’I (w 204) beropini: wanita tersebut (wanita yang telah berzina dengan ayahnya) tidak haram untuk dinikahi oleh anaknya si ayahnya. Sesungguhnya menikahi istri-istri ayah-ayah adalah sesuatu yang keji karena istri ayah itu mirip dengan ibu, menyetubuhinya adalah termasuk dari perbuatan yang amat keji juga dimurkai oleh orang-orang yang berilmu dari orang jahiliyah dan orang-orang selain mereka.[36]
Abdul Wadud Yusuf menerangkan maksud ayat tersebut: Allah melarang manusia mengawini mantan istri ayah mereka kecuali pada masa dahulu sebelum turun hukum yang terkandung pada ayat tersebut. Tidak ada siksaan bagi pelaku sebelum turun ayat tersebut.[37]
            d) Nikah berarti mencarikan pasangan, terdapat pada:
1. Surat an Nur ayat 32
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ(32)[38]

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”[39]

Surat an Nur ayat 32 termasuk surat Madaniah tidak mempunyai sebab nuzul.
Quraish Shihab menjelaskan maksud ayat di atas sebagai berikut: Hai para wali, para penanggung jawab bahkan seluruh kaum muslimin: perhatikanlah siapa yang berada di sekeliling kamu dan kawinkanlah yakni bantulah agar mereka dapat kawin orang-orang yang sendirian di antara kamu, agar mereka dapat hidup tenang dan terhindar dari perbuatan zina dan yang haram lainnya dan demikian juga orang-orang yang layak membina rumah tangga dari hamba-hamba sahaya kamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahaya kamu yang perempuan. Mereka juga manusia yang perlu menyalurkan nafsu seksualnya. Allah menyediakan buat mereka kemudahan hidup terhormat, karena jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Maha Luas pemberiaanNya dan Maha Mengetahui segala sesuatu. Kata (     الْأَيَامَى      ) al Ayama adalah bentuk jamak dari (  ا يم   ) ayyim yang pada mulanya berarti perempuan yang tidak memilii pasangan. Tadinya kata ini hanya digunakan untuk para janda, tetapi kemudian meluas sehingga masuk juga gadis-gadis, bahkan mencakup juga pria yang hidupnya membujang, baik jejaka/duda. Kata tersebut bersifat umum, sehingga termasuk juga, bahkan lebih-lebih wanita tuna susila, apalagi ayat ini bertujuan menciptakan lingkungan yang sehat dan religius, sehingga dengan mengawinkan para tuna susila, maka masyarakat secara umum dapat terhindar dari prostitusi serta dapat hidup dalam suasana bersih.
Kata (   الصَّالِحِينَ   ) shalihin dipahami oleh banyak ulama dalam arti yang kawin yakni yang mampu secara mental dan spiritual untuk membina rumah tangga, bukan dalam arti yang taat beragama. Ibn Asyur memahami dalam arti kesalehan beragama lagi bertakwa. Menurutnya ayat ini seakan-akan berkata: Jangan sampai keshalehan dan ketaatan mereka beragama menghalangi kamu untuk tidak membantu mereka kawin, dengan asumsi bahwa mereka dapat memelihara diri dari perzinahan dan dosa. Tidak! Bahkan bantu dan kawinkan mereka ! Dengan demikian_tulis Ibn Asyur seperti yang telah dikutip oleh Quraish Shihab_yang tidak memiliki kesalehan dan ketakwaan lebih perlu untuk diperhatikan dan dibantu. Perintah ini dapat berupa perintah wajib jika pengabaiannya dapat melahirkan kemudharatan agama dan masyarakat, dan bila tidak mengakibatkan hal tersebut maka ia dalam pandangan Imam Malik adalah anjuran, atau mubah dalam pandangan Imam Syafi’I. Disisi lain ia mencakup semua anggota masyarakat, baik muslim maupun non muslim, karena keberadaan non muslimpun yang sendirian dapat juga mengakibatkan lahirnya prostitusi atau kedurhakaan di tengah-tengah masyarakat dan ini pada gilirannya berdampak negatif bagi pembinaan seluruh anggota masyarakat.
Ayat ini memberi janji dan harapan tambahan rizki bagi mereka yang akan kawin, namun belum memiliki modal yang mamadai. Sementara ulama menjadikan ayat ini sebagai bukti tentang anjuran menikah walau belum memiliki kecukupan. Sementara mereka mengemukakan hadis-hadis nabi yang yang mengandung anjuran atau perintah kawin. Misalnya:”Tiga hal yang pasti Allah bantu: Yang akan menikah guna menjaga kesucian dirinya, hamba sahaya yang memerdekakan dirinya dan memenuhi kewajibannya, serta pejuang di jalan Allah”.(HR.Ahmad,al Tirmidzi, dan Ibn Majah melalui Abu Hurairah). Tetapi perlu dicatat bahwa ayat ini  bukannya ditujukan pada mereka yang bermaksud kawin, tetapi kepada para wali. Disisi lain ayat berikut memerintahkan kepada yang akan kawin tetapi belum memiliki kemampuan untuk menikah agar menahan diri.
Sesungguhnya pada kata (    الصَّالِحِينَ    ) shalihin pada ayat ini, demkian juga pada  kata (   لا يجدون   ) la yajiduaana pada ayat berikut mengandung tuntunan tentang perlunya bagi calon suami istri memenuhi beberapa persyaratan sealin persyaratan kemampuan materiil sebelum melangkah memikul tanggung jawab perkawinan. Ini karena perkawinan memiliki aneka fungsi bukan sekedar fungsi biologis, seksual dan reproduksi, serta fungsi cinta kasih. Bukan juga sekedar fungsi ekonomi yang menuntut suami mempersiapkan kebutuhan hidup anak dan istri, tetapi disamping fungsi-fungsi tersebut ada juga fungsi keagamaan dan fungsi fungsi sosial budaya yang menuntut ibu bapak agar menegakkan dan melestarikan kehidupan melaui perkawinan, nilai-nilai agama dan budaya positif masyarakat dan diteruskan kepada anak cucu. Ini berlanjut dengan fungsi yang sangat penting yakni fungsi pendidikan dimana keduanya harus memiliki kemampuan bukan saja mendidik anak-anaknya tetapi juga  pasangan suami istri harus saling isi mengisi guna memperluas wawasan mereka. Selanjutnya yang tidak kalah penting adalah fungsi perlindungan, yang menjadikan suami istri saling melindungi dan siap untuk melindungi keluarganya dari aneka bahaya duniawi dan ukhrawi. Demikian aneka fungsi perkawinan yang memerlukan persiapan bukan hanya persiapan materi.[40]
Hamka menafsirkan ayat 32 tersebut adalah hendaklah laki-laki yang tidak beristri dan perempuan yang tidak bersuami, baik masih bujang atau gadis ataupun telah duda dan janda karena bercerai atau karena kematian salahsatu suami atau istri hendaklah segera dicarikan jodoh atau pasangan. Apabila kita merenungkan ayat ini baik-baik jelaslah bhwa soal mengawinkan yang belum beristri maupun bersuami bukanlah lagi semata-mata urusan pribadi dari yang bersangkutan, atau urusan rumah tangga dari orangtua kedua orang yang brsangkutan saja. Tetapi menjadi urusan dari jamiyah Islamiayah, tegasnya masyarakat Islam yang mengelilingi orang itu.
Apabila zina termasuk perbuatan dosa besar yang sangat aib, padahal kehendak kelamin manusia adalah hal yang wajar, yang termasuk keperluan hidup, maka kalau pintu zina ditutup rapat, pintu kawin hendaklah dibuka lebar.
Dalam ayat tersebut: wa ankhihi, hendaklah kawinkan oleh kamu, hai orang banyak. Terbayanglah disini bahwa masyarakat Islam mesti ada dan mesti terbentuk. Supaya ada yang memikul tanggung jawab yang di berikan tuhan itu.
Adalah terlalu berbahaya membiarkan seorang laki-laki muda tak beristri, terlalu lama seorang gadis tak bersuami. Penjagaan kampung halaman yang kuat dan adat yang kokoh mungkin dapat membendung terjadinya pelanggaran susila tetapi penyelidikan ilmu-ilmu jiwa dizaman modern menunjukkan bahwa banyak benar penyakit jiwa yang tersebab tidak lepasnya nafsu kelamin.
Lanjutan ayat menyebutkan pula bahwasannya budak atau hamba sahaya laki-laki dan perempuan yang layak atau atau dikawinkan, hendaklah kawinkan pula. Sedangkan laki-laki merdeka, bujang atau gadis yang tidak beristri atau bersuami, yang masih ada keluarga penanggungnya lagi, wajib dicarikan jodohnya, apalagi budak-budak itu. Dia hidup menumpang, bahkan tidak berhak atas dirinya sendiri, maka tanggung jawab terserahkan kepada masyarakat Islam sekelilingnya. Pada masa modern seperti sekarang ini para pembantu rumah tangga hendaklah para majikan memperhatikan jodohnya.
Tetapi pemuda-pemudi yang takut kawin karena memikirkan pembangunan rumah tangga sesudah kawin. Perasaan hati yang seperti ini ditolak oleh lanjutan ayat: “jika mereka miskin Allah akan memberi limpah karuniaNYa.”
Kadang-kadang seorang pemuda berteori, bahwa kalau dia kawin maka hasil pencahariaanya yang selama ini tidaklah akan mencukupi, padahal setelah diseberanginya akad perkawinan itu dan dia mendirikan rumah tangga, ternyata cukup juga.
Kalau masyarakat itu telah dinamai masyarakat Islam, niscaya orang hidup dengan qana’ah. Perempuan yang mendasarkan hidupnya pada Islam,bukan kepada kemewahan secara barat yang terlalu banyak memerlukan belanja ini, akan memudahkan kembali mendapat jodoh.
Yang dicari pada hakikatnya dalam hidup ini ialah keamanan jiwa. Hidup dalam kesepian tidaklah dapat mendatangkan keamanan jiwa. Rumah tangga yang tentram adalah sumber untuk berusaha, dan usaha membuka pula pintu rizki. “ Allah Maha Luas Dan Maha Mengetahui”. Demikian ayat 32 ini dikunci. Asal mau berusaha, pintu rizki akan senantiasa terbuka bahkan  rezeki itu tidak berpintu ![41]
Muhammad Ali al Shabuni berkata: Tafsiran ayat 32 dari Surat an Nur: Allah menyuruh untuk mengawinkan pria-pria merdeka. Makna firman Allah tersebut: Wahai orang-orang yang mukmin kawinkan yang tidak punya pasangan baik dari laki-laki merdeka atau wanita-wanita kalian yan merdeka dan orang-orang yang baik, betapapun dari hamba-hamba sahaya kalian. Jika mereka (orang-orang yang kalian kawinkan) orang-orang melarat maka sesungguhnya Allah akan mengayakan mereka dengan (pemberian) keutamaanNya jangan sampai kemelaratan mereka menjadi pencegah perkawinan.[42]
Muhammad Nawawi al Jawi menerangkan makna ayat 32 surat an Nur: Wahai para wali dan para tuan, kawinkanlah oleh kalian orang-orang yang tidak memiliki pasangan baik dari laki-laki yang merdeka atau dari wanita-wanita yang merdeka pula, dan orang-orang yang baik dari hamba-hamba sahaya kalian baik yang laki-laki maupun yang perempuan agar agama mereka terjaga.  Mereka adalah orang yang posisinya seperti anak-anak dalam hal kasih sayang terhadap mereka dan dalam hal pemberian harta dan beberapa yang bermanfaat dan tanpa melihat kebaikkan pada orang-orang yang merdeka baik pria ataupun wanita. Sebab pada lazimnya mereka itu baik karena telah membantu majikannya, dan mereka itu bebas dalam hal penggunaan biaya-biaya yang ada hubungannya dengan diri dan harta mereka. Jika mereka (orang-orang atau pria merdeka) fakir maka Allah akan mengayakan mereka dengan memberikan anugrahNya. Maksudnya: Janganlah kalian melihat pada kefakiran orang yang meminang dan wanita yang dipinang.[43]
Muhammad bin Jarir al Thabari berkata: penjelasan ayat 32 surat an Nur sebagai berikut: Wahai orang-orang yang mukmin kawinkan orang yang tidak mmpunyai pasangan baik dari pria dan wanita merdeka kalian atau dari orang-orang yang layak baik dari hamba sahaya pria atau wanita kalian.                                                                           
Maksudnya: Allah menyuruh untuk menikah dan memberikan motifasi kepada orang-orang yang berimen untuk menikah juga memerintahkan  kepada mereka agar mau menikahkan orang-orang yang merdeka dan budak-budak. Allah menjanjikan mereka(yang mau menikah) dengan memberi kekayaan).
Firman Allah(  وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيم   ) maknanya: Allah maha luas anugerahnya, Maha Dermawan dengan banyak memberi pemberian-pemberian. Karena itu kawinkan hamba-hamba perempuan kalian, sebab Allah  yang Maha Luas akan memberikan kelapangan pada mereka dengan pemberian anugrahNya, jika mereka miskin Allah akan mengetahui terhadap orang yang fakir dan orang yang kaya di antara kalian. Tidak ada yang samar bagi Allah, sesuatupun dari makhluknya dan Allah mengatur segalanya.[44]



B. Ayat-Ayat Berkenaan Dengan Kriteria Wanita yang Layak Dinikahi Dan Penafsirannya.
1.      Wanita yang Beragama, Sekufu
Salah satu wanita yang layak untuk dinikahi adalah wanita yang beragama, pernyataan ini terdapat pada Surat Al baqarah ayat 221

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
 Surat al Ahzab 49
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا(49)[45]

2.      Wanita yang disukai, sebagaimana tertera dalam surat an Nisa ayat 3 sebagai berikut:
a.       Surat Al Nisa’ ayat 3
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا(49)[46]


“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bila mana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka ( kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu milki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (An Nisa’:3) [47]   


Asbabun nuzul surat al Nisa’ ayat 3 adalah sebagai berikut :

Menurut riwayat Aisyah (w 57 H): ayat 3 pada surat an Nisa diturunkan pada seorang laki-laki yang mempunyai anak perempuan yang yatim dimana orang laki-laki tersebut menjadi walinya. Anak yatim tersebut mempunyai harta, tidak ada seorangpun yang membela anak yatim tadi selain seorang wali tersebut, maka tidak ada seorangpun yang boleh menikahi anak perempuan yatim tadi kecuali walinya, maka si wali tidak boleh menikahi perempuan yatim tadi karena senang terhadap hartanya dan tidak boleh memukulinya serta berbuat jelek terhadapnya.[48]
Quraish Shihab menjelaskan maksud dari ayat 3 surat an Nisa: setelah melarang dan mengambil harta anak yatim secara aniaya, kini yang dilarang-Nya adalah berlaku aniaya terhadap pribadi anak yatim itu. Karena itu ditegaskan bahwa: dan jika kamu takut tidak dapat berbuat adil pada perempuan yatim, dan kamu yakin dapat berbuat adil pada wanita selain anak yatim itu maka kawinilah apa yang kamu senangi sesuai dengan selera kamu dan halal dari wanita lain itu. Kalau perlu kamu dapat menggabung dalam saat yang sama dua, tiga, atau empat, tetapi jangan lebih, lalu jika kamu tidak dapat adil dalam hal perlakuan dalam hal harta dan perlakuan lahiriyah, bila dalam hal cinta dalam menghimpun lebih dari seorang istri, maka kawini seorang saja, atau kawinilah budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu yaitu menikahi selain anak yatim yang mengakibatkan ketidakadilan, dan mencukupkan satu istri adalah lebih dekat dari berbuat tidak aniaya, yakni lebih mengantarkan kamu kepada keadilan atau kepada tidak memiliki banyak anak yang harus kamu tanggung biaya hidup mereka.[49]
Hamka berkata: Allah berfirman: “Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil (bila menikahi) anak-anak yatim, maka nikahilah wanita-wanita lain yang kamu senangi dua, tiga atau empat Dalam pangkal ayat ini kita bertemu lanjutan tentang memelihara anak yatim dan bertemu pula keizinan dari Tuhan untuk beristri lebih dari satu sampai dengan empat. Perintah memelihara anak yatim ada hubungannya dengan keizinan Allah menikah lebih dari satu sampai dengan empat.
Di sini kita telah mendapat pokok yang pertama ialah sebagai sambungan dari ayat 2 yang sebelumnya tentang memelihara harta anak yatim. Pada ayat  2 itu telah dijelaskan dan diperingatkan jangan sampai ada aniaya dan perlakuan curang pada anak yatim, sebab itu adalah dosa yang amat besar. Akan datang masanya bahwa, hartanya mesti diserahkan kepadanya, sebab dia akan kawin. Tetapi datangalah “gangguan” ke dalam pikiranmu. Satu antara gangguan itu, kamu berkat dalam hati: lebih baik anak ini aku kawini saja, sehingga ia tidak keluar dari rumahku ini. “Hartanya tetap dalam genggamanku dan maharnya bisa dipermain-mainkan” atau disebutkan saja dalam hitungan tetapi tidak dibayar, atau sebab dia sudah istriku, tentu berhak atas hartanya, kecantikannya bisa kupersunting, hartanya bisa kukuasai, mas nikahnya bisa dibayar murah.
Ini adalah satu pikiran yang tidak sehat. Pikiran sehat yang timbul dari iman dan takwa adalah lebih baik menikah saja dengan perempuan lain, bayar maharnya dengan patut, biar sampai empat orang daripada berlaku seperti itu kepada anak perempuan yatim yang dalam asuhanmu. Atau timbul pikiran yang lebih jahat lagi, nikahi saja dan maskwinnya tak perlu dibayar, sebab tidak ada orang lain yang akan menentang. Atau pikiran jahat yang lain lagi, hartanya telah dipegang dalam tangan, menikahinya tidak mau karena tidak cantik sedang memberikannya dinikahi orang lain tidak mau pula karena ingin hartanya. Maka daripada melangsungkan segala pikiran jahat ini, lebih baiklah menikah saja dengan perempuan lain, biar sampai empat. Sebab sikap-sikap yang tidak jujur pada anak yatim perempuan itu adalah dosa besar. Lebih baik aman memegang amanat harta anak yatim itu. Kalau akan dinikahi nikahilah secara jujur, bayarkan maharnya sebagaimana mestinya seperti dibayarkan kepada pereempuan lain. Hartanya tetap hartanya walaupun ia istrimu kelak. Serahkan haknya karena bila telah bersuami dewasalah dia. Daripada sampai menganiaya harta anak yatim lebih baik menikah sampai empat, walaupun menikah sampai dengan empat itu menimbulkan kesulitan juga. Dalam ayat di atas ada perintah memelihara anak yatim yang amat dirasakan, dan kebolehan beristri sampai dengan empat.”Tetapi jika kamu takut tidak  bisa berlaku adil, maka seorabg sajalah“ maksudnya bila kebolehan beristri sampai empat benar benar kamu turuti, baik dua, tiga maupun sampai dengan empat, kamu akan mendapati lagi kesulitan dengan corak lain. Kamu mesti adil terhadp istri-istrimu itu. Semua istri memiliki hak atas dirimu dan mereka mempunyai hak menuntut hak itu. Jadi sebelum menempuh hal di bolehkan tersebut lebih baik dipikirkan dengan sungguh-sungguh. Namun jika ingin juga tetaplah beristri satu orang dan yang lain adalah hamba sahaya yang haknya memang sudah nyata tidak sama dengan istri merdeka.[50]
Muhammad Ali Al Shabuni berkata: Hubungan ayat 3 dengan ayat sebelumnya dari surat an Nisa: Allah memulai surat an Nisa dengan panggilan terhadap semua manusia dan mengajak mereka untuk beribadah kepada Allah Yang Maha Tunggal, tidak ada sekutu bagi-Nya, memberitahukan kepada mereka akan kekuasan Allah yang menciptakan mereka dari seorang diri (Adam) dam Allah menciptakan dari diri Adam seorang pasangan yaitu Hawa dan Allah menebarkan dari Adan dan Hawa, semua manusia. Jadi semua manusia berasal dari satu ayah. Mereka semua adalah satu saudara dari segi kemanusiaan dan keturunan. Maka orang kuat harus bersikap belas kasih pada yang lemah. Orang yang kaya seharusnya menolong orang yang fakir sehingga sempurnalah bangunan masyarakat manusiawi. Kemudian pada ayat 2 Allah menyebutkan tentang hak-hak anak yatim. Allah memerintahkan untuk memlihara harta benda mereka serta tidak berbuat zalim terhadap harta tersebut karena anak yatim memerlukan pemeliharaan, bantuan dan hiburan. Anak yatim itu lemah dan menganiaya oarang lemah adalah dosa besar di sisi Allah. Kemudian Allah menyuruh para pria apabila ia memelihara anak yatim perempuan dan ia ingin menikahinya dan khawatir tidak dapat memberikan mahar mitsilnya dan cenderung memberikan kesempitan kepada mereka (para pria) dimana mereka diperbolehkan mengawini dua, tiga, sampai empet dari wanita.  Ketika para pria khawatir tidak dapt berbuat adil maka hendaklah memfokuskan pada satu istri saja.[51]
Muhammad an Nawawi al Jawi mengintepretasikan ayat 3 surat al Nisa sebagai berikut: Jika kalian (para wali) khawatir tidak bisa berbuat adil terhadap anak yatim apabila mengawini mereka, maka kawini wanita-wanita lain selain mereka (anak yatim tadi). Wanita-wanita tersebut yang kamu anggap baik dan kalian senangi. Jumlah mereka dua, tiga dan empat. Tidak boleh lebih dari empat. Jika kalian takut tidak dapat berbuat adil diantara mereka dalam hal pembagian giliran dan nafkah sebagaimana kalian bisa berbuat adil untuk menyempurnakan hak-hak anak yatim, maka pilihlah satu istri dan tinggalkan poligami, atau hamba sahaya yang kalian miliki karena kalian tidak ada kewajiban dalam selir/gundik dari hamba sahaya itu lebih mendekati kebenaran yaitu kalian tidak akan berbuat zhalim.[52]
3.      Wanita Yang Berakhlak Mulia dan menjaga kehormatannya, terdapat pada:
a.       Surat an Nur ayat 3

الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ(3)[53]

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin”(an Nur:3)[54]
               
Surat an Nur ayat 3 diturunkan di Madinah. Sebab turunnya adalah: Beberapa ulama tafsir berkata: orang-orang muhajirin mendatangi Madianh diantara mereka ada orang-orang fakir, tidak mempunyai harta. Dan di Madinah banyak wanita pelacur yang menyewakan diri mereka. Mereka (para pelacur) adalah penduduk Madianh yang makmur. Lalu ada beberapa orang fakir muhajirin mengingini pekerjaan mereka. Orang-orang muhajirin tersebut berkata: bersama mereka sampai Allah menjadikan kita berkecukupan dan tidak membutuhkan mereka (para pelacur). Kemudian mereka (orang muhajirain yang fakir) meminta izin kepada Nabi untuk itu. Tidak lama kemudian turunlah ayat 3 dari surat an Nur. Menikah dengan pelacur itu diharamkan untuk menjaga kehormatan orang mukmin dari para wanita pelacur.[55]
Quraish Shihab menafsiri ayat di atas dengan: setelah menjelaskan hukuman tehadap pezina, apalagi jika ingin dijadikan pasangan hidup. Ayat ini mengatakan: Laki-laki pezina yakni yang kotor dan terbiasa berzina tidak wajar menikahi melainkan wanita pezina yakni yang kotor dan terbiasa pula berzina, atau perempuan musyrik, dan demikian pula sebalikanya perempuan pezina yang terbiasa berzina tidak wajar dikawini laki-laki musyrik dan demikian itu yakni perkawinan dengan pezina diharamkan yakni tidak pantas terjadi atas orang-orang mukmin.     Ibnu Asyrur berpendapat bahwa ayat ini mendahulukan penyebutan lelaki pezina atas perempuan pezina_berbeda dengan ayat yang lalu karena ayat ini adalah penjelasan mengenai kasus yang menjadi sebab nuzulnya.
Banyak yang memahami ayat di atas dalam arti ghalibnya, seorang yang cenderung dan senang berzina, enggan menikahi siapa yang taat beragama. Demikian juga wanita pezina tidak diminati oleh lelaki yang taat beragama. Ini karena tentu masing-masing ingin mencari pasangan yang sejalan dengan sifat-sifatnya, sedang kesolehan dan perzinaan adalah dua hal yang bertolak belakang. Perkawinan antara lain bertujuan melahirkan ketenangan dan kebahagiaan dan langgengnya cinta kasih antara suami istri bahkan semua keluarga. Nah. Bagaimana hal-hal tersebut terpenuhi bila perkawinan itu terjalin antara seorang yang memelihara kehormatannya dengan yang tidak memeliharanya?.
Firman Allah (   وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ      ):dan demikian itu diharamakan atas orang-orang mukmin, diperselisihkan juga makna ayat oleh ulama. Ada yang berpendapat bahwa sebab nuzul ayat ini khusus bagi kasus Murtsid dan anak, yang ketika itu disamping pezina juga berstatus sebagai wanita kafir tidak bagi pezina yang muslimah. Ada juga yang mengartikan bahwa kata itu pada penutup ayat ini, menunjukkan pada perzinaan bukan perkawinan sehingga ayat ini berarti: pezinaan diharamkan atas orang-orang yang mukmin.
Adalagi yang memahami kata diharamkan pengertian bukan dalam hukum, tetapi dalam pengertian kebahasaan yakni terlarang atas dengan demikian ayat ini bagaikan berkata bahwa itu tidak wajar dan kurang baik.
Ulama ketiga madzab_Abu Hanifah, Malik dan Syafi’I menilai sah perkawinan seorang pria yang taat dengan perempuan pezina, tetapi hukumnya makruh. Alasannya antara lain firman Allah dalam Qur’an surat an Nisa: 24 yang menyebut sekian banyak haram dikawini lalu menyatakan,”dan dihalalkan untuk kamu selain yag disebut itu” Nah, pezina tidak termasuk kelompok yang ”yang selain itu” sehingga itu berarti menikahinya adalah halal. Imam Ahmad dan sekelompok ulama lain berpendapat bahwa perkawinan pezina pria kepada wanita yang memelihara diri/baik-baik atau sebaliknya, tidaklah sah. Salah satu alasannya adalah ayat yang ditafsirkan ini.
Salah satu implikasi dari ayat ini adalah perkawinan yang didahului oleh kehamilan. Banyak ulama yang menilai sah. Sahabat Nabi SAW Ibn Abbas berpendapat bahwa hubungan yang sah, lalu dilaksanakan sesudahnya pernikahan yang sah, menjadikan hubungan tersebut awalnya haram dan akhirnya halal. Atau dengan kata lain perkawinan seseorang yang telah berzina dengan wanita kemudian menikahinya dengan sah, adalah seperti keadaan seorang yang mencuri buah dari kebun seseorang, kemudian dia membeli dengan sah kebun tersebut beserta buahnya. Apa yang dicurinya sebelum pembelian adalah haram sedang yang dibelinya setelah pencurian itu adalah halal. Inilah pendapat Imam Syafi’I dan abu Hanifah sedang imam Malik menilai bahwa siapa yang berzina dengan seseorang kemudian dia menikahinya, maka hubungan seks antara keduanya adalah haram, kecuali dia melakukan akad nikah baru, setelah selesai iddah dari hubungan yang tidak sah itu.[56]
Hamka berkata: siapa yang biasa masuk ke dalam rumah pelacuran itu selama ini ? ialah orang-orang pezina. Orang-orang yang tidak asal nafsu muda janga ditahan. Siapa pula laki-laki yang berulang ke tempat perempuan lacur ? adalah laki-laki pezina pula, yang telah mendapat cap demikian dalam kalangan kau musyrikin sendiri atau laki-laki musyrik yang memang begini hidupnya dimasa lampau. Maka laki-laki pezina itu biasanya hendak taubat menuntut hidup baru yang diridhoi tuhan. Karena kehidupan rumah tangga bukanlah didasarkan kepada apa yang disebut sekarang “dasar cinta” melainkan kepada dasar yang lebih tinggi dan mulia yaitu amanah Allah. Orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang terhormat, rumah tangganya bermutu tinggi, dari mereka diharapkan keturunan rumah yang shalih. Biasanya bekas perempuan lacur sukar sekali punya anak, dan kalu kebetulan mendapat anak harus dipelajari pula betapa jiwa anak itu menghadapi masyarakat. Betapapun miskinnya kalian, janganlah kalian kotorkan jiwa dan jalan hidup kalian dengan mengawini perempuan lacur lalu mengambil harta simpanannya yang didapatnya dari memperdagangkan dirinya untuk modal. Perbuatan ini adalh nista ! Dalam hati sanubari kalian sendiri akan terasa bahwa perbuatan itu hina rendah, sebab itu dilarang.[57]
Muhammad Ali al Shabuni berkata: tafsiran ayat itu adalah Allah menerangkan bahwa pria pelacur tidak layak kawin dengan wanita yang beriman. Pria pelacur hanya kawin dengan yang sepertinya atau yang lebih hina. Pria pelacur kawin dengan wanita yang tidak baik atau wanita musyrik penyembah berhala. Tidak heran orang, orang fasik yang jelek lazimnya tidak mau menikah kecuali dengan wanita fasik atau sepertinya atau wanita musyrik. Seperti wanita pelacur yang jelek lazimnya tidak menyukai kecuali pria pelacur yang sepertinya atau pria musyrik. Orang-orang yang bersih tidak mau menikah dengan orang-orang yang tidak bersih.
Allah mengharamkan perzinaan karena perzinaan mengandung banyak mudharat, atau membahayakan jasmani kehidupan manusia baik perindividu atau perkelompok.[58]
Abdul Wadud Yusuf menerangkan maksud ayat 3 dari surat an Nur sebagai berikut: Pelacur pria tidak boleh menikah kecuali dengan wanita pelacur atau wanita musyrik. Pria mukmin diharamkan kawin dengan pria wanita-wanita pelacur. Konon hukum itu telah dihapus.[59]
Muhammad Nawawi al Jawi menafsiri: Ayat 3 dari surat an Nur : Tidak akan mengerjakan kebaikkan kecuali orang yang bertakwa. Ini pada lazimnya dan pada umumnya. Tetapi kadang-kadang orang yang tidak bertakwa mengerjakan kebaikan.
Firman Allah:                             
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِين (النور: 3)

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu'min”.  (QS. An-Nur: 3)

 Maksudnya adalah bahwa pria pelacur tidak suka kecuali wanita pelacur. Pernikahan dengan orang yang beriman diharamkan atas pria pelacur. Karena haramnya hal itu tidak menetapkan  haramnya pria mukmin menikah  dengan wanita pelacur. Jadi boleh pria mukmin menikahi wanita pelacur. Ini menjadi pendapat yang kuat dalam menafsiri ayat 3 Surat an Nur tersebut.[60]
Ali bin Ahmad al Wahidi an Nisaburi berkata: Ayat 3 dari surat an Nur tersebut merupakan pengharaman menikah dengan pelacur karena mereka adalah wanita-wanita yang kotor dan musyrik. Allah menerangkan bahwa tidak boleh mengawini wanita pelacur kecuali pria pelacur juga (pria musyrik). Sesungguhnya hal itu haram atas orang-orang mukmin. Secara tekstual kata “al” berfaedah umum tetapi hakikatnya berfaedah khusus tertuju pada orang-orang yang dikenai ayat-ayat tersebut.[61]
b.      Surat al Nur ayat 33
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَنْ يُكْرِهُّنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu). ”(an Nur:33)[62]

Surat an Nur ayat 33, diturunkan di Madinah. Menurut sebagian ulama, sebab nuzulnya ayat tersebut adalah: Bahwa Mu’adzah hamba sahaya perempuan Abdullah bin Ubai bin Salul_dia(Mu’adzah) seorang muslimah dipaksa untuk berzina lalu Allah menurunkan ayat tersebut.
Menurut riwayat Jabir: hamba sahaya perempuan itu bernama Mu’adzah dan Musikah. Mereka  hamba sahaya perempuan Abdullah bin Ubai bin Salul (seorang munafik). Mereka berdua dipakasa berzina untuk mendapatkan uang lalu uang tersebut diambil oleh Abdullah. Seperti itu kondisi pada masa jahiliyah dimana para majikan mengambil upah dari para hamba sahaya mereka. Lalu ketika Islam datang Mu’adzah berkata: Sungguh keadaan yang kita alami ini mesti mengandung dua hal, jika baik maka kita tela banyak melakukannya tapi bila buruk kami akan meninggalkannya. Kemudian Allah menurunkan ayat tersebut.[63]
Quraish Shibab berkata: tafsiran ayat tersebut adalah: Setelah ayat lalu memerintahkan para wali untuk mengawinkan siapapun yang tidak memiliki pasangan dan layak kawin, dan agar mereka tidak menjadikan kemiskinan calon suami sebagi alasan untuk menolak lamaran mereka, maka kini melalui ayat di atas para calon suami tersebut dituntut untuk tidak mendesak para wali untuk segera mengawinkan mereka. Ayat ini menyatakan bahwa: Hendaklah benar-benar lagi sungguh-sungguh menjaga kesucian dirinya orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk menikah dan memikul tanggung jawab berkeluarga antara lain dengan cara berpuasa, melakukan kegiatan positif seperti olahraga dan lain-lain sampai tiba saatnya Allah memampukan mereka dengan karuniaNya memudahkan baginya untuk kawin. Ketika itu dia dapat memelihara kesucian jiwanya dengan perkawinan kendati tidak lagi menempuh alternatif pengganti tersebut.
Salah cara Allah untuk memampukan hamba sahaya itu adalah melalui tuan-tuan mereka, karena itu ayat-ayat di atas melanjutkan tuntunannya dan kali ini ditujukan kepada pemilik budak-bidak tersebut. Ayat di atas menetapkan Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan untuk menjalin perjanjian dan kesepakatan dengan kamu untuk membebaskan diri dengan membayar uang pengganti sebagai imbalan kebebasan dan kemerdekaan mereka, maka hendaklah kamu wahai para pemilik budak-budak membuat perjanjian dengan mereka serta membantu kemerdekaannya jika kamu mengetahui yakni menduga adanya kebaikkan pada mereka yakni bahwa mereka akan mampu melaksakan tugas dan memenuhi kewajiban mereka, tanpa menjadi pengemis dan mampu pula menjaga diri dan agama mereka. Untuk itu bantulah mereka agar sukses dalam usaha mereka antara lain dengan memberikan kemudahan-kemudahan baik dalam bentuk material maupun imaterial dan di sampung itu berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakanNya kepadamu dalam bentuk pemberiaan wajib yakni seperdelapan bagian yang ditetapkan Allah untuk penyaluran zakat harta atau pemberiaan sunah berupa infak dan sedekah.
Upaya memerdekakan diri dapat dapat ditempuh dengan berbagai cara, tetapi bukan dengan cara yang haram. Karena itu ayat ini setelah membantu para budak, melanjutkkan dengan larangan yaitu, Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanita kamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian secara sungguh-sungguh padahal kamu memaksanya dengan tujuan agar kamu meraih dengan sungguh-sungguh lagi sebanyak mungkin keuntungan duniawi.dan barangsiapa memaksa mereka melakukan keburukan itu, maka Allah maha Pengampun dengan menutupi rahasia mereka lagi maha penyayang terhadap yang dipaksa sesudah mereka dipaksa.
Al Bigha pada masa jahiliyah terhitung sebagi salh satu bentuk perkawainan. Aisyah ra menguraikan bahwa pada masa jahiliyah empat macam cara guna menjalin huubungan seksual. Pertama, melamar seorang wanita pada walinya membayar mahar dan dinikahkan. Kedua, mengirim istri yang telah suci dari haidnya, untuk “tidur” dengan seorang yang dipilih, dan setelah jelas dia mengandung barulah ia kembali ke suaminya. Tujuan cara ini adalah memiliki anak dari seseorang yang dinilai memiliki benih unggul. Ketiga, berkumpul dengan satu grup yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang lalu mereka berhubungan dengan seorang wanita, dan bila hamil dan melahirkan dia memanggil seluruh anggota grup dan tanpa seorangpun yang mengelak dan mengingatkan mereka tentang hubungan mereka dengannya. Lalu wanita itu menunjuk salah seorang yang dipilinya untuk menjadi ayah anaknya dan diberi nama dengan nama yang dinisbahkan kepada yang terpilih itu. Keempat, adalah al Bighai ini. Nah Islam menghapus semua bentuk ini kecuali yang pertama. Demikian diriwayatkan oleh al Bukhari.
Kata (   إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا     ) bila mereka sendiri menginginkan kesucian, tidak dapat dipahami sebagai syarat larangan ini, yakni tidak dapat dipahami jika mereka tidak ingin memelihara kesuciaannya, maka mereka boleh dipaksa. Betapa tidak dapat dipahami demikian, jika mereka memang tidak ingin menjaga diri, maka apa arti pemaksaan yang dimaksud di sini.
Ada sementara ulama yang menjadikan ayat ini sebagai salah satu ayat yang berbicara penahapan penetapan hukum, memang al Qur’an melakukan pentahapan dalam setiap tuntunan syariatnya baik berkaitan dengan larangan seperti larangan minuman keras, juga tentang perintah sholat yang pada mulanya belum lima kali sehari dan masih dapat bercakap-cakap. Ayat ini menurut mereka merupakan tahap pertama dari larangan perzinahan dan hubungan tidak sah, yang dimulai dengan larangan memaksa, tetapi membolehkan kawin mut’ah, selanjutnya baru kemudian datang juga larangan kawin mut’ah dan membatasi perkawinan yang sah adalah hanya yang bertujuan menjalin hubungan yang langgeng bukan yang bersifat sementara halnya perkawinan mut’ah.
Al Biqa’i memahami kata maha pengamun tertuju pada yang memaksa dan yang dipaksa. karena itu pula menurutnya hingga ayat di atas menggunkan bentuk kata kerja masa kini dan datang (mudhari’) pada firman Nya (                            ) memaksa mereka bukan kata kerja masa lampau, untuk mengisyaratkan bahwa Allah tetap menerima taubat siapapun yang melanggar setelah turunnya ayat ini.[64]
Hamka beropini: Penafsiran dari surat an Nur ayat 33 adalah Allah menasehatkan pada orang yang belum mampu melaksanakan perkawinan, supaya ia berlaku iffah, menahan nafsu dan syahwat, memelihara kehormatan diri, dan jangan dilepaskan niat hendak mendirikan rumah tangga karena agar dapat melaksanakan perintah Tuhan. Moga-moga dengan menjaga kesucian diri, sehingga hidup teratur, tidak boros kepada yang tak berfaedah, tidak terperosok kepada zina, menyebabkan kesucian diri dapat dipertahankan. Dan kesucian diri memberi pula inspirasi buat berusaha yang halal. Dengan sendirinya rezeki akan dilimpahkan Tuhan.
Kemudian itu diceritakan pula tentang budak-budak atau hamba sahaya yang ingin bebas dari perbudakan dan ingin menjadi orang merdeka. Yang sanggup membayar ganti kerugian kepada majikannya dengan perjanjian tertentu.
Di ayat ini dijelaskan “hendaklah dibuat perjanjian itu”, hendaklah dimudahkan agar dia segera dapat lepas dari belengguperbudakkan. Terutama bila dilihat adanya kebaikkan jika dia dimerdekakan, sebab dia memang hidup sendiri setelah dimerdekakan. Lebih cepat memerdekakan itu dilaksanakan lebih baik.
Maka dalam ayat ini tegaslah, jika budak (yang dipunyai oleh tanganmu) ingin membuat perjanjian, segeralah berbuat perjanjian kebebasan itu, asal kamu lihat memang sudah berhak budak itu untuk dimerdekakan karena sudah ada kebaikkan pada dirinya. Sudah dapat dia berdiri sendiri dan sudah ada yang lebih utama dari kebaikkan itu, yaitu imannya kepada Tuhan. Dan hendaklah diberikan kepadanya harta Allah yang ada dalam tangan kamu artinya zakat atau harta dari baitul mal.
Di dalam ayat ini dinyatakan syarat tadi, yaitu “kalau penghulunya melihat ada kebaikan padanya”. Kalau sekiranya setelah merdeka dia hanya akan luntang batang, karena tidak dapat berdiri. Setelah itu dalam urutan ayat ini juga diberantas lagi suatu adat buruk yang berlaku dizaman jahiliyah yaitu seorang budak perempuan dipaksa oleh tuannya melakukan perzinaan, menjadi wanita pelacur, memungut bayaran dari orang yang memakainya, dan bayaran itu diserahkan kepada tuannya, padahal perempuan itu sendiri pada asal jiwanya adalah menginginkan hidup yang suci dan sopan, cuma dia terpaksa mengerjkan pekerjaan itu karena dia tidak merdeka (budak).
Adat mempersewakan budak perempuan buat dilacurkan ini “biasa saja” dizaman jahiliyah sehingga orang-orang terkemuka jahiliyah melakukannya dengan tidak merasa malu. Sejak dari masih di Mekkah Rasulullah SAW telah menegaskan ajarannya kepada para pengikutnya supaya jangan berzina. Dan setelah pindah ke Madinah artinya beliau telah memegang kekuasaan atas masyarakat Madinah, wahyu ayat ini telah memberikan peluang terhadap beliau buat melarangnya.
Maka diobatilah permpuan yang mnejadi korban itu, bahwa kalau memang hanya terpaksa sebab dia budak. Padahal batinnya sendiri suci dimaafkanlah kesalahannaya oleh tuhan. Bukan dia yang bersalah, tetapi tuannya yang mempersewakan itulah yang bertanggug jawab atas perbuatannya yang hina itu.
Ayah bunda kamu segera mengawinkan anaknya yang telah patut kawin. Oleh sebab itu perkawinan jangan dipersukar. Kadang-kadang masyarakat islam yang lebih kabur oleh karena diselimuti oleh adat istiadat yang keras, yang bukan berasal dari Islam, mempersukar kawin dengan mempertinggi mahar (maskawin, uang jujur), sehinnga kerap kali kejadian permufakatan hendak berkawin yang telah hampir jadi, diurungkan kembali karena selisih perkara mahar. Timbullah hawa nafsu mempertahankan diri dari kebangsawanan, padahal anak perempuannya sendiri atau anak laki-lakinya sudah sampai kepada taraf yang nafsu kelaminnya lebih berkobar. Sehingga di beberrapa negri Islam di Indonesia diakui menurut adat apa yang dinamai “kawin lari”. Si ayah berkeras mempertahankan maskawin sedang bakal mantu tidak sanggup. Maka perempuan iti dilarikannya dan mereka kawin di tempat lain. Sehabis kawin mereka pulang, dan si ayah marah-marah, tetapi tidak bertindak membatalkan nikah itu. Amat perlulah ayat ini dijadikan pegangan oleh kaum muslimin dalam abad-abad pancaroba seperti sekarang ini.
Di dalam inti sari ayat di atas tadi, ketika diberi kesempatan pada budak untuk menebus kemerdekaannya dengan perjanjian, bertemu suatu rahasia yang amat mendalam. “Jika kamu lihat padanya ada kebaikkan atau kepatuhan” kemungkinan sebagian ahli tafsir menyatakan bahwa arti dari khairon di sini adalah ibadahnya ataupun agamanya. Dan sebagian penafsir lagi menampah bahwa khairon itu adalah kesanggupannya untuk berdiri sendiri. Maka bila dibaca ayat ini dengan tekun, nampaklah teori yang sekarang dikemukakan. Yaitu betapapun kemerdekaan diri pribadi seorang, tidaklah dia akan merasa nikmat kemerdekaan itu kalau ekonominya kacau. Orang wajib aktif di dalam hidup mencari sesuap pagi dan sesuap petang. Tetapi daam masyarakat Islam haruslah didirikan suatu baitul mal, harta perbendaharaan bersama ini penting artinya supaya dari perbendaharaan bersama itu dapat diberikan modal pertama bagi ayang mula-mula hendak tegak sendiri. [65]
Muhammad Ali al Shabuni berkata: makna ayat 33 dari surat an Nur kemudian Allah menyuruh para pemuda-pemuda yang sulit kawin karena faktor materi atau faktor sosial untuk menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang keji dan menjauhi larangan Allah sampai Allah memberikan kelapangan pada mereka yang dapat mempermudah kawin. Sebab hamba apabila bertakwa kepada Allah maka Allah memberikan kelapangan dan jalan keluar. Sebagaimana Allah menyuruh pada para majikan untuk menjadikan hamba-hamba sahaya sebagai hamba sahaya Mukattab yaitu orang-orang yang ingin merdeka dari perbudakan. Allah memberi petunjuk kepada para tuan atau majikan agar mau menerima kebebasan dari mereka para budak dengan pembayaran harta dari para budak tersebut. Allah melarang tuan-tuan memaksa hamba-hamba sahaya mereka untuk berzian seperti yang telah dikerjakan oleh orang-orang jahiliyah, agar mendapat kekayaan yang melimpah. Allah memberikan intimidasi kepada orang-orang dzalim yang melampui batas yang memaksa hamba-hamba sahaya mereka dengan siksaan yang sangat pedih, sesungguhnya Allah akan memberi siksaan kepada mereka dan memaafkan serta mengampuni budak-budak perempuan yang telah dipaksa berzina sebab para budak tersebut tidak mempunyai keinginan dan pilihan, sedangkan dosa mereka ditanggung oleh orang yang memaksanya.[66]
Muhammad Nawawi al Jawi menjelaskan tafsiran ayat tersebut hendaklah orang yang mampu sampai ke jenjang perkawinan hendaklah bersungguh-sungguh mengekang syahwatnya, dan menunggu waktu sampai Allah menjadikan dia bisa mencapai tujuannya yaitu menikah. Dan para budak yang menuntut kebebasan dari perbudakan menjadi merdeka dengan pembayaran uang-uang para budak itu. Maka para majikan diperintah untuk menerima tuntutan para budak tersebut jika diketahui dari mereka kemampuan untuk membayar kebebasan itu dan kebaikkan kepada orang lain setelah kemerdekaannya. Para majikan diperintahkan untuk memberikan sebagian harta yang telah diperoleh kepada para hamba sahaya. Perintah Allah pada surat an Nur 33, menurut Malik dan Abu Hanifah berhukum sunnah. Tetapi menurut Syafi’I berhukum wajib. Menurut sebagian ulama, perintah tersebut adalah perintah dengan memberikan bagian zakat pada mereka. Para majikan dilarang memaksa budak-budak perempuan untuk berzina jika budak itu menginginkan untuk menjaga diri maka para majikan lebih berhak lagi untuk menjaga diri. Pada ayat tersebut terdapat syarat bahwa para majikan boleh memaksa para budak untuk menikah. Budak wanita tidak boleh menolak jika para majikannya mengawinkannaya. Para majikan memaksa para hamba sahaya perempuannya untuk berzina bertujuan untuk mendapatkan harta melalui pekerjaan hamba sahayanya itu atau melalui anak-anak mereka. Allah mengampuni dosa para hamba sahaya wanita yang telah dipaksa berzina.[67]
               c. Surat al Maidah ayat  5 :
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ     [68]

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi”[69]

Muhammad Ali al Shabuni menjelaskan bahwa ayat di atas jelas memperbolehkan kawin dengan wanita-wanita ahl al kitab dan menjadi dalil jumhur ulama’.[70] Diperbolehkan menikahi wanita –wanita dari ahl al kitab sebab mereka adalah wanita-wanita yang baik yang menjaga kehormatannya apalagi wanita-wanita yang beriman. Menjaga kehormatannya tentunya lebih diperbolehkan lagi. Lebih lanjut Muhammad Ali al Shabuni berpendapat  kata (وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ ) didahulukan dari pada kata (الْكِتَابَ  ) itu menunjukkan bahwa mengawini wanita-wanita yang beriman lebih utama daripada mengawini wanita-wanita ahl kitab walaupun diperbolehkan kawin dengan ahl kitab.[71] Yang dimaksud ahl al kitab menurut Muhammad Nawawi al Jawi adalah wanita-wanita yang mempunyai kitab baik Taurat ataupun Injil, dengan kata lain wanita Yahudi dan Nasrani baik setelah turunnya ayat ini atau sebelumnya. Ini menurut pendapat 3 madzhab selain Syafi’i (w. 204 H).[72]
4. Wanita yang bukan mahram, hal ini terdapat pada
             a. Surat an Nisa ayat 22     
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ ءَابَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا


b. Surat an Nisa ayat 23

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,”


[1]Al Qur’an, 2:221.
[2]Departemen Agama RI, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Jakarta : Surya Cipta Aksara, 1993), 53-54.
[3] Abu al Hasan Ali bin Ahmad al Wahidi al Nisaburi, Asbab an Nuzul, (Jakarta: Syarikah Dinamika Barakah Utama, t,t), 45.
[4] Quraisy Shihab, Tafsir al Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al Qur’an, Vol I, (Jakarta : Lentera Hati, 2003), 472-473.
[5] Ibid, 477
.
[6]Hamka, Tafsir al Azha, vol II, (Jakarta : Pustaka Panji Mas, 2003), 254-256.
[7] Muhammad Ali Al Shabuni, Rawa’I al Bayan Tafsir Ayat al Ahkam Min Al Qur’an, Vol I,(Dar al Fikr,t.t), 283.
[8]Jalaluddin Asy Syuyuti,al Dur al Mantsur  fi Al Tafsir Al Ma’tsur, Vol I, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyyah, t.t), 458.
[9]M. Nawawi al Jawi, Tafsir al Nawawi, Vol I, (Indonesia : Syarikah al Nur Asia, t.t), 60.
[10]Abdul Wadud Yusuf, Tafsir al Mu’minin, (Dar al Fikr, t.t), 27.
[11] Abu Al Hasan Ali Bin Ahmad Al Wahidi, Kitab Al Wajiz fi Tafsir Al Qur’an Al Aziz,,(Indonesia: Syarikah al Nur Asia, t.t), 59-60.
[12]Al Qur’an, 33:49
[13] Ibid, 675-676

[14] Al Shabuni, Rawa’I al Bayan, Vol II, 286-287
[15] Al Jawi, Tafsir, Vol II, 186
[16] Yusuf, Tafsir, 338
[17] Hamka, Tafsir, Vol XXII, 62-63

[18] Shihab, Tafsir,Vol IX, 297-289
[19]Al Nisaburi, Kitab, Vol II, 186
[20]Al Qur’an, 4: 6.
[21] Depag RI, al Qur’an……,115.

[22]Shihab, Tafsir…..,Vol II, 333.
[23]Hamka, Tafsir……..,Vol IV, 339.
[24] Al Shabuni, Rawa’I al Bayan, Vol II, 434-435

[25]Al Jawi, Tafsir, Vol I, 140-141
[26]Muhammad Ibn Jarir al Thabari, Jami’ al Bayan at Ta’wil ay Al Qur’an, Vol III, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiah,tt), 593-594.
[27]Al Qur’an, 2:230.
[28]Quraish, Tafsir…..,Juz 1, 464.
[29]Al Syuyuti, Dur al mantsur…..,juz 1, 504-505.
[30]Al Qur’an,4:22.
                [31] Depag RI,Al Qur’an……., 115.


[32]Al Nisaburi, Asbab, 98
[33] Shihab, Tafsir,Vol II, 369


[34] Al Shabuni, Rawa’I al Bayan, Vol I, 448
[35] Hamka, Tafsir, Vol IV, 393-394

[36] Al Jawi, Tafsir, Vol I, 145
[37]Yusuf, Tafsir, 64
[38]Al Qur’an, 24: 32.
[39]]Depag RI, Al Qur’an…..,549.

[40] Shihab, Tafsir,Vol IX, 334-338
[41] Ibid, 186-189
[42] Al Shabuni, Rawa’I al Bayan, Vol II, 178-179
[43] Al Jawi, Tafsir, Vol II, 81

[44] Al Thabari, Jami’,  Vol IX, 311-312.
[45]Al Qur’an, 33:49
[46]Ibid, 4: 3.
[47]Depag RI, Al Qur’an …..,115.

[48] Al Wahidi, Asbab, 95
[49] Shihab, Tafsir,Vol II, 321-322


[50] Hamka, Tafsir, Vol IV, 287-289, 290-291


[51]Al  Shabuni, Rawa’I al Bayan, Vol II,419
[52]Al Jawi, Tafsir, Vol I, 139
[53]Al Qur’an, 24: 3.
[54] Depag RI,Al Qur’an….., 120.
[55] An Nisaburi, Asbab, 211-212


[56] Shihab, Tafsir,Vol IX, 285, 286, 288
[57] Hamka, Tafsir, Vol XVIII, 126-128
[58] Al Shabuni, Rawa’I al Bayan, Vol II, 11-12
[59] Yusuf, Tafsir,279
[60] Al Jawi, Tafsir, Vol II, 74
[61] Al Nisaburi, Tafsir, Vol II,…

[62] Depag RI,Al Qur’an….., 549.
[63] An Nisaburi, Asbab, 219-221
[64] Shihab, Tafsir,Vol IX, 338-342


[65] Hamka, Tafsir, Vol XVII, 189-193

[66] Al Shabuni, Rowa’i, Vol II, 179
[67]Al Nisaburi, Kitab, Vol II, 81-82
[68]Al Qur’an, 5:5.
[69]Depag RI, Al Qur’an….,
[70]Al Shabuni, Rowa’i…., 537.
[71] Ibid, 534.
[72] Al Jawi, Tafsir, Vol. I, 192.

0 comments: